"Fara, beras habis. Pulang sekolah nanti bisa gak kamu pulang dulu kerumah dan belikan ibu beras untuk adik adikmu makan?" Ucap seorang wanita paruh baya duduk lesehan didekat baskom besar yang berisi kresek hitam.
Wanita paruh baya itu mengeluarkan kresek itu dan menunjukkannya pada Zefara, pertanda bahwa beras mereka sudah habis.
Zefara yang sedang memakai dasi SMA nya tertegun dan menghela nafas berat, lalu ia mengambil tasnya di dekat meja kayu yang hampir roboh.
Zefara mengeluarkan uang dua puluh ribu yang berada di dalam tasnya. Uang itu untuk ia kenakan naik angkot, tapi Zefara harus merelakannya untuk membeli beras.
"Uang Fara tinggal dua puluh ribu Bu, apa cukup?" Tanyanya pelan.
Wanita paruh baya itu mengangguk dengan wajah sedih. "Yah mau bagaimana lagi nak, jika tak kamu belikan beras, adik adikmu akan makan apa?"
"Kamu beli sekilo saja, sisanya untuk kamu sekolah naik angkot. Tak apa kan?" Tanya Marni.
Zefara hanya mengangguk, dan membantu ibunya untuk menuju ketempat tidur mereka. Zefara menatap kedua adiknya yang tertidur sangat pulas, dan mengecup sekilas kening kedua adiknya dengan sayang.
Zefara segara pergi keluar dari rumahnya untuk kewarung membeli beras.
"Kenapa kamu beli sekarang? Kenapa tak habis kamu pulang sekolah?" Tanya Marni, menatap kasihan ke arah anaknya.
"Kalau nunggu aku pulang sekolah lama Bu, nanti kalian kelaparan lagi." Jawab Zefara tersenyum tipis dan memberikan kresek hitam itu pada ibunya.
"Ibu bisa masak sendiri kan? Aku udah telat Bu." Sahut Zefara dengan tatapan memelas.
Marni mengangguk dan tersenyum tipis. "Iya, kamu pergilah. Kedua adikmu ibu yang urus!"
Zefara tersenyum, dan menyalami ibunya setelah itu ia pergi dari sana. Zefara memberhentikan angkot, kemudian ia naik ke angkot tersebut dan membawanya pergi ke sekolah.
Tak lama angkot yang Zefara tumpangi berhenti didepan gerbang yang sudah tertutup rapat. Gadis itu mendesah pelan, dan menatap sekelilingnya tampak sepi tak ada murid lain yang terlambat.
"Apa mereka sudah masuk yah?" Gumam gadis itu merasa cemas, ia takut di hukum lagi oleh guru BK.
Satpam yang ada di pos melihat ke arah Zefara dan membuka pagar itu. "Telat terus kamu ini, gak ada kapok kapoknya. Cepat masuk!" Sinis satpam itu.
Zefara hanya cengengesan tak jelas dan meminta maaf pada satpam itu. Ia segera masuk dan ikut berbaris di belakang murid lain yang terlambat.
"Wah, dia lagi dia lagi. Sepet banget nih mata lihat dia Mulu!" Ucap gadis tiba tiba sudah berisi di belakang Zefara.
Zefara terkejut dan reflek memegang dadanya. "Astaghfirullah."
"Kenapa?" Ucapnya menatap tajam Zefara.
"Lo pikir gue ini setan apa?" Tambahnya.
Zefara menggelengkan kepalanya pelan berusaha untuk tetap tenang. "Gak kak, maaf. A-aku hanya terkejut saja, tiba tiba kakak sudah berada di belakangku."
"Alah! Jangan banyak alesan. Cepat bersihkan seluruh lapangan basket sampai bersih!" Perintahnya, lalu pergi dari sana.
Zefara tercengang, ia tak menyangka hukumannya saat ini jauh lebih berat dari biasanya. Lapangan basket? Apa itu masuk akal.
Zefara memberanikan diri untuk bertanya pada murid yang terlambat lainnya.
"Kalian di hukum apa sama osis?" Tanya Zefara pelan.
"Toilet." Jawab salah satu dari mereka.
"Hanya itu?"
Mereka semua mengangguk dan pergi meninggalkan Zefara yang terdiam. Gadis itu tak terima dengan hukuman yang di berikan wakil osis untuknya.
Tapi ia juga tak berani protes karena dirinya hanya gadis beasiswa, jika ia membuat masalah otomatis pihak sekolah akan mencabut beasiswanya.
Dengan langkah lesu Zefara menuju ke tempat lapangan basket. Lagi lagi Zefara mengeluh, karena ada murid lain yang sedang bermain basket disana membuat dirinya kesusahan untuk membersihkan lapangan basket tersebut.
"Permisi." Ucap Zefara sedikit berteriak dan menghentikan aktivitas mereka yang sedang berlatih basket tersebut.
"Kenapa?" Tanya salah satu dari mereka.
Zefara menggaruk kepalanya tak gatal. Gadis itu sudah memegang erat tongkat sapu yang berada di tangannya. Telapak tangannya sudah berkeringat dingin, jantungnya sudah berdebar di tatap oleh para pria.
"Lah malah melamun, bisu yah?" Ledeknya lagi membuat mereka semua tertawa.
"Bisu dari mana, dia aja tadi bilang permisi. Lo budek kali." Cibir pria yang memegang bola basket di tangannya.
"Lo mau apa?" Tanya seorang pria mendekati Zefara yang hanya diam saja.
"A-aku mau m-membersihkan lapangan ini." Jawabnya jujur.
"Lo gak lihat apa kalau lapangan ini masih kita pake?" Bentak Brian.
"Tapi aku lagi di hukum dan di suruh kak Tasya membersihkan lapangan ini. Jika kakak kakak tak keberatan, bisa selesaikan permainan kalian?" Zefara menelan ludah kasar saat tau mata tajam pria disana seperti ingin mengutilinya.
"Cabut!" Ucap pria yang di dekat Zefara, pergi duluan. Membuat pria lain mendesah pelan dan menatapnya tak percaya.
"Alex, kita belum selesai." Teriak Brian dengan wajah memerah.
Brak..
"Gara gara Lo! Kita baru latihan tau gak!" Bentak Brian emosi.
Brian ingin melemparkan bola basket itu ke arah Zefara, untung saja salah satu dari mereka menghentikan tingkah Brian yang emosional.
"Stop! Lo mau di hajar Alex? Ayo pergi." Ajak Dion menarik kasar tangan temannya dan pergi dari sana.
Zefara menatap punggung keenam murid tersebut. Dengan hati gelisah gadis itu membersihkan seluruh lapangan basket dengan sapu dan skop yang ia bawa.
***
"Lex, kok Lo mau ngalah aja sama tuh cewek. Kitakan baru saja latihan, kenapa Lo berhenti aja?" Kesal Brian.
Alex hanya diam dan membuka pakaian basket sembari mengambil seragam sekolahnya di dalam loker.
"Lex, jawab dong jangan diem aja!" Ucap Brian lagi, membuat suasana menegang.
"Brian, Lo cukup! Jangan membuat keruh suasana deh." Sahut Dion menenangkan Brian supaya tak terlalu emosi dengan Alex.
Brian menatap Dion tajam. "Lo sama Alex sama aja! Kita itu mau tanding lima hari lagi. Tapi di kacau sama gadis miskin kayak Zefara!"
Siapa yang tak mengenal Zefara? Hanya gadis itu yang sekolah dengan beasiswa. Yang lainnya dari keluarga kalangan berada, berbeda jika dengan Zefara.
Brak..
Alex menutup pintu loket miliknya dengan kencang membuat Dion dan Brian terkejut.
"Jangan banyak bacot! Besok bisa kita latihannya, gue juga ada perlu diluar." Ucap Alex dingin.
"Lo mau kemana Alex? Alex!" Teriak Brian saat Alex sudah pergi dari ruang ganti.
"Sudahlah, mungkin dia lagi banyak pikiran." Dion selalu menjadi penengah diantar mereka berdua.
"Gak bisa gitu dong Dion! Lo tahu kan kalau kita ini bentar lag--"
"Iya gue tahu! Gak usah di ulangi lagi gue tahu, tutup mulut Lo yang bau jengkol itu!"
"Sialan Lo!" Brian melemparkan seragamnya tepat di wajah Dion.
Disisi lain Alex menatap dari kejauhan Zefara yang sedang menyapu lapangan basket tersebut. Pria itu berjalan mendekati Zefara, membuat gadis itu merasa canggung dan merasa bersalah karena dirinya Alex tak jadi latihan basket.
"Sudah sarapan?" Tanya Alex dengan raut wajah datar.
Zefara diam membeku dan menatap tak percaya pria di hadapannya.
"Sudah sarapan?"
"S-sudah kak." Zefara mencengkram kuat sapu tersebut, kakinya gemetaran menahan takut.
Alex pergi dari sana tanpa mengatakan apapun, membuat Zefara bingung.
"Aneh!" Gumamnya.
"Zefara." Panggil seorang gadis mendekati Zefara yang sedang membawa tumpukan buku.
Zefara menoleh dan menatap bingung ke arah gadis yang bernama Nana itu. Nana adalah gadis yang sombong dan selalu membully dirinya, Nana berteman dengan Tasya wakil ketua osis sekaligus mantan pacar Alex ketua osis dan kapten basket.
"Ada apa kak?" Tanya Zefara sedikit ketakutan menatap ke arah Nana.
Sementara Nana tampak tersenyum menatapnya, membuat Zefara makin ketakutan. Zefara takut jika Nana dan Tasya akan membully nya kembali seperti kemarin. Membuat Zefara tak bekerja dan gajinya di potong oleh bos.
"Alex manggil Lo dan nyuruh Lo ke rumah yang ada di belakang sekolah." Jawab Nana, matanya berputar malas, Zefara melihat hal itu.
"T-tapi aku disuruh sama Bu Reni untuk mengantarkan buku ini ke ruang guru kak." Zefara berharap bahwa Nana akan mengizinkannya untuk membawa buku buku itu pada Bu Reni, supaya Tasya dan anteknya tak jadi membully nya.
"Lo tau kan gimana Alex marah? Lo mau di cekek nya? Buruan, jangan pake lama. Kalau gak dia akan marah sama Lo!" Desak Nana memberi peringatan pada Zefara.
Zefara menelan ludahnya kasar, ia tahu betul bagaimana tempramen kakak tingkatnya itu jika sedang marah. Apa lagi banyak murid bilang kalau Alex itu psikopat dan bisa membunuh siapa saja tanpa menyentuh.
Zefara pun sempat bingung kenapa bisa Alex menjadi ketua osis?
"Heh, malah bengong!" Nana kembali berucap membuat Zefara terkejut.
Dengan gerakan malas Nana mengambil alih buku buku itu dan memberikannya pada murid lain untuk menaruh buku itu di ruang guru. Kemudian Nana menarik kasar tangan Zefara membuat gadis itu hanya diam dan meringis.
"Kak sakit, bisa pelan tidak." Lirihnya dengan mata berkaca-kaca.
"Diam!" Bentak Nana menatap Zefara dengan mata melotot.
Zefara merapatkan bibirnya dan diam membisu saat tangan Nana terus mencengkram tangannya, langkah kakinya mengikuti jejak Nana.
Saat sampai disana sudah ada Tasya dan Lili yang tersenyum menyeramkan bagi Zefara. Keduanya duduk dengan tenang yang entah dari mana sudah ada kursi disana.
"Suruh dia duduk Na." Titah Tasya bangkit dari duduknya dan menyuruh Nana untuk mendudukkan Zefara di bangku bekasnya.
"Lili, ikat." Perintah Tasya lagi.
Lili langsung mengikat Zefara gadis itu memberontak tetapi tangannya di pegang oleh Tasya dan Nana. Zefara hanya bisa berteriak dan meminta tolong pada siapapun yang ada diruangan itu.
Tasya mencengkram kuat dagu gadis itu. "Ngapain Lo deketin Alex?"
Zefara menggelengkan kepalanya pelan, mana mungkin ia berani mendekati lelaki itu.
"Jawab! Bisu Lo?"
"Aku gak deketin kak Alex."
"Bohong!" Sahut Nana. "Gue lihat sendiri kalau Lo deketin Alex pas Lo di hukum sama Tasya buat bersihin lapangan basket. Ngaku deh Lo!" Nana menatap Zefara geram.
"Gak kak, kalian salah paham. Kak Alex deketin aku karena dia nanya aku sudah sarapan belum." Jawab Zefara dengan air mata berlinang.
Plak..
Tasya langsung menampar Zefara, membuat wajah gadis itu menoleh ke samping. Pipinya memerah, menahan sakit yang luar biasa.
"Alex gak mungkin kayak gitu! Dia itu orangnya cuek dan gak peduli dengan siapapun. Termasuk Lo cupu! Berapa Alex beri Lo uang hah? Berapa!!"
"Jawab, malah diam aja!" Celetuk Lili sambil tersenyum sinis.
"Minggir!" Ucap Lili yang sudah memegang baskom berisi air.
Nana dan Tasya tersenyum dan menyingkir.
Byur..
Lili dengan sengaja menyiram Zefara dengan air bekas pel yang memang mereka bawa dengan sengaja.
Zefara menarik nafas panjang saat air itu masuk ke dalam lubang hidungnya. Ketiganya tertawa terbahak-bahak melihat pemandangan yang menurutnya sangat bagus.
"Ngaku gak Lo, ngapain Lo deketin Alex? Lo tau kan kalau dia itu masih pacar gue." Teriak Tasya menatap Zefara jijik.
"Aku minta maaf kak!" Lirih Zefara hanya bisa menunduk dalam.
Tasya mengajak kedua temannya untuk menjauh dari Zefara. Zefara hanya diam dan menatap ketiganya dengan ketakutan.
"Lo bawa kan Li air itu?" Bisik Tasya sesekali matanya menatap ke arah Zefara yang tak jauh dari mereka.
Lili mengangguk dan mengeluarkan air mineral berukuran kecil di sakunya.
"Lo yakin sya?" Tanya Nana sedikit cemas.
Tasya terdiam dengan tatapan sulit di artikan menatap ke arah Zefara.
"Gimana kalau kita ketahuan sama bokap Lo?" Lili pun juga ikut cemas.
"Gak bakal! Kalian berdua harus tutup mulut, jangan sampe bokap gue tahu." Ucap Tasya menatap kedua temannya tajam.
"Tapi gimana kalau kak Zevan gak mau?" Tanya Nana.
"Pasti mau lah! Lo gak inget gimana tubuh seksi Zefara?" Tasya tersenyum culas.
Tasya dan kedua temannya pernah mengintip Zefara saat ganti pakaian di toilet, saat itu di kelas Zefara sedang olahraga.
Ketiganya saling pandang, dan tersenyum menyeringai. Tasya mengambil air minum itu di tangan Lili, dan mendekati Zefara.
"Na, pegang kepalanya dan suruh dia buka mulut." Titah Tasya.
Nana langsung memegang kepala Zefara membuat gadis itu menggelengkan kepalanya.
"Apa yang ingin kalian lakukan?" Teriak Zefara terus memberontak.
"Diam!" Bentak Lili yang juga ikut membantu Nana.
"Buka mulut Lo!"
Zefara merapatkan mulutnya, dan tak mau mendengarkan perkataan Tasya.
Plak..
Tasya kembali menampar pipi Zefara, membuat gadis itu menangis tersedu-sedu. Nana mencengkram kuat rambut Zefara membuat gadis itu berteriak.
Tasya dengan cepat memasukan minuman itu ke dalam mulut Zefara hingga Zefara menelan air itu.
"Uhuhukkk." Zefara terbatuk batuk saat air itu masuk ke dalam tenggorokannya.
Tasya menyuruh kedua temannya untuk membuka ikatan tali yang melilit Zefara.
"Jam pelajaran udah selesai, mending Lo pulang sama kita." Ucap Tasya saat mendengar suara lonceng dari sekolah mereka.
Zefara hanya diam dengan tatapan kosong. Ia tak tahu apa yang Tasya berikan untuknya.
"Air apa tadi?" Tanya Zefara memberanikan dirinya.
"Air biasa kok." Jawab Lili.
"Ayo, bawa dia ke mobil." Titah Tasya pada kedua temannya.
"Kak kita mau kemana? Aku ingin pulang." Ucap Zefara memberontak.
Ketiga manusia Dajjal itu tak memperdulikan Zefara yang menjerit, mereka memasukkan Zefara ke dalam mobil milik Tasya.
•••••
"Ibu, kok kak Fara belum pulang yah." Ucap Salma, bocah itu baru berumur 7 tahun.
Marni pun ikut gelisah seperti anak keduanya. Tak biasanya Zefara pulang terlambat seperti ini. Jika pulang terlambat Zefara pasti akan mengabari dirinya melalui tetangga.
Marni tak mempunyai ponsel, jika Zefara telat pulang gadis itu akan mengirim pesan lewat tetangganya. Tapi jam sudah menunjukan pukul 10 malam, tetangga nya itu tak datang kerumah mereka.
"Ibu kok diem aja. Aku takut kak Fara kenapa kenapa Bu." Ucap Salma lagi dengan mata berkaca-kaca.
Marni menghela nafas seberat dan memeluk Salma. "Kita tunggu sebentar lagi yah, mungkin saja jalanan macet."
"Tapi biasanya bude kesini Bu kalau kak Fara pulang terlambat, tapi kenapa bude gak kesini yah Bu."
Pikiran Marni berkecamuk, ia takut putri sulungnya kenapa kenapa.
"Sal, kamu berani gak kerumah bude?" Tanya Marni.
"Berani Bu."
"Coba kamu tanya ada kabar gak dari kakakmu"
Salma mengangguk dan keluar dari rumahnya menuju kerumah bude Narti. Rumah bude Narti tak jauh dari rumah mereka.
Marni menatap gelisah ke arah pintu rumah. Hatinya was was dengan perasaan tak enak.
Tak selang lama Salma kembali dengan kabar yang membuat Marni semakin tak karuan.
"Kak Fara gak kirim pesan sama bude Bu."
"Ya Allah, kemana kamu nak?" Batin Marni bertanya tanya.
Salma memeluk ibunya erat. "Kak Fara baik baik saja kan Bu?"
"Iya, kakakmu itu wanita yang hebat."
Jam sudah menunjukan pukul 3 dini hari, Marni duduk di depan pintu rumahnya yang terbuka lebar, wanita paruh baya itu berharap kalau anaknya pulang kerumah dengan keadaan sehat. Kakinya memanjang dan tak bisa di tekuk, punggung bersandar di dekat pintu.
"Fara, kamu dimana?" Marni berucap pelan dengan mata berkaca-kaca.
Salma dan adik kecilnya sudah lebih dulu tidur.
Marni memejamkan matanya saat angin malam masuk ke dalam rumahnya.
"Semoga kamu baik baik saja sayang, dimanapun kamu berada." Hanya panjatkan doa yang Marni berikan untuk putri sulungnya.
