Pesona Koko-Koko Manis

Tiba di rumah, aku diserbu pertanyaan penuh cemas dari Bapak.

“Hari Rabu kok jam segini baru pulang, Nduk?”

“Pulang sejak tadi, Pak. Tapi hujan, jadi berteduh dulu,” jawabku lirih seraya melepas sepatu.

“Kok nggak bilang? Tau gitu kan Bapak jemput.”

Aku terkekeh seraya membuka pintu kamar. “Bilang gimana?” gumamku lirih.

Bapakku tuh aneh. Waktu itu, kami belum memiliki handphone. Lantas dia menyuruhku memberi kabar bahwa aku sedang kehujanan di jalan. Bagaimana caraku mengabari coba? Teriak dari jalanan depan, gitu? Atau pulang dulu, memberitahu kalau sedang terjebak hujan, lalu setelah itu balik lagi ke depan nungguin Bapak datang? Kan nggak mungkin.

Tapi itulah Pak Warno, orang tua yang luar biasa istimewa. Keluguannya kadang di luar logika. Saking lugunya sebagai lelaki sekaligus suami, untuk merokok saja dia tidak berani. Soalnya Ibu pasti marah besar kalau tahu Bapak mengisap lintingan tembakau tersebut. Dulu pernah merokok diam-diam, ketahuan, lalu Ibu murka. Semenjak itu Bapak tidak pernah berani melanggar, kecuali sedang berada di acara hajatan atau tengah ngumpul sama kawan-kawannya.

Bapak dan Ibu asli orang kampung, berasal dari satu desa yang sama, dan menikah karena dijodohkan. Bukan murni perjodohan juga sebetulnya. Bapak yang menginginkan pernikahan tersebut, lebih tepatnya. Dia pernah sekali waktu melihat foto Ibuku di rumah kawan mainnya, lalu jatuh cinta.

Sementara Ibu merupakan tipikal gadis penurut, yang mengikuti apapun perintah orang tua. Ketika Bapak melamar dirinya, dan Nenekku menyuruh dia menerima lamaran tersebut, tanpa banyak membantah dia pun bersedia. Padahal, saat itu Ibu belum kenal Bapak sama sekali sebab dia sudah pergi merantau sejak usia 10 tahun.

Ibu bekerja sebagai pelayan toko milik keluarga etnis Tionghoa yang tinggal di Madiun. Sebagai anak sulung dari seorang single parent, dia terpaksa tidak menuntaskan pendidikan dasar dan lebih memilih bekerja demi membantu perekonomian keluarga serta membiayai adik-adiknya.

Pada tahun 2000, Ibuku sudah 25 tahun bekerja di tempat tersebut. Maka tak heran apabila bosnya menganggap kami layaknya keluarga sendiri.

Bapak bekerja sebagai penarik becak semenjak aku masih kecil. Tepatnya kapan, aku sendiri tidak tahu. Seingatku, sejak aku mulai memahami pekerjaan orang tua, Bapakku sudah menjadi penarik becak. Menurut cerita Ibu, Bapak juga pernah kerja di toko. Tapi dia tidak bisa kerja di bawah tekanan, sehingga sering sakit. Akhirnya memilih resign dan membeli becak sebagai sumber mata pencaharian.

Rumah yang saat itu kami tempati, sebetulnya adalah milik Bos Ibu. Beliau mengelola usaha PJTKI. Rumah tersebut digunakan sebagai kantor. Bapak dipercaya untuk menjaga, merawat dan membersihkannya—intinya tukang kebun, sehingga kami diberi satu kamar untuk ditempati sehari-hari.

“Nduk! Ikut ke tempat Ibu nggak!?” Terdengar teriakan Bapak dari teras belakang.

“Ikut!” jawabku  panik seraya menghambur keluar kamar. Takut ditinggal. Aku ada janji dengan Ibu, mau beli tas sekolah baru. “Tapi mandi dulu.”

“Lah kan nggak sekarang,” sahut Bapak dengan lempengnya seraya memberi makan ikan-ikan di kolam samping kamar mandi. “Bapak juga belum mandi.”

“Hadeh!” gerutuku kesal. “Kirain sudah mau berangkat.”

Bapak hanya menyeringai kocak.

Aku pun mengeloyor masuk kamar mandi dengan handuk tercangklong di pundak. Ngeselin memang Bapakku tuh. Itu belum seberapa. Kadang dalam satu kesempatan bisa lebih menjengkelkan dari Cak Lontong. Berbicara dengan Bapak, bawaannya tensi naik melulu.

Meski begitu, Bapak adalah lelaki tersabar yang pernah aku kenal di dunia ini. Setidaknya, sabar terhadapku.

 

💜💜💜

 

Malam itu, aku bercerita pada Ibu perihal pertemuan dengan cowok-cowok yang aku sendiri belum tahu rumahnya mana. Memang sudah menjadi kebiasaan, aku lebih senang berbagi cerita dengan Ibu dibanding dengan orang lain. Sahabat sekalipun.

Terus terang, diajak kenalan oleh cowok sekelas Raga dan kawan-kawannya membuatku merasa sedikit spesial. Mungkin ini terkesan norak. Seolah aku gadis kuper yang tak memiliki teman. Padahal, waktu SMP aku dikenal lumayan supel, memiliki banyak kenalan, walaupun sikapku tomboi sekaligus bar-bar.

Berkawan dengan lawan jenis bukan hal baru buatku. Sejak kecil hingga remaja, pergaulanku didominasi oleh kaum Adam. Jika pada umumnya remaja putri aktif di sanggar tari, aku memilih pencak silat. Penampilan pun menyerupai anak lelaki. Maka dari itulah, Ibu menyuruhku masuk SMEA—SMK putri, supaya anak kesayangannya ini bisa lebih feminin. Itu pun harus melalui proses tawar-menawar yang lumayan alot. Awalnya aku ingin sekolah di STM—SMK putra—karena tertarik mempelajari elektro.

“Dia anaknya kawan Ibu, kali! Atau kawan Bapak.” Dengan gaya ceriwis, aku bercerita mengenai peristiwa sore itu.

Ada sedikit pecahan memori masa kecil yang tertinggal dalam ingatanku. Waktu kecil, aku sering dibawa ke Madiun. Beberapa anak dari teman Ibu—yang kebetulan tetangga kontrakan, sering menemaniku bermain. Kebetulan mereka semua lelaki. Perempuannya hanya aku.

Di antaranya, hanya dua yang lumayan akrab sejak kecil hingga dewasa. Sementara yang lain, pada akhirnya terhapus seiring waktu. Aku curiga Raga merupakan salah satu di antara mereka yang terlupakan.

“Masa dia tahu nama lengkapku,” lanjutku penuh antusias.

“Dia siapa, sih?”

Ibu mulai tertarik untuk menanggapi ocehan anak gadisnya yang tengah memasuki masa pubertas.

“Apanya?”

“Namanya siapa?”

“Raga.”

Perempuan 35 tahun itu berpikir sebentar. Aku menunggu dengan sabar ketika dia berusaha mengumpulkan ingatan.

“Nggak ada nama Raga,” cetusnya tak berapa lama kemudian.

“Yang dulu sering main sama aku waktu kita masih di Podang itu?”

“Akbar?”

“Ck, bukan!”

Mengenai Akbar, tidak mungkin aku lupa. Kami masih sering bertemu, meski tidak lagi bersapa seperti masa kecil dulu. Kadang berpapasan di jalan walau hanya saling pandang.

Terus terang, aku malu jika harus mengakui hal ini. Aku pernah menyukai dia, dulu waktu masih kecil. Memang hanya perasaan suka anak-anak, tapi tetap saja malu kalau ingat. Sebab itulah, aku memilih untuk pura-pura tidak kenal setiap bertemu dengannya.

“Itu lho, Bu! Yang dulu tinggal di sebelah rumah kita, yang hanya berdua dengan Mamanya,” uraiku menjelaskan.

“Itu Ringga, bukan Raga!”

“O iya.” Kutepuk kening sembari terkekeh geli.

Sekonyong-konyong, sosok Ringga muncul dalam ingatan. Orang tuaku pernah menyewa sepetak rumah kayu di Jalan Podang. Lokasinya tidak jauh dari Jalan Srindit, hanya bersebelahan gang. Bedanya, di sana kawasan padat penduduk. Suasananya lebih ramai, banyak tetangga.

Suatu kali, dalam sebuah liburan aku berkenalan dengan anak lelaki seusiaku yang tinggal bersama Ibunya di rumah sebelah. Kami sering main bareng—dengan teman-teman lain juga. Hingga libur berakhir, aku pulang ke kampung dan berpisah dengan anak tersebut.

Pada liburan tahun berikutnya, ketika aku ke Madiun lagi, dia dan Ibunya sudah tidak tinggal di sana. Entah ke mana mereka, aku tak pernah berusaha mencari tahu. Seiring berlalunya waktu, semua tentang Ringga terlupakan begitu saja. Namanya pun tak lagi kuingat. Padahal, dulu kami sangat akrab. Hampir tiap hari aku ikut dia nyari ikan di selokan.

Aku pikir Ringga adalah Raga. Walau sedikit ragu, sebab secara fisik sangat jauh berbeda. Raga berkulit putih, sementara Ringga—seingatku—kulitnya hitam legam. Raga memiliki sepasang mata sipit, sedangkan Ringga matanya belo. Wajahnya juga bagai bumi dan langit.

“Memangnya kenapa? Kok nebaknya ke Ringga?” Ibu mulai kepo.

“Namanya mirip.”

“Banyak orang yang namanya mirip di dunia ini, Naaaad.”

“Kalau anak tadi bukan salah satu teman kecilku, dari mana dia tahu namaku? Nama lengkap pula dia sebut,” gumamku, seakan bertanya kepada diri sendiri.

“Katanya kenalan.”

“Aku belum nyebutin nama, Bu. Dia sudah nebak duluan. Nama kamu Zenaida Asmaya, 'kan? Gitu.”

Ibu diam, lantas melanjutkan pekerjaannya mencuci piring. Kami tengah mengobrol di dapur rumah bos Ibu yang baik hati. Malam itu hanya ada kami berdua. Si Bos sekeluarga sedang ibadah ke Gereja.

“Bu!”

“Hm?”

“Raga punya teman yang namanya Kevin. Anaknya cakep banget.”

“Alah, kamu! Kambing itu lho dipakein baju juga kamu bilang cakep.” Jawaban Ibu menyebalkan sekali. Otomatis bibirku maju sepuluh senti. “Rio yang kayak pantat panci saja kau bilang ganteng.”

“Ish, Ibu nggak asyik banget. Bawa-bawa Rio pula,” sungutku kesal.

Sambil merengut, aku kembali ke ruang keluarga, meneruskan garapan PR dari sekolah yang kutinggal begitu saja.

 

💜💜💜

 

Episodes
1 Yang Kurindukan Dari Hujan
2 Pesona Koko-Koko Manis
3 Perkara Sebuah Nama
4 RAGA
5 Berprasangka Baik Lah!
6 Ini Ibuku
7 Impressed
8 Raga dan Sahabatnya
9 Demo Terminal Baru
10 Sikap Aneh Kevin
11 Tahun Baru Pertama
12 Antara Bandung dan Banten
13 25 Februari 2001
14 Surat Tanpa Nama
15 30 Hari Tanpa Mereka
16 Si Alim nan Gemes
17 Momentum 16 Tahun
18 Diam-diam Rival
19 RUMAH
20 Penolakan Kevin
21 Bullying dan Efeknya
22 Pagi Itu
23 Ini (Bukan) Dating
24 Don't Ask To Love, Please!
25 Siapa yang Lebih Terluka?
26 Wellcome Sweet Seventeen
27 Rasa Yang Diuji
28 Peristiwa di Villa
29 PENGAKUAN
30 Kejutan yang Mengejutkan
31 Terbongkarnya Sebuah Rahasia
32 Persahabatan di Atas Segalanya
33 Bad Memories in Sarangan
34 Kehilangan yang Teramat Dalam
35 Sweet September
36 First Love At Seventeen
37 Sepenggal Kisah Tentang Pemuda Nekat
38 Terbenturnya Dua Ego
39 Puncak Sakit Hati
40 Kehadiran Sosok Ketiga
41 Ketahuan
42 Arwan
43 Garum, Pagi Itu....
44 Something Strange Between Us
45 Ancaman Dito
46 Plandaan-Jombang
47 Arwan, I'm Fall In Love
48 Antara Cinta dan Logika
49 Raga yang Tak Terduga
50 Cinta dan Raga
51 Sulitnya Berkata Jujur
52 Aku dan Kebodohanku
53 17042003
54 Saat Ter-rapuh
55 Pelarian
56 Teman Tapi Mesra
57 Rasa
58 Embusan Sang Bayu
59 Terhalang Lusan
60 Ketika Semesta Bekerja
61 Inikah Cinta?
62 Life Is Uncertain
63 Sebuah Pengakuan
64 Bersamamu, Waktu Berjalan Tanpa Terasa
65 Hari Esok yang Lebih Baik
66 Faktanya, Bukan Katanya
67 Pe-De-Ka-Te
68 Wima Siang Itu
69 My Perfect Life
70 Raga dan Istananya
71 Menyala Camerku
72 Jogja Kota Istimewa
73 Deeptalk With Mr. Jaksa
74 Sisi Lain Papa Raga
Episodes

Updated 74 Episodes

1
Yang Kurindukan Dari Hujan
2
Pesona Koko-Koko Manis
3
Perkara Sebuah Nama
4
RAGA
5
Berprasangka Baik Lah!
6
Ini Ibuku
7
Impressed
8
Raga dan Sahabatnya
9
Demo Terminal Baru
10
Sikap Aneh Kevin
11
Tahun Baru Pertama
12
Antara Bandung dan Banten
13
25 Februari 2001
14
Surat Tanpa Nama
15
30 Hari Tanpa Mereka
16
Si Alim nan Gemes
17
Momentum 16 Tahun
18
Diam-diam Rival
19
RUMAH
20
Penolakan Kevin
21
Bullying dan Efeknya
22
Pagi Itu
23
Ini (Bukan) Dating
24
Don't Ask To Love, Please!
25
Siapa yang Lebih Terluka?
26
Wellcome Sweet Seventeen
27
Rasa Yang Diuji
28
Peristiwa di Villa
29
PENGAKUAN
30
Kejutan yang Mengejutkan
31
Terbongkarnya Sebuah Rahasia
32
Persahabatan di Atas Segalanya
33
Bad Memories in Sarangan
34
Kehilangan yang Teramat Dalam
35
Sweet September
36
First Love At Seventeen
37
Sepenggal Kisah Tentang Pemuda Nekat
38
Terbenturnya Dua Ego
39
Puncak Sakit Hati
40
Kehadiran Sosok Ketiga
41
Ketahuan
42
Arwan
43
Garum, Pagi Itu....
44
Something Strange Between Us
45
Ancaman Dito
46
Plandaan-Jombang
47
Arwan, I'm Fall In Love
48
Antara Cinta dan Logika
49
Raga yang Tak Terduga
50
Cinta dan Raga
51
Sulitnya Berkata Jujur
52
Aku dan Kebodohanku
53
17042003
54
Saat Ter-rapuh
55
Pelarian
56
Teman Tapi Mesra
57
Rasa
58
Embusan Sang Bayu
59
Terhalang Lusan
60
Ketika Semesta Bekerja
61
Inikah Cinta?
62
Life Is Uncertain
63
Sebuah Pengakuan
64
Bersamamu, Waktu Berjalan Tanpa Terasa
65
Hari Esok yang Lebih Baik
66
Faktanya, Bukan Katanya
67
Pe-De-Ka-Te
68
Wima Siang Itu
69
My Perfect Life
70
Raga dan Istananya
71
Menyala Camerku
72
Jogja Kota Istimewa
73
Deeptalk With Mr. Jaksa
74
Sisi Lain Papa Raga

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!