Bagaimana mungkin aku melupakannya, jika cintaku padanya begitu dalam, terpatri dalam setiap hela nafasku yang tak henti? Bahkan di setiap langkah, bayangannya terus menari, dan namanya selalu terucap dalam doa-doaku yang sunyi. Dengan harap yang tak kunjung padam, aku memohon pada Tuhan—agar Dia mengabulkan doa ini, untuk kita bersatu dalam ikatan yang sah, selamanya, hingga waktu tak mampu memisahkan kita.
***
"Ada beberapa bagian yang perlu diperbaiki di sini. Miring sedikit. Nggak banyak kok, cuma beberapa," ucap Ala sambil menyerahkan tas-tas yang bermasalah.
Supervisor bagian sewing, seorang wanita dengan ciput merah muda dikepala yang menandakan perannya, mengangguk paham. Kedua matanya menyipit, mengamati hasil jahitan anak buahnya yang tampak asal-asalan, terutama di bagian logo.
"Apa yang jahit ganti?" tanya Ala.
"Iya, ini anak baru. Nanti saya tegur. Ada lagi yang perlu diperbaiki?" tanyanya dengan nada tenang, meski tampak sedikit kesal.
Ala menggeleng. "Belum ada, sementara hanya ini. Sepuluh tas," jawabnya sembari mencatat permasalahan tersebut pada daftar masalah line.
Sebagai Quality Control (QC), Ala dipercaya memegang satu line penuh, yang terdiri dari beberapa penjahit dengan tugas masing-masing. Ada yang bertanggung jawab membuang sisa benang, memeriksa bagian dalam, hingga tugas Ala di posisi akhir: memastikan setiap tas yang selesai dijahit memenuhi standar kualitas. Tas yang lolos pengecekan Ala akan melanjutkan ke tahap finishing dan packing.
Namun, pekerjaan ini tidak pernah mudah. Sebelum tas-tas tersebut masuk ke karton dan dikirim, masih ada proses pengecekan ulang di bagian gudang oleh QC khusus. Setiap detail harus sempurna. Itulah sebabnya, Ala sering merasa tekanan di pundaknya begitu berat.
Meski begitu, ia dikenal cekatan dan teliti. Hingga kini, ia belum pernah mendapatkan teguran yang fatal, hanya koreksi kecil yang wajar. Targetnya selalu tercapai, bahkan di tengah tekanan yang tinggi. Tak heran, dalam waktu tiga bulan masa percobaan, ia berhasil menjadi karyawan tetap.
"Kok numpuk, La?" suara Mbak Yuli, supervisor QC, membuyarkan konsentrasinya.
"Mbak, ini bagian logo banyak yang miring. Orangnya baru, entah kemana yang kemarin, aku belum sempat tanya. Ini yang sudah oke, dan sebelah sini yang perlu permak," jelas Ala, menunjukkan tas-tas yang sudah dipisahkannya dengan rapi.
Di sudut ruangan, Teh Winda, supervisor sewing, terlihat sibuk mengajari penjahit baru. Namun, hasil yang diharapkan tampaknya belum sesuai standar. Banyak tas yang harus dikembalikan karena kesalahan yang sama.
"Parah banget ya, astaga," gumam Mbak Yuli, memeriksa tas-tas tersebut. "Kalau ini sampai diekspor, bisa fatal."
Mbak Yuli pun menghampiri Teh Winda yang sedang menjahit bagian tersebut.
"Emang orang yang biasa di sini kemana, Win?" tanyanya pada Teh Winda.
"Izin melahirkan. Anak baru ini disuruh masuk malam sama Teh Nas," jawab Teh Winda, tak bisa menyembunyikan frustrasinya.
"Kalau gini, kasih bagian yang lebih gampang aja ke anak baru, Win. Logo serahkan ke yang udah pengalaman," saran Mbak Yuli tegas.
Teh Winda mengangguk dan mencari pengganti, tapi orang yang diharapkan tak ada di tempat. Ia kembali ke line dengan wajah penuh kekhawatiran.
Tak lama, Teh Nas, kepala sewing yang memegang semua line di gedung delapan, melihat kerumunan di area tersebut. Dengan langkah tegas, ia mendekat, memperhatikan setiap detail. Di wajahnya, terpancar ketenangan seorang pemimpin yang siap menangani masalah.
