Masih Flashback
"Kak Panca!"
Hanya teriakan itulah yang terakhir Panca katakan sebagai penutup kisah yang cukup tragis ini. Mobil terbakar hangus bersamaan dengan tubuh sang pria yang tak dapat keluar akibat terjepit di sela-sela mobi.
Sementara di sisi lainnya. Dara yang sedang tertidur di dalam pesawat pun terbangun sambil berteriak yang membuat semua orang terkejut dan langsung menatap ke arahnya.
“Hahh, hahh … mi-mimpi apa ini? Ka-kak Panca. Ka-kak Panca … ti-tidak. Ini semua hanya mimpi, ya, ini hanya mimpi!” batin Dara.
Dara berusaha keras menangkis semua pikiran buruk yang terjadi, firasatnya mulai tidak enak. Akan tetapi hati berusaha menguatkan sambil mengelus dada seakan-akan ini hanyalah bunga tidur.
Sang ibu yang tertidur pulas menjadi terkejut berada di samping Dara yang memang sedari tadi sudah gelisah, bahkan tidur pun sampai menyebut nama Panca beberapa kali.
Meski Dara berusaha tetap kuat, tetap kekhawatiran atas mimpi mengerikan itu berhasil membawa kegundahan di dalam hati hingga air mata terjatuh deras.
Vira tak tahu harus bagaimana. Sikap Dara benar-benar aneh. Tak ingin menyaksikan sang anak bersedih dia langsung membangunkan Dawa-suaminya atas yang terjadi pada putri mereka.
"Nak, kamu kenapa?" tanya Vira, memeluk Dara.
"Hiks … Kak Panca, Ma, Kak Panca hiks … Aku tadi mimpi terjadi sesuatu sama kak Panca, Ma. Aku takut kalau memang itu pertanda untukku. Aku takut, Ma. Aku takut hiks ….”
Dara merengek bagaikan anak kecil yang sangat merindukan ibunya. Perasaan semakin tak karuan karena pikiran negatif mulai memenuhi isi kepala.
"Sabar, Sayang. Kamu hanya belum terbiasa jauh dari Panca. Kamu berdoa saja agar Panca diberi keselamatan di mana pun berada."
“Nggak, Ma, nggak! Ini beda rasanya, Ma. Beda! Pokoknya ayo, kita pulang, Ma. Kita pulang! Aku mau pulang ke Indonesia sekarang. Aku mau pulang hiks ….”
“Nak, kita ini ada di pesawat bukan di dalam mobil. Mungkin mobil bisa putar arah balik, tapi pesawat tidak. Kamu kira kita pergi hanya berbeda kota, tidak, Sayang. Kita beda negara, jad kamu harus paham itu. Tidak semuanya harus tentang Panca, jadi belajarlah mandiri, oke?”
Dawa berusaha menenangkan sang anak serta meminta maaf pada semua penumpang akibat Dara telah membuat kegaduhan, sampai mengganggu ketenangan mereka.
"Nggak, Mau, Pa. Pokoknya aku mau pulang, sekarang! Perasaanku masih tidak enak. Aku mohon, Pa, Ma. Aku mohon, hiks …."
"Kamu bisa hubungi Panca setelah kita turun dari pesawat, sekarang tenanglah."
Vira kembali memeluk Dara, mengusap punggung serta mencium puncak kepala. Berulang kali dia terus menasihati sang anak sampai akhirnya tangis sang anak mereda.
Tatapan mata Dara langsung ke arah jendela pesawat yang hanya ada pemandangan awan saja, itu berarti ketinggian pesawat di atas puluhan ribu kaki dari dasar laut.
Pandangan mata Dara terlihat kosong, air mata masih berjatuhan dengan dada yang terasa sesak. Apa pun yang terjadi, baik itu mimpi atau nyata sang wanita hanya mampu berdoa di dalam hati untuk keselamatan sang kekasih juga keluarganya.
Vina yang tak tega menyaksikan kesedihan di raut wajah sang anak kembali memeluknya. Sentuhan hangat dari sang ibu perlahan membuat hati Dara menjadi tenang.
Begitu juga Dawa yang berada di samping kanan terus membelai lembut rambut sang anak karena merasa tak tega menjauhkan mereka dalam kondisi seperti ini.
****
Di masa sekarang
Kediaman Panji Agung Laksono sudah ramai kedatangan sanak saudara yang akan mengikuti tahlilan. Tahun lalu acara ini sempat di tunda karena kesehatan eyang Laksmi sedang menurun. Dan alhamdulilah tahun ini eyang Laksmi sudah bisa ikut ke tahlilan peringatan kematian Panca dan Theresia.
Mobil mengantarkan Dara di kediaman Panji. Diantar oleh salah satu kerabat keluarga mamanya. Namanya om Galih, yang katanya kenal dekat dengan keluarga Panji.
Dara datang ke rumah Panji setelah pulang kerja, itu juga karena besok dia akan ke Bali. Tentu dia akan minta izin pada Panji tidak bisa datang ke acara tersebut.
Kedatangan Dara di sambut eyang Laksmi. Wanita paruh baya yang usianya lebih muda dari Oma nya langsung memeluk Dara penuh kerinduan. Pertama kali dia bertemu dengan Oma Lakshmi saat pulang dari Paris di tahun pertama hubungannya dengan Panca.
"Eyang," ucap Dara lirih.
Dua wanita beda generasi kini saling melepas rindu. Eyang Laksmi tampak sembab melihat kedatangan Dara. Sebegitu sayangnya dia pada Andara.
"Dara, eyang senang bisa bertemu kamu lagi. Kamu apa kabar, Nak?" Eyang Laksmi duduk sambil membelai rambut Dara.
"Alhamdulillah, Eyang. Kabar saya baik. Eyang apa kabar? Tahun lalu kita tidak bertemu. Dan Eyang makin cantik saja." puji Dara seraya menyandarkan kepalanya di bahu Eyang Lakshmi. Begitu manjanya pada Eyang Lakshmi seolah sudah seperti nenek sendiri.
Panji mendengar Dara sudah sampai di rumah. Dia melihat kebersamaan ibu mertuanya dengan Dara. Senyumnya mengembang, dia senang ibu Lakshmi masih menyayangi Andara. Padahal buka cucu nya.
"Om," Dara menghampiri Panji dan menyalami mantan calon mertuanya.
"Kamu baru sampai apa dari tadi?" tanya Panji menyilahkan Dara duduk di ruang tengah.
"Belum lama, Om. Dara sebenarnya mau bicara soal acara besok. Aku tidak bisa ikut sebab harus ikut kegiatan dari perusahaan ke Bali." kata Dara.
"Om sebenarnya ingin sekali kamu disini untuk beberapa hari. Menemani Eyang Lakshmi. Tapi saya tidak bisa mencegah kamu kalau soal pekerjaan. Kamu datang kesini saja saya sudah senang. Maaf Dara, Om tinggal dulu, ya. mau bertemu saudara yang lain." pamit Panji.
Dara menatap pintu tak jauh dari ruang tengah. Pintu yang bisa membuka semua kenangannya bersama Panca. Kamar pemuda itu masih tertata rapi. Masih seperti terakhir dia datang kesana ketika Panca masih ada.
Dara berjalan ke meja belajar, tampak photo berjejeran di sana. Termasuk photo dirinya saat masih SMA.
"Ketika rindu itu datang, siapa yang akan membayarnya. Kamu pergi ke Paris saat aku merasa benar-benar mencintaimu. Kamu muncul saat aku mulai melanjutkan hidup setelah patah hati penolakanmu. Aku mencoba move on dengan membuka hati pada Kinara. Tapi nyatanya aku tetap berharap kamu datang. Dan doaku terkabul."
Dara menangis memeluk catatan diary milik Panca. Sudah tak bisa dihitung lagi, ini sudah keberapa kalinya ia menangis. Menangis dengan alasan yang sama. Merindukan mendiang kekasihnya. Ia mengusap cairan bening itu dengan kasar, ia benci dengan air mata ini, menunjukkan betapa lemah dan cengeng hatinya.
Indri melihat kamar Panca terbuka, dia menemukan Dara entah tertidur atau mungkin pingsan di ranjang milik keponakannya.
"Dara, bukan hanya kamu yang kehilangan Panca. Kami juga sama, tapi kamu harus melanjutkan hidup. Kamu harus mengurangi keakraban dengan keluarga kami. Bukan kami tidak suka, tapi saya sedih setiap kamu kesini teringat sama Panca. Lupakan dia, Nak." bisik Indri.
"Kalau kak Panca tidak dekat dengan kamu, mungkin dia masih ada disini, Andara! Kamu yang buat dia meninggal dunia! Kamu yang menolak kak Panca dan muncul lagi setelah dia jadi milikku! kamu perebut semua kebahagiaan aku! perebut! perebut!" suara Kinara kembali terngiang di telinganya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments
Selviana
Itu bukan salah Dara, tapi itu sudah menjadi takdir
2024-11-12
1
Dewi Payang
Kinara PD sekali.....
2024-11-06
0
Dewi Payang
Sulit memang melupakan
2024-11-06
0