NovelToon NovelToon

FOR NOW & FOREVER

Drama Satu Hari

Sebuah restoran yang terletak tidak jauh dari tempat wisata yang diramaikan pengunjung pada weekend kali ini, menjadi pilihan Tiwi untuk mengisi perutnya saat jam sudah melewati angka dua belas siang.

BMW Seri 3 putih miliknya terparkir rapi di lahan kosong parkiran yang terletak agak di pojok.

“Di sini nggak masalah kan, ya?” Perempuan dengan wajah oval khas Asia yang memakai pakaian dengan tone gelap itu menoleh pada dua orang perempuan lainnya yang sudah menjadi teman jalannya sejak masih sekolah menengah.

Yura, perempuan dengan style andalannya yang selalu memadupadankan pakaian apapun dengan bawahan rok, mengangguk tanpa masalah.

“Masalah apa, sih? Buruan deh, gue udah lapar banget!” serobot perempuan satunya lagi yang duduk di belakang, Tiffany. Perempuan berambut sebahu yang beberapa saat lalu baru saja meraih gelar dokter di depan namanya itu langsung melengos keluar meninggalkan Tiwi dan Yura. 

“Ya, udah,” kata Yura yang setelahnya langsung keluar. 

Tiwi keluar mobil di detik selanjutnya. Perempuan itu mengunci mobil sebelum menyusul dua temannya yang sudah berjalan beberapa langkah di depan.

Acara jalan mereka ini adalah wacana yang sudah lama sekali mereka rencanakan. Sekitar dua bulan lalu kalau tidak salah, dan baru terealisasikan hari ini.

Semenjak lulus S1 dua tahun lalu, ketiganya mulai sibuk pada pekerjaan, sehingga intensitas waktu untuk sekedar berkumpul berkurang drastis. Tiwi dan Yura yang juga sama-sama kembali lulus S2 beberapa bulan lalu semakin menggila saja kesibukannya. Tiffany tidak perlu dipertanyakan. Awal masuk FK saja dulu, si rambut sebahu ini waktunya habis dipergunakan untuk belajar, lalu dilanjut masa koasnya dua tahun ini sampai sumpah dokter kemarin, benar-benar tidak ada waktu luang sama sekali. Untungnya saja, Tiffany tetap memilih Jakarta sebagai wahana internship-nya.

Makan siang itu hanya berlangsung satu jam lamanya. Dan, ketiga perempuan itu tidak berlama-lama menghabiskan waktu di restoran, karena niat mereka memang hanya sekedar singgah mengisi perut. Lagi, mereka juga sebenarnya masih harus ke tempat lainnya.

Jarak dari pintu restoran menuju sudut parkiran, awalnya diisi perbincangan santai, satu-dua cerita singkat Tiffany bahkan menghasilkan kekehan pelan dari Tiwi dan Yura. Tetapi, saat Tesla hitam masuk ke parkiran, mengambil parkir tepat di samping kanan mobil milik Tiwi, MBW putih itu tiba-tiba saja mengeluarkan suara nyaring berderet. 

“Mobil lo,” kata Yura pada Tiwi.

“Iya. Diapain sampai bunyi gitu, ya?” Tiffany menautkan alisnya.

“Kayaknya....” Ucapan Yura tidak berlanjut, sebab Tiwi tidak lagi berada di sampingnya. Perempuan itu sudah berlari di depan sana dengan perasaan tidak enaknya.

“Ini kenapa....” Yura lagi-lagi terjeda karena Tiffany juga ikutan berlari.

Sementara di depan sana, Tiwi yang sudah tahu alasan di balik mobilnya bersuara, mematung di tempatnya berpijak, tangannya spontan bergerak menutup mulutnya yang terbuka lebar. Mata perempuan itu tidak berkedip untuk beberapa waktu ketika melihat mobilnya.

“Oh, My!” pekik Tiffany di sampingnya saat melihat keadaan di depan.

“Astaga....” keluh Yura sambil berjongkok. Napas perempuan itu putus-putus setelah ikutan berlari. Di antara mereka bertiga, dia seorang yang memakai high heel.

“Kenapa?” tanya Yura setelah menyeka jejak basah di dahinya dengan pelan.

“Tuh!” tunjuk Tiffany yang berdiri tepat di sela mobil kedua mobil.

Yura sebelumnya yang berdiri agak belakang, mendekati Tiwi dan Tiffany. Kontan saja, perempuan tertinggi itu membelalak.

“WHAT THE HECK?!” seru Yura kaget.

Goresan panjang di badan mobil Tiwi, dan kaca spion mobil Tesla yang kini tergeletak rapuh di aspal akibat patah setelah berbenturan keras dengan mobil Tiwi. Tak perlu bertanya lanjut bagaimana perasaan Tiwi. Apalagi ketika perempuan itu melangkah mendekati Tesla hitam dengan wajah merah padamnya. 

“Ampun, deh,” gumam Yura ketika Tiwi mengetuk kasar kaca mobil bagian depan.

“Keluar lo!” teriak Tiwi.

Tiffany bergegas mendekati Tiwi yang bak laki-laki mengetuk bar-bar kaca mobil. 

“Tiwi, tenang,” ucap Tiffany.

“Tenang?! Apa-apaan lo nyuruh gue tenang? Orang di dalam ini udah kurang ajar!” bentak Tiwi tanpa sadar pada Tiffany. “Kalau nggak bisa bawa mobil, nggak usah sok-sokan!”

Tiffany mendesah pelan mendengar semprotan itu. 

Tapi, memang siapa yang tidak marah, sih? BMW Seri 3 itu baru-baru sekali Tiwi beli, pakai uang sendiri pula. Dan, kurang dua ratus lagi sampai harganya genap sepuluh digit. Tiffany tidak bisa membayangkan harus berapa lama bekerja sampai BMW Seri 3 itu bisa dia beli dengan pekerjaannya sebagai dokter umum yang gajinya masih di bawah lima juta.

Ngomong-ngomong soal gejolak emosi Tiwi saat ini, sumpah, Tiffany dan Yura jarang sekali melihatnya, sebab sahabat mereka itu punya kontrol diri di atas rata-rata. Dan, ketika melihat Tiwi meledak sampai tidak peduli di mana dia berada saat ini, Tiffany dan Yura angkat tangan.

“Woi, keluar!” Tiwi kembali berseru, dan perempuan itu tidak peduli ketika pengunjung lain sudah berkerumun di sekitarnya. Jangan lupa tukang parkir yang tergopoh-gopoh dengan wajah panik.

Pintu Tesla itu akhirnya terbuka. Seorang laki-laki dengan tubuh tinggi, kulit putih, dan otot lengannya yang mencuat di balik kaos hitam polosnya muncul. 

Pandangan santai yang laki-laki itu lemparkan membuat Tiwi tersinggung. Bisa-bisanya dia merasa tidak bersalah?!

Tiffany dan Yura mengerjap pelan. Maafkan mereka kalau salah fokus pada ketampanan laki-laki itu. 

“Keluar juga lo!” kata Tiwi, tangannya menunjuk ke badan mobilnya, “Lihat perbuatan lo, tuh! Mobil orang jadi korban. Kalau nggak tahu bawa mobil, nggak usah lah sok-sokan!”

Wajah tak bersalah laki-laki itu tidak berganti meski Tiwi sudah menyemprotnya. Hanya dahinya yang terlipat sedikit karena sengatan matahari siang.

“Ngerap lo barusan?” sahut laki-laki itu tenang. 

Tiffany dan Yura sontak saja melotot mendengar sahutan dari mulut laki-laki itu yang ibarat pernyataan perang dunia ketiga baru saja dimulai.

Tiwi melipat tangannya di depan dada sembari melempar kekehan mencemoohnya. “Lo selain nggak tahu diri, memang nggak punya etika ya ternyata.”

“Minggir bentar,” kata laki-laki itu yang membuat Tiwi terpaksa mundur merapat ke mobilnya, karena laki-laki itu bergerak membuka pintu mobil belakang. Dan, dua bocah keluar dari sana.

“Lo tuh udah punya dua anak! Tanggung jawab—”

Ucapan Tiwi terpotong saat bocah perempuan yang kira-kira berusia empat tahun berbicara, “Apa sih nih, Om? Kenapa pada malah-malah?”

Tiwi memandang bocah yang belum panda0i melafalkan huruf R itu. Baru akan angkat bicara, laki-laki yang awalnya dia kira adalah ayah dua bocah itu menyerobot duluan.

“Jihan sama Arka duluan aja ya masuknya? Om ada urusan sebentar.” Laki-laki itu berjongkok, mensejajarkan tingginya dengan kedua ponakannya. Ucapannya langsung diangguki oleh Jihan dan Arka.

“Gue bakal ganti kerugian lo. Gitu aja diribetin. Padahal mobil gue lebih rusak!” kata laki-laki itu sembari mengambil dompet dan mengeluarkan kartu nama dari sana.

“Lah? Lo nyolot? Orang lo yang salah!” tanya Tiwi tak habis pikir. Dia mengabaikan sodoran kartu nama itu, sehingga laki-laki di depannya berdecak gemas.

“Mobil lo yang nabrakin dirinya sendiri.”

“Lo gila.”

“Terserah lo, deh!” putus laki-laki itu dan menarik kembali sodoran tangannya yang tidak bersambut. 

Dan, Tiwi hanya terperangah ketika laki-laki itu malah melangkah pergi. “WOI!!”

Laki-laki itu mengangkat tangan tanpa menoleh ke belakang, melambai seolah masalah di antara mereka sudah selesai. 

“Gila banget!” ketus Tiwi melihatnya. Ketika pandangannya beralih ke mobilnya, perempuan itu menyugar rambut panjangnya ke belakang sembari menghela napas berat. Sial.

***

Matahari sudah merangkak ke barat ketika Tiwi berpisah dengan kedua sahabatnya. Dan, dia nyaris mengeluhkan sisa hari itu dengan kecelakaan yang menimpanya tadi.

Ponselnya tiba-tiba berdering. Nama mamanya muncul sebagai penelepon. Tiwi hanya meliriknya sekilas. Tapi, perempuan itu melajukan dua kali kecepatan mobilnya sebagai jawaban. Perlu diketahui, ini adalah panggilan kelima mamanya. Hal ini juga menjadi salah satu alasan acara jalan bersama sahabatnya bubar.

Tiwi tiba di rumahnya pukul setengah tujuh. Bi Dian—satu-satunya PRT yang bekerja di rumahnya—menyambutnya di pintu.

“Ibu sudah menunggu dari tadi di kamar, Mbak Tiwi.”

Tiwi mengangguk. Dia segera melangkah ke kamarnya yang ada di lantai dua. Apalagi yang sedang dilakukan mamanya?

“Ya Allah, Tiwi. Lama banget pulangnya, Nak!” seru Adelia begitu Tiwi membuka pintu kamar.

“Mama udah cantik-cantik aja, deh,” sapa Tiwi sembari mencium pipi mamanya. “Kenapa sih buru-buru banget?”

