Kabar baik menghampiri sekolah. Para siswi yang hilang telah ditemukan meski dalam kondisi yang mengenaskan. Mereka sadarkan diri setelah diberi penanganan dokter, Syukurlah mereka tidak sampai koma. Luka akibat sabetan cambuk menghiasi tubuh mereka. Orang tua mereka menangis tersedu-sedu, merasa ngeri, prihatin sekaligus bersyukur bukan hal yang lebih buruk yang terjadi. Setelah ini mereka pasti lebih protektif terhadap keselamatan putri-putrinya.
Si Tikus Psikopat itu sudah dibereskan oleh polisi tepat setelah Blash pergi. Airi sudah memberikan kesaksian sesuai yang dia ketahui. Dia bilang bahwa ada seseorang dengan nama Blash telah menyelamatkan mereka. Setelah siuman, mereka para korban juga dibutuhkan untuk di wawancarai. Entahlah si Tikus Psikopat itu mendapat hukuman seberat apa.
Pihak sekolah pun diberi kabar baik tersebut oleh pihak polisi sesaat setelah mereka menemukan korban yang hilang. Tentunya kepala sekolah dan para guru dapat menghela napas lega. Syukurlah siswa-siswa sekolahnya ditemukan dalam kondisi hidup. Karena mereka hilang dalam waktu yang cukup lama.
Sudah tidak ada lagi rapat mingguan. ‘Rapat Besar’ kembali diadakan hanya menjelang ujian. Tentunya baik orang tua siswa maupun siswa itu sendiri diwajibkan hadir kecuali force mejure. Pihak sekolah memberi cuti satu bulan untuk siswa yang hilang-hilang sebelumnya dan juga siswa yang terlibat kejadian itu.
“Selamat pagi anak-anak, kabar baik untuk kita semua. teman-teman kalian yang hilang sebelumnya.. kemarin telah ditemukan.” Wajah wali kelas tampak berseri-seri, senang. “Dan sekarang mereka masih diberi penanganan oleh dokter.”
Seluruh isi kelas bersorak senang. Wajah-wajah lega mereka mengeluarkan aura positif. Ada yang sampai menangis terharu mendengar bahwa teman-temannya kembali dengan selamat. Bagaimanapun manusia adalah mahluk yang sensitif.
“Kami memberi cuti sebulan untuk mereka. Jadi jika kalian mau menjenguk, silahkan atur jadwal dan segera lapor ke Saya, agar Saya bisa menghubungi pihak orang tua mereka.”
“Baik pak.” Kata ketua kelas.
Mereka gaduh saling memberi usul kapan sebaiknya mereka menjenguk bersama-sama. Tentunya bukan hari-hari sekolah, karena tak baik jika menjenguk seseorang saat malam hari. Sasaran mereka pastilah weekend, hari minggu.
“Loh.. Airi, kok kamu masuk sekolah ?” Tanya wali kelas.
Seluruh siswa menatap Airi. Mereka tidak tau kalau Airi juga terlibat kasus penculikan itu. “Eh.. Iya pak, Saya tidak terlalu parah kok.”
“Meski begitu, kau harus tetap istirahat di rumah. Kau pasti juga trauma.”
Airi menggeleng. “Tidak pak, malahan jika saya di rumah, saya pasti akan terbayang-bayang kejadian itu.”
Teman-temannya tampak bingung memahami pembicaraan antara wali kelas dan Airi. Mereka saling menoleh. Sayangnya, Airi enggan menjelaskan kejadian itu, dia menutupinya dengan tersenyum dan berkata “Bukan apa-apa kok.”
“Baiklah jika itu mau mu, Nak.”
Juna yang sejak tadi hanya mendengarkan, menguap sambil menopang dagunya dengan tangan kirinya. Sementara tangan kanannya sibuk mengetuk-ngetuk bangku.
“Airi, dimana pacarmu ?”
“Eh!” Airi tersentak, sibuk mencari alasan. “Itu.. kami sudah putus.”
“Lah kenapa ? cepet banget putusnya, belum satu bulan jadian udah main putus aja.”
Airi menggaruk kepalanya. “Iya.. dia.. pindah sekolah. Jadinya, aku memutuskannya. Aku tak bisa jika LDR.”
Salah satu temannya memukul kepala Airi sambil tertawa. “Sok banget kau. Anak polos tau apa tentang LDR.” Teman-temannya yang lain ikut tertawa.
Airi hanya tertawa kecut. “Hehe..”
“Nanti kau mau pulang bareng kami, Airi ?”
“Tidak.” Jawab Airi cepat. “Aku masih ada perlu dengan seseorang. Kalian duluan saja.”
“Hmm.. pastikan kau tidak pulang sendiri ya. Meskipun kasus penculikannya sudah selesai, kau harus tetap jaga diri.”
“Siap!”
Kabar buruknya hanya menghampiri Juna seorang. Setelah kejadian itu, Airi terus menempel padanya. Sok akrab, sok ramah, sok baik, sampai-sampai teman-temannya pun heran memperhatikan tingkah Airi.
“Dia beneran udah ketularan gila.” Bisik salah seorang temannya sambil menahan tawa.
Airi yang mengetahui hal tersebut langsung cemberut marah. Berkata bahwa “Juna tidak gila!” dan hal itu malah tidak menyelesaikan apa-apa. Malahan sekarang beberapa temannya agak menjaga jarak dengan Airi. Airi tetap tidak pedulu, dia masih kukuh mendekati Juna.
“Kau ini malah menggali lubang sendiri.” Kata Juna.
“Hehe..” Airi menggaruk kepalanya yang tak gatal. “Habisnya.. aku tak peduli kok.”
“Dasar gila.”
“Ehh gila teriak gila.” Airi memukul pundak Juna. “Kau tak ke kantin.”
Juna diam menatap Airi. “Airi.. hentikan ini. Sungguh aku risih.” Ucap Juna ketus.
“Kau risih ? Jahat sekali kau ini.” Airi memasang wajah sedihnya. “Tak apa, kau boleh risih. Tapi aku juga boleh tak peduli.” Airi meringis.
“Menyebalkan sekali… si bodoh ini…”
Juna tak bisa melakukan apa-apa mengenai hal ini. Sampai terkadang dia sembunyi di toilet pria agar Airi tak terus mengikutinya. Sampai-sampai Airi pindah tempat duduk. Mulai dua hari setelah kejadian itu, Airi duduk di sebelah Juna. Juna hanya bisa mendengus sebal.
“Bisa tidak sih kau berhenti stalker in aku.” Kata Juna sebal.
“Aku bukan stalker, aku hanya mengikutimu.”
“Apa bedanya ? Dasar bodoh…”
“Sekarang aku mau pulang, kau jangan mengikutiku lagi.” Kata Juna sambil berjalan menuju parkiran sepeda.
Airi menututi langkah Juna. “Aku ikut. Kan kata pak guru, kita tak boleh pulang sendirian.”
“Tapi kan kasus penculikannya sudah selesai.” Sanggah Juna.
“Tapi kan bahaya bisa menyerang siapapun dan kapanpun.”
Juna menggeram marah, dia tak bisa menyanggah pernyataan Airi barusan. “Lalu ? memangnya rumahmu satu arah denganku ?”
“Iya dong.” Airi tersenyum bangga.
“Kau sudah mengikutiku sebelumnya ya ?”
Airi meringis. “Hmm.. tidak juga sih. Bonceng aku ya.” Pinta Airi.
“Ogah.” Jawab Juna ketus.
“Jahat.. tega sekali kau sama perempuan.”
Juna tak mempedulikan ocehan Airi, Dia sibuk mengeluarkan sepedanya. Ketika sepeda Juna berhasil dikeluarkan, Airi dengan tangkas naik di bagian belakang sepeda Juna.
Juna menatapnya sinis. “Turun, tidak ?”
“Gak mau.” Airi menjulurkan lidahnya.
Dengan terpaksa Juna mulai menaiki sepedanya. “Aku ngebut nih.” Dia menakut-nakuti Airi agar mau turun.
“Wah seru tuh.” Kata Airi bersemangat. Gagal.
“Sejak kapan dia mulai tak takut padaku ?”
Juna mulai mengayuh sepedanya, ngebut. Seperti katanya. Airi malah terlihat senang. Rambut panjangnya berkibar terkena angin. Poni yang tadi menutupi dahinya, kini menyibak memperlihatkan dahi lebarnya.
Jarak antara rumah Juna dengan sekolah tidak begitu jauh. Biasanya dia membutuhkan waktu dua puluh menit untuk sampai, kalau ngebut ya sekitar sepuluh menit. Ngomong-ngomong Juna bukan atlet balap sepeda yaa.
Dalam perjalanan dipenuhi oleh ocehan Airi yang tak berhenti-berhenti. Cerita ini itu, bicara ini itu, sampai-sampai kucing yang sering Dia temui ketika pergi sekolah juga dibahas. Juna sama sekali tak pernah menanggapi ocehan Airi.
Mereka telah tiba di kompleks ruma Juna. “Rumahmu dimana ?” Tanya Juna.
“Wahh.. kau mau mengantarku ?” Airi tersenyum jahil.
“Cepat katakan, bodoh!” Bentak Juna.
“Itu di depan.”
Juna memberhentikan laju sepedanya, menoleh, bingung. “Kita tetangga an ?”
Airi mengangguk mantap.
“Pantas saja.. Biang kerok ini..”
Rumah mereka dekat, hanya selisih tiga rumah, namun rumah Airi berada di sisi yang berhadapan dengan rumah Juna. Juna memutuskan berhenti tepat di depan rumahnya, toh rumah Airi tak jauh, dia bisa jalan sendiri kan.
“Sebenarnya apa sih yang kau inginkan dariku ?” Tanya Juna curiga.
“Tak ada.” Jawab Airi cepat.
“Jangan bohong!”
Airi menghembuskan napas. “Sebenarnya.. aku..” Wajah Airi tampak memerah, menunduk. “Aku ingin jadi muridmu.” Airi mengangkat kepalanya. “Black Shadow.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments