Hari Pernikahan

Pernikahan yang paling diimpikan setiap orang adalah bisa menikah dengan orang yang paling dicintainya, bersanding dengan pria atau wanita yang paling ia sayangi di atas pelaminan. Bersama terus melangkah bersama menghadapi hari esok yang entah itu menyakitkan atau bahagia, dengan anak-anak yang akan menghiasi hari-hari.

Dan hari ini bertetapan dengan pernikahan Indra dan Tiwi yang disatukan melalui perjodohan, bukan karena rasa cinta satu sama lain.

Pernikahan mewah yang dilaksanakan di luar ruangan bertema putih di Pulau Dewata yang terkenal akan keindahannya riuh rendah oleh percakapan para tamu undangan. Tamu kebanyakan rekan bisnis, para pejabat tinggi dan beberapa teman dari mempelai pria dan wanita. Tidak terlalu ramai hanya dihadiri 250 orang.

Tiwi tampil cantik dengan balutan gaun putih yang memanjang sampai ke bawah, rambutnya disanggul dan dikaitkan beberapa bunga putih kecil yang menambah kecantikannya. Dua buah gulungan rambut dibiarkan menjuntai di sisi kiri dan kanan wajahnya, seringkali terbang karena angin malam. Ditangannya juga terdapat serangkai bunga berwarna putih yang siap dilempar nantinya.

Indra juga tampil dengan busana jas berwarna putih. Rambut hitam yang tampak berkilau diterpa cahaya dibiarkan terbelah dua di samping kiri menambah ketampanannya.

Mereka telah sah menikah di siang hari dalam hotel, tamu yang datang berbeda dengan malam resepsi, kecuali orang-orang yang spesial tetap datang.

Tamu-tamu yang berdatangan menjabat tangan pengantin dan mengucapkan beberapa kata selamatan. Lalu beranjak menikmati hidangan yang telah disediakan, beberapa ikut berfoto dengan kedua tokoh utama dalam pernikahan ini.

"Untung aja tamunya dikit, bisa kewalahan gue berdiri menyambut mereka." Gumam Tiwi pelan hanya untuk dirinya sendiri.

Indra mendengar gumamam Tiwi lalu mendekatkan mulutnya ke telinga Tiwi. "Ini karena ide gue, gue juga gak mau berdiri lama-lama."

Tiwi hanya mendesis mendengar ucapan Indra, tidak berniat sama sekali mengubrisnya. Bahkan dari pagi sampai sekarang mereka baru mengucapkan beberapa kata, masih bisa dihitung.

Jihan dan Arka yang juga memakai busana putih datang mendekat ke arah pengantin yang sudah duduk di kursinya.

"Om Indla dan Tante Tiwi kan udah menikah nih, jadi Jihan dan Alka sekalang manggilnya Ayah Indla dan Bunda Tiwi kan?" Tanya Jihan dengan polosnya. Jihan dan Arka memang tetap memanggil kedua orang tua masing-masing dengan Bunda dan Papa, bedanya kalau bukan orang tua asli mereka akan mengekornya dengan nama. Seperti Jihan memanggil kedua orang tua Arka dengan sebutan Ayah Aldo dan Bunda Ica—sebutan Clarissa—dan Arka memanggil kedua orang tua Jihan dengan sebutan Ayah Rifal dan Bunda Yuna.

Indra mendadak menggaruk pelipisnya yang tidak gatal, berpikir keras. "Gak usah deh, Om kan masih muda, tetap panggil Om aja."

"Iih, Om gak muda lagi. Om udah punya bini tau!" Cerca Arka.

Tiwi yang sedaritadi memperhatikan ikut tersenyum melihat tingkah menggemaskan kedua bocah tersebut.

"Kalau Tante Tiwi mau gak dipanggil Bunda sama Jihan dan Alka?" Jihan kembali bertanya.

"Kalau Tante Tiwi panggil aja Nenek, gak akan masalah." Ujar Indra mencoba menjahili ketiga orang tersebut.

Tiwi lagi-lagi mendesis, raut wajahnya berubah kesal. Lalu cepat-cepat berubah karena ada dua anak kecil yang menggemaskan di depannya.

"Jihan sama Arka panggil kita berdua Om dan Tante aja ya, bisa nggak?" Percobaan penawaran Tiwi dengan kedua pelanggangnya.

Jihan langsung memanyunkan bibirnya. "Kenapa halus panggil Tante sama Om, kan lebih enak Bunda sama Ayah."

Tiwi menghela napas pelan, berusaha selembut mungkin menyampaikan. "Tante sama Om kan belum punya dedek bayi nih, apalagi kita berdua masih muda, jadi Jihan sama Arka manggilnya Tante sama Om aja ya. Iyakan Om?" Tiwi menoleh ke arah Indra yang menjawabnya dengan anggukan.

"Tuh, Omnya setuju." Tunjuk Tiwi menggunakan dagunya.

Dan dengan usilnya Arka berkata, "yaudah dibikin dong dedek bayinya." Sukses membuat kedua pengantin baru itu membelalakkan mata.

Ya Allah, salah ngomong. Ucap Tiwi dalam hati.

"Kak Alka, dedek bayi itu bisa dibikin yah? Cala bikinnya gimana? Om sama Tante bikin dong? Jihan pengen dedek bayi sama kayak Jihan supaya bisa main belbie-belbie-an." Cerocos Jihan.

"Hei, hei, jangan ngomongin dedek bayi di sini, tuh minta sama Bunda dan Ayah kalian, mereka lebih jago dan lebih tau." Indra berusaha menyudahi obrolan yang cukup sensitif ini.

"Jihan sama Arka minggir dulu yah, tuh lihat! Tamunya bakal naik sini buat salim-saliman." Arka dan Jihan langsung beranjak ketika melihat tamu yang tunjuk-tunjuk oleh Tiwi.

Beberapa tamu kembali naik ke altar pernikahan untuk mengucapakan kata selamat dan tentunya bersalaman. Kedua manik mata Tiwi tidak terlepas dari kedua wanita yang ikut mengantri paling belakang, sampai akhirnya tiba giliran mereka.

Dua wanita yang tak lain adalah sahabat Tiwi, Yura dan Tiffany sedang berkaca-kaca menatap sahabatnya telah menikah. Tiffany dan Tiwi saling berpelukan dengan erat.

"Yur, lo nggak ikut peluk gue?" Tiwi yang sedang berada dalam pelukan Tiffany mulai melonggar.

"Yakali, tadi udah bosan peluk-pelukan sama lo, abis badan gue remuk." Tolak Yura yang langsung diangguki Tiwi.

"Tif, kok lo baru nongol sih, padahal acara gue dari pagi?" Tiwi melepaskan pelukannya.

"Lo kan tau gue sibuk, gue baru tiba tadi sore lho, terus langsung kesini, istirahat 2 jam doang." Tiffany mengerucutkan bibirnya.

Melihat kedatangan kedua sahabatnya itu, ia sudah tidak bisa lagi menahan air matanya, perasaannya benar-benar sakit. Ia tidak bisa mencurahkan segalanya kepada kedua orang tuanya, dan ia juga memilih bungkam mengenai alasannya menikah dengan pria yang dijumpainya satu yang minggu yang lalu. Yura dan Tiffany mengerti dengan apa yang sahabatnya rasakan sekarang ini, tapi mereka juga memiliki batas agar tidak terlalu jauh mengganggu privasi Tiwi.

"Jangan nangis dong, tuh make up-nya luntur lho, nggak cantik lagi." Yura menghapus air bening yang mengalir di wajah Tiwi dengan lembut, tapi melihat perlakuan Yura, Tiwi malah semakin menangis.

Yura dan Tiffany dibuat semakin bingung, terlebih Indra, ia menatap sendu ke arah Tiwi.

Indra langsung membalikkan badan Tiwi menghadap kepadanya, lalu kedua tangannya mengusap wajah Tiwi dengan pelan, takut-takut jika make up-nya ikut terhapus.

"Lo kenapa sih? Nangis mulu dah, nggak capek apa?" Ujar Indra yang semakin membuat Tiwi menangis.

"Yaelah, suami lo nggak romantis banget." Desah Tiffany mendengar ucapan Indra.

Indra tidak mempedulikan ucapan Tiffany, ia masih fokus menghapus jejak air mata Tiwi.

"Tiwi, lo kenapa sih? Bilang sama gue! Ada yang sakit atau lo udah capek berdiri?" Indra berusaha selembut mungkin, meskipun ia juga tidak terima perjodohan ini tapi ia tetaplah seorang pria yang tidak tegaan, apalagi yang menangis dihadapannya sekarang adalah istrinya sendiri.

Tiwi hanya menggeleng, mulutnya bungkam.

Indra mengerti, ia langsung menoleh ke arah dua wanita yang juga sedang cemas sekarang. "Lo berdua yang bikin bini gue nangis?"

Yura langsung mengernyitkan kening. "Ih sembarangan, lo kalau ngomong ngaca dong, Tiwi kalau sama kita nggak pernah nangis, eh ini baru sama lo dia nangis."

"Daritadi Tiwi sama gue baek-baek aja, pas lo berdua datang, dia langsung nangis. Jadi lo berdua yang bikin dia nangis. Nih gue tanya orangnya. Lo nangis karena mereka berdua?" Tanya Indra yang langsung diangguki oleh Tiwi, dan itu membuat kedua sahabat Tiwi memasang tampang melongo.

"Kita apain lo?" Cerocos Tiffany.

Tangis Tiwi mulai mereda beberapa saat setelah Tiffany bertanya, ia menenangkan perasaannya dibantu oleh suaminya sendiri.

"Gue nangis karena khawatir sama lo pada." Ucap Tiwi yang suaranya masih parau.

"Khawatir kenapa sih? Kita baik-baik aja, nggak ada luka-luka atau semacamnya kok." Ujar Yura meyakinkan.

"Bukan itu!"

"Terus apa?" Tanya Tiffany yang semakin penasaran, takutnya Tiwi berpikiran aneh-aneh.

"Dari dulu kan lo berdua pengennya nikah nih udah kebelet gitu dan gue belum mau, tapi nyatanya gue yang duluan, takutnya sih kalian nggak bakal nyusul gue, dan jadi ngenes terus." Sorot mata Tiwi menampilkan kejujuran, tidak ada niatan untuk bercanda apalagi mem-prank atau mengolok-ngolok kedua sahabatnya yang jomblo itu. Tapi Indra justru terkekeh mendengar alasan Tiwi menangis, sementara kedua wanita itu sedang tertohok mode on, mentang-mentang sudah menikah.

Tiffany dan Yura menghela napas berat, kedua bola mata mereka memutar malas.

"Kita cabut aja dah, mati kutu kita di sini dibully sama lo, mentang-mentang udah jadi bini. Yuk Tif ke bawah cari makan!" Ajak Yura agar segera meninggalkan pelaminan itu.

"Ntar-ntar! Gue mau ngomong sesuatu dulu ama Tiwi" Tiffany menahan langkah Yura. Ia langsung mendekat ke telinga Tiwi dan membisikkan sesuatu.

"..." Hanya Tiwi, Tiffany dan Tuhan yang tahu.

Tiwi mendadak memerah, mendengar ucapan Tiffany.

"Sekate-kate lo, nggak mau nggak mau!" Tolak Tiwi dengan keras.

"Ih, jangan gitu, gue ini dokter yah, jangan ditunda-tunda! Lo kalau mau nasihat, jangan malu nanya sama gue!" Tiffany mengedipkan satu mata, lantas pergi bersama Yura.

Tiwi menoleh ke arah Indra karena meras diperhatikan.

"Apa?" Tanyanya dengan suara tinggi.

"Gue tau apa yang dibisikan oleh teman lo yang mengaku dokter itu!"

Mata Tiwi memicing ada sesuatu yang mencurigakan dari gelagat Indra.

"Sok tau!"

"Dih, gue belum ngomong apa-apa udah dibilangin sok tau!"

"Yaudah, lo denger apa emangnya?" Tiwi merasa was-was, kalau sampai Indra meebak dengan benar, dia akan malu. Malu banget!

"Gue nggak denger, tapi gue mau nebak. Dan gue yakin 101 persen tebakan gue bener."

"Dih mulutnya! 101 persen? Dimana-mana 100 persen kali!"

"Mulut-mulut gue juga!"

"Yaudah apaan, ngomong cepat." Tiwi semakin geram dengan Indra.

"Mau tau emangnya?"

"Mmm.. Iya!"

"Mau tau banget atau mau tau aja!"

"Nggak perlu ngomong, telinga gue udah nggak berfungsi." Tiwi sudah kesal, ia tidak mau lagi dipermainkan oleh Indra. Ia sudah membalikkan badannya menghadap ke depan.

"Tapi gue mau ngomong." Indra berucap lagi.

"Yaudah sih, tinggal ngomong aja banyak bener liku-likunya" Tiwi menanggapi tanpa melihat lawan bicaranya. Sementara tamu lain sudah naik lagi ke pelaminan untuk bersalaman.

"Setelah gue pikir-pikir nggak jadi deh!" Bisik Indra sepelan mungkin.

Tiwi memasang wajah kecut, senyum yang dibuat-buat. Kalau saja sekarang tidak ada tamu, ia akan menampol kepala Indra sekuat-kuatnya. Nanti disangka KDRT lagi!

Malam resepsi itu berlangsung hingga pukul sembilang malam, dan akhirnya mereka kembali ke hotel milik perusahaan Adhitama.

tbc..

Terpopuler

Comments

Fatimah

Fatimah

semangat thor

2020-11-24

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!