“Acaranya hampir mulai, Tiwi. Siap-siap cepat dong.” Adelia meraih gaun kuning yang tergeletak di ranjang dan menyerahkannya ke Tiwi. “Ini nih, pake dressnya cepat.”

Tiwi langsung mengernyit tidak suka pada gaun yang bukan gayanya sekali. “Nggak deh, aku gini aja, Ma.”

Adelia menggeleng tegas. Perempuan paruh baya itu malah mendekatkan gaun ke badan Tiwi, mencocok-cocokkannya. “Mana bisa cuma pakai jeans dan kaos begitu? Pakai yang ini aja. Cocok banget ini, lho.”

“Tiwi nggak usah join lah, kalau harus pakai ini, Ma!” Tiwi berkata lebih tegas. Sungguh, mood-nya bisa lebih buruk dari insiden kecelakaan tadi kalau harus memakai pakaian ribet itu.

Adelia menghela napas. Sekeras bagaimanapun dia membujuk Tiwi, Tiwi tidak akan memakai gaya yang dia pilih. “Oke, kalau nggak mau pakai yang ini, nggak masalah. Tapi, ganti juga dong bajunya, masa tadi udah kepakai dari pagi, dipakai lagi, sih?”

Tiwi mengangguk setuju kali ini. Perempuan itu lalu berjalan ke lemarinya, memilih baju yang cocok. Tapi, tunggu...

“Ini acara apa emangnya? Kasih tahu aku supaya bisa milih bajunya, Ma.”

“Special dinner sama teman Papa. Kamu udah tahu dong pastinya siapa, kan?” Adelia menyimpan kembali gaun kuning itu ke atas ranjang.

“Om—eh, Pak Adhitama?”

Adelia mengangguk. “Jadi, kamu udah tahu harus pakai apa, kan?”

Tiwi perlahan mengangguk. “Mm-hm. Mama tunggu di luar aja bisa, nggak?”

“Oke. Tapi, jangan lama, ya? Soalnya rumah Om Tama kan jauh tuh, Wi. Papa bilang, nggak enak kalau terlambat.” Adelia mengedipkan satu matanya, lalu melangkah keluar.

Tiwi menghabiskan dua puluh menit lamanya bersiap. Perempuan itu hanya membilas sekilas badannya, tidak mandi karena dibuat terburu-buru, dan menyemprot parfum hampir satu badan. 

“Wow ...” gumam takjub Adelia ketika mendapati Tiwi berdandan begitu cantik. Anak perempuan satu-satunya itu tetap menggunakan gaun—bukan gaun kuning yang tadi. Tapi, gaun baru berwarna army yang cukup simple, namun sangat elegan. Lekuk tubuhnya sedikit terlihat. Lalu rambut hitam sepunggungnya dibuat bergelombang, dan membiarkannya tergerai. Sangat cantik.

“Cakepnya anak Papa!” Laki-laki paruh baya itu bergerak mendekati Tiwi, dan langsung mendaratkan satu kecupan di keningnya. 

“Ah, pujiannya nggak meresap. Jantung aku masih biasa aja,” canda Tiwi sambil memeluk singkat papanya sebagai bentuk sambutan pulang ke rumah. “Kirain baru balik lusa dari Singapore, Pa.”

“Urusannya udah kelar,” jawab Khanza yang memang tiga hari kemarin berada di Singapore mengurus pekerjaan, dan tahu-tahu sudah berada di rumah tanpa mengabari apa-apa.

“Ini udah siap semua? Kita bisa langsung berangkat sekarang?” tanya Khanza.

Saat anak dan istrinya mengangguk, Khanza langsung menggenggam tangan Tiwi saat melangkah keluar.

“Lah? Nggak salah gandeng tangan ini, Pa?” tanya Tiwi yang merasa lucu sekali. 

“Nanti Mama cemburu lagi, Pa?” canda Tiwi sambil melirik mamanya untuk memberitahu ketidakterbiasaan yang dilakukan papanya.

“Ya, Allah ... mana ada Mama cemburu sama anak sendiri,” kata Adelia yang malah ikut-ikut menggenggam tangan Tiwi yang satunya.

Tiwi yang ada makin mengernyit tak paham. “Ini kenapa, deh? Aku kayak anak kecil aja yang masih digandeng-gandeng, nggak tahu jalan gitu.”

Kedua orang tuanya hanya mengangkat bahu, tidak menjawab. Tiwi lalu menghela, lebih tepatnya mengalah dan memilih diam saja sampai masuk ke mobil, dan mengantarnya menuju daerah selatan, selama satu jam lamanya.

***

Perjodohan

"Selamat malam Pak Khansa, silahkan masuk" Sapa seorang pria baya berusia empat puluhan, Pak Asis. Kepala pelayan di rumah besar itu.

"Selamat malam." Balas Khansa.

"Mari Pak, saya antarkan masuk."

Khansa dan keluarganya masuk ke dalam rumah besar itu dipandu oleh Pak Asis.

Mereka tiba di ruang makan keluarga Adhitama yang telah didekor sedemikian rupa. Meja panjang yang terdiri dari 12 kursi telah diisi oleh 6 orang dewasa.

Bagi Tiwi, Adhitama bukanlah orang yang asing. Ia telah berkali-kali melakukan kerjasama, pertemuan dan segalanya yang berkaitan dengan pekerjaan. Tapi, matanya menangkap beberapa orang yang masih asing.

"Wah, Khansa, selamat datang." Adhitama langsung berdiri menyambut Khansa, memeluk sahabatnya dengan sangat erat, wajahnya berseri-seri.

Khansa membalas pelukan sembari menepuk-nepuk punggung Adhitama. "Terimakasih Tama."

Istri Adhitama, Vina, ikut menyambut tamu yang telah datang. Tampilannya sangat cantik. Berdiri tepat di samping suaminya.

"Ini putrimu, Lia?" Ia langsung tertarik dengan wanita muda yang berdiri di depannya.

Lia merangkul putrinya, "Betul sekali, dia putriku."

"Cantik sekali kamu sayang." Puji Vina, memegang kedua lengang Tiwi yang sudah sangat canggung, lanjut membelai pipi mulus Tiwi yang dilapisi dengan make up tipis.

"Daddy sudah sering bertemu dengannya, Mom. Kecantikan dan kepintarannya tidak ada duanya." Adhitama ikut memuji.

"Daddy kalau bertemu dengannya ajak-ajak Mommy dong. Kan Mommy berhak tau calon menantu kita." Vina terkekeh namun perkataannya sukses membuat kebingungan di raut wajah Tiwi. Tiwi sekarang melongo.

Calon menantu? Maksudnya apa? Tiwi membatin. Ia lalu menoleh ke Mamanya mengharap jawaban. Tapi sang Mama hanya menaikkan satu alisnya.

"Mom, ajakin duduk dong tamunya. Ini makanannya udah mau dingin lho." Ujar salah satu wanita yang berdiri di depan kursinya, ia adalah anak kedua dari Adhitama yang tidak kalah cantiknya dari sang Mama. Yunari Alya Adhitama.

"Ayo-ayo silahkan duduk."

Mereka lalu duduk di kursi masing-masing. Para kepala keluarga duduk di kursi utama dan saling berhadapan. Tiwi dan Lia duduk berdekatan. Sisi kanan meja yang terdiri dari sepuluh kursi sudah penuh. Tersisa tiga kursi yang terletak di hadapan Vani, Tiwi dan Lia. Entah siapa pemilik kursi itu.

"Ma, ini acara apasih? Kok istrinya Pak Tama bilang Wiwi calon menantunya?" Bisik Tiwi pelan sekali, yang hanya didengar oleh Mamanya sendiri.

Lia hanya tersenyum menanggapi pertanyaan anaknya. Hanya soal waktu Tiwi akan mengerti.

Makan malam itu berlangsung lancar, sebagian piring telah tandas dimakan. Mereka sesekali berbincang percakapan ringan. Sampai tujuan utama diadakannya makan malam itu tiba.

"Pratiwi Khansa Aurellia." Panggil seseorang dengan suara khas seraknya.

Tiwi refleks menoleh ke arah Adhitama. Ia memasang tampang serius karena namanya dipanggil dengan lengkap dan nada yang cukup serius.

"Iya Pak Tama."

Adhitama berdehem sebentar. "Saya dan Papamu sudah bersahabat sejak lama sekali. Dan sewaktu kamu berusia 5 tahun, kami sepakat menjodohkan kamu dengan anak bungsu saya..." Adhitama berhenti sejenak, memberi jeda.

"Hari ini kalian akan bertunangan. Anak saya akan pulang sebentar lagi, dan dia setuju dengan perjodohan ini. Sambungnya.

Tiwi melipat dahinya, bukan karena tidak mengerti perkataan Adhitama. Tapi karena perjodohan yang begitu tiba-tiba ini. Ia lalu menoleh ke Papanya, membutuhkan jawaban.

"Papa tau kamu shock dengan perjodohan yang begitu tiba-tiba ini. Tapi tolong percaya dengan Papa dan Mama. Kami yakin kamu pasti bahagia."

Tiwi semakin mengerutkan dahinya mendengar penjelasan dari Papanya. Ini bukan keinginannya, ia hanya ingin bebas, terbebas dari pengekangan, peraturan dan apapun itu yang tidak membuat hatinya senang. Sedari kecil kedua orang tuanya membebaskannya, dan sekarang justru masa depannya harus diputuskan sepihak.

"Apa bisa ada penolakan di sini?" Ucap Tiwi lirih, ia sekarang menunduk dalam-dalam.

"Wi, gak boleh gitu, Nak, keputusan ini sudah mutlak antara Pak Tama dan Papamu." Lia mengusap-usap lengan Tiwi dengan lembut.

"Pak Tama, bisa beri saya waktu? Apa ada ruangan yang bisa saya gunakan untuk berdiskusi dengan kedua orang tua saya?"

Belum sempat Adhitama menjawab, suara riuh mendekat ke ruang makan. Tawa anak kecil.

"BUNDA" Suara sahutan dua bocah dengan kompak, berlari ke orang yang dipanggilnya.

"Jihan, Arka, jangan berlari-lari gitu dong. Om Indra mana sayang?" Tanya Vina kepada dua cucunya yang menggemaskan.

"Om Indla ada di belakang kok Oma, dia aja tuh jalannya yang lelet-lelet." Sahut Jihan membela diri.

Tiwi refleks berdiri melihat kedua bocah itu, membuat semua orang menoleh kepadanya. Kedua bocah yang ia temui di parkiran tadi bersama seorang pria yang membuatnya jengkel setengah mati. Kini pikirannya berlari kemana-mana. Ia sudah tahu dengan siapa ia akan dijodohkan.

"Lho? Tante yang tadikan yang malah-malah di palkilan? Ngapain ke lumah Jihan, mau minta sumbangan?" Tanya Jihan dengan polosnya, wajah gembulnya di penuhi keringat karena habis berlari.

"Selamat malam Mom, Dad. Maaf aku terlambat!" Suara bariton itu sukses membuat semuanya menoleh, termasuk Tiwi ia sekarang semakin membelalakkan matanya.

Sudah tentu, siapa lagi orang lain yang menjadi anak dari Adhitama. Hanya tersisa satu orang yang belum menikah yaitu Indra selaku anak bungsu. Kakak tertuanya Aldo Furqan Adhitama sudah menikah dengan wanita cantik bernama Clarissa Aradhia dan memiliki anak satu bernama Arka Nando Adhitama. Kakak keduanya Yunari Alya Adhitama juga telah menikah dengan pria kaya bernama Rifaldi Widjaya dan memiliki satu anak cantik bernama Allisya Jihan Widjaya.

Pasang mata Tiwi tidak pernah teralihkan dari pria itu. Ia terus melihatnya sampai pria itu duduk di kursi yang ada di depannya.

Vina langsung berdiri. "Tiwi sayang, perkenalkan anak kami, Kavindra Ayden Adhitama, calon suamimu."

Indra berdiri kembali lalu menjulurkan tangannya ke depan Tiwi. Tiwi dengan ragu membalas jabatan tangan itu.

"Pratiwi Khansa Aurellia." Ucap Tiwi singkat, lalu melepaskan jabatan itu. Mereka saling melemparkan tatapan yang tajam.

"Jadi bagaimana, apakah kalian berdua setuju?" Tanya Khansa.

"TIDAK!" Jawab keduanya kompak.

"Lho? Indra Nak, kemarin-kemarin bilangnya setuju, kenapa sekarang nolak?" Vina dibuat bingung.

"Yaelah, cikal bakal jodoh selamanya nih, jawabnya aja kompak gitu." Timpal Aldo.

"Aku sekarang berubah pikiran, aku tidak suka dengan pilihan Mommy dan Daddy." Ujar Indra dengan tegas.

"Tama, apa permintaan anak saya bisa disetujui, tentang ruangan yang bisa digunakan untuk berdiskusi?" Khansa melerai.

"Boleh Khansa. Tunggu sebentar ya.."

"ASIS?" Teriak Adhitama memanggil kepala pelayan yang berdiri tidak jauh dari ruang makan. Asis segera menghadap.

"Iya tuan?"

"Tolong antarkan Khansa dan keluarganya pribadi saya, di lantai dua."

Asis mengangguk. "Mari Pak Khansa."

Khansa dan keluarganya berlalu ke ruangan atas.

Adhitama menggeram, ia lalu memukul meja makan dengan keras membuat piring-piring saling berdenting.

"KAVINDRA, DADDY GAK MAU ADA PENOLAKAN DI SINI. DADDY MAU KAMU MENIKAH DENGAN ANAK SAHABAT DADDY, PRATIWI." Gertak Adhitama kepada anaknya.

"Aku gak mau Dad, kakak-kakakku gak ada yang dijodohin, kenapa aku dijodohin?" Bantah Indra.

"Yaudah sih kalau gak mau, Mommy akan jodohkan kamu dengan Jessica, dia mantan kamu kan? Kamu mau Mommy jodohkan dengan dia?" Vina mencoba melerai dengan menawarkan yang lain.

"Gak Mom, aku juga gak mau sama Jessica." Indra lagi-lagi menolak.

"Daddy gak suka sama Jessica, Daddy hanya suka sama Pratiwi."

"Yaudah, Daddy aja yang nikah sama si Pratiwi, kan Daddy yang suka bukan aku."

"INDRA, KAMU KALAU NGOMONG SUKA SEMBARANG YAHH." Bentak Vina, ia tidak terima omongan anaknya yang seolah tidak menganggapnya ada.

"Kalau kamu gak setuju, Daddy gak akan berikan posisi CEO kepada kamu." Ancam Adhitama.

Indra mengernyitkan kening, Daddynya tahu sekali kelemahannya. Posisi yang paling ia idam-idamkan sekarang dipertaruhkan hanya karena seorang wanita.

"Baiklah, aku setuju." Ia menghela napas kasar, terpaksa, ia benar-benar tidak bisa melawan perintah Daddynya.

***

"Jadi karna ini Papa sama Mama megang tangan Wiwi tadi? Papa dan Mama mau melepaskan Wiwi? Iya? Pa, Ma, Wiwi gak mau dijodohin." Mata Tiwi berkaca-kaca.

"Wi. Mama sama Papa lakuin ini demi kebahagian kamu, cuma itu." Lia berusaha berkata pelan.

"AKU GAK MAU MA!" Tolak Tiwi dengan lantang, memekakkang ruangan yang tidak seberapa luas itu. Air bening yang daritadi tertampung pecah mengalir ke dua sisi pipinya.

"Kenapa kamu nolak? Papa kecewa sama kamu. Kamu udah mempermalukan Papa di hadapan Adhitama." Khansa menghela napas berat, tidak menyangka anak satu-satunya akan melawan keinginannya.

"INI HIDUP AKU, AKU SUDAH DEWASA. MAMA SAMA PAPA GAK USAH LAGI URUS-URUS AKU." Tiwi semakin membesarkan suaranya, menunjuk-nunjuk dirinya sendiri sembari terisak.

Dengan sangat kesalnya akan suara Tiwi yang sudah seperti bentakan Lia tanpa ampun menampar wajah Tiwi.

"Ma.. Mama tanpar aku? Dari dulu Mama gak pernah melakukan ini, dan sekarang hanya karena lelaki itu dan gengsi kalian—"

"DARI DULU, PAPA SAMA MAMA GAK PERNAH MINTA APAPUN DARI KAMU, KAMU YANG SELALU MERENGEK MINTA INI ITU. DAN APA BALASAN KAMU? PERMINTAAN PERTAMA PAPA INI KAMU TOLAK DENGAN SESUKA HATIMU." Khansa membentak Tiwi yang semakin larut dalam tangisannya. Ia sudah kehabisan kesabaran dengan perlakuan anaknya.

"Kami berdua masih orang tua kamu. Kami masih berhak mengatur-ngatur kamu. Jangan karena kamu sudah dewasa, kamu berani berbicara seperti itu! Kamu juga sudah menyakiti hati Mama, kamu gak hormat sama kedua orang tua kamu... Ayo Pa, kita pergi aja!" Lia sudah menarik lengang suaminya agar melangkah meninggalkan ruangan itu. Namun sebelum itu, Tiwi mencegat langkah mereka.

"Ma, Pa, maafin aku, aku bukan berma—"

"Papa gak mau denger apapun lagi dari kamu, kamu sudah menolaknya, jadi sudah tidak apa-apa lagi."

"AKU.. AKU BAKAL TURUTIN KEMAUAN PAPA SAMA MAMA, AKU AKAN SETUJU PERNIKAHAN INI." Tiwi menghapus air matanya.

"Mama gak mau kamu terpaksa menerimanya karna Mama dan Papa terlanjur kecewa sama kamu. Mama mau kamu bisa mencintai Nak Indra."

"Iya Ma, aku akan usahain." Balas Tiwi lirih.

***

Khansa, Lia dan Tiwi telah bergabung kembali ke meja makan. Sebelum bergabung, Lia meminta Tiwi untuk menghapus bekas tangisannya, tapi tetap saja ada bekas di sana.

Suasana meja makan sudah tidak tenang lagi membuat mereka terpaksa pindah ke ruang keluarga. Kebobrokan si dua bocah sukses membuat orang dewasa tertawa.

"Karena kalian berdua telah setuju, minggu depan acara pernikahan akan dilangsungkan." Adhitama memutuskan.

Indra dan Tiwi hanya mengangguk takzim. Ini bukan sebuah kebahagian bagi mereka.

Clarissa merogoh saku bajunya mengeluarkan sebuah kotak yang tidak begitu besar lalu ia letakkan di atas meja.

"Itu pesanannya Dad."

"Ah Daddy hampir lupa. Karena kalian sudah resmi bertunangan, pasang ini di jari kalian masing-masing untuk bukti kalian sudah terikat." Adhitama menyerahkan kotak itu ke Indra yang duduk di sampingnya, di sofa ukuran dua orang. Indra dan Tiwi duduk bersama karena perintah Adhitama.

Indra meraih kotak itu, lalu membukanya. Ada dua buah cincin berwarna putih yang sama-sama memiliki satu berlian kecil di atasnya. Tak perlu menunggu perintah, Indra meminta Tiwi untuk menyodorkan tangan kirinya, lalu memasang cincin yang lebih tipis di jari manisnya. Tiwi juga melakukan hal yang sama, memasang cincin yang satu di jari manis Indra.

tbc..

Hari Pernikahan

Pernikahan yang paling diimpikan setiap orang adalah bisa menikah dengan orang yang paling dicintainya, bersanding dengan pria atau wanita yang paling ia sayangi di atas pelaminan. Bersama terus melangkah bersama menghadapi hari esok yang entah itu menyakitkan atau bahagia, dengan anak-anak yang akan menghiasi hari-hari.

Dan hari ini bertetapan dengan pernikahan Indra dan Tiwi yang disatukan melalui perjodohan, bukan karena rasa cinta satu sama lain.

Pernikahan mewah yang dilaksanakan di luar ruangan bertema putih di Pulau Dewata yang terkenal akan keindahannya riuh rendah oleh percakapan para tamu undangan. Tamu kebanyakan rekan bisnis, para pejabat tinggi dan beberapa teman dari mempelai pria dan wanita. Tidak terlalu ramai hanya dihadiri 250 orang.

Tiwi tampil cantik dengan balutan gaun putih yang memanjang sampai ke bawah, rambutnya disanggul dan dikaitkan beberapa bunga putih kecil yang menambah kecantikannya. Dua buah gulungan rambut dibiarkan menjuntai di sisi kiri dan kanan wajahnya, seringkali terbang karena angin malam. Ditangannya juga terdapat serangkai bunga berwarna putih yang siap dilempar nantinya.

Indra juga tampil dengan busana jas berwarna putih. Rambut hitam yang tampak berkilau diterpa cahaya dibiarkan terbelah dua di samping kiri menambah ketampanannya.

Mereka telah sah menikah di siang hari dalam hotel, tamu yang datang berbeda dengan malam resepsi, kecuali orang-orang yang spesial tetap datang.

Tamu-tamu yang berdatangan menjabat tangan pengantin dan mengucapkan beberapa kata selamatan. Lalu beranjak menikmati hidangan yang telah disediakan, beberapa ikut berfoto dengan kedua tokoh utama dalam pernikahan ini.

"Untung aja tamunya dikit, bisa kewalahan gue berdiri menyambut mereka." Gumam Tiwi pelan hanya untuk dirinya sendiri.

Indra mendengar gumamam Tiwi lalu mendekatkan mulutnya ke telinga Tiwi. "Ini karena ide gue, gue juga gak mau berdiri lama-lama."

Tiwi hanya mendesis mendengar ucapan Indra, tidak berniat sama sekali mengubrisnya. Bahkan dari pagi sampai sekarang mereka baru mengucapkan beberapa kata, masih bisa dihitung.

