Hampir lima menit berteduh, belum ada tanda-tanda hujan akan segera reda. Sepertinya justru bertambah deras. Aku celingukan didera rasa gelisah, berkali-kali menengok arloji merah muda di pergelangan tangan.
Sebenarnya, rumahku tak terlalu jauh dari jalan raya. Letaknya di paling ujung, dekat gapura masuk gang. Sekitar 150 meter jaraknya. Jika ditempuh dengan langkah lebar, enam kali melangkahkan kaki juga sudah sampai.
Namun, hari itu adalah hari Rabu. Seragam PRAKERIN—Praktik Kerja Industri—yang kupakai harus dipakai lagi besok. Sedangkan aku tidak memiliki baju cadangan sebagai ganti. Terpaksa harus bersabar dan menahan diri. Paling tidak hingga hujannya tinggal gerimis.
Saat itulah, sekonyong-konyong aku mendengar suara gelak tawa di antara gemercik air. Gelak tawa persahabatan yang membuatku sedikit iri. Aku ingat, terakhir kali memiliki tawa seperti itu pada saat menjelang kelulusan SMP. Lalu, semuanya hilang bersama perpisahan.
Ah...!
Begitu mengangkat wajah, pandanganku tertuju kepada lima remaja lelaki yang berjalan dalam hujan sembari bercanda tawa. Mereka menendang genangan air, berusaha saling membasahi satu sama lain. Permainan paling seru pada masa itu.
Salah satu dari lima pemuda tanggung tersebut rupanya berhasil menarik perhatianku. Dia tampak paling tenang di antara kehebohan yang kawan-kawannya ciptakan. Aku masih ingat jelas. Cowok itu menenteng bola di samping pinggang. Badannya kerempeng, terbalut kaos singlet METALLICA warna hitam, dan celana kolor abu-abu.
“Keren banget,” pujiku dalam hati. Aku merasa selera mataku naik level. Jika kukatakan dia tampan, sungguh aku tidak mengada-ada. Meski tubuhnya kurus, pemuda itu memiliki wajah yang kalau dilihat sekilas mirip aktor Thailand.
Sejenak aku lupa kepada Rio—kekasihku yang jauh di ujung Banten sana. Aku memang sering tidak ingat bahwa kami menjalin hubungan jarak jauh. Keberadaannya kerap kuabaikan, bahkan kadang aku anggap sepele. Padahal, sebulan sebelum hari itu dia baru saja datang, jauh-jauh dari Banten ke Ponorogo demi menemui aku.
Memang sulit menjalin komitmen dengan orang yang belum siap terikat seperti aku saat itu. Layaknya merpati, aku masih ingin bebas hinggap ke sana kemari, lalu terbang tinggi sesuka hati. Harus dimaklumi, mengingat usia juga masih terlampau muda. Apa yang bisa diharap dari gadis 15 tahun?
Kembali pada mereka.
Lima remaja lelaki yang sedang mandi hujan itu berlalu begitu saja. Tanpa menoleh, tanpa mengacuhkan keberadaanku. Aku serasa makhluk tak kasat mata. Ya, siapalah aku ini? Seorang gadis kampung yang lusuh, dekil, berpenampilan sangat biasa. Intinya, sama sekali tak ada yang menarik dariku.
Sementara mereka adalah anak kota. Penampilannya bersih dan terawat. Apalagi si pemegang bola yang penuh pesona. Sepertinya dia bukan orang Jawa. Gantengnya perpaduan antara Cina, Arab, Filiphina, Thailand, dan entah kombinasi ras mana lagi. Kulit putih, alis tebal, tulang hidung tinggi, mata belo.
💜💜💜
Di antara deras air yang tercurah dari langit, lima remaja tersebut tampak bergembira ria. Mereka seakan tak peduli apapun; rambut basah, baju kuyup, bahkan kulit membiru kedinginan.
Karena khawatir cowok-cowok tersebut risi dengan keberadaanku, kupaksa sekuat tenaga supaya kepalaku berpaling ke arah lain. Walau sesekali tetap nekat mencuri pandang ke si Suppapong Udomkaewkanjana. Nggak tau kenapa, pesonanya bagai magnet, menyedot habis seluruh gengsi yang kumiliki.
“Ish, kapan redanya ini?” Aku bergumam sendiri. Bapak pasti cemas jika anak semata wayangnya pulang lambat. Dan aku pun sedih kalau sampai membuat Bapak khawatir. “Cepet reda, dong!” gumamku lagi.
Namun, sepertinya harapan tersebut harus kusimpan dalam-dalam. Bukannya mereda, hujan justru semakin deras. Satu hal yang disambut gembira oleh kelima anak cowok tadi, sekaligus disambut kecewa olehku.
Aku tengah bengong memperhatikan gemercik air yang jatuh dari talang pembuangan air, ketika tiba-tiba....
Bug!
Kepalaku terhantam bola dari samping. Tentu saja lumayan keras. Aku sedikit terhuyung karenanya.
“Sorry! Aku nendangnya terlalu keras!”
Sembari mengusap kepala yang terasa berdenyut dan sedikit kesemutan, aku menoleh ke sumber suara. Sebuah senyum dan wajah ramah menyambut tatapanku. Kubalas keramahan tersebut dengan senyum serupa diiringi anggukan tipis kepala.
Tak disangka, dia berjalan menghampiriku.
“O iya....” Tanpa ragu cowok itu mengulurkan tangan kanan. “Aku Raga,” katanya, mengenalkan diri.
Aku masih diam, memandangi tangan yang menggantung di udara tersebut dengan tatapan aneh. Dalam hati ingin menyambutnya, menjabat dengan hangat, lalu berkenalan. Kupikir akan bagus andai punya teman di kota yang kutempati belum genap dua bulan ini, supaya tidak merasa terlalu asing dan terus-terusan rindu kepada kampung halaman. Namun, ucapan Ibu yang memperingatkan supaya aku waspada terhadap anak cowok di Madiun, terngiang di telinga. Banyak anak nakal, katanya.
“Woi, Ga!” Seruan dari salah satu cowok yang tersisa empat di sana, membuat Raga menoleh. “Ayo!” lanjut cowok itu seraya mengacungkan bola.
Raga melambaikan tangan sesaat, lalu beralih menatapku. “Rumah kamu di mana?” tanyanya lagi.
“Itu, yang pager putih,” jawabku seraya melongok ke arah gang. Pagar depan rumah terlihat jelas dari jalan raya.
“O, itu rumah kamu? Aku pikir itu tuh rumah kosong.”
Aku tersenyum tipis.
“Nama kamu... Zenaida Asmaya, ‘kan?” Cowok itu lagi-lagi bertanya, yang kali ini cukup mengagetkan.
Dari mana dia tahu nama lengkapku?
Di Madiun, aku belum memiliki teman. Bahkan dengan tetangga sebelah saja, aku tuh nggak kenal. Selain karena belum lama pindah ke kota yang terkenal dengan makanan brem tersebut, aku juga nyaris setiap hari nggak ada di rumah. Pukul 5 pagi sudah berangkat sekolah, pulang pukul 4 sore—kadang lewat. Ba’da magrib nyusul Ibu ke tempat kerja, dan balik ke rumah pukul 9 malam. Hari Minggu, pulang ke rumah Ponorogo.
Tidak ada waktu untuk mengenal orang baru di lingkungan rumah. Lantas, dari mana cowok bernama Raga ini tahu namaku?
💜💜💜
“Ini namanya Satria.” Raga menunjuk salah satu temannya yang berbadan atletis—tinggi besar berotot.
Aku tersenyum ke cowok itu, lalu menyambut uluran tangannya—hal yang bahkan belum aku lakukan terhadap Raga.
“Nada,” ucapku memperkenalkan diri.
Setelah Satria melepas tanganku, masing-masing teman Raga yang lain menyalamiku dan menyebutkan nama.
“Ronald.”
Wajahnya tampan dan penampilannya kece. Jika harus menilai secara obyektif, dia yang paling tampan di antara kelima cowok tersebut. Tulang hidungnya tinggi, sepasang alisnya menukik seperti sayap camar yang terbang di atas lautan. Dia juga memiliki mata bak mata elang, dihiasi sederet bulu lentik di atasnya. Bibirnya tipis laksana cupid bow. Postur tubuhnya pun bagus. Semua ketampanan tersebut masih dilengkapi pula dengan senyum menawan dan suara yang merdu di telinga. Perfecto.
Selanjutnya adalah, “Taufik.”
Taufik memiliki tampang lugu, agak culun, dan kocak. Dalam sekilas pandang, tak ada yang istimewa darinya. Dia seperti umumnya cowok-cowok pada masa itu. Berkulit sawo matang, rambut ikal, dan—maaf—wajahnya agak berjerawat. Itu yang aku ingat dari kesan pertama mengenal dia. Meski begitu, cowok ini memiliki sorot mata yang tulus, dan positif vibes.
Terakhir, si pemilik wajah dingin mirip Suppapong Udomkaewkanjana yang sejak awal mencuri perhatianku karena sikap tenangnya. Dia ini memiliki badan kurus, jika tak boleh disebut kerempeng. Kulitnya putih kemerahan, hidung mancung, bibir imut, mata kecil—tapi bukan sipit, dan alis tebal nan rapi. Waktu itu aku belum tahu seberapa manis senyumnya sebab dia lumayan pelit berbagi senyuman. Raut wajahnya tampak kaku, seolah tak peduli sekitar.
Jantungku berdetak kencang ketika tangan kami bersentuhan. Ada rona hangat mengaliri kedua pipi. Entah perasaan apa yang merasukiku. Yang jelas, aku merasa seluruh badan menegang dan mulut seperti terkunci.
“Kevin.”
Dengan gaya ‘dingin’, dia menyebutkan nama.
Beberapa detik setelahnya, aku bagai orang terkena hipnotis—bengong dan blank. Sepertinya otak ini sudah tersihir oleh ketampanan merajalela yang tersaji di depan mata.
Tuh cowok serakah banget. Gantengnya diborong sendirian. Sumpah ya, kalau saja nggak punya urat malu, aku udah lompat-lompat kegirangan waktu itu.
“Jangan lama-lama!”
Aku tergelagap begitu Raga memisahkan tangan Kevin dari genggamanku. Memisahkannya setengah paksa pula. Pergelangan tangan Kevin ditarik kuat-kuat hingga si kerempeng itu terdorong mundur beberapa langkah.
Semua tergelak dalam tawa, kecuali aku dan Kevin yang—entah kenapa—sama-sama salah tingkah. Mungkin dia begitu karena malu ditertawakan teman-temannya. Sementara aku, malu sebab ketahuan menikmati sekali genggaman tangannya yang hangat dalam cuaca dingin hari itu.
“Sekolah di mana?” Sebuah pertanyaan dari Satria berhasil mencairkan kecanggungan yang sempat tercipta antara aku dan Kevin. “Kok jam segini baru pulang?”
“Ponorogo,” jawabku malu-malu. Jelas malu lah! Satu gadis dikerubuti lima pemuda tak dikenal.
“Ponorogo itu mana, Sat?” Raga menoleh ke arah Satria dengan wajah polos.
“Ponorogo ya Ponorogo.” Satria bingung menjelaskan.
“Satu jam kalau naik bis.” Aku memberikan penjelasan.
“Wow, jauh juga ya!” Satria terperangah.
“Kenapa sekolahnya jauh banget?” Raga menimpali ucapan sahabatnya.
“Ehm,” dehemku sembari mengalihkan pandangan ke jalan raya. Kuabaikan Raga yang masih menunggu jawabanku. “Hujannya sudah reda. Aku pulang dulu,” pamitku kemudian menimbulkan gurat ketidakpuasan pada wajah di hadapanku.
“Kok buru-buru?” Satria coba menahanku.
“Takut dicariin Bapak.”
“Alah rumah kamu lho cuma situ doang,” kilah Taufik dengan aksen medoknya.
Aku hanya mengulas senyum tipis. Dan ketika kutatap mereka satu persatu, dapat kutangkap sedikit kekecewaan di mata Raga. Entah kecewa karena apa, tapi dia tidak berusaha menahanku seperti yang Satria maupun Taufik lakukan.
Saat kakiku melangkah meninggalkan kerumunan lima pemuda asing tersebut, tiba-tiba Raga mengejar dan menghadang tepat di hadapanku.
“Apa lagi, sih!?” Aku berseru jengkel.
“Setiap hari kamu pulang jam segini?”
“Iya,” jawabku ketus seraya mengernyitkan dahi. Aneh tuh bocah. Ngapain tanya begitu?
“Setiap hari naik bis?”
“Iya.”
“Selalu turun di sini?”
“Ya iya, lah! Kan rumahku di sini!” Aku semakin kesal karena merasa diisengi.
“Besok juga?”
Kekesalanku memuncak. Sembari melengos dan menghela napas berat, kuanggukkan kepala pelan.
“Oke!” Raga berseru dan tersenyum kegirangan, tanpa peduli pada ekspresiku yang berasa pengen nabok kepalanya.
Apaan, sih? Nggak jelas banget! Rutukku dalam hati.
“Besok aku tunggu di sini, jam empat,” ucapnya kemudian seraya mengacungkan telapak tangan.
“Jam empat apa jam lima?” Aku menatapnya dengan sikap dingin.
“Kamu pulangnya jam empat, ‘kan?”
“Itu tangan kamu lima jari.”
Raga menatap telapak tangannya yang masih menggantung di udara, lalu tersenyum lebar seraya menekuk jari jempol hingga tersisa empat jari saja.
Tak ingin memperpanjang percakapan, aku berjalan meninggalkan cowok itu. Arloji di pergelangan tangan kiriku sudah menunjuk pukul lima kurang. Bapak pasti khawatir.
💜💜💜
Tiba di rumah, aku diserbu pertanyaan penuh cemas dari Bapak.
“Hari Rabu kok jam segini baru pulang, Nduk?”
“Pulang sejak tadi, Pak. Tapi hujan, jadi berteduh dulu,” jawabku lirih seraya melepas sepatu.
“Kok nggak bilang? Tau gitu kan Bapak jemput.”
Aku terkekeh seraya membuka pintu kamar. “Bilang gimana?” gumamku lirih.
Bapakku tuh aneh. Waktu itu, kami belum memiliki handphone. Lantas dia menyuruhku memberi kabar bahwa aku sedang kehujanan di jalan. Bagaimana caraku mengabari coba? Teriak dari jalanan depan, gitu? Atau pulang dulu, memberitahu kalau sedang terjebak hujan, lalu setelah itu balik lagi ke depan nungguin Bapak datang? Kan nggak mungkin.
Tapi itulah Pak Warno, orang tua yang luar biasa istimewa. Keluguannya kadang di luar logika. Saking lugunya sebagai lelaki sekaligus suami, untuk merokok saja dia tidak berani. Soalnya Ibu pasti marah besar kalau tahu Bapak mengisap lintingan tembakau tersebut. Dulu pernah merokok diam-diam, ketahuan, lalu Ibu murka. Semenjak itu Bapak tidak pernah berani melanggar, kecuali sedang berada di acara hajatan atau tengah ngumpul sama kawan-kawannya.
Bapak dan Ibu asli orang kampung, berasal dari satu desa yang sama, dan menikah karena dijodohkan. Bukan murni perjodohan juga sebetulnya. Bapak yang menginginkan pernikahan tersebut, lebih tepatnya. Dia pernah sekali waktu melihat foto Ibuku di rumah kawan mainnya, lalu jatuh cinta.
Sementara Ibu merupakan tipikal gadis penurut, yang mengikuti apapun perintah orang tua. Ketika Bapak melamar dirinya, dan Nenekku menyuruh dia menerima lamaran tersebut, tanpa banyak membantah dia pun bersedia. Padahal, saat itu Ibu belum kenal Bapak sama sekali sebab dia sudah pergi merantau sejak usia 10 tahun.
Ibu bekerja sebagai pelayan toko milik keluarga etnis Tionghoa yang tinggal di Madiun. Sebagai anak sulung dari seorang single parent, dia terpaksa tidak menuntaskan pendidikan dasar dan lebih memilih bekerja demi membantu perekonomian keluarga serta membiayai adik-adiknya.
Pada tahun 2000, Ibuku sudah 25 tahun bekerja di tempat tersebut. Maka tak heran apabila bosnya menganggap kami layaknya keluarga sendiri.
Bapak bekerja sebagai penarik becak semenjak aku masih kecil. Tepatnya kapan, aku sendiri tidak tahu. Seingatku, sejak aku mulai memahami pekerjaan orang tua, Bapakku sudah menjadi penarik becak. Menurut cerita Ibu, Bapak juga pernah kerja di toko. Tapi dia tidak bisa kerja di bawah tekanan, sehingga sering sakit. Akhirnya memilih resign dan membeli becak sebagai sumber mata pencaharian.
Rumah yang saat itu kami tempati, sebetulnya adalah milik Bos Ibu. Beliau mengelola usaha PJTKI. Rumah tersebut digunakan sebagai kantor. Bapak dipercaya untuk menjaga, merawat dan membersihkannya—intinya tukang kebun, sehingga kami diberi satu kamar untuk ditempati sehari-hari.
“Nduk! Ikut ke tempat Ibu nggak!?” Terdengar teriakan Bapak dari teras belakang.
“Ikut!” jawabku panik seraya menghambur keluar kamar. Takut ditinggal. Aku ada janji dengan Ibu, mau beli tas sekolah baru. “Tapi mandi dulu.”
“Lah kan nggak sekarang,” sahut Bapak dengan lempengnya seraya memberi makan ikan-ikan di kolam samping kamar mandi. “Bapak juga belum mandi.”
“Hadeh!” gerutuku kesal. “Kirain sudah mau berangkat.”
Bapak hanya menyeringai kocak.
Aku pun mengeloyor masuk kamar mandi dengan handuk tercangklong di pundak. Ngeselin memang Bapakku tuh. Itu belum seberapa. Kadang dalam satu kesempatan bisa lebih menjengkelkan dari Cak Lontong. Berbicara dengan Bapak, bawaannya tensi naik melulu.
Meski begitu, Bapak adalah lelaki tersabar yang pernah aku kenal di dunia ini. Setidaknya, sabar terhadapku.
💜💜💜
Malam itu, aku bercerita pada Ibu perihal pertemuan dengan cowok-cowok yang aku sendiri belum tahu rumahnya mana. Memang sudah menjadi kebiasaan, aku lebih senang berbagi cerita dengan Ibu dibanding dengan orang lain. Sahabat sekalipun.
Terus terang, diajak kenalan oleh cowok sekelas Raga dan kawan-kawannya membuatku merasa sedikit spesial. Mungkin ini terkesan norak. Seolah aku gadis kuper yang tak memiliki teman. Padahal, waktu SMP aku dikenal lumayan supel, memiliki banyak kenalan, walaupun sikapku tomboi sekaligus bar-bar.
Berkawan dengan lawan jenis bukan hal baru buatku. Sejak kecil hingga remaja, pergaulanku didominasi oleh kaum Adam. Jika pada umumnya remaja putri aktif di sanggar tari, aku memilih pencak silat. Penampilan pun menyerupai anak lelaki. Maka dari itulah, Ibu menyuruhku masuk SMEA—SMK putri, supaya anak kesayangannya ini bisa lebih feminin. Itu pun harus melalui proses tawar-menawar yang lumayan alot. Awalnya aku ingin sekolah di STM—SMK putra—karena tertarik mempelajari elektro.
“Dia anaknya kawan Ibu, kali! Atau kawan Bapak.” Dengan gaya ceriwis, aku bercerita mengenai peristiwa sore itu.
Ada sedikit pecahan memori masa kecil yang tertinggal dalam ingatanku. Waktu kecil, aku sering dibawa ke Madiun. Beberapa anak dari teman Ibu—yang kebetulan tetangga kontrakan, sering menemaniku bermain. Kebetulan mereka semua lelaki. Perempuannya hanya aku.
Di antaranya, hanya dua yang lumayan akrab sejak kecil hingga dewasa. Sementara yang lain, pada akhirnya terhapus seiring waktu. Aku curiga Raga merupakan salah satu di antara mereka yang terlupakan.
“Masa dia tahu nama lengkapku,” lanjutku penuh antusias.
“Dia siapa, sih?”
Ibu mulai tertarik untuk menanggapi ocehan anak gadisnya yang tengah memasuki masa pubertas.
“Apanya?”
“Namanya siapa?”
“Raga.”
Perempuan 35 tahun itu berpikir sebentar. Aku menunggu dengan sabar ketika dia berusaha mengumpulkan ingatan.
“Nggak ada nama Raga,” cetusnya tak berapa lama kemudian.
“Yang dulu sering main sama aku waktu kita masih di Podang itu?”
“Akbar?”
“Ck, bukan!”
Mengenai Akbar, tidak mungkin aku lupa. Kami masih sering bertemu, meski tidak lagi bersapa seperti masa kecil dulu. Kadang berpapasan di jalan walau hanya saling pandang.
Terus terang, aku malu jika harus mengakui hal ini. Aku pernah menyukai dia, dulu waktu masih kecil. Memang hanya perasaan suka anak-anak, tapi tetap saja malu kalau ingat. Sebab itulah, aku memilih untuk pura-pura tidak kenal setiap bertemu dengannya.
“Itu lho, Bu! Yang dulu tinggal di sebelah rumah kita, yang hanya berdua dengan Mamanya,” uraiku menjelaskan.
“Itu Ringga, bukan Raga!”
“O iya.” Kutepuk kening sembari terkekeh geli.
Sekonyong-konyong, sosok Ringga muncul dalam ingatan. Orang tuaku pernah menyewa sepetak rumah kayu di Jalan Podang. Lokasinya tidak jauh dari Jalan Srindit, hanya bersebelahan gang. Bedanya, di sana kawasan padat penduduk. Suasananya lebih ramai, banyak tetangga.
Suatu kali, dalam sebuah liburan aku berkenalan dengan anak lelaki seusiaku yang tinggal bersama Ibunya di rumah sebelah. Kami sering main bareng—dengan teman-teman lain juga. Hingga libur berakhir, aku pulang ke kampung dan berpisah dengan anak tersebut.
Pada liburan tahun berikutnya, ketika aku ke Madiun lagi, dia dan Ibunya sudah tidak tinggal di sana. Entah ke mana mereka, aku tak pernah berusaha mencari tahu. Seiring berlalunya waktu, semua tentang Ringga terlupakan begitu saja. Namanya pun tak lagi kuingat. Padahal, dulu kami sangat akrab. Hampir tiap hari aku ikut dia nyari ikan di selokan.
Aku pikir Ringga adalah Raga. Walau sedikit ragu, sebab secara fisik sangat jauh berbeda. Raga berkulit putih, sementara Ringga—seingatku—kulitnya hitam legam. Raga memiliki sepasang mata sipit, sedangkan Ringga matanya belo. Wajahnya juga bagai bumi dan langit.
“Memangnya kenapa? Kok nebaknya ke Ringga?” Ibu mulai kepo.
“Namanya mirip.”
“Banyak orang yang namanya mirip di dunia ini, Naaaad.”
“Kalau anak tadi bukan salah satu teman kecilku, dari mana dia tahu namaku? Nama lengkap pula dia sebut,” gumamku, seakan bertanya kepada diri sendiri.
“Katanya kenalan.”
“Aku belum nyebutin nama, Bu. Dia sudah nebak duluan. Nama kamu Zenaida Asmaya, 'kan? Gitu.”
Ibu diam, lantas melanjutkan pekerjaannya mencuci piring. Kami tengah mengobrol di dapur rumah bos Ibu yang baik hati. Malam itu hanya ada kami berdua. Si Bos sekeluarga sedang ibadah ke Gereja.
“Bu!”
“Hm?”
“Raga punya teman yang namanya Kevin. Anaknya cakep banget.”
“Alah, kamu! Kambing itu lho dipakein baju juga kamu bilang cakep.” Jawaban Ibu menyebalkan sekali. Otomatis bibirku maju sepuluh senti. “Rio yang kayak pantat panci saja kau bilang ganteng.”
“Ish, Ibu nggak asyik banget. Bawa-bawa Rio pula,” sungutku kesal.
Sambil merengut, aku kembali ke ruang keluarga, meneruskan garapan PR dari sekolah yang kutinggal begitu saja.
💜💜💜
Rasa penasaran masih berjejal di kepala. Tidak akan tuntas sebelum ketemu jawabannya. Dan aku bukan tipe orang yang mudah menyerah jika sudah dilanda rasa ingin tahu. Ke lubang semutpun akan aku kejar penjelasannya.
Semalaman otakku berpikir keras. Bahkan sepertinya malam itu tidurku tidak benar-benar nyenyak. Bayangan wajah Kevin, dan sikap SKSD Raga, rupanya cukup lihai mempermainkan perasaan.
Hingga pagi menjelang, aku berangkat sekolah dengan penuh semangat. Pertama, semangat karena memiliki tas baru. Percayalah! Bagi anak zaman dulu, memakai tas dan sepatu baru ke sekolah itu jauh lebih mendebarkan daripada ketemu mantan yang ngajak balikan. Apalagi untuk aku yang kalau minta apa-apa harus bersabar dulu, nunggu Ibu gajian atau Bapak berhasil mengumpulkan uang.
Penyemangat kedua adalah karena Raga menjanjikan pertemuan saat pulang sekolah. Rasanya, hari itu putaran waktu begitu lambat merayap. Menunggu selesainya jam pelajaran terakhir, bagai seribu tahun lamanya. Sungguh, bunyi bel sekolah jauh lebih aku rindukan daripada kekasih yang sedang LDR-an.
Rasanya ingin cepat pulang, cepat sampai di Jalan Srindit, dan membuktikan janji cowok itu. Dia bilang akan menunggu di tempat kemarin. Jika itu benar, aku hanya ingin bertanya, dari mana dia tahu namaku?
Itu saja.
💜💜💜
Bus yang kunaiki melaju kencang. Aku merengut, otot wajah menegang, bahkan berkali-kali kakiku mengentak lantai bus dengan gerakan gusar. Serentetan kalimat sumpah serapah aku telan dalam diam. Andai tidak mempertimbangkan persoalan adab, sudah aku maki-maki sopir bus ugal-ugalan tersebut.
Bagaimana tidak?
Sejak dari jauh-jauh jarak—seperti biasa, aku sudah bilang, “Jalan Srindit kiri!”
Kenek berkali-kali memukul kaca menggunakan koin sejak bus melintas di depan Jalan Podang. Tak cukup hanya memukul kaca, dia juga berseru menyuruh sopir menghentikan laju bus. Entah sopirnya budek atau memang sengaja, hingga jauh melewati Jalan Srindit, bus tidak dihentikan. Aku mengomeli sang kenek yang hanya bisa cengengesan menanggapi luapan amarahku.
Tanpa rasa bersalah, aku diturunkan di Halte Gudang Garam oleh si sopir kampret. Halte tersebut jaraknya sekitar satu kilometer dari tempat seharusnya aku turun. Gimana nggak ngamuk, coba? Sedangkan dari sana, tidak ada angkot jurusan rumahku. Jalan Trunojoyo merupakan trayek satu arah. Kendaraan umum yang menuju terminal lewat situ, tapi arah sebaliknya jalur yang ditempuh berbeda.
Alhasil, aku jalan kaki sampai rumah. Uang saku yang tak seberapa tentu saja tidak cukup untuk ongkos naik becak. Rasanya jengkel bukan main. Sudah loyo seharian beraktivitas, masih harus mengerahkan tenaga lagi. Dalam hati, tak henti-hentinya aku menyumpah serapah. Tidak sudi naik bus itu lagi. Aku tandai betul-betul wajah sopir dan juga busnya.
Tiba di samping gapura Jalan Srindit, sepasang mataku terbelalak lebar melihat sesosok remaja nangkring di jok motor yang parkir persis di bawah gapura. Motornya Kawasaki Ninja—jenis Ninja tipe terbaru pada masa itu—yang bodinya besar, bukan bodi ringkih. Setahuku, itu merupakan motor sport idaman banyak anak muda pada era tersebut. Tidak sembarang orang tua mampu membelikannya.
“Hai,” sapanya dengan ramah begitu melihat kehadiranku. Ternyata dia memang betul-betul ramah. Murah senyum pula. Melihat aku hanya berdiri kaku dengan wajah syok, cowok itu turun dari jok motor dan berjalan menghampiriku. “Kok jalan kaki dari sana?”
“I-iya!” Aku menjawab dengan tergagap-gagap. Sejujurnya, saat itu aku sedang tidak percaya diri. Penampilanku berantakan sekali. Biasanya sudah lusuh, ini jauh lebih lusuh. Sementara penampilan cowok di hadapanku rapi, bersih, dan wangi. “Sopirnya ngehe,” imbuhku kemudian setelah mulai bisa mengendalikan diri. Ngehe adalah bahasa gaul remaja pada masa itu, yang artinya menyebalkan.
“Ngehe kenapa?” Raga tersenyum lebar. Sepertinya dia tidak mempermasalahkan keadaanku. Mungkin aku yang terlalu gede rasa. “Kamu digodain?”
“Diturunkan di Gudang Garam. Sinting nggak tuh?”
“Lah, jauhnya!”
“Kalau nggak kejauhan, mana mungkin aku marah-marah.”
Raga tertawa.
“Jadi kamu tadi jalan kaki dari Halte?”
“Iya!” seruku sewot.
“Kasihan,” ucapnya seraya—lagi-lagi—tertawa. “Coba tahu, aku jemput.”
Aku menatap pemuda itu tanpa ekspresi. Tiba-tiba, ingatanku melayang ke persoalan yang sejak kemarin menumbuhkan tanda tanya merusuh di otak.
“Boleh aku tanya sesuatu?”
“Tanya apa?”
“Emmm, kamu ... kamu tahu namaku dari siapa?”
“Maksudnya?”
“Kan kemarin aku belum nyebutin nama. Tapi kamu sudah tahu duluan kalau namaku tuh Zenaida Asmaya.”
“Lah itu,” jawabnya santai seraya menunjuk dada kananku. Aku mengerutkan dahi dengan sebal. Belum paham yang dia maksud. Aku pikir, dia bersikap mesum. “Kan di seragam kamu ada bet nama.”
Sumpah demi Tuhan! Seketika aku merasa bego bukan main. Bisa-bisanya tidak sadar dan tidak ingat kalau seragam sekolah tuh dilengkapi bet nama pada dada sebelah kanan.
💜💜💜
Sore itu, pertemuanku dengan Raga tak berlangsung lama. Setelah berhasil memastikan dari mana dia tahu namaku, aku bergegas pamit.
“Baru jam setengah lima,” cegahnya.
Tak kutanggapi ucapan tersebut. Aku melenggang pergi begitu saja sembari melambaikan tangan. Awalnya, pemuda tanggung itu mengejarku. Namun, langkahnya terhenti seketika saat aku bentak.
“Mau apa lagi, sih!?”
“Kamu nggak ngajak aku singgah ke rumahmu?” Sepasang mata innocent menatapku lekat.
“Sudah sore!” Aku masih ketus.
“Ya gimana? Memang kamu pulangnya sore.”
“Tau ah!” tukasku kesal, lalu meninggalkan dia begitu saja. Lagi-lagi, cowok berperawakan tinggi tegap itu membuntutiku. Maka, beberapa langkah kemudian aku berhenti dan berbalik menghadapnya. “Kalau mau main ke rumah, besok siang saja! Hari Jumat aku pulang lebih awal!”
Tak kusangka, dia menyepakati usulan tersebut.
“Baiklah. Besok aku datang.” Raga tersenyum ramah, seolah mengabaikan sikap judesku barusan.
Terus terang, aku malu setiap teringat kejadian tersebut. Kami baru kenal, belum tahu pribadi masing-masing. Dia itu sebenarnya siapa, aku pun belum tahu. Namun, aku sudah bersikap seakan meremehkan dia, memperlakukannya dengan buruk.
Memang aku ini tipikal gadis yang payah. Aku sering merasa tidak nyaman apabila ada cowok mendekatiku dengan cara frontal. Mungkin itu masih wajar. Yang keterlaluan adalah caraku menanggapi mereka dengan sama rata tanpa mempertimbangkan siapa mereka sebenarnya. Adalah hal yang sangat memalukan ketika bersikap demikian dan akhirnya tahu bahwa ternyata dia bukan orang yang pantas dianggap remeh.
Seperti dugaanku ketika pertama melihat rombongan ‘boyband’ tersebut, Raga ternyata memang berasal dari keluarga yang memiliki kelas. Jika dibandingkan denganku, ibarat bumi dan Planet Neptunus sebagai planet paling ujung. Tentu saja sangat tidak pantas orang sepertiku memperlakukan dia sebagaimana halnya memperlakukan barang tak berharga.
Yang lebih memalukan lagi, aku mengetahui kenyataan tersebut baru pada hari ketiga dari waktu perkenalan kami. Di hari ketiga, yang mana Raga masih bersedia menemuiku, padahal sebelumnya aku membentak dia di jalanan, disaksikan beberapa orang yang kebetulan lewat.
Kejadian tersebut selalu menjadi sesal terdalam di sepanjang persahabatan kami, bahkan hingga saat ini.
💜💜💜
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!