"Ibu,,, ibu.." Teriak Salma, saat bocah berusia 7 tahun itu membuka pintu depan mereka.
Salma menghampiri ibunya yang sedang masak nasi.
"Ada apa? Kamu kenapa?" Tanya Marni panik.
Marni langsung memeluk tubuh kecil Salma yang bergetar.
"D-didepan, ada orang meninggal Bu."
"Astaghfirullah, siapa Sal?" Marni berteriak panik. Wanita paruh baya itu teringat dengan anaknya yang belum pulang sampai sekarang.
Salma duluan ke depan rumah dan Marni menyusul sambil menyeret kakinya dan bokongnya. Walaupun sedikit kesusahan, ia sudah sampai di dekat Salma yang berdiri diam menatap pada seseorang yang berbaring di tanah depan rumah mereka.
"Astaghfirullah, itu kakakmu Sal." Pekik Marni dengan mata melebar.
Kedua mata Salma tampak berkaca-kaca dan mendekati Zefara yang berbaring lemah di tanah. Marni berusaha untuk mendekati kedua anaknya.
"Fara, bangun nak." Ucap Marni menggoyangkan lengan Zefara.
Kondisi Zefara sangat memprihatikan, kedua pipinya merah terlihat jelas cap lima jari disana. Marni dan Salma hanya bisa menangis dan meminta bantuan pada RT mereka yang di panggil oleh Salma.
Beberapa warga setempat juga membantu membawa Zefara masuk ke dalam rumah Marni. Yang lain memangil seorang bidan untuk segera datang kerumah Marni.
"Mbak, ini kenapa bisa terjadi? Kenapa dengan Fara?" Tanya bude Narti dengan raut wajah cemas.
Luka luka goresan di lengan Zefara membuat Marni semakin histeris saat baju Zefara terpaksa di buka untuk pemeriksaan lebih lanjut.
"Aku gak tahu Narti, kemarin malam dia tak pulang. Aku menyuruh Salma untuk kerumah mu kan? Ku pikir dia ada kasih tahu kalau dia pulang terlambat, tapi ternyata. Ya Allah Fara." Marni tak bisa berkata kata lagi melihat kondisi sang anak.
Narti mengangguk dan mengelus pelan pundak Marni yang bergetar. "Sabar mbak, pasti Fara akan sadar."
"Pak RT terima kasih karena sudah membantu saya. Dan yang lainnya juga terima kasih." Ucap Marni dengan air mata berlinang pada warga setempat.
"Tidak apa Bu, selagi kita bisa bantu kami bantu." Jawab salah satu dari warga disana.
"Kalau begitu kami permisi dulu. Jika terjadi sesuatu kasih tahu saya, Bu Marni." Pamit pak RT dan yang lainnya.
Disana sudah ada bidan, Narti dan Marni saja serta kedua adik Zefara.
"Gimana dengan kondisi anak saya Bu bidan?" Tanya Marni dengan jantung berdebar.
"Luka di lengannya cukup parah Bu, seharusnya Zefara di bawa kerumah sakit saja. Nanti saya bantu buat panggil ambulan." Ucap bidan itu menatap kasihan ke arah Marni.
"Fara ada BPJS apa bisa pakai itu Tampa rujukan Bu bidan?"
Bidan itu mengangguk dan tersenyum. "Bisa Bu, nanti saya akan usahakan supaya Zefara mendapatkan tindakan secepatnya."
Marni mengangguk lemah,ia sudah tak berdaya menatap sang anak. Bidan itu segera menghubungi ambulan untuk segera datang kerumah Marni.
"Mbak tidak perlu khawatir soal Zefara, biar aku saja yang menjaganya di rumah sakit." Ujar Narti.
"Tapi aku tak ingin merepotkan mu."
"Tidak apa mbak! Aku ikhlas membantu mbak Marni."
"Terima kasih Narti."
Narti mengangguk dan membantu bidan itu mengangkat tubuh Zefara masuk ke dalam ambulan. Setelah itu ambulan pergi meninggalkan pekarangan rumah Marni.
"Bu, kak Fara kenapa di bawa lagi?" Tanya Salma menghapus air matanya.
"Biar kakakmu sehat nak." Marni hanya bisa menghela nafas berat.
"Bangunkan Seno, kita akan segera sarapan dulu." Ucap Marni lemah.
••••
"Tasya, buka pintunya!!" Teriak seorang pria paruh baya menggedor pintu kamar.
"Tasya, ayah tau kamu di dalam!" Teriaknya lagi menggelegar.
Ceklek!
"Ada apa?" Tasya baru saja bangun terlihat dari rambutnya seperti singa.
"Apa yang kau lakukan hah! Kau ingin usahaku bangkrut!"
Tasya memutar matanya malas. "Ini masih pagi, kenapa sudah teriak teriak seperti di hutan saja."
"Jangan kurang aja kamu!" Pria tua itu meninju pintu kamar anaknya emosi.
Tasya sungguh saja terkejut dengan tempramen ayahnya. "Ayah jangan marah dulu, dengarkan penjelasan ku dulu."
Tasya membujuk ayahnya untuk segera duduk.
"Jelaskan!"
"Aku tak mau tidur dengan kak Zevan. Ayah tau sendiri kan kalau dia itu pria buruk rupa, aku tak menginginkan nya. Jika benihnya sampai masuk ke rahimku, dan aku melahirkan anak cacat, aku tak ingin itu terjadi."
Pria yang bernama Burhan itu menarik nafas panjang. "Tuan Zevan memberikan uang untuk membeli dirimu, tapi kenapa kamu malah menipunya?"
