Berprasangka Baik Lah!

Kami melanjutkan perbincangan sembari menikmati segelas es gudir.

Ada satu penuturan Raga yang membuatku sempat ternganga, lalu tertunduk jengah dengan wajah memerah, yakni saat dia menyebut profesi orang tuanya.

“Papah kerja di kantor pelayanan publik.”

Sampai di situ aku terdiam. Mendengar kata ‘kantor’, aku sudah lebih dulu minder. Walaupun profesi orang yang bekerja di kantor itu macam-macam. Security juga bekerja di kantor. OB juga bekerja di kantor. Bahkan Bapakku pun bekerja di kantor PJTKI.

Aku tidak memiliki ekspektasi apapun terhadap profesi orang tua Raga. Ketika mendengar istilah pelayanan publik, aku pikir Bapaknya semacam PNS gitu.

Ternyata, “Papaku tuh jaksa.”

Sumpah! Rasanya pengen kututup ember nih muka. Saat itu juga, aku teringat perlakuan burukku kepada dia sehari sebelumnya, yang mana dengan lancang aku membentak dia, membentak anak jaksa, dengan sikap angkuh pula.

Ya Tuhan!

Tanpa menanggapi ucapan cowok itu, aku bergegas menandaskan isi gelas yang kupegang. Kulit wajah rasanya seperti terpanggang.

🩶🩶🩶

Begitu es gudir di gelas kami masing-masing habis, dan Bapak sudah menyerahkan kembali gelasnya dalam keadaan kosong, Raga bergegas membayar ke pedagang es yang menunggu di tepi jalan. Gelas di tanganku diambilnya untuk dia bawa serta bersama gelasnya. Anak jaksa itu bersikap melayani, membuatku merasa tak enak hati.

“Biar aku saja. Kamu kan tamu,” sergahku.

Omonganku tak digubris. Dia hanya tersenyum, lalu dengan cekatan mengambil gelas dari tanganku.

Tak lama kemudian, Raga kembali. Aku pun memberanikan diri untuk protes, “kenapa kamu bersikap seperti ini?”

“Ada yang salah dengan sikapku?” Dia balik tanya seraya mengambil duduk di sebelahku.

“Kamu kan bertamu. Seharusnya kami yang melayani, bukan sebaliknya.”

Sejenak, dia menghela napas. Lalu, tatapannya berpaling seiring dengan perpindahan posisi duduk. Yang awalnya agak serong ke arahku, berpindah lurus ke arah jalanan. Kami duduk bersampingan dalam jarak satu hasta.

“Jujur, tiap ngeliat kamu, aku tuh keinget Teteh.”

“Teteh?”

“Sorry, maksudku Kakak. Kami orang Sunda biasa menyebut Kakak perempuan dengan sebutan Teteh.”

“Oh, iya aku tahu.”

Tentu saja aku sudah tahu. Rio—pemuda yang saat itu katanya kekasihku—rumahnya Banten. Bapaknya asli Sunda, Ibunya perpaduan Sunda-Jawa, dan dia sendiri sering berbicara menggunakan Bahasa Sunda ketika tengah bersamaku.

“Maksudku, kenapa harus inget Teteh?”

“Karena kalian sangat mirip,” tutur Raga kemudian dengan ekspresi sedih. Tatapannya sayu dan kosong. “Mulai dari model rambut, senyum, tawa, bahkan suara. Sama persis.”

“Masa, sih?” sangsiku.

“Serius,” sambungnya dengan nada meyakinkan. “Kapan-kapan aku ajak ke rumah biar tahu gimana Teteh. Kamu pasti kaget.”

“Lalu? Apa hubungannya dengan sikap tadi? Kamu nganggep aku sebagai Kakak juga?”

Raga tergelak, lalu memperbaiki posisi duduk.

“Boleh aku cerita tentang Teteh?” tanyanya kemudian.

“Ya boleh, lah.”

“Mau dengerin ceritaku?”

Aku mengangguk.

Lalu, Raga mulai bertutur.

“Aku dan Teteh dua bersaudara. Usia kami selisih tiga tahun. Waktu aku kelas 2 SMP, Teteh SMA kelas 2.” Raga menarik napas panjang, kemudian mengembuskannya perlahan. Dia seolah mencoba untuk membuang beban dalam dada. Aku masih anteng menyimak, hingga dia melanjutkan penuturannya. “Teteh anak kesayangan Mama, juga Papa. Selain pintar, dia tuh penurut banget.”

Raga kembali menghela napas panjang, seolah menghalau sebuah beban berat dalam dada. Sementara aku masih diam, menyimak penuturannya sebaik mungkin. Hingga dia melanjutkan kembali ceritanya. “Suatu hari, kemalangan menimpa Teteh. Sepulang sekolah, dia mengalami kecelakaan, lalu... meninggal.”

“Inna lillahi,” ucapku refleks seraya menutup mulut dengan kedua tangan. Ini sama sekali di luar dugaan.

“Meninggalnya Teteh membuat Mama sangat terpukul. Setiap melewati lokasi kecelakaan, setiap melihat anak berseragam SMA, Mama selalu menangis meraung-raung persis anak kecil. Akhirnya, Papa memutuskan untuk membawa kami pergi dari Bandung, sebab khawatir dengan kondisi Mama yang mulai bersikap seperti orang depresi. Dulu, untuk bisa tidur nyenyak saja, Mama harus dibantu obat.”

“Ya Allah!” Sepasang mataku mulai berkaca-kaca. “Sekarang gimana kondisi Mama kamu?”

Raga menatapku, mengulaskan senyum tipis di wajahnya yang adem.

“Alhamdulillah mulai membaik. Akhir-akhir ini sudah tidak bertingkah mengkhawatirkan lagi. Hanya belum bisa keluar rumah saja. Kalau melihat kendaraan besar di jalan, dia akan langsung histeris.”

Sampai di situ, air mataku betul-betul menetes. Raga, yang awalnya aku pikir memiliki kehidupan sempurna, ternyata menyimpan masalah yang cukup besar. Remaja sekecil itu harus mengurus seorang Ibu yang menderita gangguan kejiwaan.

“Kapan-kapan aku bawa ketemu Mama ya? Mama pasti seneng banget.”

“Ih, aku malu.”

“Malu kenapa?”

Aku terdiam bingung.

Iya, ya. Kenapa harus malu, coba? Malu karena miskin? Malu karena tidak cantik? Untuk apa? Kan Raga hanya bermaksud mengajak temannya main ke rumah. Memang apa masalahnya punya teman tidak cantik? Apa masalahnya punya teman miskin?

“Eh, kamu tuh baru kelas satu, ya?” tanya Raga kemudian ketika jawaban dariku tak kunjung keluar.

“Iya.”

“Berarti adik kelasku, dong.”

“Memangnya kamu kelas berapa?”

“Jangan panggil kamu. Itu kayak nggak sopan gitu.”

“Ha?” Aku ternganga.

“Kan aku lebih tua. Seharusnya kamu panggil aku dengan sebutan ‘Mas’. Jangan 'kamu' begitu.”

“Apa sih? Nggak ngerti,” ujarku seraya menggaruk kening.

“Begini saja. Mulai hari ini, aku panggil kamu ‘Adek’ dan kamu panggil aku ‘Mas’. Gimana?”

Aku diam, bengong, merasa aneh dengan semua yang aku hadapi hari itu. Makhluk bernama Raga ini memang unik.

“Kamu nggak perlu bingung lagi bagaimana harus memanggil aku. Kuperhatikan sejak tadi kayak canggung gitu mau panggil apa.”

“He he, kok tahu?” Aku meringis malu.

“Mulai hari ini kita jadi Kakak Adek. Mau, ‘kan?”

Entah harus menjawab bagaimana. Seharusnya tak perlu lagi ditanya. Siapa yang menolak dianggap adik oleh cowok sekece Raga? Cowok yang memiliki sahabat setampan Kevin. Siapa tahu akrab dengan Raga bisa membawaku akrab dengan Kevin juga.

