Tujuh tahun kemudian
"Kak Panca!"
Suara teriakan itu mampu membangunkan Dara dari tidur yang sudah beberapa jam lamanya. Tubuh terasa lemas, mimpi buruk itu terus menghantui istirahatnya.
Selelah apa pun kondisi tubuh Dara tetap harus semangat, lantaran ada klien dari perusahaan besar yang sangat membutuhkan desain gaun dari rancangannya.
Mau tidak mau Dara harus ekstra kerja keras untuk memberikan hasil yang baik supaya tidak kena tegur atau ocehan dari Bos Hendro.
Sekarang Dara sudah tinggal di sebuah apartemen, walaupun dia sebenarnya bisa tinggal di tempat Oma Dewi.
Sejak papanya meninggal dunia dua tahun yang lalu mamanya pindah ke rumah Oma Dewi. Sementara sang pemilik rumah sudah empat tahun yang lalu.
Kak Harry masih belum menikah, berbeda sama Kak Mimi yang sudah memiliki satu anak. Begitu juga Kak Tari yang menikah dan memilih tinggal di Lembang. Di dalam keluarga hanya Kak Harry, Kasa, dan Dara yang belum menikah.
Lamunan Dara seketika buyar saat terdengar dering telepon dari nakas samping ranjangnya. Sebuah nama yang sudah tidak asing baginya, seorang lelaki yang sudah seperti ayah sendiri.
"Assalamualaikum, Om," sapa Dara.
"Waalaikumsalam, kamu sibuk Dara?" tanya pria itu.
"Enggak, Om. Ada apa?" tanya baik Dara.
"Oh, Om cuma mau ingatkan kamu, jika besok ada pengajian peringatan tahunan Panca dan mamanya. Kamu ikut, ya? Om berharap kamu bisa datang ke acara itu, Nak,” pinta pria tersebut dengan nada memohon.
"Aku usahakan ya, Om. Tapi, aku tidak bisa janji juga karena pekerjaanku cukup menumpuk di sini," kata Dara dengan raut wajah sedih karena tak bisa menyetujui apa yang sebenarnya ingin sekali disetujui.
"Iya, Om ngerti, Dara. Soalnya kata mamamu, saat ini kamu sedang ada project besar. Benarkah?” tanyanya kembali dengan nada yang terdengar senang.
"Iya, Om, doakan saja. Ohh, iya, apakah Om benar-benar yakin jika Kak Panca sudah tiada? Bukankah kata penyelidik, jasadnya saja sampai sekarang belum ditemukan. Bagaimana kalau Kak Panca masih hidup?"
Harapan itu masih ada di dalam benah Dara. Meski kenyataannya mustahil, tetap saja entah mengapa hati merasa yakin sebelum mata kepalanya melihat langsung jasad Panca ditemukan dan dikuburkan dengan layak.
"Sudahlah, Dara. Om tidak mau berharap lebih, itu akan sangat menyakitkan. Lebih baik kita ikhlaskan saja kepergian Panca supaya tenang di alamnya. Kamu juga harus melanjutkan hidup, walaupun tanpa Panca. Om yakin, suksesmu sekarang ini juga bagian dari doa Panca. Dia pasti senang melihatmu sekarang sudah mandiri. Tidak perlu memikirkan hal yang akan menghambat hidupmu. Lebih baik fokus menata diri, bekerja dengan giat, menikah, dan hidup bahagia bersama pasanganmu.”
Panji selaku ayah dari Panca tidak pernah memutuskan hubungan dengan Dara, meskipun sang anak sudah tiada.
Berat rasanya mendengar ucapan yang keluar dari mulut Panji. Namun tidak ada pilihan lagi. Dara cuma bisa menarik nafas dalam-dalam dan berusaha tetap tenang mengontrol diri juga perasaan yang sepenuhnya belum usai.
Satu sisi apa yang Panji katakan memang benar, kalau Dara harus melanjutkan hidup, memiliki pasangan, serta mewujudkan impiannya agar kebahagiaan kembali dia dapatkan. Meski tak lagi bersama dengan pria yang pernah hadir di dalam hidupnya.
Di sisi lain Dara pun masih berat seperti ada keraguan di dalam hati untuk mencari pengganti Panca. Langkahnya juga terasa terhalang oleh cinta yang belum sepenuhnya selesai.
Mungkin untuk saat ini Dara akan lebih fokus pada kesendirian, bukan tak ingin melanjutkan. Hanya saja dia ingin memperluas bakat juga keahliannya dengan harapan semoga menjadi perancang terkenal, sekaligus membenahi diri supaya menjadi wanita yang lebih baik dan mandiri.
Selepas itu Dara menyudahi komunikasi bersama ayah dari kekasihnya itu dan membuka laptop untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan kantor yang sempat tertunda.
Awalnya Dara ingin meminta cuti untuk hari ini, tetapi setelah Panji mengundangnya dalam peringatan kematian Panca. Dia malah memilih masuk kantor demi mengalihkan pikirannya tentang Panca.
Ya, meski Panca telah tiada cukup lama. Namun entah mengapa Dara seringkali merasakan kedekatan juga keberadaannya, walaupun terus menerus dihantui oleh kerinduan yang tidak tahu sampai kapan akan berakhir.
Dara paham saat ini mereka sudah berbeda alam, cuma semua itu seperti mimpi baginya. Dia masih memiliki kepercayaan bahwa, Panca masih hidup. Sayang sekali tak ada yang mampu mengerti tentang perasaannya.
Untung saja Dara sudah mandi, tinggal mengganti pakaian kerja saja. Di saat wanita itu sedang memilih-milih pakaian, ponselnya tampak berkedip-kedip.
Dara segera mengeceknya, di mana notifikasi membuatnya langsung membuka pesan sambil menekan tombol voice note.
"Dara, jam segini kamu belum sampai juga ke kantor? Astaga!”
Suara nyaring yang terdengar memecahkan gendang telinga berhasil membuat Dara menjauhkan ponselnya sedikit sambil mengusap kuping secara perlahan.
Padahal volume suara tidak full, cuma suara rekan kerjanya memang seperti toa masjid yang begitu nyaring dan bergema.
"Ini aku sedang siap-siap, memangnya ada apa? Pak Hendro nggak PMS lagi, ‘kan?" sahut Dara, membalas voice note tersebut.
Dia kembali memilih pakaian yang pantas untuknya bekerja sambil menunggu balasan dari temannya yang sangat cerewet.
"Aku cuma mau kasih informasi, kayaknya kamu bakal satu tim sama anaknya Pak Hendro, deh. Namanya kalau nggak salah, Ervan Prasetya. Tadi aku sudah lihat orangnya loh, ganteng banget. Sumpah! Cuma … cuma ya, gitu deh ...."
"Cuma apa? Gitu deh, gimana maksudnya? Aku nggak ngerti. Jangan bilang dia tipikal pria playboy?”
Dara yang penasaran mulai menebak-nebak tentang anak dari bosnya tersebut. Bukan karena ingin tahu banget, tetapi rasa penasaran itu cukup kuat.
"Aissh, nggak, begitu, Dara. Jangankan playboy, dia saja sikapnya dingin banget sama perempuan. Pokoknya kamu cepatan deh, sampai di kantor biar lihat sendiri. Aku tunggu ya, Bye!"
"Huh, orang baru, tapi berlagak senior. Mentang-mentang anak bos!" umpat Dara yang langsung segera bersiap-siap sebelum pekerjaannya menjadi taruhannya, jika dia sedikit saja terlambat.
Kurang lebih 45 menit akhirnya Dara sampai di kantor. Mobilnya mogok dan semalam dia harus menginap di bengkel langganan.
Dara bisa saja meminta sang sopir yang bekerja untuk ibunya supaya mengantar ke kantor. Akan tetapi, tidak dilakukan karena dia harus belajar mandiri agar tak menjadi wanita yang lemah dan manja.
"Ya Allah, Dara. Kamu sudah telat satu jam, habislah kamu!" sindir Ika yang sangat tahu hukuman apa yang pasti diterima Dara.
"Hufft, ya, bagaimana lagi. Niatku tadi mau ngambil cuti, tapi sepertinya besok saja. Badanku rasanya remuk banget gara-gara lembur, ditambah besok juga peringatan kematian tunanganku. Jadi besok saja deh, cutinya. Sekarang ya, sudah terima nasib asalkan tidak dipecat,” sahut Dara sambil meletakkannya barangnya.
"Ya, sudah kalau begitu sekarang lebih baik kamu temui gih, Pak Ervan. Dari tadi dia udah nanyain kamu mulu, aku sampai bingung mau jawab apa,." kata Ika.
"Iya, iya, ini juga aku mau langsung ke sana. Ehh, tapi bentar deh, bentar. Bukannya ini hari pertama dia kerja, ‘kan? Itu artinya dia pasti akan memberikan kesan baik untuk anak buahnya, benar, ‘kan?” tanya Dara penuh percaya diri.
"Sudah temui saja, jangan banyak berbicara. Apa pun resikonya terima saja,” timpal Ika sambil mendorong pelan Dara menuju pintu ruangan Pak Ervan.
"Bismillah" Dara mengetuk pintu ruang kerja atasannya dengan perasaan sedikit ketakutan akan responnya.
Tak lama suara bariton terdengar nyaring sampai berhasil membangkitkan suasana menegangkan, "Masuk!"
Dara berusaha memberanikan diri masuk ke dalam ruangan Pak Ervan. Ruangan yang biasanya ditempati oleh pak Hendro.
indera penciuman Dara menangkap wangi parfum yang tidak asing. Wangi yang dia rindukan tujuh tahun yang lalu, sejenak dia lupa kalau di depannya adalah atasan.
Dara terdiam sejenak. Dia bahkan, merasa di depannya bukanlah pria yang ingin ditemui, melainkan sosok yang telah lama di rindukan.
Tubuh Dara seketika bergetar, tatapan mata berkaca-kaca, lalu berhambur memeluk pria yang ada di hadapannya.
"Ka-kak Panca!" isak tangis Dara terdengar terbata-bata, menumpahkan celengan rindu yang selama ini terisi penuh.
"Apa yang kamu lakukan, Nona! Cepat menyingkirlah dariku!”
Sepeninggalan Dara, Ervan terpaku sejenak. Masih dia rasakan bagaimana gadis itu memeluknya dengan erat. Masih terasa di ingatannya gadis itu menangis, seperti ada kerinduan yang mendalam.
Ervan membuka jasnya, kaget kemeja dalamannya basah. Dia menebak itu air mata gadis tadi.
"Aduh, Tadi siapa namanya?" Dia mencoba mengingat. Matanya tertuju pada berkas di meja.
"Andara Danuarta," ucapnya lirih. "Nama yang cantik. Ah, kau kenapa Ervan, baru begitu saja sudah memuji gadis lain." Ervan duduk kembali ke meja kerjanya. Membuka berkas dari Andara.
"Kak Panca!"
Aaaaarhhhhhg!
Kenapa aku malah teringat dia? bisa jadi hanya modus untuk cari muka sama aku. Biasalah cewek-cewek sekarang.
Ervan memandang ke jendela ruang kerjanya. Kebetulan berada di lantai tiga. Sesekali melirik ke arah tim bekerja. Tak ada Dara, apa mungkin gadis itu di ruang lain.
"Ada apa, Pak?" tanya Ika selaku sekertaris pak Hendro.
"Kamu jadi ikut ke Bali?" tanya Ervan.
"Sepertinya saya tidak bisa ikut, Pak. Saya ada urusan keluarga, tapi kalau urusan Fashion bapak bisa ajak Andara. karena ini memang bidangnya." Kata Ika terkesan merekomendasikan Dara.
Sepeninggalan Ika, Ervan menyunggingkan senyuman. Dia punya rencana bagus, lalu meminta Ika memanggil Dara ke ruangannya.
...*****...
Dara mencoba fokus pada laptop yang ada di depannya. Namun pikiran masih berputar pada kejadian memalukan tadi.
Bagaimana bisa Dara main asal memeluk Pak Ervan hanya karena parfum mereka sama padahal sudah jelas kalau mereka pasti mereka berbeda, bukan orang yang sama.
Wajah pria itu memang tidak mirip. Sampai-sampai bibir Dara tak mampu berkata apa-apa selain, memberikan pujian terhadap Pak Ervan yang jauh lebih tampan dari mendiang kekasihnya.
Dara merasakan kalau cacing di perutnya berdemo. Dia beranjak meninggalkan meja kerjanya. Beberapa rekan kerjanya sudah meninggalkan bangku kerja mereka. Hanya masih ada satu atau dua yang tersisa termasuk dirinya.
Gawainya bergetar di kantong celananya. Dara langsung mengangkat telepon dari mamanya. Dia memasang headset di telinga agar bisa sambil bekerja.
"Nak, kamu besok bisa cuti kan?" tanya mama Vira.
"Belum tahu, Ma. Tapi aku usahakan." kata Dara.
"Nak, mama mau ngomong soal ...."
"Ma, nanti dulu ngomongnya. Aku harus ketemu bos." Dara langsung menutup teleponnya.
Sudah dia tebak kalau mamanya pasti menyusun kencan buta lagi. Dan dia tidak mau ikut yang seperti itu.
Ting!
Tadi papanya Panca minta kamu datang awal sebelum acara peringatan kematian Panca dan mamanya. Mama cuma mau menyampaikan itu saja. Kamu sudah keburu tutup telepon.
Pesan mama Vira.
"Maafkan aku, Ma. Tadi keburu suudzon sama mama." ucap Dara lirih. Dia tidak membalas pesan mamanya. Hanya bisa bicara dalam hati saja.
Dara masuk ke dalam ruangan pak Ervan mengutarakan keinginan untuk libur besok. Dia menghormati Panji sebagai orangtuanya Panca. Apalagi setelah kematian Panca, Tante Echa drop dan meninggal dunia.
"Assalamu'alaikum, Pak Ervan. Saya minta maaf atas kejadian tadi. Saya hanya teringat sama mendiang tunangan saya yang parfumnya sama dengan Parfum anda.
Dan saya minta izin cuti untuk besok. Karena ada urusan keluarga." ucap Dara.
"Tadi papa saya bilang kamu yang paling bagus di kantor ini. Saya mau kamu temani saya besok ke acara pembukaan cabang di Bali."
"Saya bukan sekertaris bapak, kan ada Ika yang sekretaris pak Hendro. Kenapa harus saya?" ucap Dara.
"Karena kamu yang berkompetensi di sini. Itu kata papa saya alias pak Hendro. Kalau kamu menolak berarti apa yang di bilang pak Hendro tidak terbukti. Dia sudah mempercayakan orang yang salah. Dan saya bisa menurunkan jabatan kamu sekarang." ancam Ervan.
"Hanya karena anda anak atasan saya lalu bisa seenaknya menurunkan jabatan saya. Dan kamu kira saya bisa di posisi ini hanya ongkang-ongkang kaki seperti anda." Dara berani mengutarakan pendapatnya walaupun di depannya anak bos nya.
"Apakah kalau kamu tidak datang acara itu tidak berlangsung? Enggak kan, jadi saya tidak terima permintaan cuti kamu. Silahkan kembali karena saya masih banyak kerjaan." kata Ervan.
Dara menutup pintu ruang kerja Ervan dengan kasar. Sang pemilik ruangan hanya menyunggingkan senyuman penuh arti. Dia kembali fokus dengan pekerjaannya saat ini.
Sementara Dara sudah sampai di ruang kerjanya menghempas tubuhnya diatas kursi. Wajahnya terlihat kesal ketika keluar ruangan Bos Ervan.
Ika melihat hal itu hanya tertawa kecil. Sepertinya gadis itu sudah menebak endingnya. Dengan gaya santainya Ika menggoda Dara.
"Bagaimana bos baru kita?" tanya Ika.
"Nyebelin! Aku nggak boleh cuti sama dia. Padahal besok peringatan kematian kak Panca. Aku tidak enak sama Om Panji untuk menolak datang ke sana." keluh Dara.
"Alasannya?"
"Alasannya karena aku di minta menemani dia pembukaan cabang di Bali. Lah kan ada kamu sekretaris pak Hendro, kenapa mesti aku, coba!" keluh Dara.
"Lagian dia udah mendiang. Kenapa kamu masih berurusan sama keluarganya. Nanti pas kamu punya pasangan pasti minta persetujuan mereka. Udah nggak usah datang. Aku tidak bisa ikut ke Bali, ada urusan keluarga." kata Ika.
"Jadi aku mau kamu jadikan tumbal!" omel Dara. Mengeluarkan kedua bola matanya.
"Dar, please. Gaya lo, bikin arwah Suzanna minder."
"Kok bawa Suzanna? emang gaya gue kenapa?"
"Lebih serem dari Suzanna!" Ika langsung ngacir sebelum dapat reaksi lebih parah dari temannya.
"Ikaaaaaa!" pekik Dara.
Ika berlari sambil menjulurkan lidahnya.
"Ya Allah, aku harus bagaimana? apa yang harus aku jelaskan sama Om Panji." Dara mengacak rambutnya. Dia tidak mungkin membatalkan kedatangannya. akan tetapi dia tidak berani membantah perintah atasannya.
"Ini semua gara-gara kecerobohan aku. Kalau saja tadi tidak main peluk pak Ervan, mungkin akan beda ceritanya. Ya, Allah wangi tubuhnya sama dengan kak Panca. Apalagi kalau jadi ikut ke Bali? Ah, tidak aku bilang sama pak Hendro soal ini." Dara terus gelisah mondar mandir di ruang kerjanya.
Jam istirahat sudah tiba, Dara memilih memesan makanan melalui jasa online. Dia lagi malas kemana-mana. Dia harus mengirimkan contoh desain set dress dan aksesorisnya pada pak Ervan.
Tak lama Ika datang menyampaikan pesan pak Ervan.
"Dia panggil aku lagi?" Dara masih tidak percaya. Baru tadi beradu argumen sekarang mau di apakan lagi.
"Udah, temui saja." Ika berlalu sambil menepuk bahu Dara.
"Apa lagi ini?" batin Dara.
Andara Danuarta
Dara masuk ke ruangan pak Ervan. Di sambut wajah masam pria itu. Dara pun tak mau kalah memasang wajah aestheticnya.
Ervan mempersilahkan duduk, sambil menyerahkan berkas yang dia pelajari tadi.
"Kau tahu ini perusahaan retail bergengsi, tapi hasil kerjamu malah sama seperti yang ada di Tanah Abang. Apa ini yang mau kamu persentasikan ke kancah internasional! Hah!"
"Tapi ini sudah persetujuan pak Hendro." kata Dara tidak mau kalah.
"Sekarang saya yang berada di sini. Bukan pak Hendro, kamu ikuti aturan saya. Selesaikan ini baru boleh pulang. Kalau perlu kamu lembur. Sekarang silahkan kamu keluar." usir Ervan.
Dara melototi Ervan dari belakang. Tangannya hendak mengepalkan ke arah atasannya. Ervan kembali berbalik sedangkan Dara langsung lari terburu-buru.
Ervan hanya tersenyum kecil melihat kelakuan Dara.
Tujuh tahun yang lalu
Dara duduk di kursi tunggu bandara. Ini semester kedua setelah dia ambil S2 di Paris. Tentu saja hati terasa tenang karena hubungannya sudah mendapatkan restu oleh kedua pihak keluarga.
Hubungan cinta yang awalnya cukup rumit, sekarang perlahan telah membaik. Tak ada lagi ketakutan kini hanya ada ketenangan untuk melanjutkannya.
Lamunan Dara seketika buyar saat telinganya mendengar dering telepon di tas mini bagnya. Senyum sang wanita mulai mengembang, berpikir bila sang kekasih akan menyusu ke Bandara sebelum memutuskan pergi meninggalkan Indonesia.
Akan tetapi, bayangan akan keindahan yang ingin Dara dengar seketika kandas saat sang kekasih mengatakan sesuatu yang bertentangan oleh isi kepala.
“Sayang, maafkan aku. Sepertinya aku tidak bisa ke sana. Mama kurang sehat jadi aku harus menggantikan Papa untuk bertemu relasi, ditambah juga jalanan macet sekali. Ini saja aku masih di jalan akibat terjebak, mundur susah, maju susah, apalagi putar balik. Sekali lagi maaf, ya, Sayang.”
Panca berusaha memberikan kabar yang sebenarnya terjadi, bukan karena tidak ingin mengantarkan sang kekasih pergi. Namun keadaan mengharuskan dia untuk mengesampingkan hal tersebut.
Merasa tidak ada respon dari Dara. Panca mencoba untuk mengontrol perasaan yang pasti kekasihnya sedang marah padanya.
Wanita mana yang tidak ingin pergi diantar oleh kekasihnya, walaupun hanya sampai bandara itu saja hati sudah senang. Cuma Panca tidak dapat mewujudkan apa yang Dara harapkan akibat pekerjaannya mendapatkan kendala.
Panca menarik napas perlahan, lalu kembali untuk menggoda sang kekasih demi mencairkan suasana yang terkesan tidak enak.
“Hem, biar aku tebak. Kayanya pacar aku lagi sedih, nih. Pasti bibirmu maju ke depan sepanjang 1 meter, matamu melotot sampai ke akar-akarnya, lalu tangan mungilmu itu mengepal kuat seakan ada yang mau di lampiaskan. Benarkah?”
Wajah Dara yang awalnya ingin memarahi Panca, jadi tertunda setelah mendengarnya. Dahi sang wanita langsung mengkerut. Bagaimana pria itu bisa tahu apa yang dia rasakan? Apakah dia memiliki mata-mata di sini?
Mata Dara beredar ke penjuru arah, melihat siapa orang yang sedang mengintainya hingga Panca dapat menebak apa yang terjadi padanya.
Saat tak ada yang mencurigakan Dara segera menangkis apa yang Panca katakan dengan nada begitu sewot, “Apaan, sih! Jangan sok, tahu, deh. Lagian juga ngapain aku marah, itu urusanmu.”
“Nahkan, nadamu aja terdengar ingin memakanku. Astaga, Sayang. Kasihanilah aku, huhuhuh ….”
“Aaaa, diam!”
“Hihihi … ayo, dong, Sayang. Maafkan aku. Aku juga kalau nggak ada kendala pasti nganterin kamu, kok. Cuma maaf, kali ini aku hanya bisa mendoakan supaya rajin belajar, kalaupun kamu cepat lulus ‘kan, enak kita bisa menikah lebih cepat. Aku janji kok, tidak akan mengekang kamu untuk bekerja, asal sesuai porsinya.”
Dara mendengus kesal. Dia tidak boleh egois. Harus paham akan kesibukan sang kekasih, tak masalah Panca tak dapat mengantarnya. Setidaknya cinta sang pria tak pudar dilekang oleh waktu.
“Hufft, baiklah. Aku maafkan kesalahanmu ini, tapi lain kali sampai kamu tidak bisa mengantarku apa menjemputku. Lebih baik aku tidak pulang sekalian!”
“Heheh, iya, iya, Sayang. Udah ya, jangan marah lagi. Senyum dong, aku sayang kamu, Dara. I love you so much, Baby.”
“I love—”
Perkataan Dara terhenti saat mendengar suara operator bandara mengingatkan untuk naik ke pesawat.
“Aku pergi dulu ya, jaga dirimu baik-baik. Tunggu aku kembali!”
“Baiklah, Sayang. Tapi jawab dul—”
Sambungan telepon tertutup sepihak. Dara tak meneruskan ungkapan hatinya untuk sang kekasih, sehingga membuat Panca sedikit sedih.
Akan tetapi, tak apa, mungkin wanita itu sedang terburu-buru takut ketinggalan pesawat. Sampai akhirnya Dara lupa dengan Panca yang masih menunggu balasan cinta darinya.
Sementara Dara menoleh ke arah belakang, seperti yang ditonton di AADC. Selepas itu dia menarik nafasnya dalam-dalam dan meneruskan langkahnya menuju pesawat.
Panca kembali bersikap biasa saja setelah berhasil mengendalikan mood Dara sebelumnya. Fokus pria tersebut hanya pada mobil, sesekali berdoa supaya sang kekasih selamat sampai tujuan.
Kemacetan yang panjang membuat Panca sedikit kesal. Berulang kali dia melihat ke jam tangannya yang terus berjalan, mau sampai kapan semua ini terjadi? Apakah dia harus seharian di jalan yang tak ada pergerakan sedikit pun dari kendaraan lain?
Entahlah, kemacetan sungguh menyita perhatiannya. Panca yang merasa jenuh membuka ponsel sambil mengecek pesan dan sebagainya. Rasa cemas tak tenang membuat dia kembali menghubungi sang kekasih. Apakah Dara sudah berada di pesawat atau mungkin masih menunggu kedatangan pesawat.
Panca memandangi cincin yang tersemat di jari manisnya. Lamaran yang dia berikan saat pernikahan Fajar satu tahun yang lalu, berarti selama itu juga cinta mereka telah bersemi.
Segala perjuangan telah Panca lakukan bersama Dara, padahal dulu sang mama sangat menentang hubungan mereka karena ada wanita lain yang berharap kepada sang anak.
Cuma Panca tetap bekerja keras mencari cara bagaimana mendapatkan restu dari kedua orang tuanya dan orang tua dari Dara.
Tak berselang lama akhirnya perlahan mobil di hadapan Panca mulai bergerak, walaupun lambat. Akhirnya setelah 40 menit terjebak kemacetan yang tak bisa melakukan apa-apa, sekarang sudah berlalu.
Panca melajukan mobil dengan kecepatan sedang, mengingat mobil baru saja diperbaiki makanya dia harus berhati-hati atau sang ayah akan sangat marah ketika mendengar mobil kembali rusak.
Jarak tempat pertemuan kliennya masih sangat jauh, apalagi dengan macetnya lalu lintas Jakarta yang cukup padat juga menguras emosi. Ditambah jam juga sudah menunjukkan pukul 11.15 WIB, yang artinya sebentar lagi sholat Jumat akan dilaksana.
Panca berusaha tenang melajukan kendaraan dengan baik, walaupun ada beberapa kendaraan yang menyalip mobil hingga membuatnya keseimbangan sedikit terganggu.
“Astaga! Kalau saja ini mobil balap, sudah aku pastikan mereka tidak akan semena-mena pada mobil kecil seperti ini. Memang dia kira ini jalan nenek moyangnya kali, cihh!”
Panca terlihat begitu kesal karena kendaraan yang menyalip hampir membahayakan dirinya dan orang lain.
Tak hanya itu, ternyata mobil di belakang pun melakukan hal yang sama. Dengan terpaksa Panca harus mengerem, sayangnya rem tersebut tak berfungsi.
“A-apa ini? Ke-kenapa remnya tidak bisa bisa? Astaga, dasar montir bo*doh! Percuma mobil diperbaiki jika remnya tidak di cek, arrggh, si*al!”
Kepanikan di wajah Panca terlihat jelas. Dia tidak bisa melakukan apa-apa dalam kondisi seperti ini. Ketakutan juga kecemasan benar-benar membuat hati tak tenang.
Panca begitu tegang berusaha mengendalikan mobil yang tak bisa berhenti, hanya gas yang berfungsi. Namun bagaimanapun caranya sang pria harus menghentikan mobil, bukan menambah kecepatan yang akan membahayakan pengguna jalan lainnya.
Dirasa jalanan sudah aman. Panca berniat ingin mencari tempat untuk memudahkannya menghentikan laju mobil. Namun naas, entah dari mana tiba-tiba pengendara mobil keluar dari gang sempit hingga sang pria kembali kehilangan konsentrasinya demi menghindari kecelakaan.
Apa daya, Panca semakin tidak bisa mengendalikan laju mobil ketika mendapati jalan yang menurun.
“Astaga, bagaimana ini. Aarrrghh, siapa pun tolong aku. Tolong!”
Teriakan suara Panca bergema di dalam mobil. Tak ada yang mendengar karena mobil melaju sangat cepat di jalan yang menurun tajam.
Tak kuat mengontrol laju mobil, akhirnya nasib buruk berpihak pada Panca. Dia sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menghindari kecelakaan, tetapi dirinya yang menjadi korban.
Mobil terbontang-banting selepas menabrak pembatas jalan, sehingga melayang di udara dan terdengar suara ledakan cukup keras.
Sesosok pria keluar di penuhi kobaran api. Tidak ada yang melihat kejadian itu. Dalam bayangannya senyum seorang gadis yang menanti kedatangannya. Dalam bayangannya senyum keluarga besarnya yang menanti kepulangannya.
"Mama!"
“Dara!”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!