Jihan dan Arka yang juga memakai busana putih datang mendekat ke arah pengantin yang sudah duduk di kursinya.

"Om Indla dan Tante Tiwi kan udah menikah nih, jadi Jihan dan Alka sekalang manggilnya Ayah Indla dan Bunda Tiwi kan?" Tanya Jihan dengan polosnya. Jihan dan Arka memang tetap memanggil kedua orang tua masing-masing dengan Bunda dan Papa, bedanya kalau bukan orang tua asli mereka akan mengekornya dengan nama. Seperti Jihan memanggil kedua orang tua Arka dengan sebutan Ayah Aldo dan Bunda Ica—sebutan Clarissa—dan Arka memanggil kedua orang tua Jihan dengan sebutan Ayah Rifal dan Bunda Yuna.

Indra mendadak menggaruk pelipisnya yang tidak gatal, berpikir keras. "Gak usah deh, Om kan masih muda, tetap panggil Om aja."

"Iih, Om gak muda lagi. Om udah punya bini tau!" Cerca Arka.

Tiwi yang sedaritadi memperhatikan ikut tersenyum melihat tingkah menggemaskan kedua bocah tersebut.

"Kalau Tante Tiwi mau gak dipanggil Bunda sama Jihan dan Alka?" Jihan kembali bertanya.

"Kalau Tante Tiwi panggil aja Nenek, gak akan masalah." Ujar Indra mencoba menjahili ketiga orang tersebut.

Tiwi lagi-lagi mendesis, raut wajahnya berubah kesal. Lalu cepat-cepat berubah karena ada dua anak kecil yang menggemaskan di depannya.

"Jihan sama Arka panggil kita berdua Om dan Tante aja ya, bisa nggak?" Percobaan penawaran Tiwi dengan kedua pelanggangnya.

Jihan langsung memanyunkan bibirnya. "Kenapa halus panggil Tante sama Om, kan lebih enak Bunda sama Ayah."

Tiwi menghela napas pelan, berusaha selembut mungkin menyampaikan. "Tante sama Om kan belum punya dedek bayi nih, apalagi kita berdua masih muda, jadi Jihan sama Arka manggilnya Tante sama Om aja ya. Iyakan Om?" Tiwi menoleh ke arah Indra yang menjawabnya dengan anggukan.

"Tuh, Omnya setuju." Tunjuk Tiwi menggunakan dagunya.

Dan dengan usilnya Arka berkata, "yaudah dibikin dong dedek bayinya." Sukses membuat kedua pengantin baru itu membelalakkan mata.

Ya Allah, salah ngomong. Ucap Tiwi dalam hati.

"Kak Alka, dedek bayi itu bisa dibikin yah? Cala bikinnya gimana? Om sama Tante bikin dong? Jihan pengen dedek bayi sama kayak Jihan supaya bisa main belbie-belbie-an." Cerocos Jihan.

"Hei, hei, jangan ngomongin dedek bayi di sini, tuh minta sama Bunda dan Ayah kalian, mereka lebih jago dan lebih tau." Indra berusaha menyudahi obrolan yang cukup sensitif ini.

"Jihan sama Arka minggir dulu yah, tuh lihat! Tamunya bakal naik sini buat salim-saliman." Arka dan Jihan langsung beranjak ketika melihat tamu yang tunjuk-tunjuk oleh Tiwi.

Beberapa tamu kembali naik ke altar pernikahan untuk mengucapakan kata selamat dan tentunya bersalaman. Kedua manik mata Tiwi tidak terlepas dari kedua wanita yang ikut mengantri paling belakang, sampai akhirnya tiba giliran mereka.

Dua wanita yang tak lain adalah sahabat Tiwi, Yura dan Tiffany sedang berkaca-kaca menatap sahabatnya telah menikah. Tiffany dan Tiwi saling berpelukan dengan erat.

"Yur, lo nggak ikut peluk gue?" Tiwi yang sedang berada dalam pelukan Tiffany mulai melonggar.

"Yakali, tadi udah bosan peluk-pelukan sama lo, abis badan gue remuk." Tolak Yura yang langsung diangguki Tiwi.

"Tif, kok lo baru nongol sih, padahal acara gue dari pagi?" Tiwi melepaskan pelukannya.

"Lo kan tau gue sibuk, gue baru tiba tadi sore lho, terus langsung kesini, istirahat 2 jam doang." Tiffany mengerucutkan bibirnya.

Melihat kedatangan kedua sahabatnya itu, ia sudah tidak bisa lagi menahan air matanya, perasaannya benar-benar sakit. Ia tidak bisa mencurahkan segalanya kepada kedua orang tuanya, dan ia juga memilih bungkam mengenai alasannya menikah dengan pria yang dijumpainya satu yang minggu yang lalu. Yura dan Tiffany mengerti dengan apa yang sahabatnya rasakan sekarang ini, tapi mereka juga memiliki batas agar tidak terlalu jauh mengganggu privasi Tiwi.

"Jangan nangis dong, tuh make up-nya luntur lho, nggak cantik lagi." Yura menghapus air bening yang mengalir di wajah Tiwi dengan lembut, tapi melihat perlakuan Yura, Tiwi malah semakin menangis.

Yura dan Tiffany dibuat semakin bingung, terlebih Indra, ia menatap sendu ke arah Tiwi.

Indra langsung membalikkan badan Tiwi menghadap kepadanya, lalu kedua tangannya mengusap wajah Tiwi dengan pelan, takut-takut jika make up-nya ikut terhapus.

"Lo kenapa sih? Nangis mulu dah, nggak capek apa?" Ujar Indra yang semakin membuat Tiwi menangis.

"Yaelah, suami lo nggak romantis banget." Desah Tiffany mendengar ucapan Indra.

Indra tidak mempedulikan ucapan Tiffany, ia masih fokus menghapus jejak air mata Tiwi.

"Tiwi, lo kenapa sih? Bilang sama gue! Ada yang sakit atau lo udah capek berdiri?" Indra berusaha selembut mungkin, meskipun ia juga tidak terima perjodohan ini tapi ia tetaplah seorang pria yang tidak tegaan, apalagi yang menangis dihadapannya sekarang adalah istrinya sendiri.

Tiwi hanya menggeleng, mulutnya bungkam.

Indra mengerti, ia langsung menoleh ke arah dua wanita yang juga sedang cemas sekarang. "Lo berdua yang bikin bini gue nangis?"

Yura langsung mengernyitkan kening. "Ih sembarangan, lo kalau ngomong ngaca dong, Tiwi kalau sama kita nggak pernah nangis, eh ini baru sama lo dia nangis."

"Daritadi Tiwi sama gue baek-baek aja, pas lo berdua datang, dia langsung nangis. Jadi lo berdua yang bikin dia nangis. Nih gue tanya orangnya. Lo nangis karena mereka berdua?" Tanya Indra yang langsung diangguki oleh Tiwi, dan itu membuat kedua sahabat Tiwi memasang tampang melongo.

"Kita apain lo?" Cerocos Tiffany.

Tangis Tiwi mulai mereda beberapa saat setelah Tiffany bertanya, ia menenangkan perasaannya dibantu oleh suaminya sendiri.

"Gue nangis karena khawatir sama lo pada." Ucap Tiwi yang suaranya masih parau.

"Khawatir kenapa sih? Kita baik-baik aja, nggak ada luka-luka atau semacamnya kok." Ujar Yura meyakinkan.

"Bukan itu!"

"Terus apa?" Tanya Tiffany yang semakin penasaran, takutnya Tiwi berpikiran aneh-aneh.

"Dari dulu kan lo berdua pengennya nikah nih udah kebelet gitu dan gue belum mau, tapi nyatanya gue yang duluan, takutnya sih kalian nggak bakal nyusul gue, dan jadi ngenes terus." Sorot mata Tiwi menampilkan kejujuran, tidak ada niatan untuk bercanda apalagi mem-prank atau mengolok-ngolok kedua sahabatnya yang jomblo itu. Tapi Indra justru terkekeh mendengar alasan Tiwi menangis, sementara kedua wanita itu sedang tertohok mode on, mentang-mentang sudah menikah.

Tiffany dan Yura menghela napas berat, kedua bola mata mereka memutar malas.

"Kita cabut aja dah, mati kutu kita di sini dibully sama lo, mentang-mentang udah jadi bini. Yuk Tif ke bawah cari makan!" Ajak Yura agar segera meninggalkan pelaminan itu.

"Ntar-ntar! Gue mau ngomong sesuatu dulu ama Tiwi" Tiffany menahan langkah Yura. Ia langsung mendekat ke telinga Tiwi dan membisikkan sesuatu.

"..." Hanya Tiwi, Tiffany dan Tuhan yang tahu.

Tiwi mendadak memerah, mendengar ucapan Tiffany.

"Sekate-kate lo, nggak mau nggak mau!" Tolak Tiwi dengan keras.

"Ih, jangan gitu, gue ini dokter yah, jangan ditunda-tunda! Lo kalau mau nasihat, jangan malu nanya sama gue!" Tiffany mengedipkan satu mata, lantas pergi bersama Yura.

Tiwi menoleh ke arah Indra karena meras diperhatikan.

"Apa?" Tanyanya dengan suara tinggi.

"Gue tau apa yang dibisikan oleh teman lo yang mengaku dokter itu!"

Mata Tiwi memicing ada sesuatu yang mencurigakan dari gelagat Indra.

"Sok tau!"

"Dih, gue belum ngomong apa-apa udah dibilangin sok tau!"

"Yaudah, lo denger apa emangnya?" Tiwi merasa was-was, kalau sampai Indra meebak dengan benar, dia akan malu. Malu banget!

"Gue nggak denger, tapi gue mau nebak. Dan gue yakin 101 persen tebakan gue bener."

"Dih mulutnya! 101 persen? Dimana-mana 100 persen kali!"

"Mulut-mulut gue juga!"

"Yaudah apaan, ngomong cepat." Tiwi semakin geram dengan Indra.

"Mau tau emangnya?"

"Mmm.. Iya!"

"Mau tau banget atau mau tau aja!"

"Nggak perlu ngomong, telinga gue udah nggak berfungsi." Tiwi sudah kesal, ia tidak mau lagi dipermainkan oleh Indra. Ia sudah membalikkan badannya menghadap ke depan.

"Tapi gue mau ngomong." Indra berucap lagi.

"Yaudah sih, tinggal ngomong aja banyak bener liku-likunya" Tiwi menanggapi tanpa melihat lawan bicaranya. Sementara tamu lain sudah naik lagi ke pelaminan untuk bersalaman.

"Setelah gue pikir-pikir nggak jadi deh!" Bisik Indra sepelan mungkin.

Tiwi memasang wajah kecut, senyum yang dibuat-buat. Kalau saja sekarang tidak ada tamu, ia akan menampol kepala Indra sekuat-kuatnya. Nanti disangka KDRT lagi!

Malam resepsi itu berlangsung hingga pukul sembilang malam, dan akhirnya mereka kembali ke hotel milik perusahaan Adhitama.

tbc..

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!