NovelToon NovelToon

Setelah 14 Tahun Berpisah

Bab 1. Jomblo Terus

Aku pernah mencintai terlalu dalam,

hingga logika hilang ditelan perasaan.

Ketulusan yang kuberikan,

ternyata tak cukup untuk membuatku bahagia.

Dikecewakan oleh dia,

yang hanya menjadikanku pelampiasan sementara,

seperti bayangan yang berlalu,

membekas tanpa pernah memberi arti.

Namun dari luka ini aku belajar,

bahwa cinta sejati tak seharusnya mengorbankan diri,

dan kebahagiaan tak datang dari harapan pada yang salah.

***

Wajahnya mulai menunjukkan kebosanan, satu tangan menopang dagu dan satunya lagi mencoret-coret buku. Membuat pola abstrak untuk mengusir rasa bosannya. Akan tetapi tetap saja rasa itu tidak hilang, sesekali kedua netranya melirik ke arah dinding yang terbuat dari kaca itu. Berembun dan tidak terlihat dengan jelas kondisi di luar sana.

Suara hujan deras masih terdengar, mengguyur kota Bekasi siang ini. Entah sampai kapan hujan akan reda. Sudah hampir satu jam dia terjebak di sebuah kafe yang sangat ramai. Hal yang tidak dia sukai. Kalau saja bukan karena sahabatnya yang sedang duduk di hadapannya ini, Ala nggak mau berada di kafe itu.

Ala tidak suka tempat yang ramai dan bising. Suara para pengunjung seperti pasar karena hujan membuat mereka mungkin tidak mendengar apa yang masing-masing bicarakan jadi harus dengan suara sedikit keras.

"Mau nambah kopi?"

Ala menggeleng.

"Makan?"

Lagi dan lagi gelengan yang menjadi jawabannya. Membuat Laras serba salah.

"Gue udah pesan ojol tapi nggak ada yang nyangkut. Mungkin karena hujan. Sabar ya, bentar lagi reda kita pulang," kata Laras berusaha menenangkan Ala yang sudah bosan itu.

"Sabar kata lo?" ucap Ala sambil tersenyum miring.

Harus sabar seperti apa lagi Ala ini? Menunggu orang selama satu jam tanpa melakukan aktivitas apapun. Yah, duduk diam dan menikmati makanan yang tersaji dimeja itu sungguh membosankan. Ala lebih suka di toko buku, mau hujan sekalipun tidak masalah karena dia bisa menunggu sambil membaca novel atau buku lainnya.

"Bentar lagi orangnya dateng kok," kata Laras. Lagi-lagi dia berusaha tetap tenang dengan senyum manisnya. Meski dihati sudah cemas karena laki-laki yang ditunggu tidak datang.

"Berapa kali harus lakukan perjodohan?" tanya Ala dengan tatapan tajam. Dia sudah muak dengan ide gila sahabatnya.

Laras kembali tersenyum, tapi kali ini senyum yang dipaksakan karena memang kesalahan Laras sudah fatal. Selalu memaksa Ala untuk bertemu lelaki pilihannya. Laras hanya ingin Ala punya kekasih dan tidak menyandang predikat perawan tua misalnya.

"Ini .... Yang terakhir!" Laras mengacungkan jari telunjuk dan tengah.

Ala memutar kedua bola matanya malas.

"La, demi kebaikan lo. Biar nggak jomblo terus. Biar gue lihat lo jatuh cinta terus punya pacar," pinta Laras penuh harap.

Ala melempar pulpennya ke arah Laras tapi malah jatuh ke lantai. Laras mengambil pulpen itu lalu meletakkan di meja. Heran sama sahabatnya ini, kenapa setiap kali dikenalkan sama cowok selalu bersikap datar dan dingin sehingga semua cowok itu protes pada Laras dan ada juga yang mengira Ala nggak suka sama cowok. Laras cuma mau rumor yang beredar diluar sana itu salah. Kalau Ala ... Menyukai sesama perempuan. Selama ini persahabatan mereka baik-baik aja dan dibatas normal kok.

Padahal bukan tidak suka sama cowok, tapi ada alasan kenapa Ala selalu bersikap dingin dan datar ketika berhadapan dengan lawan jenisnya.

Alaish Karenina yang akrab dipanggil Ala, gadis berusia dua puluh sembilan tahun ini selalu menyandang predikat jomblo ngenes dan pernah mendapatkan berita miring kalau Ala suka sesama jenis. Ala pernah memiliki kekasih tapi cuma sebentar dan putus karena menurut Ala tidak cocok. Belum apa-apa sudah dimanfaatkan. Laras sendiri sudah menikah dan memiliki dua anak, satu perempuan dan satu laki-laki.

"Heh, gue pernah ya pacaran kalau lo lupa!" kata Ala.

"Lima tahun yang lalu, itu udah lama banget, La! Lo tuh nggak niat nikah apa?" Laras gemas dengan Ala.

Laras tahu, soal pacar Ala lima tahun yang lalu dan kasus tentang mereka putus. Sejak saat itu Ala tidak lagi dekat dengan cowok manapun. Bahkan ditempat bekerja ada yang suka saja, Ala selalu cuekin. Mau sebesar apapun effortnya tidak membuat hati Ala luluh.

"Siapa tahu bentar lagi dia datang, dia penulis loh, La. Novelnya ada dibeberapa aplikasi novel online," ucap Laras, mencoba meredakan rasa jengkel Ala. Berharap Ala akan tertarik cowok tersebut.

Ala menghela napasnya dan mengangkat kedua bahu. Sama sekali tidak tertarik dengan ucapan Laras.

"Ganteng banget loh, La!" Laras menggoyangkan tangan Ala yang berada di meja.

Niat hati mau jodohin sahabatnya sama teman lama, malah cowok itu belum menunjukkan batang hidungnya setelah satu jam menunggu. Laras jadi takut kalau rencananya gagal. Biar bagaimanapun Laras pengen Ala tuh punya pasangan dan nggak jomblo terus. Meski kalau ditanya alasannya kenapa menjomblo ya jawabannya karena belum ada laki-laki yang tepat dan ingin sukses dulu baru nikah.

"Coba deh feminim dikit!" Laras memindai penampilan Ala yang apa adanya. Malah terkesan tomboi.

Laras terus berusaha biar Ala nggak ngambek dan bosan. Gadis itu irit bicara memang dan Laras kehilangan topik untuk berbicara karena Ala sudah terlanjur kesal. Ala memang tomboy, wajah datar dan selalu bersikap dingin selain itu dia juga tegas.

"Kalau sayang bakal terima apa adanya bukan malah merubah!" Ala bosan dengan pembahasan ini.

Ala memilih pergi dari kafe karena hujan sudah reda. Laras menghela napas panjang dan menggeleng pelan. Kalau sudah ngambek mending dibiarin. Ala butuh ketenangan. Laras memilih menunggu laki-laki yang sudah janjian sama dia. Takut malah kecewa orangnya. Lagipula bukan cuma satu cowok yang datang. Ada teman lama Laras lainnya juga semasa sekolah dulu. Mau bantuin Ala yang sering Laras ceritakan. Mereka ini beda dua tahun. Laras lebih tua dari Ala, makanya Laras selalu menganggap Ala seperti adiknya sendiri.

Laras melakukan ini semua juga demi kebaikan Ala. Siapa tahu mereka cocok karena sama-sama introvert.

"Kamu mau sampai kapan sih, La? Kenapa juga setiap dekat nggak ada yang cocok?" tanya Ala pada dirinya sendiri.

Dia berdiri di halte bus, menunggu bus datang karena ponselnya mati. Mau mesen ojol juga percuma. Ala lupa mau nyuruh Laras. Mau balik ke kafe tapi lagi mode ngambek.

Bus datang bersama dengan hujan yang kembali turun. Ala duduk di dekat jendela, memasang tudung hoddie dan memasukkan kedua tangan di kantung hoddienya. Ala menatap pemandangan di luar. Mengingatkannya pada kejadian beberapa tahun yang lalu.

Ala sedang duduk dibangku SMA kelas satu, momen yang tidak akan pernah Ala lupakan. Untuk pertama kalinya dia pergi bersama seorang laki-laki. Pergi ke sebuah taman dengan menggunakan bus. Ala belum pernah bepergian jauh, selain tidak punya teman dia juga malas kemana-mana. Namun, laki-laki itu hadir dan merubah kebiasaan Ala.

Gadis itu menikmati pemandangan yang ada di taman tersebut meski sangat ramai dan menguras energinya tapi Ala sangat bahagia. Berjalan dengan bergandengan tangan layaknya sepasang kekasih pada umumnya.

"Sayang nggak sama aku?" tanya laki-laki itu.

Ala tersenyum dan mengangguk. Masih malu untuk mengungkapkan perasaannya.

Jalan cerita cinta Ala sungguh rumit, bahkan jarang sekali orang yang mengalami kisah cinta seperti Ala. Mungkin cinta Ala sudah habis pada laki-laki itu hingga saat ini tidak ada yang mampu menggantikan laki-laki tersebut dihatinya.

"Lo dimana sekarang? Masih hidup nggak sih? Apa udah banyak cewek yang lo sakiti sekarang?" batin Ala.

Hati Ala teramat sakit ketika ingatan kejadian yang pernah dialaminya. Saat memergoki dia mendua dengan seorang perempuan yang lebih cantik darinya. Ala bodoh dan malah tetap bertahan meski hatinya terluka. Kepercayaan itu hilang tapi Ala yakin jika laki-laki itu akan tetap setia padanya.

Keringat dingin mulai menetes, telapak tangan Ala basah bersama dada yang terasa sesak. Ala mencoba menghirup oksigen sebanyak mungkin dan mengeluarkan perlahan. Meremas jemarinya agar rasa sakit itu berkurang. Setiap kali Ala mengingatnya akan ada hal yang hadir dan membuat Ala benci. Hatinya terluka, rasa benci itu semakin bertambah dengan mengingat hal-hal yang menyakitkan.

Tidak ada yang tahu kondisi Ala saat ini, dia selalu memperlihatkan kepada semua orang bahwa dia baik-baik saja. Bahkan Laras yang menjadi sahabatnya pun tidak tahu bagaimana Ala yang sebenernya. Ala juga merahasiakan kisah cinta pertamanya kepada siapapun yang menjadi teman dekatnya. Bagi Ala meski dekat tetap harus memiliki batasan. Tidak semua orang tahu cerita hidup Ala.

"Sesayang itu gue sama lo, tapi malah lo sia-siakan. Perjuangan gue mungkin nggak pernah lo anggep ya!"

Kedua matanya terpejam, tapi malah bayangan masa lalu itu hadir kembali. Ingatan tentang orang yang sampai saat ini tersemat dihatinya pun kembali. Padahal mati-matian dia melupakannya dan rela pergi jauh dari tanah kelahiran demi menyembuhkan luka itu.

Kasih sayang Ala sangatlah tulus dan tidak pernah memandang dari fisik seseorang. Namun, ketulusan malah membuat Ala terluka sangat dalam sedalam lautan.

Hingga saat ini Ala sulit untuk menemukan pengganti cinta pertamanya itu.

Bersambung .....

Selamat membaca ya, mohon beri dukungan dengan cara like, komen, subscribe yaa biar penulis semakin semangat nulisnya. Terima kasih ...

Bab 2. Patah Hati

Jika rasa kecewa adalah racun,

maka keindahan alam semesta

adalah obat penawar yang santun,

menyembuhkan hati yang terluka tanpa menghakimi.

Di langit yang luas, aku menemukan kedamaian,

di angin yang berbisik, aku mendengar harapan.

Setiap helai daun yang jatuh mengajarkan

bahwa segala yang patah akan tumbuh kembali.

***

*"Datang ke sini, gue lihat cowok lo jalan sama cewek lain. Cepet, jangan lama-lama!"*

Ala membaca pesan yang dikirimkan oleh teman dekatnya. Kebetulan dia kekasih dari teman pacar Ala. Gadis itu segera bergegas ke rumah sang kekasih untuk memastikan jika kabar itu tidak benar.

Dengan degup jantung yang berdebar seperti genderang mau perang, Ala terus mengayuh sepeda mininya. Sepeda yang menjadi saksi bisu betapa besar perjuangan cinta Ala kepada laki-laki bernama Brian itu.

Ala bahkan tidak peduli jika nantinya dia kena marah oleh kedua orang tuanya karena pergi tanpa pamit. Cuaca siang yang sangat terik pun tidak membuat Ala urung untuk pergi menemui kekasih hatinya. Cinta pertama Ala yang memiliki kisah berliku.

*"Kamu dimana?"*

Ala mengirim pesan kepada Brian tapi tak kunjung dibalas. Dia menitipkan sepedanya di tetangga Brian karena jalan menuju rumah Brian itu jalannya nanjak jadi daripada Ala capek dia selalu menitipkan sepeda itu di sana.

Berkali-kali Ala menelpon Brian tapi nggak ada jawaban. Dia terus berjalan menuju rumah Brian.

*"Lagi pergi nggak tahu kemana. Coba di telpon aja, La,"* kata Ibu Brian.

Ala pun melangkah dengan gontai, menuju rumah teman dekat Brian. Di sana ada seorang perempuan yang sedang duduk di teras sambil memangku bayinya.

*"Eh Ala, kok sendiri? Mana Brian?"*

Ala menggeleng lemah, lalu duduk di sebelah perempuan yang usianya dua tahun lebih tua darinya. Menatap bayi mungil yang sedang terlelap dari tidurnya.

*"Mbak pasti tahu dimana Brian? Katakan dimana sekarang dia dan sama siapa?"* Ala bertanya dengan tatapan penuh intimidasi.

Perempuan itu tersenyum lembut, *"Kontrol emosi kamu, La. Sabar ya, Brian sedang gila. Mbak yakin kok kalau dia tetep sayang sama kamu."* Ucapan itu bukan malah menenangkan Ala tapi menghadirkan rasa nyeri di ulu hatinya.

Betapa sakitnya hati Ala dengan kenyataan ini, jika Brian telah mendua. Briannya telah mengkhianati kepercayaan yang dia berikan. Tidak ada air mata yang menetes pada kedua netra Ala. Dia pun membuka gawai yang sedari tadi ada pada genggaman tangannya.

Pesan dari Mia, temen dekat Ala itu membuat emosi Ala semakin bertambah. Rupanya sudah banyak yang tahu tentang hubungan Brian dan gadis lain, hanya Ala yang tidak tahu apa-apa dan seperti gadis bodoh di sini.

*"Gue liat Brian ciuman di tepi sungai. Ceweknya cantik. Tinggi, putih bersih kayak model."*

Jadi orang tulus itu rupanya sakit. Selama ini perjuangan Ala untuk Brian rupanya nggak berarti apa-apa. Dia sudah menorehkan luka terlalu dalam di hati Ala. Hanya saja gadis itu sudah kuat dan air mata telah habis sehingga sesakit apapun hal yang dia alami tidak membuatnya menangis. Apalagi didepan orang lain. Meski tenggorokan terasa sakit, ucapan tercekat, napas ngos-ngosan karena bayangan Brian sedang berciuman dengan gadis lain itu terus menari di pikirannya.

Ala hanya bisa mengepalkan kedua tangan karena meluapkan emosi pun percuma. Dia akan meledakkan emosinya nanti kepada Brian. Sudah cukup hari ini dia menemukan fakta yang selama ini menjadikan tidurnya tidak nyenyak. Firasat Ala tidak pernah meleset jika terjadi sesuatu kepada Brian.

Laki-laki itu nampak berbeda tapi Ala diam karena yakin jika fakta akan terkuak dengan sendirinya.

*"Aku pergi dulu ya, Mbak!"*

*"Lho baru juga sampai. Mau kemana?"*

Ala tidak menjawab, langkahnya tergesa menuju sungai yang pernah dia lalui bersama Brian. Laki-laki itu sering mengajaknya menikmati udara di dekat sungai. Kalau capek Brian akan menggendongnya. Kenangan itu berputar menemani setiap langkah Ala untuk memergoki Brian dan cewek yang Mia katakan.

"Caringin .... Caringin ...."

Suara dari kernek bus itu membuat Ala tersadar dari tidurnya yang lelap. Kedua netranya basah, rupanya dia bermimpi tentang masa lalunya yang menyakitkan.

Ala bersiap untuk turun ketika bus itu berhenti tepat di halte yang tak jauh dari tempat tinggalnya. Ala pun menyebrang lalu menyusuri jalan aspal yang ramai dengan lalu lalang kendaraan. Belok kanan menyusuri jalan setapak yang terlihat sepi. Biasanya ramai anak-anak bermain, mungkin karena hujan mereka berada di dalam.

Sepanjang jalan itu ada beberapa kontrakan petak dan Ala tinggal ditempat paling ujung. Bangunan berlantai tiga itu adalah kost Ala. Gadis itu membuka pagar besi berwarna hitam. Suasana sepi, selain karena hujan juga ini hari minggu. Beberapa penghuni kost sedang pulang ke rumahnya yang masih satu kota atau menikmati hari libur. Entah menghabiskan waktu di kamar atau jalan-jalan.

Ala berada dilantai satu, pintu nomor delapan. Paling ujung dan membuat Ala nyaman. Gadis itu nampak lelah, dia cepat-cepat masuk ke dalam kamarnya.

Lalu, merebahkan tubuhnya di kasur busa yang empuk, energinya habis karena berada di kafe yang ramai. Beruntung tadi busnya tidak penuh jadi Ala bisa duduk dengan anteng dan tertidur di sana. Meskipun mendapatkan mimpi buruk. Tak lupa, Ala mengisi daya baterai pada gawainya.

Ala mendesah pelan, "Mimpi itu lagi, gue udah capek-capek lupain tapi hadir lagi. Heran deh kenapa sih bayang-bayang masa lalu itu terus hadir setelah hati gue udah baik-baik aja!" ujarnya. Gadis itu menatap langit-langit kamar.

Ala segera mengaktifkan benda pipih itu, kemudian membuka aplikasi Facebook dan mengetikkan nama pada kolom pencarian.

Ala melihat postingan seseorang yang diunggah kemarin. Foto seorang laki-laki sedang bersandar pada sebuah tiang dan sepertinya suasana itu bukan ada di Indonesia.

Beberapa komentar membanjiri postingan tersebut. Kebanyakan cewek-cewek yang kagum dengan ketampanannya.

"Ah, memang nggak berubah sampai kapan pun dia tetap buaya yang selalu memangsa cewek sempurna!"

Ala keluar dari aplikasi tersebut lalu meletakkan gawainya asal. Merebahkan kembali tubuhnya, menatap langit-langit kamar. Rasa-rasanya Ala sudah tidak percaya jika laki-laki yang tulus itu ada. Nyatanya jadi orang tulus memang semenyakitkan itu.

"Dia makin tampan aja, sayangnya ganjen. Mungkin udah lupa sama gue!"

Sebenarnya selama ini Ala diam-diam berteman dengan akun Facebook Brian. Hanya saja Ala menggunakan akun fake. Jadi Brian tidak akan pernah tahu jika Ala berada dilist pertemanannya. Nggak ada maksud apa-apa, Ala cuma mau tahu kabar laki-laki itu. Sudah hampir lima bulan Ala tidak kepoin akun itu lagi dan fokus sama hidupnya. Entah kenapa akhir-akhir ini Ala jadi sering kepoin akun Brian. Mungkin karena tekanan dari kedua orang tua Ala yang menginginkan untuk segera menikah dan ucapan Laras yang selalu bertanya tentang pacar. Bahkan usaha-usaha Laras yang selalu menjodohkannya dengan laki-laki nggak jelas. Jadi fokus Ala terganggu dan kembali mengingat masa lalunya.

"Hah, bahkan dia tidak ada jeranya buat jodohin gue!" gumam Ala. Mengingat kejadian di kafe hari ini.

Sayangnya, Ala nggak peduli bagaimana pun usaha Laras. Dihati Ala masih menyimpan nama seseorang. Meski bertahun-tahun Ala mencoba melupakan Brian yang menjadi cinta pertamanya tapi rupanya tetap nggak bisa. Rasa sakit yang seringkali dia ingat membuat Ala semakin membenci Brian. Ala pergi meninggalkan laki-laki itu karena terlalu mencintainya, Ala lelah seolah bucin sendirian sementara Brian malah mencari yang lain. Kata setia hanya isapan jempol, cinta dan sayang yang selalu Brian ucapkan hanya bualan semata.

Brian hanya memanfaatkan Ala dan bodohnya Ala selalu bertahan dalam hubungan yang sudah menggoreskan luka itu, karena cinta membuat orang menjadi bodoh.

"Gue harap lo bakal terima karmanya. Lo bakal rasain semua yang udah lo lakuin ke gue, Bri!" kata Ala, seolah Brian ada di hadapannya saat ini.

Ala mengepalkan kedua tangannya, rasa sakit itu masih terasa bahkan wajah cewek yang menjadi selingkuhan Brian masih teringat jelas. Ala pernah bertemu secara langsung, gadis itu tersenyum saat melihat Ala. Seolah tidak terjadi apapun diantara mereka. Memilih diam dan bersikap baik pada selingkuh Brian. Sadar diri kalau Ala ini nggak ada apa-apanya dibandingkan cewek itu. Dia sempurna dan pantas saja Brian menyukainya.

"Intan!" gumam Ala sambil tersenyum sinis.

"Gue pastiin lo berdua bakal ngerasain apa yang gue rasain dulu!"

Ala masih sangat membenci gadis itu karena telah menjadi pengganggu dalam hubungannya dengan Brian.

"La, lo di dalam?"

Ketukan pintu membuat Ala harus bangkit dari tidurnya. Ala sebenernya malas buat ketemu siapapun. Energinya sudah habis dan dia ingin memulihkannya kembali sebelum besok mulai bekerja. Berada di keramaian membuat tubuh Ala terasa lemas dan kepala berdenyut.

"Apaan," tanya Ala sinis , setelah membuka pintu kamarnya.

"Maaf ya soal tadi," kata Laras sambil meringis.

"Udah ketemu?" tanya Ala.

Laras menggeleng pelan, dia sudah menunggu terlalu lama dan rupanya pertemuan ditunda karena hujan. Kabar itu baru datang ketika Ala sudah pulang. Laras kecewa dengan mereka yang menurutnya mengambil keputusan secara sepihak. Satu orang tidak jadi datang, pun yang lain ikutan tidak datang. Padahal Laras sudah semangat bertemu mereka. Mengenalkan Ala sekaligus reunian.

Ala tersenyum miring. Sudah dia duga sebelumnya kalau mereka tidak akan datang. Satu jam menunggu sampai hujan reda pun tak ada satu orang yang datang.

"Makanya jangan terlalu effort mencampuri hidup orang lain!" Ucapan Ala langsung menusuk kehati Laras.

"Seumur hidup itu lama jadi harus bener-bener cari pilihan yang pas!" lanjut Ala.

Laras terdiam, semua kata-kata Ala memang benar. Mengingat lagi kejadian demi kejadian ketika dia terus menerus menjodohkan Ala secara diam-diam dengan laki-laki yang dikenal secara langsung maupun disosial media. Laras baru sadar mungkin sikapnya ini membuat Ala tidak nyaman tapi Laras selalu mengatakan pada diri sendiri bahwa semua usahanya pasti akan membuat Ala terharu.

Seumur hidup itu lama! Ya, Laras akui itu benar. Dia selalu terbesit rasa menyesal karena nikah muda dan melewatkan banyak hal ketika muda. Disaat teman-temannya sedang asyiknya pergi main kesana dan kemari, Laras sudah sibuk mengurus suami dan anak. Sekarang melihat Ala belum menikah dan bisa bergerak dengan bebas, rasa sesal itu semakin bertambah dan Laras baru sadar jika usahanya ini mungkin keterlaluan. Banyak hal yang tidak Laras ketahui dibalik kisah cinta Ala yang sampai saat ini belum menemukan jodohnya.

"Maaf, La. Gue keterlaluan banget ya?"

Ala tersenyum tipis dan tidak terlihat oleh Laras yang menunduk.

"Gak!" jawabnya.

"Lo mau kan maafin gue. Janji deh gue nggak akan jodohin lo lagi!" ucap Laras bersungguh-sungguh.

"Ya."

Ala pun masuk ke dalam diikuti oleh Laras yang tersenyum bahagia karena Ala tidak memperpanjang masalah ini.

Bersambung....

Bab 3. Cinta Itu Apa?

Berat, ya? Berpisah ketika masih ada cinta.

Aku kira move on itu mudah,

nyatanya, ia datang dengan luka yang mendalam.

Luka yang tak bisa sembuh dengan cepat,

karena perasaan itu masih ada,

meski waktu telah berlalu bertahun-tahun.

Entah kenapa, perasaan itu tetap tinggal,

seperti bayangan yang tak bisa dihapus.

Aku bertanya, kamu di mana sekarang?

Apakah perasaan ini masih ada di hatimu,

seperti aku yang tak bisa melupakanmu?

Dan meskipun kita terpisah oleh jarak dan waktu,

ada bagian dari diriku yang tetap ingin tahu,

apakah kau merasakan hal yang sama?

***

Seperti Itukah Cinta?

Ala mencintai Brian dengan segenap hati. Baginya, Brian adalah segalanya, cinta pertama yang tak tergantikan. Ala percaya, cinta pertama tak pernah benar-benar pergi; ia akan selalu tinggal di suatu sudut hati. Namun, siapa sangka bahwa orang yang ia anggap sebagai cinta sejatinya justru menjadi luka terdalam yang tak kunjung sembuh?

Hari-hari Ala penuh dengan rasa perih. Setiap kenangan bersama Brian berputar di pikirannya, terutama saat ia harus berada di dekat laki-laki itu. Ia ingin marah, tapi takut kehilangan. Ia ingin menyerah, namun perasaannya yang begitu dalam memaksa untuk terus bertahan. Ala berpikir, satu-satunya cara untuk merasa menang adalah dengan mempertahankan hubungan mereka—meskipun hatinya hancur berkeping-keping.

Ketika itu, Ala masih remaja. Baru menginjak usia belasan tahun dan duduk di bangku kelas satu SMA. Namun, rasa cintanya pada Brian terasa begitu besar, begitu dalam, hingga ia mencintai Brian lebih dari dirinya sendiri. Hubungan mereka tak pernah mulus. Banyak rintangan, banyak pihak yang menentang. Sampai akhirnya, Ala mengambil keputusan untuk pergi. Pergi demi cinta, demi menjaga Brian, meski harus melukai dirinya sendiri.

“Kalau boleh tahu, apa sih yang bikin lo susah jatuh cinta, La?” tanya Laras penasaran.

Mereka sedang duduk santai di kamar kos Ala, menikmati kopi hitam buatan Ala sambil mendengar hujan yang turun di luar jendela. Laras menyesap kopinya perlahan, menikmati aroma yang mengepul dari cangkir.

“Panjang kalau diceritain, Ras. Bisa jadi satu novel,” jawab Ala dengan senyum samar.

Hujan di luar membawa ingatan Ala kembali ke masa lalu. Kenangan bersama Brian yang mati-matian ia coba lupakan kini mengusik lagi. Kadang, Ala merindukannya. Namun, rindu itu sering berubah menjadi benci setiap kali wajah seorang perempuan tertentu hadir di benaknya.

“Ya udah, lo tulis aja kisah lo jadi novel. Gue pasti baca sampai selesai,” ujar Laras dengan nada penasaran.

Banyak pria mendekati Ala, tapi tak satu pun berhasil mengetuk hatinya. Jalan bersama, makan malam, atau mendapat perhatian lebih, semua itu tak cukup untuk membuka hati Ala yang telah tertutup rapat.

“Males, Ras. Nulis kisah sendiri itu susah. Lagian, gue nggak bakat nulis,” jawab Ala, meski jauh di dalam hati ia tahu bahwa menulis adalah salah satu cara untuk melampiaskan rasa sakitnya. Tapi, mengenang itu terlalu menyakitkan. Biarlah cerita itu tetap menjadi rahasia.

Padahal sebenarnya dia punya bakat menulis dan memang kisahnya dengan Brian sedang dia tulis untuk dijadikan novel. Hanya saja, Ala menutupi hobi menulisnya dari Laras. Itu juga sebenarnya kerja sampingan Ala.

“Terus, mau sampai kapan, La? Umur lo udah mau 30. Temen-temen kita udah pada nikah. Anak mereka juga udah ada yang sekolah, lho,” tegur Laras, mencoba menyentuh hati Ala.

“Kalau ada laki-laki yang mau berkorban buat gue, yang bisa tahan sama sikap gue, gue pasti cinta dia dengan sepenuh hati,” jawab Ala. Namun, di lubuk hatinya yang paling dalam, nama Brian masih bertahan. Kenangan tentang laki-laki itu belum sepenuhnya hilang meski waktu terus berlalu.

Ala kembali membuka akun media sosial Brian. Laki-laki itu kini aktif kembali di dunia maya. Foto-fotonya memenuhi linimasa Ala, menjadi obat rindu sekaligus racun yang menyakitkan. Setelah menatap foto-foto itu, rasa benci kembali muncul. Ala buru-buru menutup aplikasi, mencoba melupakan, meski tahu usahanya akan sia-sia.

“Emang yang dulu itu nggak mau terima lo apa adanya?” Laras bertanya, mengingat kisah Ala yang sempat menjalin hubungan singkat dengan seseorang.

Lima tahun yang lalu, Ala mencoba menjalin hubungan dengan seorang pria yang ia kenal melalui media sosial. Hubungan itu dimulai dari percakapan sederhana yang berlanjut dengan pertemuan, hingga akhirnya mereka resmi bersama. Namun, semuanya terasa hampa. Ala menjalaninya tanpa hati. Meskipun pria itu memberikan perhatian lebih, Ala tetap tak bisa membuka hatinya.

Hingga kini, cinta masih menjadi misteri bagi Ala. Apakah benar cinta sejati ada? Ataukah cinta hanyalah luka yang terbungkus indah?

Ala pernah termakan ucapan bahwa cinta bisa tumbuh seiring berjalannya waktu. Namun, kenyataannya, waktu terus berlalu tanpa cinta yang bersemi di hatinya. Hatinya kosong, sulit terbuka kembali karena telah digembok—dan kuncinya dipegang oleh Brian. Orang lain mungkin bisa melupakan cinta lama, tetapi sejauh apa pun Ala pergi, bayangan Brian selalu mengikutinya.

Pernah, Ala menemukan sebuah kutipan di media sosial: "Susah lupain seseorang itu berarti yang di sana masih mikirin kamu dan belum bisa lupain kamu." Ala tersenyum sinis setiap kali mengingatnya. Ia meyakinkan dirinya bahwa kutipan itu salah besar. Mana mungkin Brian masih mengingatnya? Bukankah dulu Brian hanya main-main, dengan banyak “cabang” di sana-sini? Ala bertahan karena cinta, tapi ia sadar bahwa kesabaran itu tak lebih dari kebodohan.

“Dia itu rewel banget, Ras. Gue disuruh berubah, mulai dari penampilan sampai sifat. Nggak boleh keras kepala. Lah, namanya watak susah diubah, ya! Itu sudah nempel dari orok. Kalau watuk, baru bisa diobati,” jelas Ala dengan nada kesal, kilatan kebencian tergambar jelas di matanya.

Laras yang mendengarkan hanya mengernyit, sementara Ala melanjutkan ceritanya.

“Nyokapnya suruh gue bayarin setoran motor. Oke, gaji gue gede, tapi gue juga punya tanggung jawab sama orang tua gue, kan? Masa motor gue yang bayarin, dia yang pake. Ogah banget gue lanjutin!” keluh Ala.

Mengingat kejadian itu saja membuat darah Ala mendidih. Keluarga laki-laki itu benar-benar membuatnya pusing. Belum menikah saja, permintaan mereka sudah tak masuk akal. Dari ibu, kakak, sampai adiknya, semuanya tak ada yang beres.

“Kalau lo nikah sama dia, gaji lo pasti habis buat mertua, La,” komentar Laras, terkejut mendengar kisah lima tahun lalu itu.

“Iya! Bahkan gue disuruh ngelamar dia! Nggak kebalik itu? Baru pacaran lima bulan, udah begini aja kelakuannya! Ora danta pisan!” dumel Ala, suaranya makin meninggi.

Ala akhirnya meninggalkan Dion. Hubungan mereka yang seumur jagung sudah memperlihatkan seperti apa keluarga Dion yang sebenarnya. Tak heran jika mantan Dion sebelumnya memilih kabur, meskipun sudah hampir menikah. Keluarga Dion adalah sumber masalah: ibu yang materialistis, kakak yang suka adu domba, dan adik-adik yang hanya tahu meminta.

“Untung gue nggak cinta sama dia,” batin Ala. Kalau perasaannya ke Dion sama seperti ke Brian dulu, mungkin Ala akan melakukan apa saja agar Dion tidak pergi darinya.

Hanya Brian yang pernah membuat Ala kehilangan akal, mencintai sampai lupa dirinya sendiri. Tapi semuanya telah berakhir. Ala memilih pergi bukan karena tak mencintai Brian, melainkan karena ia terlalu mencintainya.

“Andai waktu bisa diputar kembali, gue pengen perbaiki semuanya,” batin Ala, meratapi nasibnya yang hingga kini belum menemukan tambatan hati.

“Lo pernah jatuh cinta untuk pertama kalinya kan? Lo pasti masih mikirin dia. Gue yakin hati lo belum selesai,” ujar Laras, menatap Ala dengan intens.

Ala terdiam. Ia menghela napas panjang sebelum menjawab dengan suara bergetar, menahan perasaan yang tak kunjung reda.

“Ya... Ada. Gue pernah menjadikan dia satu-satunya. Segila itu gue sayang sama dia. Tapi nyatanya dia nggak pernah ngejadikan gue satu-satunya.”

Suara Ala terdengar parau, nyaris tersedak oleh perasaan yang berusaha ia tahan. Ia menunduk, berusaha agar air matanya tidak jatuh, tetapi luka itu terlalu dalam. Terlalu sulit untuk diikhlaskan. Bahkan jika suatu saat Brian muncul kembali, meminta maaf dengan tulus, Ala tahu, maaf itu tak akan pernah cukup untuk menyembuhkan semua luka yang sudah tertanam di hatinya.

Mencintai seseorang terlalu dalam ternyata adalah sebuah risiko. Ala menyadari hal itu terlalu terlambat. Ia tak pernah menyangka bahwa cinta yang ia berikan dengan ketulusan sepenuh hati justru berbalik menjadi pedang tajam yang melukai dirinya sendiri. Dan sekali terluka, rasa sakit itu akan menetap, sulit dihapuskan.

Jangan pernah mencintai seseorang terlalu dalam kalau kamu tidak siap untuk terluka. Karena cinta yang tumbuh terlalu dalam akan meninggalkan luka yang tak main-main ketika ia pergi. Dan luka itu, meski waktu berjalan, akan selalu ada, seperti bayangan yang tak pernah benar-benar hilang.

Bersambung...

Hay, selamat membaca yaa jangan lupa like, komen dan subscribe.

Kalau mau visual Ala dan Brian ada di Instagram yaa

Follow akun aku: Alaish Karenina

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!