Retak Seribu

Esoknya pagi-pagi, mereka semua telah berkumpul di restoran hotel tersebut untuk sarapan, kecuali Tiwi.

"Om Indla, Tante Tiwinya mana?" Tanya Jihan yang sudah menghabiskan nasi gorengnya, sekarang mengelap bibirnya yang terlihat berminyak dibantu oleh sang Bunda, Vina.

Indra menoleh kesana kemari tapi tidak Tiwi tidak kunjung kelihatan. "Indra juga nggak tahu."

"Kamu kan sekamar Dek, masa nggak tau sih, terakhir emangnya Tiwi ngapain?" Clarissa mendadak bingung.

"Semalam mainnya keterlaluan kali? Udah Abang bilangin lembut-lembutin juga." Ucapan Aldo sukses membuat orang dewasa tersenyum tipis, hanya Indra yang menatap kesal.

Indra memilih diam, kalau ia tanggapi masalahnya tidak akan selesai, dan terlebih kedua orang tuanya akan tahu mereka tidak semesra pasangan kebanyakan.

"Indra? Tiwi sakit?" Vina yang bertanya, wajahnya mulai khawatir tapi ia tetap tidak bisa menyembunyikan kesenangannya mengetahui hubungan Indra dan Tiwi.

"Nggak Mommy, tadi pas aku tinggalin masih tidur." Jawab Indra lirih.

"Ya Allah Nak, jadi suami itu harus nunggu istrinya, dibangunin, ditungguin, kalau satu lapar yang satu beri makan, nggak boleh sendiri-sendiri. Yang satu susah yang satu ngehibur. Ingat itu." Vina menyarankan dengan selembut-lembutnya meskipun ia tahu kalau ia sudah tidak bisa mengganggu privasi anaknya. Tapi Indra ya Indra, pria berusia 25 tahun yang jiwanya masih kekanak-kanakan dan sangat membutuhkan saran-saran dari kedua orang tuanya.

"Aku udah bangunin tadi kok Mom, tapi katanya masih ngantuk jadi aku tinggalin karena udah laper banget." Ucap Indra setenang mungkin agar tidak ketahuan bohongnya.

Jadi tadi sebenarnya, Indra sudah bangun pukul setengah enam sedangkan Tiwi belum, ia baru bisa tidur jam 2 pagi karena kebanyakan berpikir. Indra lalu keluar berjalan-jalan, sedikit meregangkan otot dan kembali satu jam kemudian. Indra masih mendapati Tiwi yang meringkuk dalam selimut, tertidur pulas. Ia bukan tidak tega untuk membangunkannya tapi ia tidak ingin menyentuhnya, mereka memang suami-istri tapi perasaan mereka tidak ada. Mereka bahkan tidak layak dikatakan sebagai teman.

"Noh, Tante Tiwi." Tunjuk Arka ke arah belakang Indra. Tapi Indra tidak menoleh, ia tidak penasaran dengan wanita itu dan malah asyik menikmati sarapannya.

Wanita yang memakai kaos hitam polos yang dipadukan dengan celana kulot bergaris berwarna hijau dengan rambut yang dibiarkan tergerai mendekat ke arah meja mereka menenteng piring dan segelas jus.

"Selamat pagi." Tiwi tersenyum lebar dan duduk di kursi sebelah Indra. Indra bisa mencium bau khas Tiwi, cherry blossom.

"Selamat pagi juga." Balas yang lain, kecuali Indra.

Entah Indra sedang kenapa? Tapi ia sama sekali tidak mood untuk menanggapi istrinya.

Tiwi menyadari kelakuan Indra, sejak datang, Indra tidak sedikitpun menoleh kepadanya dan tidak membalas sapaannya. Ia pun menjadi canggung, selama dua hari terakhir Indra lah yang memulai drama, Indra yang memulai perbincangan, Indra yang memulai mendeskripsikan hubungan mereka di depan umum, khususnya di depan kedua orang tuanya dan kedua orang tua Tiwi.

"Ind—"

Ucapan Tiwi terpotong saat Indra berdiri. "Aku masih mau nambah." Kemudian meninggalkan meja makan menuju stan.

"Tuh anak napa Wi, kecut amat mukanya?" Aldo menyadari ada sesuatu yang salah dengan adiknya.

Tiwi hanya menggeleng. "Nggak tau Kak."

Tiwi membatin. Apa karena semalam ya? Dia tersinggung karena gue nggak mau tidur sama dia?

"Kamu ada masalah?" Khansa yang bertanya. Ia mendadak khawatir, mengingat penolakan Tiwi seminggu yang lalu.

"Nggak Pa. Beneran kita nggak ada masalah kok. Suuueerr!!" Tiwi mengangkat dua jarinya membentuk huruf V.

"Indra ngapa-ngapain kamu? Bilang sama Daddy." Adhitama menaikkan nada suaranya, ia juga tahu bagaimana penolakan Indra seminggu lalu dan mendadak khawatir.

"Nggak kok Daddy." Tiwi kini menggeleng-gelengkan kedua tangannya dengan cepat.

Indra kembali membawa makanan yang sama. Tapi sebanyak yang tadi.

"Kenapa kok diam gitu?" Tanya Indra heran ketika semuanya mendadak diam saat ia datang. Ia menoleh ke Tiwi yang sudah tidak berselera makan karena habis diwawancarai.

"Lo apain bini gue, Bang?" Indra memasang mata menyelidik ke arah Aldo, ia tahu sekali Abangnya itu hobi menjahili orang.

"Lah, kok gue?" Tanya Aldo.

"Ya siapa lagi, kan Abang yang suka jahil, kalo Bang Rifal mah orangnya kalem, selow dan nggak suka urusin urusan orang." Sindir Indra. Manik mata tajam Indra beralih ke istrinya dan berubah menjadi sendu.

"Kenapa nggak makan makanannya? Kamu kenapa? Tiba-tiba nggak *****? Mau aku ambilkan makanan yang baru? Bilang aja!" Tanya Indra bertubi-tubi.

"Nggak kok." Jawab Tiwi singkat.

"Terus kenapa? Kamu jangan gini dong, bilang sama aku. Aku nggak suka kamu menyembunyikan sesuatu, aku bukan orang yang peka yang bisa langsung tau kemauan orang hanya dari melihat raut wajahnya, sikapnya, apalah itu." Indra berkata tegas, ia mulai kesal dengan Tiwi yang tidak berterus terang.

"Ini semua karna kamu kan Indra? Ngomong sama Daddy, kamu apain Tiwi?" Adhitama ikut geram dengan tingkah Indra yang sedikit pesimis.

"Aku? Aku nggak ada apa-apain dia kok Dad, kenapa ngomong gitu?" Tanya Indra kembali.

"Benar Dad, Indra nggak ngelakuin apapun yang menyakiti hati aku kok. Kita benar-benar nggak ada masalah." Tiwi yang menjawab.

Indra langsung mengerti apa yang sebenarnya terjadi, Tiwi merasa risih karena ditanyai tentang masalah. Tapi kenapa mereka mendadak bertanya begitu? Indra tidak mengerti.

Tapi sudahlah, Daddynya dan siapapun itu kembali diam menyantap sarapan.

***

Setelah sarapan, Indra memutuskan berjalan-jalan di area hotel, di taman hotel sendirian. Tiba-tiba Tiwi datang mendekat, duduk di samping Indra yang beristirahat di bangku taman.

"Lo kenapasih? Daritadi gue liatin muka lo ketekuk gitu?" Tanya Tiwi seperti biasa, panggilan lo-gue ikut menghiasi sederet kata dari Tiwi. Aku-kamu hanya digunakan di depan orang banyak.

"Udah ahh, nggak usah ditanyain, gue lagi badmood." Jawab Indra dengan malas.

"Baru aja lo bilang jangan nyembunyiin apapun. Lah ini, lo lagi yang mulai."

Indra hanya diam, ia kembali mengingat perkataannya di meja makan tadi.

"Lo jangan-jangan punya doi, dan si doi sekarang marah? Iya gitu?" Tiwi mencoba menebak.

"Doi-doi gue nggak tau kok, tenang aja. Setidaknya lo masih aman."

Tiwi refleks berdiri mendengar penuturan suaminya.

"Doi-doi lo bilang? Artinya banyak dong. Kamu punya banyak pacar?" Antara terkejut dan antusias, begitulah yang dirasakan Tiwi sekarang.

"Kenapa?" Indra memilih bertanya, ia sama sekali tidak mengerti ekspresi Tiwi.

"Beneran banyak? Ngaku lo!" Desak Tiwi.

"Emang kenapa sih? Lo cemburu?" Indra mengangkat satu alisnya.

"Yakali gue cemburu sama air comberan kayak lo!" Tiwi menghela napas gusar lalu duduk kembali di samping Indra.

"Itu mulut atau apasih suka pedas kalo ngomong." Ucapan Indra diikuti oleh helaan napas.

"Emang benar masalah doi lo nih?" Tiwi memastikan.

"Bukan"

"Ya ngomong makanya atuh, ribet banget sih kalo gini."

"Harus curhat emangnya?" Indra menoleh ke samping.

"Ya kan gue istri lo geblek. Sudah seharusnya dong gue tau masalah lo." Tiwi sangat berhati-hati mengucapkan kata 'istri'.

Kalau sudah seperti itu Indra tidak punya pilihan lain. Ia lalu merogoh sakunya dan mengeluarkan benda pipih.

"Lo apain aiphon eekkss lo hah?" Pekik Tiwi melihat ponsel Indra yang sudah retak seribu.

"Jatuh!" Jawab Indra cepat dan singkat.

Tiwi meraih ponsel Indra, membalik-balikkan dan menilitnya sudah seperti detektif yang menemukan sebuah bukti. "Masa jatuh aja retaknya banyak gini, ini kayak jatuh dari lantai tujuh tau nggak."

Indra mengembuskan napas pelan, mengingat kejadian yang tadi. "Tadi nggak gue pakein case terus pas olahraga, gue lompat. Hpnya ikut lompat juga dong dari kantong gue."

Tiwi menyerahkan kembali ponsel Indra. "Untung masih nyala. Tapi kalo lo mau ganti, ganti aja lagi."

"Gue tuh belum kerja, nanti habis balik dari sini baru masuk. Gue nggak ada duit."

"Jadi karena cuma ini muka lo kecut kayak gitu?"

Indra mendesis panjang. "Cuma lo bilang? Gue nabung selama kuliah, gue rela nggak jajan kayak teman-teman yang lain. Ini gue beli belum lama amat, tiga bulan yang lalu."

"Minta sama Daddy aja, diakan banyak duit." Saran Tiwi.

"Boro-boro minta duit 17 juta, 500 ribu aja mikirnya lama. Daddy tuh pelitnya kebangetan."

"Yaudah. Tunggu nanti gajian aja." Ucapan Tiwi langsung diangguki oleh Indra.

tbc...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!