"Selamat malam Pak Khansa, silahkan masuk" Sapa seorang pria baya berusia empat puluhan, Pak Asis. Kepala pelayan di rumah besar itu.
"Selamat malam." Balas Khansa.
"Mari Pak, saya antarkan masuk."
Khansa dan keluarganya masuk ke dalam rumah besar itu dipandu oleh Pak Asis.
Mereka tiba di ruang makan keluarga Adhitama yang telah didekor sedemikian rupa. Meja panjang yang terdiri dari 12 kursi telah diisi oleh 6 orang dewasa.
Bagi Tiwi, Adhitama bukanlah orang yang asing. Ia telah berkali-kali melakukan kerjasama, pertemuan dan segalanya yang berkaitan dengan pekerjaan. Tapi, matanya menangkap beberapa orang yang masih asing.
"Wah, Khansa, selamat datang." Adhitama langsung berdiri menyambut Khansa, memeluk sahabatnya dengan sangat erat, wajahnya berseri-seri.
Khansa membalas pelukan sembari menepuk-nepuk punggung Adhitama. "Terimakasih Tama."
Istri Adhitama, Vina, ikut menyambut tamu yang telah datang. Tampilannya sangat cantik. Berdiri tepat di samping suaminya.
"Ini putrimu, Lia?" Ia langsung tertarik dengan wanita muda yang berdiri di depannya.
Lia merangkul putrinya, "Betul sekali, dia putriku."
"Cantik sekali kamu sayang." Puji Vina, memegang kedua lengang Tiwi yang sudah sangat canggung, lanjut membelai pipi mulus Tiwi yang dilapisi dengan make up tipis.
"Daddy sudah sering bertemu dengannya, Mom. Kecantikan dan kepintarannya tidak ada duanya." Adhitama ikut memuji.
"Daddy kalau bertemu dengannya ajak-ajak Mommy dong. Kan Mommy berhak tau calon menantu kita." Vina terkekeh namun perkataannya sukses membuat kebingungan di raut wajah Tiwi. Tiwi sekarang melongo.
Calon menantu? Maksudnya apa? Tiwi membatin. Ia lalu menoleh ke Mamanya mengharap jawaban. Tapi sang Mama hanya menaikkan satu alisnya.
"Mom, ajakin duduk dong tamunya. Ini makanannya udah mau dingin lho." Ujar salah satu wanita yang berdiri di depan kursinya, ia adalah anak kedua dari Adhitama yang tidak kalah cantiknya dari sang Mama. Yunari Alya Adhitama.
"Ayo-ayo silahkan duduk."
Mereka lalu duduk di kursi masing-masing. Para kepala keluarga duduk di kursi utama dan saling berhadapan. Tiwi dan Lia duduk berdekatan. Sisi kanan meja yang terdiri dari sepuluh kursi sudah penuh. Tersisa tiga kursi yang terletak di hadapan Vani, Tiwi dan Lia. Entah siapa pemilik kursi itu.
"Ma, ini acara apasih? Kok istrinya Pak Tama bilang Wiwi calon menantunya?" Bisik Tiwi pelan sekali, yang hanya didengar oleh Mamanya sendiri.
Lia hanya tersenyum menanggapi pertanyaan anaknya. Hanya soal waktu Tiwi akan mengerti.
Makan malam itu berlangsung lancar, sebagian piring telah tandas dimakan. Mereka sesekali berbincang percakapan ringan. Sampai tujuan utama diadakannya makan malam itu tiba.
"Pratiwi Khansa Aurellia." Panggil seseorang dengan suara khas seraknya.
Tiwi refleks menoleh ke arah Adhitama. Ia memasang tampang serius karena namanya dipanggil dengan lengkap dan nada yang cukup serius.
"Iya Pak Tama."
Adhitama berdehem sebentar. "Saya dan Papamu sudah bersahabat sejak lama sekali. Dan sewaktu kamu berusia 5 tahun, kami sepakat menjodohkan kamu dengan anak bungsu saya..." Adhitama berhenti sejenak, memberi jeda.
"Hari ini kalian akan bertunangan. Anak saya akan pulang sebentar lagi, dan dia setuju dengan perjodohan ini. Sambungnya.
Tiwi melipat dahinya, bukan karena tidak mengerti perkataan Adhitama. Tapi karena perjodohan yang begitu tiba-tiba ini. Ia lalu menoleh ke Papanya, membutuhkan jawaban.
"Papa tau kamu shock dengan perjodohan yang begitu tiba-tiba ini. Tapi tolong percaya dengan Papa dan Mama. Kami yakin kamu pasti bahagia."
Tiwi semakin mengerutkan dahinya mendengar penjelasan dari Papanya. Ini bukan keinginannya, ia hanya ingin bebas, terbebas dari pengekangan, peraturan dan apapun itu yang tidak membuat hatinya senang. Sedari kecil kedua orang tuanya membebaskannya, dan sekarang justru masa depannya harus diputuskan sepihak.
"Apa bisa ada penolakan di sini?" Ucap Tiwi lirih, ia sekarang menunduk dalam-dalam.
