NovelToon NovelToon

Setelah 14 Tahun Berpisah

Bab 1. Jomblo Terus

Wajah Ala mulai menunjukkan kebosanan. Satu tangan menopang dagu, sementara tangan lainnya mencoret-coret buku, membuat pola abstrak untuk mengusir rasa jenuh. Namun, kebosanan itu tetap tak hilang. Sesekali, pandangannya melirik ke arah dinding kaca yang berembun, mengaburkan pemandangan di luar.

Suara hujan deras masih terdengar, mengguyur kota Bekasi siang ini. Entah sampai kapan hujan akan reda. Sudah hampir satu jam Ala terjebak di sebuah kafe yang terlalu ramai untuk seleranya. Kalau bukan karena Laras, sahabatnya yang duduk di hadapannya, Ala pasti sudah memilih pergi dari tempat itu.

Ala memang tidak suka keramaian dan kebisingan. Suara pengunjung yang berbicara terlalu keras, ditambah gemuruh hujan dan alunan musik, membuat suasana kafe semakin tak tertahankan baginya. Ia ingin sekali segera pergi.

"Mau nambah kopi?" tanya Laras.

Ala menggeleng.

"Makan?"

Lagi-lagi, jawaban Ala hanya sebuah gelengan. Laras mulai serba salah.

"Gue udah pesan ojol, tapi belum ada yang nyangkut. Mungkin karena hujan. Sabar ya, bentar lagi reda, kita langsung pulang," ujar Laras, mencoba menenangkan.

Ala mendesah pelan. Ia lebih suka berada di toko buku atau membaca novel daripada harus duduk lama-lama di kafe seperti ini. Sialnya, novel yang sedang ia baca tertinggal di kost, dan gawainya mati kehabisan baterai. Rasanya waktu berjalan sangat lambat.

"Ck, lo tuh ngeselin! Kalau bukan karena sahabat gue, ogah deh gue ke sini. Sekarang, mana tuh cowok yang lo bilang mau ketemuan?" Ala melotot kesal, menumpahkan jengkel yang sudah menumpuk sejak tadi.

Laras menghela napas panjang sambil menyibakkan rambut panjangnya. Ada rasa sesal di hatinya. Ia sudah repot-repot datang, tapi laki-laki yang ia kenal lewat media sosial justru tidak muncul.

"Sabar, mungkin dia kejebak hujan. Tadi kan kita datang, langsung hujan turun," ucap Laras, mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa laki-laki itu pasti punya alasan.

"Halah, kurang sabar apa lagi? Buang-buang waktu aja nungguin cowok nggak jelas kayak gitu," gerutu Ala.

"Ck, lo tuh nggak asyik banget! Pantes aja jomblo!" ledek Laras, berusaha mencairkan suasana.

Ala yang kesal spontan melempar pulpen ke arah Laras. Sayangnya, pulpen itu jatuh ke lantai. Laras mengambilnya dan meletakkannya kembali di atas meja. Ia hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala, heran dengan sahabatnya yang masih betah jomblo meskipun ada banyak laki-laki yang mendekatinya.

Namun, Laras tidak tahu alasan di balik keputusan Ala untuk terus sendiri. Ia tak pernah mendengar cerita tentang cinta pertama Ala yang berakhir pahit saat SMA.

Alaish Karenina, atau yang akrab dipanggil Ala, adalah gadis berusia dua puluh sembilan tahun yang selalu mendapat label jomblo ngenes. Bahkan, rumor miring sempat beredar bahwa ia menyukai sesama jenis. Semua itu bermula karena Ala sering menghindar dari laki-laki yang mencoba mendekatinya. Pernah suatu waktu, demi menghapus rumor tersebut, Ala menjalin hubungan dengan seorang pria. Namun, hubungan itu tak bertahan lama.

“Heh, gue pernah pacaran, ya! Kalau lo lupa,” ucap Ala dengan nada defensif.

"Lima tahun yang lalu, La! Itu udah lama banget! Lo tuh nggak niat nikah apa?" Laras membalas dengan gemas.

Laras, teman kerja Ala sekaligus sahabat dekatnya, tahu betul bagaimana Ala. Mereka bekerja di gedung dan bagian yang sama. Selama bertahun-tahun mengenal, Laras hanya sekali melihat Ala memiliki pacar. Itu pun tidak bertahan lama. Alasannya sederhana: Ala merasa laki-laki itu hanya memanfaatkan dirinya secara finansial. Sejak itu, Ala tidak lagi mau membuka hatinya.

Sementara Laras sendiri sudah menikah dan memiliki dua anak, satu laki-laki dan satu perempuan. Kini, ia mencoba membantu Ala mendapatkan pasangan. Rencananya, Laras ingin menjodohkan Ala dengan teman lamanya. Namun, Laras memutuskan untuk tidak blak-blakan. Ia bilang kepada Ala bahwa laki-laki yang akan mereka temui hari ini adalah kenalan dari media sosial yang suka membaca novel dan juga seorang penulis. Dengan harapan mereka bisa "nyambung," Laras berhasil membujuk Ala untuk ikut ke kafe.

Namun, setelah satu jam menunggu, laki-laki itu tak kunjung datang. Laras mulai gelisah. Ia takut rencananya gagal. Meski begitu, ia tetap berharap semua ini demi kebaikan Ala.

"Coba deh feminim dikit," ujar Laras sambil memindai penampilan Ala yang apa adanya, bahkan cenderung tomboi.

Ala hanya mendengus. Laras memang sering mengkritik gaya Ala yang sederhana dan tanpa basa-basi. Bahkan, sikapnya yang terlalu blak-blakan sering membuat orang menjauh. Kalau tidak suka seseorang, Ala tak segan melontarkan kata-kata pedas. Lebih parahnya, ketika ada orang baru yang mencoba mendekatinya, Ala bisa mendadak seperti orang yang tidak bisa bicara.

“Kalau sayang bakal terima gue apa adanya. Bukan malah nyuruh gue berubah!” Ala menjawab singkat, bosan dengan pembahasan ini.

Saat hujan mulai reda, Ala memutuskan pergi meninggalkan kafe tanpa menunggu Laras. Dengan langkah cepat, ia menuju halte bus terdekat.

Laras hanya bisa menghela napas panjang sambil menggeleng pelan. Kalau Ala sudah ngambek, lebih baik dibiarkan sendiri dulu. Ia memilih tetap menunggu laki-laki yang seharusnya datang. Apalagi Laras punya rencana cadangan: teman lamanya yang juga semasa sekolah dulu akan datang ke kafe ini. Ia sudah sering menceritakan Ala kepada temannya itu, dan berharap mungkin mereka bisa cocok. Teman Laras juga seorang introvert, sama seperti Ala.

Di halte bus, Ala berdiri menunggu bus yang tak kunjung datang. gawainya mati, dan ia lupa meminta Laras memesan ojol untuknya. Ia merasa ragu ingin kembali ke kafe. Ala tahu dirinya sedang dalam mode ngambek, dan ia lebih memilih menyendiri.

"Kenapa, sih, gue nggak pernah nemu yang cocok? Sampai kapan begini terus?" gumamnya lirih sambil memandangi jalanan yang masih basah oleh sisa hujan.

Bus tiba bersamaan dengan hujan yang kembali turun. Ala naik dengan langkah pelan, memilih duduk di dekat jendela. Ia menarik tudung hoodie-nya, menyembunyikan sebagian wajah, lalu memasukkan kedua tangan ke dalam kantong hoodie. Pandangannya kosong menatap keluar, menembus tetesan hujan yang mengalir di kaca jendela. Pemandangan itu membawa ingatannya pada masa beberapa tahun lalu—masa yang tak pernah bisa ia lupakan.

Kala itu, Ala masih duduk di bangku kelas satu SMA. Momen spesial pertama dalam hidupnya, ketika ia pergi bersama seorang laki-laki. Mereka naik bus menuju sebuah taman. Untuk seseorang seperti Ala yang jarang bepergian, ini adalah pengalaman baru. Biasanya, ia lebih memilih diam di rumah, malas berinteraksi dengan dunia luar. Namun, kehadiran laki-laki itu mengubah kebiasaannya.

Di taman yang ramai itu, Ala merasakan kebahagiaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Meski suasana bising dan kerumunan menguras energinya, ia tak peduli. Ia berjalan bergandengan tangan dengan laki-laki itu, layaknya sepasang kekasih.

"Sayang nggak sama aku?" tanya laki-laki itu sambil tersenyum.

Ala hanya mengangguk pelan, wajahnya memerah karena malu. Ia terlalu gugup untuk mengungkapkan perasaannya dengan kata-kata.

Namun, saat mengingat kenangan itu, hati Ala terasa sakit. Kebahagiaan yang sempat ia rasakan seolah hanya ilusi. Dunia sepertinya tak pernah berpihak padanya. Ketika kebahagiaan datang, kesedihan selalu menyusul, seolah tak mengizinkan Ala menikmati momen itu terlalu lama. Hubungan mereka penuh lika-liku. Ala harus melalui banyak rintangan, seringkali sendirian.

“Lo di mana sekarang? Masih hidup nggak, sih? Atau lo udah nyakitin banyak cewek lain sekarang?” batin Ala pahit.

Kenangan tentang pengkhianatan laki-laki itu kembali menyiksa. Ia teringat bagaimana ia memergoki laki-laki itu bersama perempuan lain yang jauh lebih cantik darinya. Meski hatinya hancur, Ala tetap bertahan, berharap laki-laki itu akan berubah. Tapi, kepercayaan itu hilang seiring waktu, dan luka di hatinya semakin dalam.

Keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya. Dadanya terasa sesak, seperti ada beban berat yang menekan. Ala mencoba menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan, berusaha menenangkan diri. Jemarinya diremas kuat, berharap rasa sakit itu mereda. Tapi rasa benci, marah, dan cemas terus menggerogoti.

Di balik wajahnya yang selalu tampak tenang, tak ada seorang pun yang tahu kondisi Ala yang sebenarnya. Ia selalu berusaha menunjukkan kepada dunia bahwa ia baik-baik saja, bahkan kepada Laras, sahabat terdekatnya. Kisah cinta pertamanya hanya tersimpan rapat di sudut hatinya, tak pernah ia bagi kepada siapa pun. Bagi Ala, setiap hubungan, bahkan persahabatan, harus punya batasan. Tidak semua orang berhak tahu sisi paling rapuh dalam dirinya.

"Sesayang itu gue sama lo, tapi lo malah sia-siain. Perjuangan gue mungkin nggak pernah lo anggep ya," gumamnya lirih.

Ala memejamkan mata, berharap bisa mengusir bayangan masa lalu. Tapi sebaliknya, kenangan itu justru semakin nyata. Ingatan tentang laki-laki yang pernah ia cintai sepenuh hati kembali menghantui. Padahal, ia sudah berusaha melupakan. Ia bahkan rela meninggalkan tanah kelahirannya demi menyembuhkan luka itu.

Ketulusan Ala, yang selalu melihat hati seseorang dan bukan penampilan fisiknya, ternyata menjadi pedang yang melukai dirinya sendiri. Pengkhianatan itu meninggalkan luka yang begitu dalam, hingga ia sulit untuk membuka hati lagi.

Sejak saat itu, Ala tak pernah benar-benar nyaman dengan laki-laki yang mencoba mendekatinya. Cinta pertama yang pernah ia perjuangkan habis-habisan kini menjadi bayang-bayang yang terus menghantui, menghalanginya untuk memulai kembali.

Bersambung....

Selamat membaca ya, mohon beri dukungan dengan cara like, komen, subscribe yaa biar penulis semakin semangat nulisnya. Terima kasih ...

Bab 2. Patah Hati

Aku pernah mencintai terlalu dalam,

hingga logika hilang ditelan perasaan.

Ketulusan yang kuberikan,

ternyata tak cukup untuk membuatku bahagia.

Dikecewakan oleh dia,

yang hanya menjadikanku pelampiasan sementara,

seperti bayangan yang berlalu,

membekas tanpa pernah memberi arti.

Namun dari luka ini aku belajar,

bahwa cinta sejati tak seharusnya mengorbankan diri,

dan kebahagiaan tak datang dari harapan pada yang salah.

🍁🍁🍁

"Datang ke sini, gue lihat cowok lo jalan sama cewek lain. Cepetan, jangan lama-lama!"

Ala membaca pesan yang baru saja dikirim oleh sahabat dekatnya, seseorang yang juga pacar dari teman Brian, kekasih Ala. Tubuhnya mendadak tegang, tapi tanpa berpikir panjang, dia segera bergegas menuju rumah Brian untuk memastikan kebenaran kabar itu.

Dengan jantung berdebar seolah genderang perang ditabuh, Ala mengayuh sepeda mininya secepat mungkin. Sepeda itu telah menjadi saksi bisu perjalanan cinta Ala—perjuangannya demi Brian, laki-laki yang ia cintai sepenuh hati.

Meski tahu akan dimarahi kedua orang tuanya karena pergi tanpa izin, Ala tidak peduli. Teriknya matahari siang juga tak mampu menyurutkan tekadnya untuk bertemu Brian. Bagi Ala, Brian adalah cinta pertamanya, meski hubungan mereka penuh lika-liku.

"Kamu di mana?"

Pesan singkat itu Ala kirimkan kepada Brian, namun tidak ada balasan. Sesampainya di dekat rumah Brian, dia menitipkan sepeda mininya di rumah tetangga. Jalan menuju rumah Brian memang menanjak, dan Ala sudah terbiasa menitipkan sepedanya di sana.

Ala mencoba menghubungi Brian berkali-kali, tapi panggilannya tak pernah diangkat. Dengan perasaan campur aduk, dia terus melangkah menuju rumah kekasihnya.

"Brian lagi pergi, nggak tahu ke mana. Coba aja hubungi lagi," ujar ibu Brian saat Ala tiba.

Patah semangat, Ala berjalan dengan langkah gontai menuju rumah seorang teman dekat Brian. Di sana, dia melihat seorang perempuan duduk di teras, memangku bayi mungil yang sedang terlelap.

"Eh, Ala. Kok sendiri? Mana Brian?" tanya perempuan itu ramah.

Ala hanya menggeleng lemah, lalu duduk di sebelahnya. Matanya menatap bayi kecil yang tampak begitu damai dalam tidurnya.

"Mbak pasti tahu di mana Brian, kan? Tolong bilang, dia sekarang ada di mana dan sama siapa?" tanya Ala dengan suara tegas, penuh tuntutan.

Perempuan itu tersenyum lembut. "Kontrol emosi kamu dulu, La. Sabar ya. Brian mungkin sedang khilaf. Mbak yakin dia masih sayang sama kamu."

Alih-alih merasa tenang, kata-kata itu justru membuat hati Ala terasa nyeri. Bagaimana mungkin Brian, yang selama ini ia percayai, tega mendua?

Hati Ala hancur, namun tidak ada air mata yang tumpah. Dia hanya membuka ponselnya, yang sedari tadi erat digenggam.

Pesan dari Mia, sahabat dekat Ala, membuat emosinya semakin memuncak. Rupanya, sudah banyak orang tahu tentang hubungan Brian dengan gadis lain. Hanya Ala yang tidak tahu apa-apa, seperti gadis bodoh yang dibohongi tanpa henti.

"Gue lihat Brian ciuman di tepi sungai. Ceweknya cantik banget. Tinggi, putih bersih kayak model."

Ternyata, menjadi tulus itu menyakitkan. Semua perjuangan Ala untuk Brian seakan tidak ada artinya. Brian telah menorehkan luka yang terlalu dalam di hati gadis itu. Namun, Ala sudah cukup kuat untuk tidak menangis lagi. Air matanya telah habis. Sebesar apa pun rasa sakit yang mendera, dia tetap berusaha terlihat tegar, terutama di depan orang lain.

Tenggorokannya terasa kering, napasnya berat, dan pikirannya dipenuhi bayangan Brian yang berciuman dengan gadis lain. Kenangan itu seperti cambuk yang melukai hati.

Ala mengepalkan kedua tangan, menahan gejolak di dadanya. Meluapkan emosi sekarang hanyalah hal sia-sia. Ia bertekad menyimpan semuanya untuk nanti, saat bertemu langsung dengan Brian. Hari ini sudah cukup melelahkan—semua firasat buruk yang selama ini mengusik pikirannya ternyata benar.

Sejak awal, Ala tahu ada yang berubah dari Brian. Tapi dia memilih diam, yakin bahwa kebenaran akan terungkap pada waktunya.

"Aku pergi dulu ya, Mbak," kata Ala pelan.

"Lho, baru juga sampai. Mau ke mana?"

Ala tidak menjawab. Langkahnya tergesa menuju sungai, tempat yang dulu sering ia kunjungi bersama Brian. Di sana, mereka pernah berbagi cerita sambil menikmati angin sore. Saat Ala kelelahan, Brian akan menggendongnya. Kenangan itu berputar, menghantui setiap langkah Ala dan seolah sedang mengejeknya.

Namun, suara keras kenek bus membangunkan Ala dari lamunannya.

"Caringin... Caringin..."

Ala tersadar. Ternyata itu hanya mimpi—mimpi tentang masa lalu yang menyakitkan. Matanya basah karena air mata yang mengalir saat tertidur. Ia menghapusnya perlahan, mencoba menenangkan diri.

Bus berhenti di halte yang tak jauh dari tempat kost Ala. Ia turun, menyebrang jalan, lalu menyusuri jalan aspal yang ramai kendaraan. Setelah itu, ia membelok ke jalan setapak yang sepi karena hujan baru saja reda.

Sesampainya di kost, Ala memutar kunci pintu, masuk, dan langsung mengisi daya gawainya yang mati satu jam lalu. Ia merebahkan tubuh di kasur lantai yang empuk, mencoba menghilangkan rasa lelah setelah seharian berada di kafe yang penuh hiruk-pikuk. Beruntung, bus tadi tidak terlalu penuh, sehingga dia bisa duduk nyaman meski dihantui mimpi buruk.

Ala mendesah pelan. "Mimpi itu lagi... Gue udah capek-capek lupain, tapi malah hadir lagi. Heran deh, kenapa bayang-bayang masa lalu terus datang padahal hati gue udah baik-baik aja," gumamnya kesal.

Dia mengambil gawainya yang sedang diisi baterai baru saja lalu menyalakan benda tersebut. Jemarinya lincah membuka aplikasi Facebook. Kemudian, tanpa sadar, ia mengetikkan nama yang selama ini berusaha ia lupakan di kolom pencarian.

Ala membuka Facebook dan melihat sebuah postingan yang baru diunggah kemarin. Dalam foto itu, seorang laki-laki bersandar pada tiang, dengan latar belakang yang jelas bukan di Indonesia. Komentar membanjiri unggahan tersebut, kebanyakan dari perempuan yang terpukau dengan ketampanannya.

Ala tersenyum kecut. "Ah, memang nggak berubah. Sampai kapan pun dia tetap buaya yang selalu memangsa cewek-cewek sempurna!"

Ia menutup aplikasi itu dengan cepat, lalu meletakkan gawainya kembali di meja dekat kasur. Tubuhnya kembali direbahkan, menatap kosong langit-langit kamar. Perlahan, rasa kecewa dan pahit kembali menyeruak dalam hatinya. Ala mulai merasa, laki-laki yang benar-benar tulus mungkin sudah tidak ada. Menjadi orang tulus ternyata hanya berujung pada luka yang dalam—luka yang sulit sembuh dan membutuhkan waktu lama untuk diobati.

"Dia makin tampan aja. Sayangnya, tetap ganjen. Mungkin dia udah lupa sama gue!" gumamnya, setengah tertawa getir.

Selama ini, Ala sebenarnya masih berteman dengan akun Facebook Brian, meski menggunakan akun palsu. Ia tahu Brian tidak akan pernah sadar bahwa Ala ada di daftar pertemanannya. Tidak ada niat buruk—Ala hanya ingin tahu kabar laki-laki itu. Namun, selama hampir lima bulan terakhir, ia sengaja menjauh dari kebiasaan itu, memilih fokus pada hidupnya sendiri. Entah kenapa, akhir-akhir ini, keinginan untuk mengintip akun Brian kembali muncul.

Bertahun-tahun Ala mencoba melupakan Brian—cinta pertamanya—namun tetap tidak bisa. Rasa sakit dan kenangan buruk justru semakin membekas, membuatnya semakin membenci laki-laki itu. Ala pergi meninggalkan Brian bukan karena kurang cinta, tapi karena terlalu mencintainya. Ia lelah berjuang sendirian, sementara Brian sibuk mencari kebahagiaan dengan yang lain.

Semua janji setia, cinta, dan sayang yang Brian ucapkan dulu hanyalah kebohongan. Brian hanya memanfaatkan Ala, dan bodohnya, Ala tetap bertahan dalam hubungan yang hanya memberinya luka.

"Cinta memang bisa bikin orang jadi bodoh," pikir Ala pahit.

"Gue harap lo bakal terima karmanya, Bri. Gue harap lo rasain semua yang udah lo lakuin ke gue!" kata Ala, seolah Brian ada di hadapannya saat itu.

Tangan Ala mengepal, rasa sakit itu kembali menyeruak. Bayangan wajah perempuan yang menjadi selingkuhan Brian masih tergambar jelas dalam ingatannya. Ala pernah bertemu langsung dengannya—Intan. Gadis itu bahkan sempat tersenyum saat melihat Ala, seolah tidak pernah terjadi apa-apa di antara mereka.

Ala memilih diam waktu itu, bersikap baik meski hatinya remuk. Ia sadar diri; dibandingkan Intan, dirinya mungkin tidak ada apa-apanya. Intan sempurna, wajar jika Brian menyukainya. Tapi kesempurnaan itu justru membuat senyum Ala berubah sinis.

"Intan..." gumamnya. "Gue pastiin lo berdua bakal ngerasain apa yang gue rasain dulu!"

Hati Ala semakin panas, dipenuhi emosi yang terpendam. Semua ini diperparah oleh kejadian di kafe tadi. Laras, teman kostnya, memang bermaksud baik saat mempertemukan Ala dengan seorang laki-laki yang katanya cocok untuk dijodohkan. Tapi Ala sedang tidak ingin berurusan dengan cinta atau hati. Untuk sembuh dan terlihat baik-baik saja seperti sekarang, Ala telah melewati proses yang panjang. Ia tidak ingin mengulang luka yang sama.

Ketukan pintu membuyarkan lamunannya.

"La, lo di dalam?"

Ala mendesah malas. Ia sebenarnya tidak ingin bertemu siapa pun. Energinya sudah habis dan ia ingin memulihkannya sebelum menghadapi hari Senin yang penuh pekerjaan.

Ala membuka pintu dengan wajah masam. "Apaan?" tanyanya sinis.

Laras berdiri di depan pintu dengan ekspresi menyesal. "Maaf ya soal tadi," katanya, sambil meringis.

Ala memutar kedua bola matanya dengan malas. "Lo pasti mau jodoh-jodohin gue lagi, kan?" tanyanya sambil memicingkan mata, menatap Laras dengan tajam.

Laras hanya bisa nyengir, sedikit salah tingkah. Dia sudah menduga kalau Ala akan langsung menebak maksudnya. Ini memang bukan kali pertama Laras mencoba mengenalkan Ala dengan laki-laki yang menurutnya cocok. Tapi, seperti biasa, usaha Laras selalu gagal. Meski begitu, ia tidak pernah menyerah.

"Makasih! Gue bisa cari sendiri tanpa perlu lo kenalin ke temen-temen lo," kata Ala dengan nada tegas. "Gue belum nikah bukan berarti gue nggak laku, ya. Gue cuma masih pengen sendiri dulu. Kumpulin duit yang banyak biar sukses. Karena menikah itu nggak semudah dan seindah yang dibayangkan."

Ucapan Ala terasa menohok, membuat Laras hanya bisa terdiam.

"Seumur hidup itu lama, Ras. Jadi gue harus bener-bener cari pilihan yang pas!" lanjut Ala dengan nada lebih lembut, tapi tetap tegas.

Kata-kata Ala membuat Laras terhenyak. Dia tidak bisa menyangkal kebenaran itu. Jika waktu bisa diulang, Laras juga ingin menikmati masa mudanya lebih lama. Ia ingin menunda pernikahan, ingin menghabiskan lebih banyak waktu untuk dirinya sendiri sebelum akhirnya harus mengurus anak dan rumah tangga. Tapi penyesalan selalu datang terlambat, bukan? Semua sudah terjadi, dan tidak ada gunanya lagi meratapi masa lalu.

Sementara itu, Ala sebenarnya bukan tidak mau membuka hati. Namun, di lubuk hatinya yang paling dalam, masih tersimpan nama seseorang—Briliand Lie. Nama itu tersemat begitu kuat, meski Ala tahu, menyimpan kenangan tentang Brian hanya memperberat langkahnya ke depan.

Laras akhirnya menghela napas panjang. "Ya udah, gue cuma pengen lo bahagia, La. Tapi kalau lo ngerasa belum siap, gue juga nggak bakal maksa," katanya dengan suara lirih.

Ala tersenyum tipis, mencoba menenangkan sahabatnya. "Gue tahu niat lo baik, Ras. Tapi kebahagiaan gue bukan cuma soal nikah. Gue bahagia kalau gue bisa berdiri sendiri tanpa bergantung sama siapa pun."

Laras mengangguk pelan, meski di dalam hati ia tetap ingin melihat Ala menemukan seseorang yang bisa membuatnya tersenyum lagi—seseorang yang bisa membuat Ala melupakan semua perasaan yang mungkin menyebabkan Ala menjadi sulit membuka hatinya kembali.

Bersambung...

Selamat membaca ya, dukung penulis dengan cara like dan komen.

Bab 3. Cinta Itu Apa?

Jika rasa kecewa adalah racun,

maka keindahan alam semesta

adalah obat penawar yang santun,

menyembuhkan hati yang terluka tanpa menghakimi.

Di langit yang luas, aku menemukan kedamaian,

di angin yang berbisik, aku mendengar harapan.

Setiap helai daun yang jatuh mengajarkan

bahwa segala yang patah akan tumbuh kembali.

🍁🍁🍁

Seperti Itukah Cinta?

Ala benar-benar mencintai Brian dengan tulus. Baginya, Brian adalah cinta sejati. Ala percaya bahwa cinta pertama tak akan pernah terlupakan. Namun, siapa sangka orang yang ia anggap segalanya justru menjadi luka terdalamnya?

Hari-hari Ala penuh dengan rasa sakit. Setiap kenangan bersama Brian berputar di pikirannya, terutama saat ia berada di dekatnya. Ingin marah, tapi terlalu takut kehilangan. Ingin menyerah, tapi lagi-lagi perasaannya yang terlalu dalam membuatnya bertahan. Satu-satunya cara untuk merasa menang adalah dengan terus mempertahankan hubungan itu.

Usia Ala saat itu baru belasan tahun, namun kisah cintanya terasa begitu besar. Ia mencintai Brian dengan sepenuh jiwa, menyayanginya tanpa peduli apa pun. Kala itu, Ala masih duduk di kelas satu SMA. Hubungan mereka penuh ujian, dengan banyak pihak yang tak menyukai kisah cinta mereka. Hingga akhirnya, Ala memilih pergi. Ia terlalu menyayangi Brian, bahkan lebih daripada dirinya sendiri.

“Kalau boleh tahu, apa sih yang bikin lo susah jatuh cinta, La?” tanya Laras suatu sore.

Laras menyesap kopi hitam dari cangkirnya, menikmati aroma khas yang mengepul dari minuman itu.

“Panjang kalau diceritain, Ras. Bisa jadi satu novel,” jawab Ala, tersenyum samar.

Mereka sedang berada di kamar kos Ala, duduk santai sambil menikmati kopi hitam buatan Ala. Di luar, hujan turun membasahi bumi. Suara rintik hujan itu mengingatkan Ala pada masa lalu—kenangan bersama Brian yang mati-matian ia coba lupakan. Tapi kini, ingatan itu kembali mengusiknya.

Kadang, Ala merasa rindu. Namun, rindu itu berubah menjadi benci saat wajah seorang perempuan tertentu hadir dalam pikirannya.

“Ya udah, lo tulis aja kisah lo jadi novel. Gue pasti baca sampai selesai,” ucap Laras penasaran. Ia selalu bertanya-tanya, kenapa Ala begitu sulit jatuh cinta.

Banyak laki-laki yang mendekati Ala, tapi tak satu pun berhasil membuatnya luluh. Ala selalu cuek, menganggap mereka tak lebih dari teman. Meski sudah jalan bareng, makan bersama, atau mendapat perhatian lebih, hati Ala tetap tertutup rapat.

“Males, Ras. Nulis kisah sendiri itu susah. Lagian gue nggak bakat nulis,” kilah Ala, menyembunyikan kebenaran bahwa ia sebenarnya suka menulis.

Kalau saja ia sanggup, mungkin kisahnya sudah tertuang dalam tulisan. Tapi, itu terlalu sakit untuk dikenang. Biarlah cerita itu menjadi rahasia yang ia simpan hingga nanti.

“Terus, mau sampai kapan, La? Lo jomblo terus. Umur lo udah mau 30!” tegur Laras.

Di usia Ala sekarang, kebanyakan teman sebayanya sudah menikah dan memiliki anak. Sementara Ala? Pasangan pun belum punya.

“Kalau ada laki-laki yang mau berkorban banyak buat gue, yang bisa betah sama sikap dan sifat gue, gue pasti bakal cinta dia dengan hebatnya,” jawab Ala dengan mata menerawang.

Namun, di hatinya, nama Brian masih tersemat. Rasa itu belum benar-benar sirna meski waktu terus berjalan. Brian, lelaki yang pernah menusuk hatinya dengan sembilu, tetap memiliki tempat di sudut hati Ala yang paling dalam.

Apalagi sekarang Ala kembali kepoin akun sosial media Brian. Laki-laki itu kembali aktif di dunia maya. Dia bisa menatap foto Brian yang selalu diunggah laki-laki itu. Ya sebagai obat rindu tapi habis itu rasa benci muncul dan Ala memilih menyudahi menatap foto Brian.

"Emang yang dulu itu nggak mau terima lo apa adanya?" Laras bertanya. Penasaran sama kisah Ala yang dulu pacaran hanya sebentar.

Lima tahun yang lalu Ala memang sempat menjalin hubungan asmara dengan seorang laki-laki yang dia kenal melalui sosial medianya. Mereka bertemu lalu sering chattingan dan pada akhirnya jadian. Cuma Ala jalaninnya nggak pakai hati, laki-laki itu selalu memberi Ala perhatian tapi entah kenapa tetap tidak membuat hati Ala luluh.

Ala termakan ucapan jika cinta tumbuh seiring berjalannya waktu, nyatanya waktu terus berjalan dan cinta itu nggak tumbuh di hati Ala. Hatinya kosong dan sulit dibuka kembali soalnya sudah di gembok, kuncinya diambil sama Brian. Biasanya orang yang gagal move on itu bisa sembuh dan lupa.

Akan tetapi sejauh apapun Ala pergi tapi bayangan Brian selalu mengikuti. Menurut quotes yang Ala temukan di akun sosial media kalau "susah lupain seseorang itu berarti yang di sana itu masih mikirin kamu dan belum bisa lupain kamu."

Hanya saja Ala terus meyakinkan diri kalau quotes itu salah. Nggak mungkin Brian masih ingat sama Ala. Lha wong dulunya aja cabang sana sini. Saking sabar dan bodohnya saja Ala mau bertahan. Namanya juga cinta, buta segala-galanya.

"Dia ini rewel, gue disuruh berubah dari segi penampilan dan juga sifat. Nggak boleh keras kepala. Namanya watak ya susah lah dirubah apalagi diobati wong sudah melekat dari orok. Kecuali watuk baru bisa diobati," jelas Ala, kilat kebencian itu terlihat jelas di kedua netranya.

"Terus nyokap dia nyuruh gue bayarin setoran motor. Ya gaji gue gede tapi kan gue juga punya kehidupan, punya orang tua yang harus gue kasih setiap bulannya, terus dia enak-enak kerja dengan gaji yang utuh sementara motor, gue yang bayarin dia yang pake. Ya ogah gue lanjutin!" lanjut Ala.

Kalau ingat kejadian itu rasanya Ala pengen makan mantannya itu hidup-hidup. Keluarga laki-laki itu nggak ada yang beres. Dari ibu, kakak dan juga adik-adiknya. Belum menikah saja sudah membuat Ala pusing dengan segala permintaannya.

"Bisa jadi lo kalau nikah gaji abis diambil mertua lo," kata Laras. Terkejut dengan kisah cinta Ala lima tahun yang lalu.

"Iya, terus yang nyuruh ngelamar masa gue? Hubungan baru lima bulan loh itu udah apa bae dah, ora danta pisan!" Ala terus ngedumel kalau ingat hubungannya dengan Dion.

Ala memilih meninggalkan Dion karena hubungan baru seumur jagung sudah terlihat bagaimana keluarga Dion dan sifat Dion yang sebenernya. Pantas saja pacar Dion yang dulu hampir mau dinikahi memilih putus. Selain ibunya yang matre, kakaknya selalu adu domba dan adik-adiknya ini banyak maunya. Memanfaatkan siapapun yang baik dan dekat sama Dion.

Nggak kebayang kalau Ala jadi nikah sama Dion. Pasti jadi sapi perah keluarga Dion. Untungnya Ala pintar dan nggak ada perasaan apapun sama Dion. Coba kalau perasaan Ala sangat dalam seperti dia mencintai Brian, pasti apapun akan Ala lakukan agar Dion nggak pergi darinya.

Hanya Brian yang bisa membuat Ala segila itu, sayangnya semua telah berakhir. Ala harus pergi bukan karena tidak lagi menyayanginya melainkan Ala terlalu mencintai dan menyayangi Brian sehingga dia memilih pergi.

"Andai waktu bisa diputar kembali, gue pengen perbaiki semuanya," batin Ala. Meratapi nasibnya kini yang belum menemukan tambatan hati.

"Lo pernah jatuh cinta untuk pertama kalinya kan? Lo pasti masih mikirin dia. Dari sini gue yakin hati lo belum selesai," tebak Laras, menatap Ala dengan intens.

Laras yakin, mana mungkin Ala belum pernah jatuh cinta. Ia tak bisa membayangkan bahwa Dion adalah cinta pertama Ala. Meskipun Laras cukup dekat dengan Ala, hubungan mereka hanya sebatas sahabatan yang dimulai di tempat kerja. Laras lebih banyak bercerita tentang kehidupannya, sementara Ala cenderung menutup diri, tak banyak bicara, terlalu introvert hingga tidak mau untuk berbagi kisah hidupnya.

Ala terdiam, menghela napas panjang sebelum akhirnya menjawab, suara serak karena menahan perasaan, "Ya... Ada. Gue... Pernah menjadikan dia satu-satunya. Segila itu gue sayang sama dia. Tapi nyatanya dia nggak pernah menjadikan gue satu-satunya."

Suara Ala parau, hampir seperti tersedak, menahan agar tidak menangis. Luka itu terlalu dalam, terlalu sulit untuk diikhlaskan. Bahkan jika Brian muncul kembali dan meminta maaf, mungkin maaf itu tidak akan pernah bisa mengobati semua luka yang ada.

Ala tahu, mencintai seseorang terlalu dalam bisa berbahaya. Ia tak pernah menyangka bahwa rasa cinta yang tulus bisa menggores luka yang begitu dalam. Dan sekali terluka, rasa itu tak mudah hilang.

Jangan terlalu dalam mencintai seseorang jika tak siap untuk terluka. Karena ketika rasa itu sudah tertanam begitu dalam, luka yang ditinggalkan tidak akan pernah main-main.

Bersambung...

Hay, selamat membaca yaa jangan lupa like, komen dan subscribe.

Kalau mau visual Ala dan Brian ada di Instagram yaa

Follow akun aku: Alaish Karenina

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!