Hari Jumat, jam sekolah berakhir lebih awal. Pukul 1 siang aku sudah tiba di rumah. Begitu turun dari bus, mataku berkeliling mencari seseorang yang kemarin berjanji akan menemuiku di tempat biasa, yakni gapura sebelah rumah.
Ternyata zonk!
Tak ada siapapun di sana, kecuali Pak Tardi—teman Bapak—yang duduk di atas becaknya. Lelaki setengah baya tersebut menyapaku seperti biasa.
“Tumben sudah pulang, Nad?”
“Hari Jumat, Pak.”
“O iya.”
“Monggo.”
“Iya, Nad.”
Aku berjalan menuju rumah dengan lesu. Raga ingkar janji, gerutuku dalam hati. Kemarin dia mengatakan akan menemuiku hari ini, sebab ingin main ke rumah. Nyatanya?
Entah kenapa, aku kecewa. Padahal, jelas-jelas sehari sebelumnya aku muak dengan sikap agresif dia. Anehnya, begitu dia tak ada, aku merasa seperti ada yang kurang.
Hati kecilku berusaha meyakinkan diri sendiri, bahwa mungkin saja Raga dan kawan-kawannya itu hanya sekumpulan pemuda iseng. Akan tetapi, logika memaksa untuk percaya pada setiap ucapan yang terlontar dari mulutnya. Dia terlihat seperti cowok baik-baik, jauh dari kesan brengsek, dan yang pasti aku menangkap kesungguhan dari sikapnya.
Sesampainya di rumah, aku mandi, salat zuhur, lalu rebahan di kamar sembari membaca majalah remaja terbaru yang aku beli di agen buku langganan. Bapak rebahan di sofa ruang tamu sembari jaga kantor. Seperti itulah tugasnya pada siang hari. Kadang ada keluarga TKW yang datang, atau bahkan calon TKW hendak mencari informasi pendaftaran. Bapak yang mengantar mereka menemui Bosnya.
Ketika masih sibuk membolak-balik lembaran majalah demi mencari bacaan menarik, sayup-sayup kudengar Bapak berbincang dengan seseorang di luar. Aku pikir tamu si Bos. Aku pun melanjutkan aktivitas, seolah tak memiliki urusan dengan mereka yang berada di luar kamar. Memang biasa seperti itu. Setiap kali ada calon TKW maupun keluarganya datang, aku lebih memilih untuk mendekam dalam kamar. Malas rasanya berinteraksi dengan orang yang tidak memiliki urusan denganku.
Tiba-tiba, Bapak membuka pintu kamar secara perlahan. Mungkin dia pikir aku belum selesai salat, sebab terakhir masuk kamar memang dalam keadaan habis berwudu.
“Ada apa, Pak?” tanyaku lirih.
“Ada yang nyariin.”
“Siapa?”
“Nggak tahu, temanmu.”
Dahiku mengernyit. “Teman?”
“Iya, katanya.”
“Siapa?”
“Rumahnya Cendrawasih.”
Kerutan di keningku semakin mengeriting. Temanku? Rumahnya Cendrawasih? Siapa pula? Jalan Cendrawasih kan lumayan jauh dari Jalan Srindit. Sedangkan tetangga sebelah saja—yang temboknya nempel kayak perumahan model couple, aku nggak kenal. Apalagi yang rumahnya Cendrawasih.
Mau tak mau aku beranjak juga. Kutinggalkan bacaanku di atas kasur. Begitu keluar kamar, aku mendapati sesosok remaja lelaki tengah berdiri membelakangiku. Dia sedang melihat-lihat bagan yang terpasang di dinding samping meja dan kursi kantor. Ruang tamu seluas 16 meter persegi itu dibagi menjadi dua bagian. Separuh untuk menaruh sofa, separuhnya lagi untuk menaruh properti kantor.
“Hai,” ucapku pelan, menyapa sosok yang mengenakan jaket hijau army, dan masih berseragam pramuka.
Seketika dia menoleh.
Ternyata Raga!
Pemuda pemilik rambut lurus ala Lee Min Ho tersebut menatapku dengan sorot teduh matanya sembari memamerkan deretan gigi yang dihiasi satu gingsul di pojok sebelah kiri. Dia benar-benar super murah senyum. Bahkan meski tidak sedang tersenyum pun, wajahnya seperti orang senyum. Tidak salah aku menjuluki dia si smiley.
“Sudah selesai?” Dia bertanya lirih.
“Apanya?” Aku balik tanya.
Ekspresi tak bisa dibohongi. Selain syok didatangi oleh Raga secara tiba-tiba, aku juga tak habis mengerti bagaimana bisa remaja tanggung itu seberani ini mendatangi rumah seorang gadis yang baru dikenal. Tak heran apabila otakku menjadi lebih lambat mencerna.
“Katanya kamu lagi salat.”
“Assstagaaa,” ujarku seraya tersenyum lebar. “Sudah selesai sejak tadi.”
“Tapi Bapakmu bilang....”
“Bapak nggak tahu.”
“Ooo,” pungkasnya kemudian.
“Duduk!” perintahku dengan nada canggung.
“Di luar aja, yuk!” ajaknya.
“Di sini juga g-p-p,” kilahku. G-p-p itu maksudnya tidak apa-apa.
“Nggak enak ah. Ini kan kantor. Takut dimarahi”
“Dimarahi siapa?”
“Bapak kamu.”
Aku terkekeh geli.
Kawan lelakiku ketika bertemu Bapak pertama kali, rata-rata bilang takut. Seangker itukah wajah Bapak? Padahal, Bapak itu manusia tersabar sejagat raya.
“Aku ajak ngobrol di teras boleh ‘kan?” lanjut Raga kemudian.
“Emang siapa yang ngelarang?” tukasku seraya menahan tawa.
“Siapa tahu ada larangan.”
Kutanggapi ocehan tersebut dengan tawa kecil.
Hari itu merupakan awal mula terjalinnya keakraban antara aku dan Raga. Kami berdua duduk di teras, berbincang santai di sana. Raga bercerita banyak hal mengenai dirinya. Ternyata kami memiliki beberapa kesamaan.
Raga juga anak pindahan, sama denganku. Dulu dia tinggal di Bandung bersama Mama dan Kakak perempuannya. Sementara sang Papa dinas di salah satu kota besar di Jawa Tengah. Papanya asli Madiun, sedangkan Mamanya orang Garut.
“Lulus SMP aku dibawa ke sini. Dipaksa untuk melanjutkan sekolah di tempat yang bahkan aku masih asing. Waktu itu sempat ada rasa jengkel. Aku benci Papa, karena merasa berat meninggalkan Bandung dan teman-teman di sana,” tuturnya dengan wajah muram dan sorot mata menerawang.
Apa yang Raga rasakan, tak jauh berbeda dengan yang aku alami. Aku pun sebetulnya setengah hati menerima keputusan Ibu untuk membawaku pindah ke Madiun. Kawan-kawanku semua di Ponorogo, sejak lahir aku hidup di Ponorogo, dan—apabila disuruh memilih—aku tidak mau meninggalkan kota kelahiranku tersebut. Namun, jika memaksakan diri untuk tetap tinggal, mau ikut siapa?
Dulu ada Nenek, orang yang merawatku sejak bayi. Namun, setelah dia berpulang, mau tak mau aku kehilangan arah. Memang banyak saudara yang bersedia menampung, tapi tetap saja rasanya tidak senyaman ketika ikut keluarga sendiri.
“Seiring berjalannya waktu, perlahan aku bisa menerima keadaan. Terlebih sejak mulai akrab dengan Taufik, Ronald, Amar, aku seperti menemukan kembali kehidupan lamaku,” lanjut Raga membuyarkan lamunan.
“Kok cuma Taufik, Ronald, Amar? Kevin gimana?”
“Aku sudah akrab dengan Kevin jauh sebelum kenal mereka.”
“Kalian satu sekolah?”
“Iya. Di STM 1.”
“Masa?” Aku terbelalak surprise. “Tetangga sebelahku ini katanya guru STM 1 lho. Kata Bapak, sih,” bisikku pelan seraya mendekatkan kepala ke arah Raga.
“Emang iya.” Ternyata Raga tidak sekaget yang aku kira. Rupanya dia sudah terlebih dulu tahu. “Itu Kepala Sekolah kami.”
“O, Kepsek? Bapakku bilang guru.”
Cowok itu tersenyum.
“O iya, terus Mama kamu sekarang tinggal di mana?”
“Di sini.”
“Kakak kamu juga?”
Raga tak menjawab. Wajahnya berubah murung. Aku yang belum paham, hanya memandanginya keheranan. Suasana jadi canggung. Aku tidak tahu harus berkata apa, dan Raga pun sepertinya bingung hendak menyampaikan apa. Untung ada penjual es gudir keliling lewat.
Kalian tahu apa itu es gudir? Ada juga yang menyebutnya es godir. Katanya, es ini merupakan minuman khas yang berasal dari Jawa Timur. Es gudir itu setipe dengan es dawet. Hanya saja, cendolnya terbuat dari puding atau agar-agar rumput laut. Rasanya enak banget. Santan yang gurih, dipadukan dengan manisnya gula aren dan agar-agar plain atau tanpa rasa. Di situlah tercipta sebuah harmoni yang pas di lidah.
Pada tahun 2000, es gudir cukup booming. Kita bisa menemukan orang berjualan es tersebut di berbagai tempat. Bahkan dalam sehari, bisa empat hingga lima orang penjual keliling yang lewat di depan rumah. Mereka berjalan kaki sembari mendorong gerobak.
Begitu mendengar suara orang menjajakan dagangan, Raga bergegas memanggil penjual es tersebut.
“Bisa minum es, ‘kan?” tanyanya seraya menoleh ke arahku, persis seorang Kakak menanyai Adiknya. Mendapat perlakuan demikian, beberapa saat lamanya aku melongo. Hellooo, ini gadis SMA lho! Kenapa diperlakukan macam anak balita yang khawatir batuk atau pilek jika minum es?
Sikap tersebut tak ayal membuatku tertawa geli.
Belum sempat aku memberikan jawaban, Raga sudah beranjak menghampiri gerobak penjual es yang berhenti di depan pagar rumahku. Dia langsung memesan tiga gelas.
“Kok tiga?” protesku seraya berjalan menghampirinya.
“Bapak kamu nggak dihitung?”
“Eh, nggak usah,” tolakku.
Aku tuh segan. Sudah ditraktir oleh tamu, masih juga nambahin anggaran yang tidak seharusnya. Toh Bapak sejak tadi juga tak terlihat, dan entah berada di mana. Sepertinya sedang membakar sampah di halaman belakang. Kalaupun tidak dibelikan, dia tidak akan tahu.
“Nggak usah gimana? Itu Bapak kamu, lho. Dosa tau. Kita makan, orang tua nggak dikasih.”
Aku pun nyengir.
Mendengar perdebatan kami, Bapak penjual es menghentikan gerakan tangannya, lalu menoleh. “Jadi berapa nih? Dua atau tiga?”
“Tiga, Pak!” jawab Raga buru-buru.
“Dua saja,” bantahku.
Si Bapak semakin kebingungan. Saat itu, dia sudah selesai membuatkan dua gelas es. Ditatapnya kami berdua secara saksama. Aku membalas tatapan tersebut takut-takut, sebab si Bapak sepertinya kesal sekali terhadapku.
“Buatkan satu lagi, Pak!” tegas Raga kemudian. Kali ini tanpa mendapat tentangan dariku lagi.
💜💜💜
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 74 Episodes
Comments