Radar Cinta Andara

Radar Cinta Andara

Part 1

Tujuh tahun kemudian

"Kak Panca!"

Suara teriakan itu mampu membangunkan Dara dari tidur yang sudah beberapa jam lamanya. Tubuh terasa lemas, mimpi buruk itu terus menghantui istirahatnya.

Selelah apa pun kondisi tubuh Dara tetap harus semangat, lantaran ada klien dari perusahaan besar yang sangat membutuhkan desain gaun dari rancangannya.

Mau tidak mau Dara harus ekstra kerja keras untuk memberikan hasil yang baik supaya tidak kena tegur atau ocehan dari Bos Hendro.

Sekarang Dara sudah tinggal di sebuah apartemen, walaupun dia sebenarnya bisa tinggal di tempat Oma Dewi.

Sejak papanya meninggal dunia dua tahun yang lalu mamanya pindah ke rumah Oma Dewi. Sementara sang pemilik rumah sudah empat tahun yang lalu.

Kak Harry masih belum menikah, berbeda sama Kak Mimi yang sudah memiliki satu anak. Begitu juga Kak Tari yang menikah dan memilih tinggal di Lembang. Di dalam keluarga hanya Kak Harry, Kasa, dan Dara yang belum menikah.

Lamunan Dara seketika buyar saat terdengar dering telepon dari nakas samping ranjangnya. Sebuah nama yang sudah tidak asing baginya, seorang lelaki yang sudah seperti ayah sendiri.

"Assalamualaikum, Om," sapa Dara.

"Waalaikumsalam, kamu sibuk Dara?" tanya pria itu.

"Enggak, Om. Ada apa?" tanya baik Dara.

"Oh, Om cuma mau ingatkan kamu, jika besok ada pengajian peringatan tahunan Panca dan mamanya. Kamu ikut, ya? Om berharap kamu bisa datang ke acara itu, Nak,” pinta pria tersebut dengan nada memohon.

"Aku usahakan ya, Om. Tapi, aku tidak bisa janji juga karena pekerjaanku cukup menumpuk di sini," kata Dara dengan raut wajah sedih karena tak bisa menyetujui apa yang sebenarnya ingin sekali disetujui.

"Iya, Om ngerti, Dara. Soalnya kata mamamu, saat ini kamu sedang ada project besar. Benarkah?” tanyanya kembali dengan nada yang terdengar senang.

"Iya, Om, doakan saja. Ohh, iya, apakah Om benar-benar yakin jika Kak Panca sudah tiada? Bukankah kata penyelidik, jasadnya saja sampai sekarang belum ditemukan. Bagaimana kalau Kak Panca masih hidup?"

Harapan itu masih ada di dalam benah Dara. Meski kenyataannya mustahil, tetap saja entah mengapa hati merasa yakin sebelum mata kepalanya melihat langsung jasad Panca ditemukan dan dikuburkan dengan layak.

"Sudahlah, Dara. Om tidak mau berharap lebih, itu akan sangat menyakitkan. Lebih baik kita ikhlaskan saja kepergian Panca supaya tenang di alamnya. Kamu juga harus melanjutkan hidup, walaupun tanpa Panca. Om yakin, suksesmu sekarang ini juga bagian dari doa Panca. Dia pasti senang melihatmu sekarang sudah mandiri. Tidak perlu memikirkan hal yang akan menghambat hidupmu. Lebih baik fokus menata diri, bekerja dengan giat, menikah, dan hidup bahagia bersama pasanganmu.”

Panji selaku ayah dari Panca tidak pernah memutuskan hubungan dengan Dara, meskipun sang anak sudah tiada.

Berat rasanya mendengar ucapan yang keluar dari mulut Panji. Namun tidak ada pilihan lagi. Dara cuma bisa menarik nafas dalam-dalam dan berusaha tetap tenang mengontrol diri juga perasaan yang sepenuhnya belum usai.

Satu sisi apa yang Panji katakan memang benar, kalau Dara harus melanjutkan hidup, memiliki pasangan, serta mewujudkan impiannya agar kebahagiaan kembali dia dapatkan. Meski tak lagi bersama dengan pria yang pernah hadir di dalam hidupnya.

Di sisi lain Dara pun masih berat seperti ada keraguan di dalam hati untuk mencari pengganti Panca. Langkahnya juga terasa terhalang oleh cinta yang belum sepenuhnya selesai.

Mungkin untuk saat ini Dara akan lebih fokus pada kesendirian, bukan tak ingin melanjutkan. Hanya saja dia ingin memperluas bakat juga keahliannya dengan harapan semoga menjadi perancang terkenal, sekaligus membenahi diri supaya menjadi wanita yang lebih baik dan mandiri.

Selepas itu Dara menyudahi komunikasi bersama ayah dari kekasihnya itu dan membuka laptop untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan kantor yang sempat tertunda.

Awalnya Dara ingin meminta cuti untuk hari ini, tetapi setelah Panji mengundangnya dalam peringatan kematian Panca. Dia malah memilih masuk kantor demi mengalihkan pikirannya tentang Panca.

Ya, meski Panca telah tiada cukup lama. Namun entah mengapa Dara seringkali merasakan kedekatan juga keberadaannya, walaupun terus menerus dihantui oleh kerinduan yang tidak tahu sampai kapan akan berakhir.

Dara paham saat ini mereka sudah berbeda alam, cuma semua itu seperti mimpi baginya. Dia masih memiliki kepercayaan bahwa, Panca masih hidup. Sayang sekali tak ada yang mampu mengerti tentang perasaannya.

Untung saja Dara sudah mandi, tinggal mengganti pakaian kerja saja. Di saat wanita itu sedang memilih-milih pakaian, ponselnya tampak berkedip-kedip.

Dara segera mengeceknya, di mana notifikasi membuatnya langsung membuka pesan sambil menekan tombol voice note.

"Dara, jam segini kamu belum sampai juga ke kantor? Astaga!”

Suara nyaring yang terdengar memecahkan gendang telinga berhasil membuat Dara menjauhkan ponselnya sedikit sambil mengusap kuping secara perlahan.

Padahal volume suara tidak full, cuma suara rekan kerjanya memang seperti toa masjid yang begitu nyaring dan bergema.

"Ini aku sedang siap-siap, memangnya ada apa? Pak Hendro nggak PMS lagi, ‘kan?" sahut Dara, membalas voice note tersebut.

Dia kembali memilih pakaian yang pantas untuknya bekerja sambil menunggu balasan dari temannya yang sangat cerewet.

"Aku cuma mau kasih informasi, kayaknya kamu bakal satu tim sama anaknya Pak Hendro, deh. Namanya kalau nggak salah, Ervan Prasetya. Tadi aku sudah lihat orangnya loh, ganteng banget. Sumpah! Cuma … cuma ya, gitu deh ...."

"Cuma apa? Gitu deh, gimana maksudnya? Aku nggak ngerti. Jangan bilang dia tipikal pria playboy?”

Dara yang penasaran mulai menebak-nebak tentang anak dari bosnya tersebut. Bukan karena ingin tahu banget, tetapi rasa penasaran itu cukup kuat.

"Aissh, nggak, begitu, Dara. Jangankan playboy, dia saja sikapnya dingin banget sama perempuan. Pokoknya kamu cepatan deh, sampai di kantor biar lihat sendiri. Aku tunggu ya, Bye!"

"Huh, orang baru, tapi berlagak senior. Mentang-mentang anak bos!" umpat Dara yang langsung segera bersiap-siap sebelum pekerjaannya menjadi taruhannya, jika dia sedikit saja terlambat.

Kurang lebih 45 menit akhirnya Dara sampai di kantor. Mobilnya mogok dan semalam dia harus menginap di bengkel langganan.

Dara bisa saja meminta sang sopir yang bekerja untuk ibunya supaya mengantar ke kantor. Akan tetapi, tidak dilakukan karena dia harus belajar mandiri agar tak menjadi wanita yang lemah dan manja.

"Ya Allah, Dara. Kamu sudah telat satu jam, habislah kamu!" sindir Ika yang sangat tahu hukuman apa yang pasti diterima Dara.

"Hufft, ya, bagaimana lagi. Niatku tadi mau ngambil cuti, tapi sepertinya besok saja. Badanku rasanya remuk banget gara-gara lembur, ditambah besok juga peringatan kematian tunanganku. Jadi besok saja deh, cutinya. Sekarang ya, sudah terima nasib asalkan tidak dipecat,” sahut Dara sambil meletakkannya barangnya.

"Ya, sudah kalau begitu sekarang lebih baik kamu temui gih, Pak Ervan. Dari tadi dia udah nanyain kamu mulu, aku sampai bingung mau jawab apa,." kata Ika.

"Iya, iya, ini juga aku mau langsung ke sana. Ehh, tapi bentar deh, bentar. Bukannya ini hari pertama dia kerja, ‘kan? Itu artinya dia pasti akan memberikan kesan baik untuk anak buahnya, benar, ‘kan?” tanya Dara penuh percaya diri.

"Sudah temui saja, jangan banyak berbicara. Apa pun resikonya terima saja,” timpal Ika sambil mendorong pelan Dara menuju pintu ruangan Pak Ervan.

"Bismillah" Dara mengetuk pintu ruang kerja atasannya dengan perasaan sedikit ketakutan akan responnya.

Tak lama suara bariton terdengar nyaring sampai berhasil membangkitkan suasana menegangkan, "Masuk!"

Dara berusaha memberanikan diri masuk ke dalam ruangan Pak Ervan. Ruangan yang biasanya ditempati oleh pak Hendro.

indera penciuman Dara menangkap wangi parfum yang tidak asing. Wangi yang dia rindukan tujuh tahun yang lalu, sejenak dia lupa kalau di depannya adalah atasan.

Dara terdiam sejenak. Dia bahkan, merasa di depannya bukanlah pria yang ingin ditemui, melainkan sosok yang telah lama di rindukan.

Tubuh Dara seketika bergetar, tatapan mata berkaca-kaca, lalu berhambur memeluk pria yang ada di hadapannya.

"Ka-kak Panca!" isak tangis Dara terdengar terbata-bata, menumpahkan celengan rindu yang selama ini terisi penuh.

"Apa yang kamu lakukan, Nona! Cepat menyingkirlah dariku!”

Terpopuler

Comments

F.T Zira

F.T Zira

baru part 1 udah 7 tahun kemudian😳😳..

apa ada kisah sebelum ini??🤔🤔

2024-11-05

0

Indah MB

Indah MB

lagian Dara langsung meluk ...

2024-11-08

0

Selviana

Selviana

Maaf baru bisa mampir 🙏

2024-11-04

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!