"Aku tau ayah, tapi apa ayah ingin cucu yang cacat dan buruk rupa?"
Burhan terdiam, mana mungkin dirinya mau mempunyai cucu yang cacat dan buruk rupa seperti Zevan.
Tasya tersenyum senang. "Nah mangkanya, aku tak ingin tidur dengan dia."
"Lalu gadis mana yang tidur dengan dia?" Burhan sangat penasaran dengan anaknya.
"Ada teman ku yah, dia mau kok."
"Kau jangan macam macam dengan tuan Zevan, Tasya." Ucap Burhan dingin, ia tak ingin rumah bordilnya di ketahui oleh polisi.
Burhan tahu jika berurusan dengan Zevan maka lambat Laun usaha yang selama ini ia dambakan akan runtuh akibat ulah anaknya.
"Ayah tenang saja, semua sudah aku rencanakan dengan baik." Tasya tersenyum smirk menatap ayahnya.
••••
"Alhamdulillah, Fara kamu sudah bangun nak?" Ucap Narti tersenyum lembut dan mengambil air putih untuk Zefara.
"A-aku tidak haus bude." Tolaknya, Zefara seakan trauma dengan air putih.
"Kenapa?"
Zefara menggeleng lemah.
"Kamu kenapa? Bilang sama bude."
"Bude, bisakah tinggalkan aku sendiri?" Zefara menatap Narti lekat. Wanita paruh baya itu mengangguk dan menunggu di luar.
Setelah kepergian Narti, Zefara menumpahkan air matanya. Ia menangis sesenggukan menahan sesak di dada.
"Aku sudah tak suci lagi hiks hiks, a-aku berdosa."
"Kenapa? Kenapa mereka jahat sekali padaku."
Luka yang ada di lengannya kembali berdarah, di balik perban.
"Ibu, maafin Fara. Fara sudah kotor"
Zefara berusaha bangkit dari tidurnya dan melepaskan infusan yang ada di tangannya. Dengan berjalan pelan ia menuju ke kamar mandi. Saat berjalan pun di area sensitifnya sangat nyeri dan membuat dirinya kesusahan berjalan.
Zefara menangis dan berteriak di dalam kamar mandi. Kedua tangannya mencengkram kuat kepalanya dan membenturkan ke dinding membuat keningnya berdarah.
Narti yang mendengar teriakan Zefara dari dalam lantas masuk keruangan Zefara, dan membuka pintu kamar mandi. Matanya langsung membulat saat melihat Zefara terkulai lemas dan memeluk kedua kakinya meringkuk sambil menangis.
"Fara ada apa? Kamu kenapa, bilang sama bude. Apa yang terjadi?" Narti begitu khawatir dengan anak Marni itu.
Narti memeluk dan mendekap tubuh gadis itu, Zefara menangis dan meraung di pelukan Narti. Narti hanya diam dan mengusap lembut punggung gadis itu yang bergetar hebat.
"Bude, a-aku.." rasanya tak sanggup Zefara berucap.
"Iya, kamu kenapa Hem?" Narti memegang kedua pipi Zefara dan menatap lembut kedua mata gadis itu yang memerah.
"Bude, mereka hiks hiks. Mereka bude" Isak tangis Zefara terdengar pilu membuat Narti merasa sesak.
Narti kembali memeluk gadis itu. "Sudah sudah, jika belum sanggup tak apa."
"Mereka hiks hiks mereka jahat bude." Zefara memeluk erat tubuh Narti.
"Sudah sayang sudah." Air mata Narti turun dengan deras.
Narti membantu Zefara berdiri dan menyuruhnya untuk kembali ke ranjang rumah sakit dan kembali di infus.
Keduanya terdiam dan Zefara sedikit lebih tenang. Narti memberanikan diri untuk kembali berbicara dengan Zefara, tetapi sayang mulut mungil itu tak mengatakan apapun, membuat Narti tak banyak bertanya lagi.
Kriet.
Pintu ruangan Zefara terbuka dan tampaklah bidan yang membawa Zefara kerumah sakit.
"Bagaimana keadaan mu Fara?" Tanya bidan itu, sambil melirik ke arah Narti.
Zefara hanya diam dengan tatapan kosong ke atas, ia tak merespon apapun sama seperti Narti yang mengajaknya bicara.
"Bu Narti bisa kita bicara diluar?" Ucap bidan itu, Narti mengangguk.
"Bude keluar sebentar, kamu tunggu disini yah." Narti menghela nafas berat saat gadis itu hanya diam.
"Bu bidan ingin bicara apa?" Narti menatap bidan itu dengan raut wajah khawatir.
"Saya baru saja bertemu dengan dokter Bu."
"Lalu, apa katanya? Fara sakit apa?"
Bidan itu duduk disana dan di ikuti oleh Narti.
"Kenapa Bu bidan?" Hati Narti semakin risau.
"Saya di beri tahu dokter kalau Fara, dilecehkan." Ujar bidan itu.
Wajah Narti membeku, menatap bidan itu tak percaya. Matanya sudah berkaca-kaca, air matanya turun dengan deras. Bahkan tangannya sudah memegang jantungnya yang berdetak.
"Astaghfirullah, Fara." Narti tak kuasa menahan air matanya.
Bidan itu hanya diam dan menunduk. "Selain itu."
"Apa ada lagi?"
"Fara mengalami trauma berat."
Narti menutup matanya dan mengatur nafasnya yang terasa sangat sesak. Narti sudah menganggap, Zefara seperti anaknya sendiri.
"Bagaimana caranya aku memberi tahu hal ini pada mbak Marni?" Batin Narti cemas.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments