Perkara Sebuah Nama

Rasa penasaran masih berjejal di kepala. Tidak akan tuntas sebelum ketemu jawabannya. Dan aku bukan tipe orang yang mudah menyerah jika sudah dilanda rasa ingin tahu. Ke lubang semutpun akan aku kejar penjelasannya.

Semalaman otakku berpikir keras. Bahkan sepertinya malam itu tidurku tidak benar-benar nyenyak. Bayangan wajah Kevin, dan sikap SKSD Raga, rupanya cukup lihai mempermainkan perasaan.

Hingga pagi menjelang, aku berangkat sekolah dengan penuh semangat. Pertama, semangat karena memiliki tas baru. Percayalah! Bagi anak zaman dulu, memakai tas dan sepatu baru ke sekolah itu jauh lebih mendebarkan daripada ketemu mantan yang ngajak balikan. Apalagi untuk aku yang kalau minta apa-apa harus bersabar dulu, nunggu Ibu gajian atau Bapak berhasil mengumpulkan uang.

Penyemangat kedua adalah karena Raga menjanjikan pertemuan saat pulang sekolah. Rasanya, hari itu putaran waktu begitu lambat merayap. Menunggu selesainya jam pelajaran terakhir, bagai seribu tahun lamanya. Sungguh, bunyi bel sekolah jauh lebih aku rindukan daripada kekasih yang sedang LDR-an.

Rasanya ingin cepat pulang, cepat sampai di Jalan Srindit, dan membuktikan janji cowok itu. Dia bilang akan menunggu di tempat kemarin. Jika itu benar, aku hanya ingin bertanya, dari mana dia tahu namaku?

Itu saja.

 

💜💜💜

 

Bus yang kunaiki melaju kencang. Aku merengut, otot wajah menegang, bahkan berkali-kali kakiku mengentak lantai bus dengan gerakan gusar. Serentetan kalimat sumpah serapah aku telan dalam diam. Andai tidak mempertimbangkan persoalan adab, sudah aku maki-maki sopir bus ugal-ugalan tersebut.

Bagaimana tidak?

Sejak dari jauh-jauh jarak—seperti biasa, aku sudah bilang, “Jalan Srindit kiri!”

Kenek berkali-kali memukul kaca menggunakan koin sejak bus melintas di depan Jalan Podang. Tak cukup hanya memukul kaca, dia juga berseru menyuruh sopir menghentikan laju bus. Entah sopirnya budek atau memang sengaja, hingga jauh melewati Jalan Srindit, bus tidak dihentikan. Aku mengomeli sang kenek yang hanya bisa cengengesan menanggapi luapan amarahku.

Tanpa rasa bersalah, aku diturunkan di Halte Gudang Garam oleh si sopir kampret. Halte tersebut jaraknya sekitar satu kilometer dari tempat seharusnya aku turun. Gimana nggak ngamuk, coba? Sedangkan dari sana, tidak ada angkot jurusan rumahku. Jalan Trunojoyo merupakan trayek satu arah. Kendaraan umum yang menuju terminal lewat situ, tapi arah sebaliknya jalur yang ditempuh berbeda.

Alhasil, aku jalan kaki sampai rumah. Uang saku yang tak seberapa tentu saja tidak cukup untuk ongkos naik becak. Rasanya jengkel bukan main. Sudah loyo seharian beraktivitas, masih harus mengerahkan tenaga lagi. Dalam hati, tak henti-hentinya aku menyumpah serapah. Tidak sudi naik bus itu lagi. Aku tandai betul-betul wajah sopir dan juga busnya.

Tiba di samping gapura Jalan Srindit, sepasang mataku terbelalak lebar melihat sesosok remaja nangkring di jok motor yang parkir persis di bawah gapura. Motornya Kawasaki Ninja—jenis Ninja tipe terbaru pada masa itu—yang bodinya besar, bukan bodi ringkih. Setahuku, itu merupakan motor sport idaman banyak anak muda pada era tersebut. Tidak sembarang orang tua mampu membelikannya.

“Hai,” sapanya dengan ramah begitu melihat kehadiranku. Ternyata dia memang betul-betul ramah. Murah senyum pula. Melihat aku hanya berdiri kaku dengan wajah syok, cowok itu turun dari jok motor dan berjalan menghampiriku. “Kok jalan kaki dari sana?”

“I-iya!” Aku menjawab dengan tergagap-gagap. Sejujurnya, saat itu aku sedang tidak percaya diri. Penampilanku berantakan sekali. Biasanya sudah lusuh, ini jauh lebih lusuh. Sementara penampilan cowok di hadapanku rapi, bersih, dan wangi. “Sopirnya ngehe,” imbuhku kemudian setelah mulai bisa mengendalikan diri. Ngehe adalah bahasa gaul remaja pada masa itu, yang artinya menyebalkan.

“Ngehe kenapa?” Raga tersenyum lebar. Sepertinya dia tidak mempermasalahkan keadaanku. Mungkin aku yang terlalu gede rasa. “Kamu digodain?”

“Diturunkan di Gudang Garam. Sinting nggak tuh?”

“Lah, jauhnya!”

“Kalau nggak kejauhan, mana mungkin aku marah-marah.”

Raga tertawa.

“Jadi kamu tadi jalan kaki dari Halte?”

“Iya!” seruku sewot.

“Kasihan,” ucapnya seraya—lagi-lagi—tertawa. “Coba tahu, aku jemput.”

Aku menatap pemuda itu tanpa ekspresi. Tiba-tiba, ingatanku melayang ke persoalan yang sejak kemarin menumbuhkan tanda tanya merusuh di otak.

“Boleh aku tanya sesuatu?”

“Tanya apa?”

“Emmm, kamu ... kamu tahu namaku dari siapa?”

“Maksudnya?”

“Kan kemarin aku belum nyebutin nama. Tapi kamu sudah tahu duluan kalau namaku tuh Zenaida Asmaya.”

“Lah itu,” jawabnya santai seraya menunjuk dada kananku. Aku mengerutkan dahi dengan sebal. Belum paham yang dia maksud. Aku pikir, dia bersikap mesum. “Kan di seragam kamu ada bet nama.”

Sumpah demi Tuhan! Seketika aku merasa bego bukan main. Bisa-bisanya tidak sadar dan tidak ingat kalau seragam sekolah tuh dilengkapi bet nama pada dada sebelah kanan.

 

💜💜💜

 

Sore itu, pertemuanku dengan Raga tak berlangsung lama. Setelah berhasil memastikan dari mana dia tahu namaku, aku bergegas pamit.

“Baru jam setengah lima,” cegahnya.

Tak kutanggapi ucapan tersebut. Aku melenggang pergi begitu saja sembari melambaikan tangan. Awalnya, pemuda tanggung itu mengejarku. Namun, langkahnya terhenti seketika saat aku bentak.

“Mau apa lagi, sih!?”

“Kamu nggak ngajak aku singgah ke rumahmu?” Sepasang mata  innocent menatapku lekat.

“Sudah sore!” Aku masih ketus.

“Ya gimana? Memang kamu pulangnya sore.”

“Tau ah!” tukasku kesal, lalu meninggalkan dia begitu saja. Lagi-lagi, cowok berperawakan tinggi tegap itu membuntutiku. Maka, beberapa langkah kemudian aku berhenti dan berbalik menghadapnya. “Kalau mau main ke rumah, besok siang saja! Hari Jumat aku pulang lebih awal!”

Tak kusangka, dia menyepakati usulan tersebut.

“Baiklah. Besok aku datang.” Raga tersenyum ramah, seolah mengabaikan sikap judesku barusan.

Terus terang, aku malu setiap teringat kejadian tersebut. Kami baru kenal, belum tahu pribadi masing-masing. Dia itu sebenarnya siapa, aku pun belum tahu. Namun, aku sudah bersikap seakan meremehkan dia, memperlakukannya dengan buruk.

Memang aku ini tipikal gadis yang payah. Aku sering merasa tidak nyaman apabila ada cowok mendekatiku dengan cara frontal. Mungkin itu masih wajar. Yang keterlaluan adalah caraku menanggapi mereka dengan sama rata tanpa mempertimbangkan siapa mereka sebenarnya. Adalah hal yang sangat memalukan ketika bersikap demikian dan akhirnya tahu bahwa ternyata dia bukan orang yang pantas dianggap remeh.

Seperti dugaanku ketika pertama melihat rombongan ‘boyband’ tersebut, Raga ternyata memang berasal dari keluarga yang memiliki kelas. Jika dibandingkan denganku, ibarat bumi dan Planet Neptunus sebagai planet paling ujung. Tentu saja sangat tidak pantas orang sepertiku memperlakukan dia sebagaimana halnya memperlakukan barang tak berharga.

Yang lebih memalukan lagi, aku mengetahui kenyataan tersebut baru pada hari ketiga dari waktu perkenalan kami. Di hari ketiga, yang mana Raga masih bersedia menemuiku, padahal sebelumnya aku membentak dia di jalanan, disaksikan beberapa orang yang kebetulan lewat.

Kejadian tersebut selalu menjadi sesal terdalam di sepanjang persahabatan kami, bahkan hingga saat ini.

 

💜💜💜

Episodes
1 Yang Kurindukan Dari Hujan
2 Pesona Koko-Koko Manis
3 Perkara Sebuah Nama
4 RAGA
5 Berprasangka Baik Lah!
6 Ini Ibuku
7 Impressed
8 Raga dan Sahabatnya
9 Demo Terminal Baru
10 Sikap Aneh Kevin
11 Tahun Baru Pertama
12 Antara Bandung dan Banten
13 25 Februari 2001
14 Surat Tanpa Nama
15 30 Hari Tanpa Mereka
16 Si Alim nan Gemes
17 Momentum 16 Tahun
18 Diam-diam Rival
19 RUMAH
20 Penolakan Kevin
21 Bullying dan Efeknya
22 Pagi Itu
23 Ini (Bukan) Dating
24 Don't Ask To Love, Please!
25 Siapa yang Lebih Terluka?
26 Wellcome Sweet Seventeen
27 Rasa Yang Diuji
28 Peristiwa di Villa
29 PENGAKUAN
30 Kejutan yang Mengejutkan
31 Terbongkarnya Sebuah Rahasia
32 Persahabatan di Atas Segalanya
33 Bad Memories in Sarangan
34 Kehilangan yang Teramat Dalam
35 Sweet September
36 First Love At Seventeen
37 Sepenggal Kisah Tentang Pemuda Nekat
38 Terbenturnya Dua Ego
39 Puncak Sakit Hati
40 Kehadiran Sosok Ketiga
41 Ketahuan
42 Arwan
43 Garum, Pagi Itu....
44 Something Strange Between Us
45 Ancaman Dito
46 Plandaan-Jombang
47 Arwan, I'm Fall In Love
48 Antara Cinta dan Logika
49 Raga yang Tak Terduga
50 Cinta dan Raga
51 Sulitnya Berkata Jujur
52 Aku dan Kebodohanku
53 17042003
54 Saat Ter-rapuh
55 Pelarian
56 Teman Tapi Mesra
57 Rasa
58 Embusan Sang Bayu
59 Terhalang Lusan
60 Ketika Semesta Bekerja
61 Inikah Cinta?
62 Life Is Uncertain
63 Sebuah Pengakuan
64 Bersamamu, Waktu Berjalan Tanpa Terasa
65 Hari Esok yang Lebih Baik
66 Faktanya, Bukan Katanya
67 Pe-De-Ka-Te
68 Wima Siang Itu
69 My Perfect Life
70 Raga dan Istananya
71 Menyala Camerku
72 Jogja Kota Istimewa
73 Deeptalk With Mr. Jaksa
74 Sisi Lain Papa Raga
Episodes

Updated 74 Episodes

1
Yang Kurindukan Dari Hujan
2
Pesona Koko-Koko Manis
3
Perkara Sebuah Nama
4
RAGA
5
Berprasangka Baik Lah!
6
Ini Ibuku
7
Impressed
8
Raga dan Sahabatnya
9
Demo Terminal Baru
10
Sikap Aneh Kevin
11
Tahun Baru Pertama
12
Antara Bandung dan Banten
13
25 Februari 2001
14
Surat Tanpa Nama
15
30 Hari Tanpa Mereka
16
Si Alim nan Gemes
17
Momentum 16 Tahun
18
Diam-diam Rival
19
RUMAH
20
Penolakan Kevin
21
Bullying dan Efeknya
22
Pagi Itu
23
Ini (Bukan) Dating
24
Don't Ask To Love, Please!
25
Siapa yang Lebih Terluka?
26
Wellcome Sweet Seventeen
27
Rasa Yang Diuji
28
Peristiwa di Villa
29
PENGAKUAN
30
Kejutan yang Mengejutkan
31
Terbongkarnya Sebuah Rahasia
32
Persahabatan di Atas Segalanya
33
Bad Memories in Sarangan
34
Kehilangan yang Teramat Dalam
35
Sweet September
36
First Love At Seventeen
37
Sepenggal Kisah Tentang Pemuda Nekat
38
Terbenturnya Dua Ego
39
Puncak Sakit Hati
40
Kehadiran Sosok Ketiga
41
Ketahuan
42
Arwan
43
Garum, Pagi Itu....
44
Something Strange Between Us
45
Ancaman Dito
46
Plandaan-Jombang
47
Arwan, I'm Fall In Love
48
Antara Cinta dan Logika
49
Raga yang Tak Terduga
50
Cinta dan Raga
51
Sulitnya Berkata Jujur
52
Aku dan Kebodohanku
53
17042003
54
Saat Ter-rapuh
55
Pelarian
56
Teman Tapi Mesra
57
Rasa
58
Embusan Sang Bayu
59
Terhalang Lusan
60
Ketika Semesta Bekerja
61
Inikah Cinta?
62
Life Is Uncertain
63
Sebuah Pengakuan
64
Bersamamu, Waktu Berjalan Tanpa Terasa
65
Hari Esok yang Lebih Baik
66
Faktanya, Bukan Katanya
67
Pe-De-Ka-Te
68
Wima Siang Itu
69
My Perfect Life
70
Raga dan Istananya
71
Menyala Camerku
72
Jogja Kota Istimewa
73
Deeptalk With Mr. Jaksa
74
Sisi Lain Papa Raga

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!