Marni bersusah payah mengangkat bokongnya sendiri dan menggeser kannya untuk menutup pintu. Dirinya yakin kalau Zefara akan pulang dengan selamat.
Marni berbaring di samping Salma dan anak ketiganya, ia memeluk erat tubuh keduanya dengan perasaan campur aduk memikirkan keberadaan Zefara.
"Ibu,,, ibu.." Teriak Salma, saat bocah berusia 7 tahun itu membuka pintu depan mereka.
Salma menghampiri ibunya yang sedang masak nasi.
"Ada apa? Kamu kenapa?" Tanya Marni panik.
Marni langsung memeluk tubuh kecil Salma yang bergetar.
"D-didepan, ada orang meninggal Bu."
"Astaghfirullah, siapa Sal?" Marni berteriak panik. Wanita paruh baya itu teringat dengan anaknya yang belum pulang sampai sekarang.
Salma duluan ke depan rumah dan Marni menyusul sambil menyeret kakinya dan bokongnya. Walaupun sedikit kesusahan, ia sudah sampai di dekat Salma yang berdiri diam menatap pada seseorang yang berbaring di tanah depan rumah mereka.
"Astaghfirullah, itu kakakmu Sal." Pekik Marni dengan mata melebar.
Kedua mata Salma tampak berkaca-kaca dan mendekati Zefara yang berbaring lemah di tanah. Marni berusaha untuk mendekati kedua anaknya.
"Fara, bangun nak." Ucap Marni menggoyangkan lengan Zefara.
Kondisi Zefara sangat memprihatikan, kedua pipinya merah terlihat jelas cap lima jari disana. Marni dan Salma hanya bisa menangis dan meminta bantuan pada RT mereka yang di panggil oleh Salma.
Beberapa warga setempat juga membantu membawa Zefara masuk ke dalam rumah Marni. Yang lain memangil seorang bidan untuk segera datang kerumah Marni.
"Mbak, ini kenapa bisa terjadi? Kenapa dengan Fara?" Tanya bude Narti dengan raut wajah cemas.
Luka luka goresan di lengan Zefara membuat Marni semakin histeris saat baju Zefara terpaksa di buka untuk pemeriksaan lebih lanjut.
"Aku gak tahu Narti, kemarin malam dia tak pulang. Aku menyuruh Salma untuk kerumah mu kan? Ku pikir dia ada kasih tahu kalau dia pulang terlambat, tapi ternyata. Ya Allah Fara." Marni tak bisa berkata kata lagi melihat kondisi sang anak.
Narti mengangguk dan mengelus pelan pundak Marni yang bergetar. "Sabar mbak, pasti Fara akan sadar."
"Pak RT terima kasih karena sudah membantu saya. Dan yang lainnya juga terima kasih." Ucap Marni dengan air mata berlinang pada warga setempat.
"Tidak apa Bu, selagi kita bisa bantu kami bantu." Jawab salah satu dari warga disana.
"Kalau begitu kami permisi dulu. Jika terjadi sesuatu kasih tahu saya, Bu Marni." Pamit pak RT dan yang lainnya.
Disana sudah ada bidan, Narti dan Marni saja serta kedua adik Zefara.
"Gimana dengan kondisi anak saya Bu bidan?" Tanya Marni dengan jantung berdebar.
"Luka di lengannya cukup parah Bu, seharusnya Zefara di bawa kerumah sakit saja. Nanti saya bantu buat panggil ambulan." Ucap bidan itu menatap kasihan ke arah Marni.
"Fara ada BPJS apa bisa pakai itu Tampa rujukan Bu bidan?"
Bidan itu mengangguk dan tersenyum. "Bisa Bu, nanti saya akan usahakan supaya Zefara mendapatkan tindakan secepatnya."
Marni mengangguk lemah,ia sudah tak berdaya menatap sang anak. Bidan itu segera menghubungi ambulan untuk segera datang kerumah Marni.
"Mbak tidak perlu khawatir soal Zefara, biar aku saja yang menjaganya di rumah sakit." Ujar Narti.
"Tapi aku tak ingin merepotkan mu."
"Tidak apa mbak! Aku ikhlas membantu mbak Marni."
"Terima kasih Narti."
Narti mengangguk dan membantu bidan itu mengangkat tubuh Zefara masuk ke dalam ambulan. Setelah itu ambulan pergi meninggalkan pekarangan rumah Marni.
"Bu, kak Fara kenapa di bawa lagi?" Tanya Salma menghapus air matanya.
"Biar kakakmu sehat nak." Marni hanya bisa menghela nafas berat.
"Bangunkan Seno, kita akan segera sarapan dulu." Ucap Marni lemah.
••••
"Tasya, buka pintunya!!" Teriak seorang pria paruh baya menggedor pintu kamar.
"Tasya, ayah tau kamu di dalam!" Teriaknya lagi menggelegar.
Ceklek!
"Ada apa?" Tasya baru saja bangun terlihat dari rambutnya seperti singa.
"Apa yang kau lakukan hah! Kau ingin usahaku bangkrut!"
Tasya memutar matanya malas. "Ini masih pagi, kenapa sudah teriak teriak seperti di hutan saja."
"Jangan kurang aja kamu!" Pria tua itu meninju pintu kamar anaknya emosi.
Tasya sungguh saja terkejut dengan tempramen ayahnya. "Ayah jangan marah dulu, dengarkan penjelasan ku dulu."
Tasya membujuk ayahnya untuk segera duduk.
"Jelaskan!"
"Aku tak mau tidur dengan kak Zevan. Ayah tau sendiri kan kalau dia itu pria buruk rupa, aku tak menginginkan nya. Jika benihnya sampai masuk ke rahimku, dan aku melahirkan anak cacat, aku tak ingin itu terjadi."
Pria yang bernama Burhan itu menarik nafas panjang. "Tuan Zevan memberikan uang untuk membeli dirimu, tapi kenapa kamu malah menipunya?"
"Aku tau ayah, tapi apa ayah ingin cucu yang cacat dan buruk rupa?"
Burhan terdiam, mana mungkin dirinya mau mempunyai cucu yang cacat dan buruk rupa seperti Zevan.
Tasya tersenyum senang. "Nah mangkanya, aku tak ingin tidur dengan dia."
"Lalu gadis mana yang tidur dengan dia?" Burhan sangat penasaran dengan anaknya.
"Ada teman ku yah, dia mau kok."
"Kau jangan macam macam dengan tuan Zevan, Tasya." Ucap Burhan dingin, ia tak ingin rumah bordilnya di ketahui oleh polisi.
Burhan tahu jika berurusan dengan Zevan maka lambat Laun usaha yang selama ini ia dambakan akan runtuh akibat ulah anaknya.
"Ayah tenang saja, semua sudah aku rencanakan dengan baik." Tasya tersenyum smirk menatap ayahnya.
••••
"Alhamdulillah, Fara kamu sudah bangun nak?" Ucap Narti tersenyum lembut dan mengambil air putih untuk Zefara.
"A-aku tidak haus bude." Tolaknya, Zefara seakan trauma dengan air putih.
"Kenapa?"
Zefara menggeleng lemah.
"Kamu kenapa? Bilang sama bude."
"Bude, bisakah tinggalkan aku sendiri?" Zefara menatap Narti lekat. Wanita paruh baya itu mengangguk dan menunggu di luar.
Setelah kepergian Narti, Zefara menumpahkan air matanya. Ia menangis sesenggukan menahan sesak di dada.
"Aku sudah tak suci lagi hiks hiks, a-aku berdosa."
"Kenapa? Kenapa mereka jahat sekali padaku."
Luka yang ada di lengannya kembali berdarah, di balik perban.
"Ibu, maafin Fara. Fara sudah kotor"
Zefara berusaha bangkit dari tidurnya dan melepaskan infusan yang ada di tangannya. Dengan berjalan pelan ia menuju ke kamar mandi. Saat berjalan pun di area sensitifnya sangat nyeri dan membuat dirinya kesusahan berjalan.
Zefara menangis dan berteriak di dalam kamar mandi. Kedua tangannya mencengkram kuat kepalanya dan membenturkan ke dinding membuat keningnya berdarah.
Narti yang mendengar teriakan Zefara dari dalam lantas masuk keruangan Zefara, dan membuka pintu kamar mandi. Matanya langsung membulat saat melihat Zefara terkulai lemas dan memeluk kedua kakinya meringkuk sambil menangis.
"Fara ada apa? Kamu kenapa, bilang sama bude. Apa yang terjadi?" Narti begitu khawatir dengan anak Marni itu.
Narti memeluk dan mendekap tubuh gadis itu, Zefara menangis dan meraung di pelukan Narti. Narti hanya diam dan mengusap lembut punggung gadis itu yang bergetar hebat.
"Bude, a-aku.." rasanya tak sanggup Zefara berucap.
"Iya, kamu kenapa Hem?" Narti memegang kedua pipi Zefara dan menatap lembut kedua mata gadis itu yang memerah.
"Bude, mereka hiks hiks. Mereka bude" Isak tangis Zefara terdengar pilu membuat Narti merasa sesak.
Narti kembali memeluk gadis itu. "Sudah sudah, jika belum sanggup tak apa."
"Mereka hiks hiks mereka jahat bude." Zefara memeluk erat tubuh Narti.
"Sudah sayang sudah." Air mata Narti turun dengan deras.
Narti membantu Zefara berdiri dan menyuruhnya untuk kembali ke ranjang rumah sakit dan kembali di infus.
Keduanya terdiam dan Zefara sedikit lebih tenang. Narti memberanikan diri untuk kembali berbicara dengan Zefara, tetapi sayang mulut mungil itu tak mengatakan apapun, membuat Narti tak banyak bertanya lagi.
Kriet.
Pintu ruangan Zefara terbuka dan tampaklah bidan yang membawa Zefara kerumah sakit.
"Bagaimana keadaan mu Fara?" Tanya bidan itu, sambil melirik ke arah Narti.
Zefara hanya diam dengan tatapan kosong ke atas, ia tak merespon apapun sama seperti Narti yang mengajaknya bicara.
"Bu Narti bisa kita bicara diluar?" Ucap bidan itu, Narti mengangguk.
"Bude keluar sebentar, kamu tunggu disini yah." Narti menghela nafas berat saat gadis itu hanya diam.
"Bu bidan ingin bicara apa?" Narti menatap bidan itu dengan raut wajah khawatir.
"Saya baru saja bertemu dengan dokter Bu."
"Lalu, apa katanya? Fara sakit apa?"
Bidan itu duduk disana dan di ikuti oleh Narti.
"Kenapa Bu bidan?" Hati Narti semakin risau.
"Saya di beri tahu dokter kalau Fara, dilecehkan." Ujar bidan itu.
Wajah Narti membeku, menatap bidan itu tak percaya. Matanya sudah berkaca-kaca, air matanya turun dengan deras. Bahkan tangannya sudah memegang jantungnya yang berdetak.
"Astaghfirullah, Fara." Narti tak kuasa menahan air matanya.
Bidan itu hanya diam dan menunduk. "Selain itu."
"Apa ada lagi?"
"Fara mengalami trauma berat."
Narti menutup matanya dan mengatur nafasnya yang terasa sangat sesak. Narti sudah menganggap, Zefara seperti anaknya sendiri.
"Bagaimana caranya aku memberi tahu hal ini pada mbak Marni?" Batin Narti cemas.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!