Ala hanya bisa menghela napas. Hari ini adalah hari yang panjang, namun ia tahu, tak ada ruang untuk kesalahan dalam pekerjaannya. Baginya, tanggung jawab adalah prioritas, meski terkadang menguras tenaga, air mata dan pikiran.
Di pabrik besar itu, ada sepuluh gedung yang masing-masing memproduksi tas dengan jenis berbeda. Setiap gedung memiliki bagiannya sendiri, dengan jumlah line yang bervariasi. Beberapa gedung bahkan memiliki lebih dari dua puluh line. Namun, Gedung 8 masih baru. Hanya ada lima line di sana, karena sebelumnya gedung itu digunakan untuk memperbaiki tas yang bermasalah ketika hendak ekspor atau biasa disebut permakan. Dengan melonjaknya permintaan tas terbaru, gedung ini akhirnya dialihkan untuk produksi penuh.
"Ada apa ini, Win?" suara tegas Teh Nas memecah ketegangan di line Winda.
Ia menatap para penjahit satu per satu. Wajah-wajah mereka memucat, menunduk, menghindari kontak mata dengan sosok pemimpin yang dikenal tegas namun adil itu.
"Teh Nas kasih orang baru ke saya, jadi bikin pusing," keluh Teh Winda tanpa menatap langsung Teh Nas. Tangannya sibuk menjahit logo untuk menggantikan hasil kerja yang bermasalah.
"Ini, Teh Nas," ujar Mbak Yuli sambil menyerahkan beberapa tas dengan logo miring yang sudah dipisahkan Ala sebelumnya.
Teh Nas mengambil tas-tas itu dan memeriksanya. "Astaga, kok bisa miring-miring begini? Apa yang tadi saya ajarkan, kau nggak mengerti?" Suaranya terdengar pelan, namun penuh tekanan. Gadis penjahit yang bertanggung jawab hanya bisa menunduk ketakutan, tak mampu menjawab.
Ala menyaksikan kejadian itu dari tempatnya berdiri. Pemandangan itu seolah menariknya kembali ke masa lalu, ketika ia pertama kali bekerja di pabrik makanan. Saat itu, ia sering menahan gejolak kesedihan, berusaha kuat menghadapi teguran dari para senior. Dunia pabrik memang keras, dan hanya mereka yang mentalnya kuat yang mampu bertahan.
"Lagi ngapain, La?" suara Laras, sahabat sekaligus rekan kerjanya, memecah lamunannya.
Laras kebetulan bertugas di line 5, memeriksa bagian dalam tas. Di setiap line, biasanya ada dua hingga tiga QC. Satu memeriksa bagian dalam, satu bagian luar, dan satu lagi untuk mengecek jarum patah itu namanya tahap HD.
"Logonya miring," jawab Ala singkat.
"Terus ngapain lo bengong? Bantuin gue, kek!" Laras mengambil botol kopi milik Ala.
Mereka sering berbagi botol saat bekerja, terutama saat shift malam seperti ini. Ala selalu membawa botol tahan panas berisi kopi hitam untuk menjaga matanya tetap terjaga.
"Lo nggak lihat gue kerja? Melek apa!" balas Ala dengan nada setengah kesal.
Laras terkekeh, sudah terbiasa mendengar nada pedas Ala. Justru sifat itu yang membuat banyak orang suka berteman dengannya. Ala adalah sosok yang santai, tak mudah marah, dan selalu jujur apa adanya.
"Eh, lo nggak lihat tuh, dari tadi Agung benerin mesin sambil curi-curi pandang ke lo," bisik Laras sambil terkekeh lagi.
Ala hanya mendengus. "Bodo amat!"
"La, dipanggil tuh," ujar Vina, rekan satu line Ala yang memeriksa bagian dalam tas. Ia menunjuk dengan lirikan mata ke arah Agung, yang memberi kode supaya Ala mendekat.
Dengan langkah santai, Ala mendekati Agung. Kerjaan memang sedang santai, jadi ia merasa tak ada salahnya menuruti permintaan itu.
"Kopi sama camilan buat kamu, biar nggak ngantuk," ujar Agung sambil menyerahkan paper cup kopi dan sebungkus kacang.
"Gue bawa kopi sendiri," balas Ala, mengangkat botol kopinya.
"Kan beda kopinya. Sekali aja, diminum ya," pinta Agung dengan nada memohon.
Ala akhirnya menerima pemberian itu. "Iya, iya, gue minum. Makasih ya, Gung," ucapnya sambil tersenyum tipis.
Agung tersenyum lega. Di balik sikap santai Ala, ada pesona yang membuat pria itu terus berusaha mendekat. Sementara itu, Laras hanya memandang dari jauh, menahan tawa melihat interaksi kecil yang penuh makna itu.
Agung selalu gemas melihat Ala, apalagi saat ia tersenyum. Tapi sayangnya, senyum itu jarang terlihat. Ala dijuluki gadis es karena sikapnya yang dingin. Bahkan senyum tipis yang tadi dilemparkan terasa begitu pelit.
"Sama-sama, La," ujar Agung dengan suara rendah, menyembunyikan rasa kagumnya.
Ala kembali ke meja linenya. Paper cup pemberian Agung ia letakkan di kotak kecil di bawah meja, lalu melanjutkan pekerjaannya. Situasi kini jauh lebih kondusif setelah orang yang menjahit logo tadi diganti. Target hari ini pun mulai terlihat memungkinkan untuk dicapai.
Babak ketiga berjalan lancar. Jika sebelumnya, di babak pertama dan kedua mereka hanya berhasil menyelesaikan sepuluh tas, kini target harian hampir terpenuhi.
*
Lima menit sebelum jam pulang, semua orang mulai merapikan tempat kerja mereka. Bagian QC mengumpulkan laporan yang telah diisi. Ala mengambil tas kecilnya yang berisi ponsel dan bersiap untuk absen pulang.
"La, sarapan bareng yuk," suara Adam terdengar begitu hangat ketika ia menunggu Ala di luar gedung.
Ala, yang baru saja selesai absen, sedikit terkejut melihat Adam sudah berdiri di sana. Belum sempat ia merespons, matanya menangkap tatapan Agung yang penuh rasa tidak suka dari kejauhan.
"Makan apa emang?" tanya Ala akhirnya.
"Lo maunya apa?" balas Adam cepat.
"Gue biasanya cuma ngopi sama makan roti atau gorengan," jawab Ala tanpa banyak pikir.
"Perih itu lambung, La, kalau pagi-pagi cuma ngopi doang," ujar Adam dengan nada khawatir.
"Udah biasa. Mau bagaimana lagi?" Ala mengambil ponselnya, mengecek pesan yang baru masuk.
"Lo masuk pagi, kan?" Ala mengingatkan.
"Lho, emang lo masuk apa?" balas Adam santai.
"Malem!" jawab Ala sambil tertawa kecil.
Tanpa berkata lagi, Ala mulai melangkah pergi. Ia merasa canggung karena beberapa orang melirik mereka di dekat pintu masuk gedung delapan. Tapi langkahnya terhenti ketika Adam berkata, "Sore jalan-jalan, ya."
Ala hanya mengangkat bahunya tanpa menoleh. Ia malas memberi tanggapan karena sedang tak ingin terlalu dekat dengan siapa pun.
Saat keluar dari gerbang pabrik, matanya menangkap sepasang kekasih berboncengan dengan sepeda mini. Pemandangan itu membuat bibirnya membentuk senyuman tipis. Tanpa sadar, senyum itu membuat Agung yang berdiri tak jauh darinya terpesona.
"Romantis, dulu gue juga gitu," batin Ala.
Sepasang kekasih itu mengingatkannya pada Brian. Kenangan manis mereka saat bersepeda bersama kembali menyeruak. Dulu, Ala selalu duduk di belakang, menikmati hembusan udara sore yang terasa menenangkan. Sesederhana itu, tapi terasa begitu romantis. Jika orang lain memilih jalan-jalan naik motor, Ala dan Brian lebih suka naik sepeda, meskipun tak pernah pergi jauh.
"Semua itu cuma tinggal kenangan. Nggak akan pernah bisa diulang lagi." Ala menghela napas panjang, melangkah perlahan menuju kostnya. "Maaf, Brian. Sampai detik ini gue masih punya perasaan sama lo. Sejauh apa pun gue pergi buat lupain lo, kenangan itu selalu datang lagi."
Langkah Ala terasa berat. Perasaan yang selama ini ia pendam, semakin menghantuinya di tengah keheningan.
Bersambung
Ada nggak sih yang gamon seperti Ala ini?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments