Beberapa hari kemudian, Zefara sudah bersiap untuk pulang. Gadis itu sudah sangat merindukan ibunya dan kedua adiknya. Jika Narti pulang, pasti mereka hanya video call saja. Saat ini Zefara sudah banyak berubah dan menjadi gadis yang pendiam tak seperti biasanya.
"Bude." Panggil Zefara dengan mata sayu.
Narti menghentikan aktivitas yang memasukkan pakaian Zefara ke dalam tas dan menatap gadis itu lembut.
"Ada apa? Kamu perlu sesuatu?"
Zefara menarik nafas panjang. "Terima kasih bude untuk semua kebaikan bude pada keluarga Fara. Padahal kita hanya tetangga, tapi bude ikhlas membantu kami."
Narti tersenyum manis menatap ke arah gadis itu.
"Bude, sudah menganggap keluarga kamu menjadi keluarga bude juga. Jadi jangan sungkan."
Zefara mengangguk dan tersenyum tipis.
"Oh yah bude, soal kemarin jangan bilang pada ibu, bahwa aku.." Zefara tak bisa melanjutkan kembali perkataannya.
"Sudah cukup! Tak perlu kamu pikirkan soal itu. Bude akan tutup mulut pada ibumu."
"Bagaimana kalau aku hamil bude." Sedetik kemudian air mata Zefara turun dengan sendirinya.
Narti pun hanya bisa menghela nafas berat, banyak juga beban yang di tanggung oleh gadis yang baru berusia 17 tahun itu.
"Datang bulan mu teratur gak?" Tanya Narti duduk disamping Zefara.
Zefara mengangguk.
"Berapa kali dia melakukan itu padamu?"
Narti sudah tahu semuanya, Zefara lah yang sudah memberitahu pada Narti. Bahkan saat dirinya pun di jebak oleh Tasya dan kedua temannya membuat Narti emosi dan ingin memberi tahukan ini pada polisi.
"A-aku tak tau bude."
"Sudah tenangkan dirimu."
Narti mengelus pelan pundak gadis itu yang bergetar hebat.
"Aku belum siap bude"
"Sudah tak apa, kamu tak mungkin hamil. Bude yakin, dia hanya melakukan padamu hanya sekali. Jika seperti itu, kamu tak mungkin hamil anaknya." Jelas Narti menenangkan gadis itu.
"Iya bude." Zefara menghapus air matanya, dan bangkit dari sana setelah mereka selesai berkemas.
Narti memesan taksi online untuk mereka berdua pulang.
••••
"Sya, Lo ada kabar gak dari Zefara?" Tanya Nana, sedikit khawatir dengan kondisi gadis itu. Karena Zefara belum masuk sekolah juga.
"Iya juga, dia belum masuk sekolah yah." Sahut Lili ikut ikutan cemas seperti Nana.
Tasya hanya diam dengan pikiran bercabang cabang. Ia juga kepikiran soal Zefara, kenapa gadis itu belum masuk juga ke sekolah. Apa Zevan melakukan sesuatu pada Zefara? Atau bahkan membunuh gadis itu. Jika itu benar, mereka bertiga pasti akan terlibat.
"Sya, kok Lo diem aja sih. Jawab dong, jangan bikin kita cemas!" Sentak Lili kesal.
Nana menarik nafas panjang dan duduk di kursi kantin, hatinya berdebar sudah tak karuan memikirkan nasib Zefara.
"Kalian bisa diem gak sih? Gue juga lagi mikir, kenapa Zefara gak sekolah. Apa jangan jangan dia berbuat sesuatu dengan kak Zevan dan membuat kak Zevan membunuhnya?"
Deg..
Syok, wajah mereka bertiga pucat pasi. Kaki mereka sudah gemetar, tubuh mereka sudah panas dingin.
Nana menyenggol sikut Tasya. "Jangan bikin kita takut dong."
Tasya menatap tajam ke arah Nana. "Mangkanya diem, jangan bikin gue juga ikut panik. Kalian tenang aja, Zefara gak mungkin meninggal."
"Apa Lo yakin? Coba Lo hubungi kak Lucas." Ucap Lili, wajah nya masih cemas dan takut.
"Gue udah hubungi dia, tapi gak pernah di jawab. Sombong banget tuh cowok." Tasya kesal sendiri dengan pria bernama Lucas itu.
"Eh, sya itu Alex nyamperin meja kita." Ucap Nana dengan wajah sumringah.
Tasya tersenyum bahagia dan merapikan rambutnya dengan sela sela jarinya.
"Gimana penampilan gue, bagus gak?"
Nana dan Lili mengangguk dan tersenyum.
Tasya berdiri saat Alex dan kedua temannya mendekati meja mereka.
"Hay Lex." Sapa Tasya.
"Hay sya." Jawab Brian dengan senyum manis.
Tasya memutar matanya malas. Alex hanya diam dengan raut wajah dingin.
"Kemarin Lo ajak Zefara kemana?" Tanya Alex dingin, membuat tubuh Tasya dan kedua temannya menegang.
"M-maksud kamu apa Lex?" Tanya Tasya gugup.
"Gak usah pada bego deh! Dion bilang kalau kalian bawa Zefara ke belakang sekolah, iya kan? Ngaku deh."
"Gak kok, Dion mungkin salah lihat." Kekeh Tasya tak ingin mengaku.
Dion tersenyum tipis saat Tasya tak ingin mengaku.
"Ngaku aja sya, gue lihat sendiri kalau Nana kemarin bawa Zefara ke belakang sekolah." Sahut Dion.
"Jangan nuduh deh!" Sentak Nana.
"Gue gak nuduh, ini buktinya kenapa Zefara gak masuk masuk ke sekolah. Apa yang kalian perbuat padanya? Gak mungkin kalian bunuh Zefara kan?" Tuduh Dion.
"Lo keterlaluan Dion! Gak mungkin mereka bunuh Zefara, si gadis miskin itu." Timpal Brian, yang memang tak suka dengan Zefara.
"Lo diem!" Alex menatap Brian tajam, membuat pria itu terdiam dan sedikit takut.
Lalu matanya menatap ke arah Tasya kembali. "Jawab! Apa yang Lo lakuin sama Zefara." Bentak Alex geram.
"Sumpah, aku gak ngelakuin apapun sama dia. Memang kemarin aku nyuruh Nana buat panggil dia kebelakang sekolah setelah itu sudah aku menyuruhnya pulang dan sampai detik ini pun aku belum bertemu dengan dia. Kamu harus percaya sama ku Lex!" Kedua mata Tasya tampak berkaca-kaca.
Alex menghembuskan nafas kasar. "Jadi Lo gak mau ngaku?"
"Mengaku apa?"
"Oke! Kalau ada apa apa dengan Zefara habis Lo sama gue!" Alex pergi dari sana setelah mengatakan itu. Diikuti oleh Brian dan Dion.
"Sya ini gimana?" Tanya Nana panik.
"Gue juga gak tahu, kenapa sih Lo gak bilang kalau Dion lihat Lo saat Lo ajak Zefara kemarin." Tasya mengalahkan Nana.
"Yah mana gue tau bego." Sahut Nana kesal.
"Apa kita kerumah Zefara aja yah?" Ajak Lili, keduanya langsung mengangguk dan setuju. Setelah pulang sekolah nanti mereka bertiga akan kerumah Zefara.
••••
"Ibu, kak Fara pulang." Teriak Salma tersenyum senang, saat mobil berhenti di depan rumah mereka.
Salma bocah itu membantu Narti membawa tas milik Zefara. Sementara Narti membantu Zefara untuk berjalan, masuk ke dalam rumah mereka.
Marni sangat senang kalau anaknya sudah pulang dengan keadaan baik baik saja. Wanita tua itu sudah membuat minuman teh hangat dan cemilan ubi rebus.
"Ibu." Ucap Zefara memeluk ibunya dengan mata berkaca-kaca.
Marni mengelus pelan punggung gadis itu.
"Ibu baik?" Tanya Zefara sembari melepaskan pelukannya.
Marni mengangguk.
Salma mendekati keduanya dan memeluk Zefara.
"Aku kangen banget sama kakak!" Ucap Salma girang.
"Dimana Gilang?" Tanya Zefara saat tak melihat adik kecilnya.
"Dia lagi pergi diajak sama Reno." Jawab Marni.
"Loh Reno sudah pulang yah mbak?" Tanya Narti sumringah saat anaknya sudah pulang dari merantau.
"Ho'oh, kemarin dia pulang. Katanya mau kasih suprise buat kamu nar!" Tukas Marni tersenyum kecil.
"Ya ampun anak itu." Kekeh Narti.
"Makan dulu Narti, maaf hanya ini yang ada." Marni berkata pelan.
"Tak masalah mbak." Narti tersenyum manis.
Beberapa saat kemudian Narti pamit untuk pulang bersama anaknya yang sudah kembali.
"Fara." Panggil Reno tersenyum manis.
Zefara hanya tersenyum tipis dan mengangguk.
"Kalau gitu aku pulang dulu mbak. Jika perlu sesuatu mbak bisa hubungi aku saja yah." Ucap Narti pelan.
Narti dan anaknya pergi dari rumah Marni.
"Kamu bawa apa Gilang?" Tanya Salma, saat melihat adiknya membawa kresek putih.
"Tadi aku beli eskrim sama kak Reno, mbak." Jawab Gilang bocah 4 tahun itu.
"Aku boleh minta gak?" Salma terlihat ingin memakan eskrim milik adiknya.
"Boleh." Gilang membuka kresek itu dan mengambil eskrim satu untuk Salma.
"Makasih!" Bibir Salma tersenyum senang, dan memakan eskrim itu dengan adiknya.
"Kak Fara mau? Tadi kak Reno beli lima." Ucap Gilang.
"Kalian makan saja, kakak mau ke kamar dulu." Ucap gadis itu tersenyum lembut.
Marni hanya menatap punggung anak sulungnya dengan perasaan tak menentu.
"Banyak banget yah kak Reno beliin Gilang eskrim." Mandi mengelus pelan kepala anak bungsunya.
"Iya Bu, tadi aku bilang dua aja. Tapi di beliin sama kak Reno lima, katanya buat ibu, mbak, dan kakak."
"Kamu bilang terima kasih gak sama kak Reno?" Tanya Salma.
"Sudah mbak!"
Didalam kamar Zefara merenung akan nasib yang ia derita saat ini.
Zefara melirik ke arah tas sekolahnya yang sudah rapi di atas tempat tidurnya.
Zefara membukanya dan mengambil ponselnya. Lalu ia membukanya. Banyak sekali pesan dari teman kerjanya.
Gadis itu membacanya, dan yang membuat Zefara keringat dingin adalah pesan menohok dari atasannya tempat ia bekerja.
[Tak tahu terima kasih kamu! Sudah saya beri pekerjaan, tapi kamu bolos terus menerus. Emang kamu pikir cafe ini milik nenek mu apa? Saat ini juga saya tak ingin melihat wajahmu, kamu saya pecat!]
Begitulah kira kira isi pesan dari bosnya. Gadis itu hanya pasrah dan menarik nafas panjang.
Tok.. tok.. tok..
Ketukan pintu membuat lamunan Zefara buyar. Marni masuk kedalam kamar anaknya.
"Kamu baik baik saja?" Tanya Marni seakan mengerti dengan pikiran anaknya.
Zefara tersenyum manis, dan tak ingin membuang ibunya kesusahan.
"Aku baik Bu."
"Jangan bohongi ibu kenapa nak?" Marni seakan tahu isi hati anaknya.
"Beneran Bu, Fara gapapa."
Marni mengangguk dan mengelus pelan kepala anaknya.
"Ibu."
"Ehm, ada apa?"
"Kayaknya Fara di pecat sama bos."
"Loh kenapa?" Marni menatap anaknya lekat.
"Karena Fara lupa kasih tahunya kalau Fara sakit, jadi Fara di pecat." Wajah gadis itu tertunduk lesu.
Marni mengangguk. "Tak apa sayang, mungkin bukan rezeki kamu bekerja disana."
"Nanti Fara kerja dimana Bu?" Tanya gadis itu, padahal kerjaan itu di rekomendasikan oleh Narti.
"Jangan memikirkan kerjaan dulu nak, pikiran kesehatan kamu dulu. Jika kamu benar benar sehat, pasti ada saja kerjaan yang menerima kamu."
Zefara mengangguk dan memeluk ibunya dengan sayang. Mata gadis itu memerah.
"Maafin Fara Bu." Batinnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments
psyche
Kalo cerita seru kaya gini, aku mending baca terus daripada nonton drakor. 😄
2024-11-02
0
Ra Nurjana
sungguh mengharukan kan cerita nya
2025-01-17
0