"Wi, gak boleh gitu, Nak, keputusan ini sudah mutlak antara Pak Tama dan Papamu." Lia mengusap-usap lengan Tiwi dengan lembut.
"Pak Tama, bisa beri saya waktu? Apa ada ruangan yang bisa saya gunakan untuk berdiskusi dengan kedua orang tua saya?"
Belum sempat Adhitama menjawab, suara riuh mendekat ke ruang makan. Tawa anak kecil.
"BUNDA" Suara sahutan dua bocah dengan kompak, berlari ke orang yang dipanggilnya.
"Jihan, Arka, jangan berlari-lari gitu dong. Om Indra mana sayang?" Tanya Vina kepada dua cucunya yang menggemaskan.
"Om Indla ada di belakang kok Oma, dia aja tuh jalannya yang lelet-lelet." Sahut Jihan membela diri.
Tiwi refleks berdiri melihat kedua bocah itu, membuat semua orang menoleh kepadanya. Kedua bocah yang ia temui di parkiran tadi bersama seorang pria yang membuatnya jengkel setengah mati. Kini pikirannya berlari kemana-mana. Ia sudah tahu dengan siapa ia akan dijodohkan.
"Lho? Tante yang tadikan yang malah-malah di palkilan? Ngapain ke lumah Jihan, mau minta sumbangan?" Tanya Jihan dengan polosnya, wajah gembulnya di penuhi keringat karena habis berlari.
"Selamat malam Mom, Dad. Maaf aku terlambat!" Suara bariton itu sukses membuat semuanya menoleh, termasuk Tiwi ia sekarang semakin membelalakkan matanya.
Sudah tentu, siapa lagi orang lain yang menjadi anak dari Adhitama. Hanya tersisa satu orang yang belum menikah yaitu Indra selaku anak bungsu. Kakak tertuanya Aldo Furqan Adhitama sudah menikah dengan wanita cantik bernama Clarissa Aradhia dan memiliki anak satu bernama Arka Nando Adhitama. Kakak keduanya Yunari Alya Adhitama juga telah menikah dengan pria kaya bernama Rifaldi Widjaya dan memiliki satu anak cantik bernama Allisya Jihan Widjaya.
Pasang mata Tiwi tidak pernah teralihkan dari pria itu. Ia terus melihatnya sampai pria itu duduk di kursi yang ada di depannya.
Vina langsung berdiri. "Tiwi sayang, perkenalkan anak kami, Kavindra Ayden Adhitama, calon suamimu."
Indra berdiri kembali lalu menjulurkan tangannya ke depan Tiwi. Tiwi dengan ragu membalas jabatan tangan itu.
"Pratiwi Khansa Aurellia." Ucap Tiwi singkat, lalu melepaskan jabatan itu. Mereka saling melemparkan tatapan yang tajam.
"Jadi bagaimana, apakah kalian berdua setuju?" Tanya Khansa.
"TIDAK!" Jawab keduanya kompak.
"Lho? Indra Nak, kemarin-kemarin bilangnya setuju, kenapa sekarang nolak?" Vina dibuat bingung.
"Yaelah, cikal bakal jodoh selamanya nih, jawabnya aja kompak gitu." Timpal Aldo.
"Aku sekarang berubah pikiran, aku tidak suka dengan pilihan Mommy dan Daddy." Ujar Indra dengan tegas.
"Tama, apa permintaan anak saya bisa disetujui, tentang ruangan yang bisa digunakan untuk berdiskusi?" Khansa melerai.
"Boleh Khansa. Tunggu sebentar ya.."
"ASIS?" Teriak Adhitama memanggil kepala pelayan yang berdiri tidak jauh dari ruang makan. Asis segera menghadap.
"Iya tuan?"
"Tolong antarkan Khansa dan keluarganya pribadi saya, di lantai dua."
Asis mengangguk. "Mari Pak Khansa."
Khansa dan keluarganya berlalu ke ruangan atas.
Adhitama menggeram, ia lalu memukul meja makan dengan keras membuat piring-piring saling berdenting.
"KAVINDRA, DADDY GAK MAU ADA PENOLAKAN DI SINI. DADDY MAU KAMU MENIKAH DENGAN ANAK SAHABAT DADDY, PRATIWI." Gertak Adhitama kepada anaknya.
"Aku gak mau Dad, kakak-kakakku gak ada yang dijodohin, kenapa aku dijodohin?" Bantah Indra.
"Yaudah sih kalau gak mau, Mommy akan jodohkan kamu dengan Jessica, dia mantan kamu kan? Kamu mau Mommy jodohkan dengan dia?" Vina mencoba melerai dengan menawarkan yang lain.
"Gak Mom, aku juga gak mau sama Jessica." Indra lagi-lagi menolak.
"Daddy gak suka sama Jessica, Daddy hanya suka sama Pratiwi."
"Yaudah, Daddy aja yang nikah sama si Pratiwi, kan Daddy yang suka bukan aku."
"INDRA, KAMU KALAU NGOMONG SUKA SEMBARANG YAHH." Bentak Vina, ia tidak terima omongan anaknya yang seolah tidak menganggapnya ada.
"Kalau kamu gak setuju, Daddy gak akan berikan posisi CEO kepada kamu." Ancam Adhitama.
Indra mengernyitkan kening, Daddynya tahu sekali kelemahannya. Posisi yang paling ia idam-idamkan sekarang dipertaruhkan hanya karena seorang wanita.
"Baiklah, aku setuju." Ia menghela napas kasar, terpaksa, ia benar-benar tidak bisa melawan perintah Daddynya.
***
"Jadi karna ini Papa sama Mama megang tangan Wiwi tadi? Papa dan Mama mau melepaskan Wiwi? Iya? Pa, Ma, Wiwi gak mau dijodohin." Mata Tiwi berkaca-kaca.
"Wi. Mama sama Papa lakuin ini demi kebahagian kamu, cuma itu." Lia berusaha berkata pelan.
"AKU GAK MAU MA!" Tolak Tiwi dengan lantang, memekakkang ruangan yang tidak seberapa luas itu. Air bening yang daritadi tertampung pecah mengalir ke dua sisi pipinya.
"Kenapa kamu nolak? Papa kecewa sama kamu. Kamu udah mempermalukan Papa di hadapan Adhitama." Khansa menghela napas berat, tidak menyangka anak satu-satunya akan melawan keinginannya.
"INI HIDUP AKU, AKU SUDAH DEWASA. MAMA SAMA PAPA GAK USAH LAGI URUS-URUS AKU." Tiwi semakin membesarkan suaranya, menunjuk-nunjuk dirinya sendiri sembari terisak.
Dengan sangat kesalnya akan suara Tiwi yang sudah seperti bentakan Lia tanpa ampun menampar wajah Tiwi.
"Ma.. Mama tanpar aku? Dari dulu Mama gak pernah melakukan ini, dan sekarang hanya karena lelaki itu dan gengsi kalian—"
"DARI DULU, PAPA SAMA MAMA GAK PERNAH MINTA APAPUN DARI KAMU, KAMU YANG SELALU MERENGEK MINTA INI ITU. DAN APA BALASAN KAMU? PERMINTAAN PERTAMA PAPA INI KAMU TOLAK DENGAN SESUKA HATIMU." Khansa membentak Tiwi yang semakin larut dalam tangisannya. Ia sudah kehabisan kesabaran dengan perlakuan anaknya.
"Kami berdua masih orang tua kamu. Kami masih berhak mengatur-ngatur kamu. Jangan karena kamu sudah dewasa, kamu berani berbicara seperti itu! Kamu juga sudah menyakiti hati Mama, kamu gak hormat sama kedua orang tua kamu... Ayo Pa, kita pergi aja!" Lia sudah menarik lengang suaminya agar melangkah meninggalkan ruangan itu. Namun sebelum itu, Tiwi mencegat langkah mereka.
"Ma, Pa, maafin aku, aku bukan berma—"
"Papa gak mau denger apapun lagi dari kamu, kamu sudah menolaknya, jadi sudah tidak apa-apa lagi."
"AKU.. AKU BAKAL TURUTIN KEMAUAN PAPA SAMA MAMA, AKU AKAN SETUJU PERNIKAHAN INI." Tiwi menghapus air matanya.
"Mama gak mau kamu terpaksa menerimanya karna Mama dan Papa terlanjur kecewa sama kamu. Mama mau kamu bisa mencintai Nak Indra."
"Iya Ma, aku akan usahain." Balas Tiwi lirih.
***
Khansa, Lia dan Tiwi telah bergabung kembali ke meja makan. Sebelum bergabung, Lia meminta Tiwi untuk menghapus bekas tangisannya, tapi tetap saja ada bekas di sana.
Suasana meja makan sudah tidak tenang lagi membuat mereka terpaksa pindah ke ruang keluarga. Kebobrokan si dua bocah sukses membuat orang dewasa tertawa.
"Karena kalian berdua telah setuju, minggu depan acara pernikahan akan dilangsungkan." Adhitama memutuskan.
Indra dan Tiwi hanya mengangguk takzim. Ini bukan sebuah kebahagian bagi mereka.
Clarissa merogoh saku bajunya mengeluarkan sebuah kotak yang tidak begitu besar lalu ia letakkan di atas meja.
"Itu pesanannya Dad."
"Ah Daddy hampir lupa. Karena kalian sudah resmi bertunangan, pasang ini di jari kalian masing-masing untuk bukti kalian sudah terikat." Adhitama menyerahkan kotak itu ke Indra yang duduk di sampingnya, di sofa ukuran dua orang. Indra dan Tiwi duduk bersama karena perintah Adhitama.
Indra meraih kotak itu, lalu membukanya. Ada dua buah cincin berwarna putih yang sama-sama memiliki satu berlian kecil di atasnya. Tak perlu menunggu perintah, Indra meminta Tiwi untuk menyodorkan tangan kirinya, lalu memasang cincin yang lebih tipis di jari manisnya. Tiwi juga melakukan hal yang sama, memasang cincin yang satu di jari manis Indra.
tbc..
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments