Keluarga Indra dan Tiwi kembali ke hotel tempat mereka menginap dua hari terakhir. Mereka menempati lantai 17 di hotel milik Adhitama Group.
"Sayang, aku duluan yah masuknya, Jihan udah tidur nih?" Ujar Rifaldi kepada istrinya, Yuna, sembari menggendong putri kecilnya.
"Iya Ayah." Yuna mencium putri kecilnya dengan hangat sebelum Rifaldi melangkah masuk ke dalam kamar.
Mereka semua sekarang berdiri di lorong-lorong kamar hotel lantai 17.
"Papa sama Mama juga duluan ya, udah nggak bisa terlalu capek, kita butuh istirahat." Khansa dan Lia juga ikut masuk setelah Tiwi mengiyakan.
Tiwi tahu sekali, orang tuanya sudah tidak semuda dulu, dari tadi pagi mereka juga sudah membantu banyak, menyambut tamu dan melakukan segalanya demi pernikahannya. Itu juga sama dengan kedua orang tua Indra.
"Pak Tama sama Ibu Vina, masuk juga ya, istirahat." Ucap Tiwi lembut kepada mertuanya.
"No no no! Jangan panggil Bapak sama Ibu dong sayang. Kan kita juga udah orang tua kamu. Panggil Daddy sama Mommy. Coba diulang sayang." Vina mengingatkan menantunya.
"Iya Mommy, Daddy." Tiwi mengulangi panggilannya dengan kaku.
Satu persatu semua kembali ke kamarnya kecuali Yuna dan Aldo yang masih setia menemani pengantin.
"Lo berdua istirahat juga gih, kalian juga lebih capek." Ujar Yuna.
Indra dan Tiwi mengangguk lalu melangkah ke kamar.
"Eh?" Indra dan Tiwi refleks berhenti saat Aldo berucap bingung. Mereka kembali berbalik.
"Kalian mau kemana?" Tanya Aldo bingung dengan tingkah keduanya.
"Ke kamar Kak."
"Ke kamar Bang."
Indra dan Tiwi menjawab serempak.
Yuna menepuk jidatnya pelan, lalu terkekeh sebentar. "Kalian ini udah menikah lho, udah sah! Masa ke kamarnya beda arah sih?" Indra dan Tiwi memang sebelumnya berbeda kamar, yakali belum sah udah sekamar. Kamar mereka berhadapan.
"Mulai malam kalian sekamar. Nggak boleh melawan. Ini perintah." Kata Aldo dengan tegas.
"Emang kita sekamar kok, Tiwi bakal masuk kamar gue, Bang. Dia cuma mau ngambil baju tidur." Ujar Indra membenarkan situasi dan diangguki oleh Tiwi.
"Tapi sebelum itu, Kak Yuna bantu aku lepas gaun ini yah?" Tiwi mengangkat-ngangkat gaunnya, ia sudah risih.
"Ihh, nggak mau. Kan udah ada yang bantuin. Gue masuk dulu yah ke kamar, suami gue udah nunggu tuh. Bye." Yuna meninggalkan mereka dan masuk ke dalam kamarnya.
"Abang juga masuk yah, udah ngantuk." Aldo melangkah masuk ke dalam kamarnya namun masih beberapa langkah ia kembali berhenti.
"Indra?" Panggilnya.
"Napa lagi sih Bang?" Tanya Indra sedikit kesal.
"Lembut-lembut mainnya!" Aldo tertawa lalu melangkah masuk tanpa memperdulikan raut wajah Indra yang sudah memerah.
Kini hanya tinggal mereka berdua di lorong itu. Tidak saling berbicara selama dua menit. Lengang.
"Mmm.. gue.. gue masuk duluan yah. Gue tunggu dalam aja." Indra menunjuk kamarnya di belakang.
"Okay!"
***
Setelah mandi dan berganti baju dengan kaos polo putih dan celana selutut, Indra duduk di sofa sambil memainkan benda pipih lonjong di kedua tangannya. Ia sudah dua kali memenangkan game yang masing-masing berdurasi 15 menit. Artinya sudah sejam lewat, Tiwi belum juga masuk ke kamarnya.
Tuh orang mana sih, udah ditungguin juga, nggak muncul-muncul. Ucap Indra dalam hati.
Indra menghentikan aktivitasnya, berniat menyusul Tiwi di kamar sebelah.
Cklek.
Pintu terbuka. Orang yang sudah ditunggu daritadi akhirnya muncul.
"Lo kok la—" Ucapan Indra berhenti saat mendapati Tiwi begitu kesusahan membawa koper dan barang-barangnya yang masih menggunakan gaun pengantin.
"Bantuin dong!" Ujar Tiwi dengan suara ngos-ngosan, sekujur tubuhnya sudah keringatan.
Tanpa meminta, Indra juga berniat membantu Tiwi yang sangat kesusahan, ia membawa koper dan mengambil barang-barang Tiwi lalu diletakkan di pojokan dekat kopernya.
"Lo kalo butuh bantuan bilang, jangan diam-diam." Indra kembali duduk di sofa, memainkan kembali ponselnya.
"Gue kira lo udah tidur, nggak enak banguninnya nanti." Tiwi berjalan ke meja rias berniat menghapus make up, melepaskan aksesoris dan gaunnya.
Beberapa menit ke depan tidak ada suara sedikitpun kecuali suara game dari ponsel Indra. Tiwi sudah selesai dengan kegiatannya kecuali gaunnya, ia sama sekali tidak bisa membuka resleting di belakangnya.
"Indra!" Panggilnya sepelan-pelan mungkin.
Indra hanya mendengar samar-samar namanya dipanggil. "Ini lagi seru! Ntar gue tidurnya."
Tiwi menghela napas melihat pantulan Indra di cermin yang ada di depannya, Indra sama sekali tidak menoleh.
"INDRA!!" Tiwi menaikkan suaranya seperempat.
Indra lagi-lagi tidak menoleh. "Iya.. Iya.. Nanggung ini kalo nggak diselesain. Hampir menang juga. Gue bakal tidur kok."
Tiwi semakin kesal dengan ketidakpekaan pria yang barusaja menjadi suaminya itu.
"KAVINDRA!!!!!" Tiwi berteriak sambil memukul meja rias yang sukses membuat Indra terperanjat dan hampir menjatuhkan ponselnya.
"Apa sih? Jangan teriak-teriak nanti ada yang denger kiranya lagi anu-anu." Indra telah menoleh, ia sudah tidak peduli lagi dengan ponselnya. Sesuatu yang menantang ada di depannya.
"Ini bantuin buka gaunnya, gue kesusahan. Nggak peka banget sih." Sorot mata Tiwi terlihat tajam.
"Yaelah gitu doang, daritadi makanya bilang." Indra berdiri menuju meja rias.
"Daritadi udah dipanggil kok."
"Gue tuh maunya yang langsung, 'Indra bantuin dong'. Yah kamu, manggil nama doang. Orang mana tau."
Tiwi hanya mendesis, masih kesal. Meskipun di dalam kamar tetap dingin karena ada AC, ia sudah keringatan karena gaun pengantin itu dan badannya sudah lengket, ingin segera mandi dan berganti pakaian.
Setelah mendapat bantuan dari Indra, ia tidak langsung membuka gaunnya meskipun di bagian belakang sudah setengah terbuka, masih canggung. Ia lalu mengambil pakaian di kopernya lalu masuk ke kamar mandi.
Tiga puluh menit berikutnya, Tiwi sudah keluar. Ia terlihat segar dengan rambut yang masih basah. Pakaiannya sudah berubah menjadi daster polos selutut berwarna putih. Pandangannya melihat ke arah pria yang masih sibuk bermain game tapi posisinya sudah berubah ia telah merebahkan tubuhnya di sofa.
Tiwi hendak berkomentar tapi ini masih awal pernikahan mereka, nanti dikatain mengekang, jadi ia membatalkan niatnya. Dan kembali ke meja rias untuk mengeringkan rambut dan memakai skin care.
"Lo nggak ada teman yah?" Tiwi memecah hening diantara keduanya.
"Teman hidup? Ada lo kok." Jawab Indra sekenanya.
"Geblek lu. Maksud gue tuh teman dekat, tadi nggak ada gue lihat teman lo datang. Iya kan?" Tiwi telah selesai dengan aktifitasnya, berbalik.
Indra menghela napas, bangkit duduk, gamenya juga telah selesai. "Lo tau kan gue tuh sejak SMA udah di luar negeri, jadi kebanyakan teman gue orang luar."
"Ngghhak dihundhhang?" Tanya Tiwi sambil menguap.
Indra mengerti apa yang diucapkan oleh Tiwi lantas menggeleng.
"Yuk tidur, gue juga ngantuk. Udah jam 12 nih." Indra melangkah ke ranjang dan langsung berbaring. Tapi tidak dengan Tiwi.
Menyadari hal itu, Indra kembali duduk, lalu menatap Tiwi yang juga menatapnya. "Kenapa? Lo nggak mau tidur sama gue?"
Tiwi tidak menjawab, ia malah menunduk.
"Oh yaudah, gue ngerti kok. Lo tidur di ranjang aja, gue tidur di sofa." Indra sudah beranjak ke sofa membawa satu bantal. Ia tidak ingin menjadi pria br*nsek yang meniduri wanita yang tidak mencintainya. Lagian pernikahan ini juga karna paksaan dari kedua orang tua mereka.
"Gue aja yang tidur di sofa yah? Lo tidur di ranjang, gue nggak papa kok."
Indra tidur membelakangi Tiwi, ia menghadap ke sandaran sofa. "Yakali gue tega biarin perempuan tidur di sofa sementara gue enak-enakan di atas ranjang."
"Tapi,"
"Lo tidur aja di ranjang, ribet banget sih. Gue mau tidur, jadi nggak usah bersuara lagi. Selamat malam. Dan jangan lupa matiin lampu."
"Makasih." Gumam Tiwi yang hanya bisa di dengar oleh dirinya sendiri, lalu beranjak mematikan lampu dan tidur di ranjang.
Gue mau hidup dengan orang yang gue cintai, gue akan memberikan semuanya pada suami yang gue cintai. Ini hanya pernikahan paksa, hanya soal waktu kita akan berpisah. Batin Tiwi.
Gue nggak akan ngelakuin hal senonoh pada lo, karena gue nggak mencintai lo, ini semua cuma ancaman Daddy gue, jadi lo tenang aja gue nggak bakal lakuin apapun itu meskipun lo yang notabenenya sekarang adalah istri sah gue. Impian gue juga bisa menikah dengan orang paling gue sayang. Batin Indra.
Hubungan keduanya sudah mulai membaik sejak insiden penyerempetan mobil itu. Mereka bersama dua hari terakhir dan berinteraksi selayaknya sepasang tunangan meskipun mereka baru mengobrol kalau itu hal yang penting.
tbc...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments