FOR NOW & FOREVER

FOR NOW & FOREVER

Drama Satu Hari

Sebuah restoran yang terletak tidak jauh dari tempat wisata yang diramaikan pengunjung pada weekend kali ini, menjadi pilihan Tiwi untuk mengisi perutnya saat jam sudah melewati angka dua belas siang.

BMW Seri 3 putih miliknya terparkir rapi di lahan kosong parkiran yang terletak agak di pojok.

“Di sini nggak masalah kan, ya?” Perempuan dengan wajah oval khas Asia yang memakai pakaian dengan tone gelap itu menoleh pada dua orang perempuan lainnya yang sudah menjadi teman jalannya sejak masih sekolah menengah.

Yura, perempuan dengan style andalannya yang selalu memadupadankan pakaian apapun dengan bawahan rok, mengangguk tanpa masalah.

“Masalah apa, sih? Buruan deh, gue udah lapar banget!” serobot perempuan satunya lagi yang duduk di belakang, Tiffany. Perempuan berambut sebahu yang beberapa saat lalu baru saja meraih gelar dokter di depan namanya itu langsung melengos keluar meninggalkan Tiwi dan Yura. 

“Ya, udah,” kata Yura yang setelahnya langsung keluar. 

Tiwi keluar mobil di detik selanjutnya. Perempuan itu mengunci mobil sebelum menyusul dua temannya yang sudah berjalan beberapa langkah di depan.

Acara jalan mereka ini adalah wacana yang sudah lama sekali mereka rencanakan. Sekitar dua bulan lalu kalau tidak salah, dan baru terealisasikan hari ini.

Semenjak lulus S1 dua tahun lalu, ketiganya mulai sibuk pada pekerjaan, sehingga intensitas waktu untuk sekedar berkumpul berkurang drastis. Tiwi dan Yura yang juga sama-sama kembali lulus S2 beberapa bulan lalu semakin menggila saja kesibukannya. Tiffany tidak perlu dipertanyakan. Awal masuk FK saja dulu, si rambut sebahu ini waktunya habis dipergunakan untuk belajar, lalu dilanjut masa koasnya dua tahun ini sampai sumpah dokter kemarin, benar-benar tidak ada waktu luang sama sekali. Untungnya saja, Tiffany tetap memilih Jakarta sebagai wahana internship-nya.

Makan siang itu hanya berlangsung satu jam lamanya. Dan, ketiga perempuan itu tidak berlama-lama menghabiskan waktu di restoran, karena niat mereka memang hanya sekedar singgah mengisi perut. Lagi, mereka juga sebenarnya masih harus ke tempat lainnya.

Jarak dari pintu restoran menuju sudut parkiran, awalnya diisi perbincangan santai, satu-dua cerita singkat Tiffany bahkan menghasilkan kekehan pelan dari Tiwi dan Yura. Tetapi, saat Tesla hitam masuk ke parkiran, mengambil parkir tepat di samping kanan mobil milik Tiwi, MBW putih itu tiba-tiba saja mengeluarkan suara nyaring berderet. 

“Mobil lo,” kata Yura pada Tiwi.

“Iya. Diapain sampai bunyi gitu, ya?” Tiffany menautkan alisnya.

“Kayaknya....” Ucapan Yura tidak berlanjut, sebab Tiwi tidak lagi berada di sampingnya. Perempuan itu sudah berlari di depan sana dengan perasaan tidak enaknya.

“Ini kenapa....” Yura lagi-lagi terjeda karena Tiffany juga ikutan berlari.

Sementara di depan sana, Tiwi yang sudah tahu alasan di balik mobilnya bersuara, mematung di tempatnya berpijak, tangannya spontan bergerak menutup mulutnya yang terbuka lebar. Mata perempuan itu tidak berkedip untuk beberapa waktu ketika melihat mobilnya.

“Oh, My!” pekik Tiffany di sampingnya saat melihat keadaan di depan.

“Astaga....” keluh Yura sambil berjongkok. Napas perempuan itu putus-putus setelah ikutan berlari. Di antara mereka bertiga, dia seorang yang memakai high heel.

“Kenapa?” tanya Yura setelah menyeka jejak basah di dahinya dengan pelan.

“Tuh!” tunjuk Tiffany yang berdiri tepat di sela mobil kedua mobil.

Yura sebelumnya yang berdiri agak belakang, mendekati Tiwi dan Tiffany. Kontan saja, perempuan tertinggi itu membelalak.

“WHAT THE HECK?!” seru Yura kaget.

Goresan panjang di badan mobil Tiwi, dan kaca spion mobil Tesla yang kini tergeletak rapuh di aspal akibat patah setelah berbenturan keras dengan mobil Tiwi. Tak perlu bertanya lanjut bagaimana perasaan Tiwi. Apalagi ketika perempuan itu melangkah mendekati Tesla hitam dengan wajah merah padamnya. 

“Ampun, deh,” gumam Yura ketika Tiwi mengetuk kasar kaca mobil bagian depan.

“Keluar lo!” teriak Tiwi.

Tiffany bergegas mendekati Tiwi yang bak laki-laki mengetuk bar-bar kaca mobil. 

“Tiwi, tenang,” ucap Tiffany.

“Tenang?! Apa-apaan lo nyuruh gue tenang? Orang di dalam ini udah kurang ajar!” bentak Tiwi tanpa sadar pada Tiffany. “Kalau nggak bisa bawa mobil, nggak usah sok-sokan!”

Tiffany mendesah pelan mendengar semprotan itu. 

Tapi, memang siapa yang tidak marah, sih? BMW Seri 3 itu baru-baru sekali Tiwi beli, pakai uang sendiri pula. Dan, kurang dua ratus lagi sampai harganya genap sepuluh digit. Tiffany tidak bisa membayangkan harus berapa lama bekerja sampai BMW Seri 3 itu bisa dia beli dengan pekerjaannya sebagai dokter umum yang gajinya masih di bawah lima juta.

Ngomong-ngomong soal gejolak emosi Tiwi saat ini, sumpah, Tiffany dan Yura jarang sekali melihatnya, sebab sahabat mereka itu punya kontrol diri di atas rata-rata. Dan, ketika melihat Tiwi meledak sampai tidak peduli di mana dia berada saat ini, Tiffany dan Yura angkat tangan.

“Woi, keluar!” Tiwi kembali berseru, dan perempuan itu tidak peduli ketika pengunjung lain sudah berkerumun di sekitarnya. Jangan lupa tukang parkir yang tergopoh-gopoh dengan wajah panik.

Pintu Tesla itu akhirnya terbuka. Seorang laki-laki dengan tubuh tinggi, kulit putih, dan otot lengannya yang mencuat di balik kaos hitam polosnya muncul. 

Pandangan santai yang laki-laki itu lemparkan membuat Tiwi tersinggung. Bisa-bisanya dia merasa tidak bersalah?!

Tiffany dan Yura mengerjap pelan. Maafkan mereka kalau salah fokus pada ketampanan laki-laki itu. 

“Keluar juga lo!” kata Tiwi, tangannya menunjuk ke badan mobilnya, “Lihat perbuatan lo, tuh! Mobil orang jadi korban. Kalau nggak tahu bawa mobil, nggak usah lah sok-sokan!”

Wajah tak bersalah laki-laki itu tidak berganti meski Tiwi sudah menyemprotnya. Hanya dahinya yang terlipat sedikit karena sengatan matahari siang.

“Ngerap lo barusan?” sahut laki-laki itu tenang. 

Tiffany dan Yura sontak saja melotot mendengar sahutan dari mulut laki-laki itu yang ibarat pernyataan perang dunia ketiga baru saja dimulai.

Tiwi melipat tangannya di depan dada sembari melempar kekehan mencemoohnya. “Lo selain nggak tahu diri, memang nggak punya etika ya ternyata.”

“Minggir bentar,” kata laki-laki itu yang membuat Tiwi terpaksa mundur merapat ke mobilnya, karena laki-laki itu bergerak membuka pintu mobil belakang. Dan, dua bocah keluar dari sana.

“Lo tuh udah punya dua anak! Tanggung jawab—”

Ucapan Tiwi terpotong saat bocah perempuan yang kira-kira berusia empat tahun berbicara, “Apa sih nih, Om? Kenapa pada malah-malah?”

Tiwi memandang bocah yang belum panda0i melafalkan huruf R itu. Baru akan angkat bicara, laki-laki yang awalnya dia kira adalah ayah dua bocah itu menyerobot duluan.

“Jihan sama Arka duluan aja ya masuknya? Om ada urusan sebentar.” Laki-laki itu berjongkok, mensejajarkan tingginya dengan kedua ponakannya. Ucapannya langsung diangguki oleh Jihan dan Arka.

“Gue bakal ganti kerugian lo. Gitu aja diribetin. Padahal mobil gue lebih rusak!” kata laki-laki itu sembari mengambil dompet dan mengeluarkan kartu nama dari sana.

“Lah? Lo nyolot? Orang lo yang salah!” tanya Tiwi tak habis pikir. Dia mengabaikan sodoran kartu nama itu, sehingga laki-laki di depannya berdecak gemas.

“Mobil lo yang nabrakin dirinya sendiri.”

“Lo gila.”

“Terserah lo, deh!” putus laki-laki itu dan menarik kembali sodoran tangannya yang tidak bersambut. 

Dan, Tiwi hanya terperangah ketika laki-laki itu malah melangkah pergi. “WOI!!”

Laki-laki itu mengangkat tangan tanpa menoleh ke belakang, melambai seolah masalah di antara mereka sudah selesai. 

“Gila banget!” ketus Tiwi melihatnya. Ketika pandangannya beralih ke mobilnya, perempuan itu menyugar rambut panjangnya ke belakang sembari menghela napas berat. Sial.

***

Matahari sudah merangkak ke barat ketika Tiwi berpisah dengan kedua sahabatnya. Dan, dia nyaris mengeluhkan sisa hari itu dengan kecelakaan yang menimpanya tadi.

Ponselnya tiba-tiba berdering. Nama mamanya muncul sebagai penelepon. Tiwi hanya meliriknya sekilas. Tapi, perempuan itu melajukan dua kali kecepatan mobilnya sebagai jawaban. Perlu diketahui, ini adalah panggilan kelima mamanya. Hal ini juga menjadi salah satu alasan acara jalan bersama sahabatnya bubar.

Tiwi tiba di rumahnya pukul setengah tujuh. Bi Dian—satu-satunya PRT yang bekerja di rumahnya—menyambutnya di pintu.

“Ibu sudah menunggu dari tadi di kamar, Mbak Tiwi.”

Tiwi mengangguk. Dia segera melangkah ke kamarnya yang ada di lantai dua. Apalagi yang sedang dilakukan mamanya?

“Ya Allah, Tiwi. Lama banget pulangnya, Nak!” seru Adelia begitu Tiwi membuka pintu kamar.

“Mama udah cantik-cantik aja, deh,” sapa Tiwi sembari mencium pipi mamanya. “Kenapa sih buru-buru banget?”

“Acaranya hampir mulai, Tiwi. Siap-siap cepat dong.” Adelia meraih gaun kuning yang tergeletak di ranjang dan menyerahkannya ke Tiwi. “Ini nih, pake dressnya cepat.”

Tiwi langsung mengernyit tidak suka pada gaun yang bukan gayanya sekali. “Nggak deh, aku gini aja, Ma.”

Adelia menggeleng tegas. Perempuan paruh baya itu malah mendekatkan gaun ke badan Tiwi, mencocok-cocokkannya. “Mana bisa cuma pakai jeans dan kaos begitu? Pakai yang ini aja. Cocok banget ini, lho.”

“Tiwi nggak usah join lah, kalau harus pakai ini, Ma!” Tiwi berkata lebih tegas. Sungguh, mood-nya bisa lebih buruk dari insiden kecelakaan tadi kalau harus memakai pakaian ribet itu.

Adelia menghela napas. Sekeras bagaimanapun dia membujuk Tiwi, Tiwi tidak akan memakai gaya yang dia pilih. “Oke, kalau nggak mau pakai yang ini, nggak masalah. Tapi, ganti juga dong bajunya, masa tadi udah kepakai dari pagi, dipakai lagi, sih?”

Tiwi mengangguk setuju kali ini. Perempuan itu lalu berjalan ke lemarinya, memilih baju yang cocok. Tapi, tunggu...

“Ini acara apa emangnya? Kasih tahu aku supaya bisa milih bajunya, Ma.”

“Special dinner sama teman Papa. Kamu udah tahu dong pastinya siapa, kan?” Adelia menyimpan kembali gaun kuning itu ke atas ranjang.

“Om—eh, Pak Adhitama?”

Adelia mengangguk. “Jadi, kamu udah tahu harus pakai apa, kan?”

Tiwi perlahan mengangguk. “Mm-hm. Mama tunggu di luar aja bisa, nggak?”

“Oke. Tapi, jangan lama, ya? Soalnya rumah Om Tama kan jauh tuh, Wi. Papa bilang, nggak enak kalau terlambat.” Adelia mengedipkan satu matanya, lalu melangkah keluar.

Tiwi menghabiskan dua puluh menit lamanya bersiap. Perempuan itu hanya membilas sekilas badannya, tidak mandi karena dibuat terburu-buru, dan menyemprot parfum hampir satu badan. 

“Wow ...” gumam takjub Adelia ketika mendapati Tiwi berdandan begitu cantik. Anak perempuan satu-satunya itu tetap menggunakan gaun—bukan gaun kuning yang tadi. Tapi, gaun baru berwarna army yang cukup simple, namun sangat elegan. Lekuk tubuhnya sedikit terlihat. Lalu rambut hitam sepunggungnya dibuat bergelombang, dan membiarkannya tergerai. Sangat cantik.

“Cakepnya anak Papa!” Laki-laki paruh baya itu bergerak mendekati Tiwi, dan langsung mendaratkan satu kecupan di keningnya. 

“Ah, pujiannya nggak meresap. Jantung aku masih biasa aja,” canda Tiwi sambil memeluk singkat papanya sebagai bentuk sambutan pulang ke rumah. “Kirain baru balik lusa dari Singapore, Pa.”

“Urusannya udah kelar,” jawab Khanza yang memang tiga hari kemarin berada di Singapore mengurus pekerjaan, dan tahu-tahu sudah berada di rumah tanpa mengabari apa-apa.

“Ini udah siap semua? Kita bisa langsung berangkat sekarang?” tanya Khanza.

Saat anak dan istrinya mengangguk, Khanza langsung menggenggam tangan Tiwi saat melangkah keluar.

“Lah? Nggak salah gandeng tangan ini, Pa?” tanya Tiwi yang merasa lucu sekali. 

“Nanti Mama cemburu lagi, Pa?” canda Tiwi sambil melirik mamanya untuk memberitahu ketidakterbiasaan yang dilakukan papanya.

“Ya, Allah ... mana ada Mama cemburu sama anak sendiri,” kata Adelia yang malah ikut-ikut menggenggam tangan Tiwi yang satunya.

Tiwi yang ada makin mengernyit tak paham. “Ini kenapa, deh? Aku kayak anak kecil aja yang masih digandeng-gandeng, nggak tahu jalan gitu.”

Kedua orang tuanya hanya mengangkat bahu, tidak menjawab. Tiwi lalu menghela, lebih tepatnya mengalah dan memilih diam saja sampai masuk ke mobil, dan mengantarnya menuju daerah selatan, selama satu jam lamanya.

***

Terpopuler

Comments

Yati Maryati

Yati Maryati

nama papamya khansa ky nama cewe

2020-11-24

0

Nur Ain

Nur Ain

Hii rina

2020-11-22

1

🎯Pak Guru📝📶

🎯Pak Guru📝📶

mampir ya di novel ku

ILMU YANG BERMANFAAT

bantu BOOM LIKE

2020-08-22

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!