Aku berusaha keras menyingkirkan Rio sejak hari itu. Dia yang biasa aku mesrai lewat rangkaian kata—melalui selembar surat, perlahan mulai kuabaikan. Aku mulai jarang mengabarinya, bahkan surat-surat darinya kerap kubiarkan begitu saja dalam tas sekolah. Gairahku untuk membaca kabar dan rayuan gombalnya hilang entah ke mana.

🩶🩶🩶

Aku dan Raga membicarakan banyak hal siang itu. Tentang aku dan alasan kenapa bersikukuh melanjutkan sekolah di Ponorogo, sekalipun sudah pindah tempat tinggal. Padahal, jarak dari Madiun ke Ponorogo tidaklah dekat. Aku harus rela setiap pagi bangun pukul 4—karena pukul 5 sudah berangkat, supaya tidak terlambat sampai Sekolah. Begitu pula jam pulangnya. Di saat teman-teman yang lain sudah tiba di rumah, bisa beristirahat, atau bahkan main entah ke mana, aku masih harus berkutat mengejar bus antar kota.

“Aku nggak suka berada dalam suasana baru,” dalihku membela diri.

“Tapi itu suatu keniscayaan, Dek. Setiap orang pada akhirnya akan selalu dihadapkan dengan perubahan. Kita nggak bisa terus bertahan dalam zona nyaman.”

“Itu dia. Aku tipe orang yang tidak suka jika harus beradaptasi dengan hal baru. Ketika sudah nyaman dengan sesuatu, aku nggak mau ninggalin.”

Raga terkekeh lirih.

“Mudah-mudahan aku bisa menjadi salah satu hal yang membuat kamu nyaman,” cetusnya kemudian.

“Kenapa begitu?”

“Biar nggak ditinggal.”

Tawaku meledak seiring dengan rona hangat yang menjalar di pipi.

Jujur, aku baper dengan sikapnya. Hanya tidak mau mengakui saja. Entah karena hipokrit atau karena tertutup pesona Kevin. Atau mungkin karena keberadaan Rio nun jauh di sana yang meski aku abaikan, tapi hati kecilku tak bisa menyangkal bahwa dia ada.

Rio, pemuda yang usianya empat tahun lebih tua dariku. Dia merupakan saudara dekat tetanggaku di kampung. Kami bertemu ketika dia berkunjung ke rumah saudaranya tersebut. Dan kesepakatan tanpa paksaan pun terjadi, untuk menjalin hubungan jarak jauh.

Namun, aku culas. Di belakangnya, berkali-kali menjalin kedekatan dengan cowok lain. Memang bukan sebagai kekasih, tapi dekat lebih dari teman. Beberapa dari mereka bahkan ada yang salah paham, dan mencoba mengajakku berpacaran. Untungnya aku selalu menemukan jawaban untuk menghindar.

🩶🩶🩶

Terpopuler

Comments

Thảo nguyên đỏ

Thảo nguyên đỏ

Mendebarkan! 😮

2024-08-20

1

lihat semua
Episodes
1 Yang Kurindukan Dari Hujan
2 Pesona Koko-Koko Manis
3 Perkara Sebuah Nama
4 RAGA
5 Berprasangka Baik Lah!
6 Ini Ibuku
7 Impressed
8 Raga dan Sahabatnya
9 Demo Terminal Baru
10 Sikap Aneh Kevin
11 Tahun Baru Pertama
12 Antara Bandung dan Banten
13 25 Februari 2001
14 Surat Tanpa Nama
15 30 Hari Tanpa Mereka
16 Si Alim nan Gemes
17 Momentum 16 Tahun
18 Diam-diam Rival
19 RUMAH
20 Penolakan Kevin
21 Bullying dan Efeknya
22 Pagi Itu
23 Ini (Bukan) Dating
24 Don't Ask To Love, Please!
25 Siapa yang Lebih Terluka?
26 Wellcome Sweet Seventeen
27 Rasa Yang Diuji
28 Peristiwa di Villa
29 PENGAKUAN
30 Kejutan yang Mengejutkan
31 Terbongkarnya Sebuah Rahasia
32 Persahabatan di Atas Segalanya
33 Bad Memories in Sarangan
34 Kehilangan yang Teramat Dalam
35 Sweet September
36 First Love At Seventeen
37 Sepenggal Kisah Tentang Pemuda Nekat
38 Terbenturnya Dua Ego
39 Puncak Sakit Hati
40 Kehadiran Sosok Ketiga
41 Ketahuan
42 Arwan
43 Garum, Pagi Itu....
44 Something Strange Between Us
45 Ancaman Dito
46 Plandaan-Jombang
47 Arwan, I'm Fall In Love
48 Antara Cinta dan Logika
49 Raga yang Tak Terduga
50 Cinta dan Raga
51 Sulitnya Berkata Jujur
52 Aku dan Kebodohanku
53 17042003
54 Saat Ter-rapuh
55 Pelarian
56 Teman Tapi Mesra
57 Rasa
58 Embusan Sang Bayu
59 Terhalang Lusan
60 Ketika Semesta Bekerja
61 Inikah Cinta?
62 Life Is Uncertain
63 Sebuah Pengakuan
64 Bersamamu, Waktu Berjalan Tanpa Terasa
65 Hari Esok yang Lebih Baik
66 Faktanya, Bukan Katanya
67 Pe-De-Ka-Te
68 Wima Siang Itu
69 My Perfect Life
70 Raga dan Istananya
71 Menyala Camerku
72 Jogja Kota Istimewa
73 Deeptalk With Mr. Jaksa
74 Sisi Lain Papa Raga
Episodes

Updated 74 Episodes

1
Yang Kurindukan Dari Hujan
2
Pesona Koko-Koko Manis
3
Perkara Sebuah Nama
4
RAGA
5
Berprasangka Baik Lah!
6
Ini Ibuku
7
Impressed
8
Raga dan Sahabatnya
9
Demo Terminal Baru
10
Sikap Aneh Kevin
11
Tahun Baru Pertama
12
Antara Bandung dan Banten
13
25 Februari 2001
14
Surat Tanpa Nama
15
30 Hari Tanpa Mereka
16
Si Alim nan Gemes
17
Momentum 16 Tahun
18
Diam-diam Rival
19
RUMAH
20
Penolakan Kevin
21
Bullying dan Efeknya
22
Pagi Itu
23
Ini (Bukan) Dating
24
Don't Ask To Love, Please!
25
Siapa yang Lebih Terluka?
26
Wellcome Sweet Seventeen
27
Rasa Yang Diuji
28
Peristiwa di Villa
29
PENGAKUAN
30
Kejutan yang Mengejutkan
31
Terbongkarnya Sebuah Rahasia
32
Persahabatan di Atas Segalanya
33
Bad Memories in Sarangan
34
Kehilangan yang Teramat Dalam
35
Sweet September
36
First Love At Seventeen
37
Sepenggal Kisah Tentang Pemuda Nekat
38
Terbenturnya Dua Ego
39
Puncak Sakit Hati
40
Kehadiran Sosok Ketiga
41
Ketahuan
42
Arwan
43
Garum, Pagi Itu....
44
Something Strange Between Us
45
Ancaman Dito
46
Plandaan-Jombang
47
Arwan, I'm Fall In Love
48
Antara Cinta dan Logika
49
Raga yang Tak Terduga
50
Cinta dan Raga
51
Sulitnya Berkata Jujur
52
Aku dan Kebodohanku
53
17042003
54
Saat Ter-rapuh
55
Pelarian
56
Teman Tapi Mesra
57
Rasa
58
Embusan Sang Bayu
59
Terhalang Lusan
60
Ketika Semesta Bekerja
61
Inikah Cinta?
62
Life Is Uncertain
63
Sebuah Pengakuan
64
Bersamamu, Waktu Berjalan Tanpa Terasa
65
Hari Esok yang Lebih Baik
66
Faktanya, Bukan Katanya
67
Pe-De-Ka-Te
68
Wima Siang Itu
69
My Perfect Life
70
Raga dan Istananya
71
Menyala Camerku
72
Jogja Kota Istimewa
73
Deeptalk With Mr. Jaksa
74
Sisi Lain Papa Raga

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!