Aku melepaskan semua yang aku inginkan demi memberi waktu untukmu. Melewati hari demi hari bersamamu, hingga hanya ada kamu dalam hidupku. Cinta ini telah habis untukmu, sampai logikaku tidak berjalan. Semua tentangmu, bahkan ketika luka itu kau goreskan, pun tak membuat setetes air mata jatuh. Aku hanya tersenyum, menahan perih, sebab aku terlalu takut kehilanganmu.
Semesta tak berpihak pada kita. Tawa mereka yang tidak menyukai hubungan ini terdengar saat aku berhasil menjauh darimu.
Menunggu dua tahun untuk benar-benar pergi ke tempat di mana orang lain tak mengenaliku terasa seperti ribuan tahun lamanya. Itu cara agar aku bisa sembuh dari luka yang kau torehkan, untuk melupakan segala kenangan indah yang pernah kita lewati.
***
Ala menghentikan jemarinya yang gemetar. Teks yang sedang ia tulis berhenti pada satu titik—seperti hatinya, terhenti di masa lalu yang tak kunjung pudar. Menuliskan kisah tentang Brian hanyalah cara lain untuk melukai dirinya sendiri, membuka kembali luka yang sempat sembuh meski dengan bekas yang dalam. Ia memilih keluar dari aplikasi itu, menutup kisah yang tak pernah rampung, lalu membuka akun media sosial.
Ia mengetikkan nama itu—Brian.
Hanya dengan melihat foto terbarunya, hatinya kembali remuk.
[Bahagia selalu ya.]
Sebuah caption singkat, namun cukup untuk menorehkan luka yang lebih dalam dari waktu-waktu sebelumnya. Foto itu berbicara banyak—lebih dari yang sanggup diungkapkan kata-kata. Brian, pria yang pernah menjadi dunianya, kini berdiri di sisi perempuan lain. Seorang perempuan yang sempurna dalam segala hal; cantik, anggun, dan terlihat sangat cocok dengannya.
Brian memasangkan cincin pada jari perempuan itu, senyumnya begitu tulus—senyum yang dulu ia kira miliknya seutuhnya. Ala menggigit bibir, mencoba meredam perasaan yang seolah ingin tumpah. Semua nyata. Brian telah menggantikan posisinya.
Ala memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam. Untuk apa mencari yang sudah tak peduli? pikirnya. Menutup aplikasi itu adalah jalan terbaik, meskipun hatinya terusik oleh bayangan pria itu.
"Move on dong, La. Dia aja bisa, masa kamu enggak?" bisiknya pada diri sendiri, memandang pantulan wajahnya di layar ponsel.
Sebuah senyum getir muncul di bibirnya. "Tapi... siapa yang mau nerima aku apa adanya?"
Tak ada air mata yang jatuh kali ini. Hatinya sudah terlalu sering terluka, mungkin kini ia bahkan tak mampu menangis lagi. Brian adalah masa lalunya—cinta pertamanya, satu-satunya yang ia cintai sepenuh hati. Meski ia sadar, ia bukan cinta pertama Brian. Namun, cintanya terlalu besar untuk mengukur perbedaan itu.
Jika saja waktu bisa diulang, jika ego tak mendominasi mereka saat itu, mungkinkah mereka masih bersama? Tapi mereka hanyalah dua remaja lima belas tahun yang sama-sama keras kepala. Waktu itu, cinta terasa segalanya, namun tidak cukup bijaksana.
Kini, hanya kenangan yang tertinggal. Semua pengorbanan yang pernah ia lakukan, semua tawa dan tangis yang pernah ia bagi dengannya—semua terasa sia-sia. Ala pernah buta oleh cinta, bertahan meski tahu Brian sering kali melukai kepercayaannya.
"Ck, gue aja yang terlalu bodoh! Udah belasan tahun masih aja nyimpen perasaan itu!"
Ala mencoba melarikan diri dari kenyataan, membuka novel online untuk mengalihkan pikirannya. Namun setiap kata, setiap kisah yang ia baca, seperti memantulkan luka yang sama. Semakin ia mencoba melupakan, semakin tajam perasaan itu menyayatnya.
Ia mendesah panjang. Dalam kesunyian malam, ia hanya bisa berbisik pada dirinya sendiri, Apakah Tuhan melarangku bahagia?
Membaca adalah pelarian terbaik Ala. Di sana, ia menemukan ketenangan yang tak bisa diberikan oleh dunia nyata. Menulis membuatnya mampu mengungkapkan seluruh isi hatinya tanpa perlu berbagi dengan siapa pun. Namun, malam ini, kata-kata hanya meninggalkan kekosongan yang semakin melebar.
"Nggak mood juga! Kenapa malah jadi kepikiran begini sih?" gumamnya kesal sambil meletakkan gawai begitu saja.
Pikirannya masih kacau, terseret ke masa lalu yang seharusnya telah ia kubur. Jika saja ia tidak kepo dengan akun media sosial Brian, mungkin semuanya akan baik-baik saja. Tapi, rasa ingin tahu selalu menjadi jebakan yang kejam.
Ala memejamkan mata, mencoba mencari ketenangan. Sebentar lagi, ia harus bekerja shift malam. Ia harus segar, atau risiko kena omelan akan membayanginya. Di pabrik tas tempat ia bekerja, tugasnya tampak sederhana—memeriksa tas yang baru selesai dijahit. Tapi, satu kesalahan fatal saja yang lolos, maka namanya yang akan disebut saat ada masalah di proses berikutnya.
Pikirannya melayang jauh. Tujuh tahun sudah ia bekerja sejak usia delapan belas, berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Ia pergi merantau dengan harapan besar, meninggalkan semua yang berhubungan dengan Brian—nama yang terus bergaung di hatinya meski waktu berlalu.
Getaran panjang dari gawai membuyarkan lamunannya. Nama si penelepon muncul di layar, tapi Ala hanya menatapnya malas. Ia tahu kebiasaannya, lebih suka menunggu pesan daripada mengangkat telepon. Jika benar penting, si penelepon pasti akan meninggalkan pesan.
[La, masuk apa? Aku jemput ya?]
Pesan itu dibiarkan menggantung. Ala memutuskan memasang headset dan memutar lagu dari band favoritnya. Melodi yang akrab itu menelusup ke hatinya, membawa kembali kenangan yang berusaha ia tinggalkan.
"14 hari aku mencari dirimu, untuk menanyakan di manakah dirimu..."
Hati Ala berdenyut nyeri. Lagu itu adalah saksi bisu perjuangannya mencari jawaban di tengah badai masalah dengan Brian. Ia pernah berdiri di depan rumah pria itu, dengan hati penuh luka dan harapan yang setengah pudar, hanya untuk memastikan jika semuanya baik-baik saja.
Namun, atas nama cinta, ia memaafkan segalanya. Brian adalah dunianya. Meski kata-kata tajam orang-orang menyayat, ia tetap bertahan, yakin bahwa Brian pada akhirnya akan memilihnya. Tapi cinta yang ia kira abadi, perlahan mengikis dirinya sendiri.
"Ini terlalu sakit, Tuhan!" desahnya, memukul dadanya pelan, mencoba mengusir sesak yang mengikat.
Dengan tangan gemetar, ia membuka botol minyak kayu putih, menghirup aromanya dalam-dalam untuk meredakan gemuruh di dadanya. Air matanya jatuh perlahan, membasahi pipi yang mulai memerah.
Ketukan di pintu memaksanya kembali ke kenyataan. "La, tidur ya?" suara akrab itu memanggil.
Ala cepat-cepat menyeka air mata, mencoba terlihat baik-baik saja. Ia membuka pintu, mendapati Laras berdiri dengan wajah khawatir.
"Lo nangis?" tanya Laras, matanya tak lepas dari wajah Ala yang masih basah.
Ala menggeleng pelan, memberi ruang agar Laras bisa masuk. Namun, sahabatnya itu tak mudah dibodohi.
"Bohong! Cerita sama gue sekarang! Kita udah kenal hampir tujuh tahun, La!" Laras menatap tajam, melihat jejak yang tak bisa disembunyikan.
Ala tersenyum kecil, getir. Di depan Laras, semua pertahanan hatinya runtuh. Tapi, bisakah ia membagikan semua luka yang telah ia simpan rapat selama ini?
Ala memaksakan sebuah senyuman tipis. Ada kehangatan dalam perhatian Laras, tapi kehangatan itu justru memunculkan keinginan untuk menangis lagi. Ia menahannya—tidak ingin terlihat rapuh di depan siapa pun.
"Nggak apa-apa. Tadi cuma baca novel, kebetulan ceritanya sedih, jadi nangis," jawab Ala pelan, mencoba terdengar wajar.
"Serius?" Laras menatap dalam, mencoba mencari kebenaran di mata sahabatnya. Ia tahu, ada sesuatu yang lebih dari sekadar novel.
Sedikit kecewa, Laras merasa Ala selalu menyimpan banyak hal untuk dirinya sendiri. Bahkan ketika menceritakan cinta pertamanya, kisah itu hanya berupa fragmen yang samar—tanpa alasan jelas di balik perpisahan mereka.
"La, kita hidup jauh dari keluarga, berjuang buat cari rezeki di tempat asing ini. Gue tahu gue cuma sahabat lo, tapi gue sahabat terdekat lo. Gue ngerti, lo susah percaya sama orang baru, mungkin juga karena sifat lo yang misterius. Tapi gue minta, terbukalah sama gue. Kalau ada apa-apa, gue bisa bantu, kayak lo selalu bantuin gue."
Laras menggenggam tangan Ala yang terasa dingin dan basah. Kekhawatiran jelas terlihat di wajahnya.
"Lo sakit?" tanyanya, suaranya mengandung nada cemas.
"Nggak, gue baik-baik aja. Udah nggak ada apa-apa kok," jawab Ala cepat, menutupi kegundahan dalam dirinya. Ia bangkit dari duduknya dan berjalan menuju teko listrik. "Mau kopi, susu, atau teh?" tanyanya sambil meracik minuman, mencoba mengalihkan perhatian Laras.
Laras menghela napas, tahu bahwa Ala masih menutup diri. "Kopi aja. Oh iya, gue kesini mau kasih ini!" Ia akhirnya ingat membawa sesuatu dan meletakkan sebuah paper bag di meja.
Ala mengambil dua cangkir, menuang kopi hitam pekat sesuai seleranya. Ia selalu menyediakan bubuk kopi sachet, supaya bisa menakar gulanya sendiri.
"Apa itu?" tanyanya penasaran.
"Dari Adam! Tadi dia ke kontrakan gue, katanya lo nggak angkat telepon. WA juga nggak dibalas. Dia pikir lo tidur, jadi nitip ini ke gue," jelas Laras sambil menatap Ala penuh prihatin.
Ala membuka paper bag itu. Di dalamnya, ada cokelat dan camilan kesukaannya. Gadis itu mengeluarkan semuanya, lalu membagi sebagian kepada Laras.
"Iya, gue lagi nggak mau diganggu," jawab Ala santai, berusaha menyembunyikan perasaan yang berkecamuk.
"Sampai kapan lo kayak gini, La? Sampai kapan lo buka hati? Agung sama Adam itu orang baik. Gue yakin salah satu dari mereka pantas buat lo. Tinggal lo pilih." Laras menatap Ala, nada khawatir terdengar jelas dalam suaranya.
Ala menghentikan tangannya yang sedang memegang cangkir kopi. Ia menarik napas panjang, lalu menatap Laras dengan mata yang sendu.
"Sampai gue bener-bener lelah menunggu seseorang. Kalau Tuhan nggak mempertemukan kami lagi, mungkin baru saat itu gue bakal buka hati ini untuk orang lain."
Laras terdiam. Ada keteguhan dalam nada suara Ala, tapi juga luka yang begitu dalam. Ala kembali meracik kopi dicangkir dan Laras pun membiarkan Ala yang sibuk. Tidak mau memaksa soal hati.
Ala tenggelam dalam pikirannya, mengenang semua yang telah berlalu. Hingga tidak sadar jika teko itu berbunyi dan Ala segera mematikannya. Menuang air kedalam cangkir berisi kopi. Ingin rasanya menyendiri sejenak tapi Ala tidak mungkin mengusir Laras saat ini. Biarlah dia menemani sampai jam kerja itu tiba.
Jangan pernah menyia-nyiakan seseorang yang mencintaimu dengan tulus. Karena saat dia pergi, kepergiannya akan meninggalkan bekas yang tak pernah hilang. Bekas yang hanya waktu, jika berkenan, mampu menyembuhkannya.
Bersambung...
"Melupakan seseorang yang kita sayang dengan tulus itu memang tidak mudah. Meskipun sudah bertahun lamanya."
Jadi bukan karena Ala ini murahan, tapi banyak hal yang belum bisa membuat Ala move on.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments