KARA KAISARA
Pak Rahmat selalu standby, di depan gerbang sekolah begitu jam sekolah usai. Aku memilih langsung pulang, mengabaikan celotehan Nadira yang memaksa ikut pergi belanja buku di toko langganannya.
"Kara, beneran ga mau ikut gue?" Nadira masih mengekori aku sampai pintu gerbang.
"Ga bisa, lain kali aja . Oke?"
Nadira nampak kesal, ia menggembungkan pipinya. Berdecak kesal sambil menghentakan kakinya.
"Lain kalinya itu kapan? Tiap di ajak pasti lain kali."
"Janji, lain kali aku ikut." Ku Cubit pipi gembulnya. Tubuh Nadira lebih berisi di bandingkan denganku, mencubit pipinya yang gembul menjadi kesukaanku. Apalagi kalau dia sedang merajuk, persis anak kecil.
Perlahan mobil melaju membawaku keluar dari gerbang sekolah. Hari masih siang, biasanya anak-anak seumuranku tidak akan langsung pulang kerumah. Mereka pasti pergi ke tempat tongkrongan favorit atau sekedar jalan-jalan di mall, berbelanja.
Sebenarnya aku pun ingin seperti mereka, tapi aku lebih memilih belajar daripada membuang waktu seperti itu. Dalam kehidupanku hanya satu yang ingin aku lakukan, yaitu membuat Ibu dan Ayah bangga. Aku ingin berprestasi tanpa menggunakan kekuasaan yang Ayah miliki.
Mobil berhenti begitu sampai di halaman rumah , kulihat Alfaro tengah duduk bersandar di kursi depan. Matanya masih mengamati layar ponsel yang ada di tangannya, hingga dia tidak menyadari kedatanganku. Aku berdiri persis di hadapannya, begitu dia menyadari kedatanganku kepala nya mendongkak
" Kamu sudah pulang?"
"Iya"
Melangkah masuk ke dalam rumah diikuti Alfaro dari belakang. Alfaro langsung duduk di kursi yang sengaja Ayah sediakan untuk keperluan belajar. Setelah mengganti pakaian aku langsung turun ke lantai satu dimana Alfaro berada, karena kamar tempatku berada di lantai dua. Berhubung guru pembimbingku laki-laki, Ayah memindahkan tempat belajar yang awalnya berada di lantai dua dekat kamar, kini menjadi di lantai satu bersebelahan dengan ruang keluarga.
Seperti biasa Faro tidak banyak bicara, dia hanya mengeluarkan beberapa kertas soal yang harus aku isi. Sesekali aku melirik wajahnya, dia tampan. Aku tidak pernah memanggilnya dengan sebutan kakak, dan aku rasa umurnya tidak jauh berbeda denganku. Dan juga Faro tidak keberatan aku panggil namanya tanpa sebutan kakak.
Kali ini ada yang aneh dengan sikap Faro, dia terlihat gelisah. Berkali-kali dia membuka ponsel, seperti tengah membalas pesan, bahkan berulang kali juga dia melirik jam tangan hitam yang melingkar di pergelangan tangannya. Tidak biasanya dia seperti itu.
"Sudah selesai?" Tanyanya begitu aku menyerahkan kertas jawaban.
"Ada yang kurang dipahami?" Tanyanya lagi.
"Enggak, kamu boleh langsung pulang,"
"Kita masih punya waktu lima belas menit. Kalau ada yang kamu ga ngerti, bisa saya jelaskan."
"Aku mau bertanya, tapi jawabannya pasti lebih dari lima belas menit. Kamu lagi buru-buru ,jadi lain kali aja." Faro nampak mengerutkan dahinya, memperhatikanku yang mulai merapikan peralatan tulis kedalam tas.
"Kelihatan banget kamu lagi buru-buru, jadi hari ini cukup sampai di sini aja." Lanjutku.
Mungkin saja ada hal penting yang harus Faro lakukan, jadi aku memilih menyudahi jam bimbingan lebih cepat.
Raut wajahnya nampak bingung sekaligus ragu, mungkin dia merasa tak enak hati karena aku bisa membaca expresi nya dari tadi.
Faro selalu disiplin dalam membimbingku, dia datang tepat waktu dan akan selesai tepat waktu juga. Bahkan Faro lebih sering datang terlebih dulu, menunggu kepulanganku dari sekolah. Belum pernah sekalipun aku yang menunggunya datang.
"Udah , ga apa-apa . Besok masih ada waktu."
"Ada urusan penting yang harus aku hadiri , jadi aku minta maaf. Kalau ada yang tidak kamu mengerti, kamu bisa langsung hubungi aku."
Itu kalimat terpanjang yang pernah diucapkannya selama bimbingan belajar yang hampir berjalan dua minggu ini.
Aku mengangguk menyetujui. Faro memang memberiku kontak pribadinya, hanya untuk jaga-jaga jika suatu saat ada perlu, tapi sampai saat ini aku tidak pernah sekalipun menghubunginya,meski ada banyak pelajaran yang ingin aku tanyakan.
Aku beranjak terlebih dahulu meninggalkan Faro yang masih sibuk merapikan beberapa buku yang dibawanya.
Kupandangi punggungnya yang mulai menjauh dan hilang di balik pintu. Dari kaca jendela nampak dia mengendarai sepeda motor besar berwarna hitam, memakai helm dengan warna yang sama. Perlahan ia meninggalkan pekarangan rumah, kepalanya mengangguk begitu melewati pos security, membuatku tiba-tiba tersenyum untuk hal yang tidak aku tau alasannya.
Suasana rumah kembali sepi, aku seperti hidup sendiri di rumah sebesar ini. Semua asisten rumah tangga berada di bangunan belakang, terpisah dengan bangunan utama. Mereka hanya sesekali berkeliling rumah, memastikan kondisi rumah dan juga memastikan apa aku ada di rumah atau tidak.
Tidak ada penjagaan khusus seperti yang di fikirkan orang-orang. Tidak juga ada bodyguard yang akan mengikutiku kemanapun aku pergi, aku cukup bebas melakukan apapun asalkan harus izin terlebih dulu. Biasanya kalau aku merasa sangat bosan para asisten rumah tangga akan mengajakmu berkeliling jalan kaki, menyusuri kawasan perumahan dan membeli cemilan abang-abang yang sengaja mangkal tak jauh dari rumah.
Waktu menunjukan pukul delapan malam, aku baru selesai membersihkan diri sebelum istirahat. Belum ada tanda-tanda Ayah dan Ibu pulang, karena rumah masih terasa sepi.
Kubuka layar ponsel. Rasa kecewa kembali ku rasakan begitu pesan yang aku kirim pada Ibu masih centang satu berwarna hitam. Aku tidak tau persis dimana Ibu sekarang, yang aku tau saat ini dia tengah berada di Malaysia untuk proyek pekerjaannya yang baru, itupun aku tau dari tante Mala, asisten pribadi Ibu.
Aku tidak ingat sejak kapan Ibu mulai berubah seperti sekarang. Dia jarang bicara denganku, bahkan dia tampak semakin mengabaikan keberadaanku. Ibu lebih sering menghabiskan waktu di luar rumah sekalipun dia punya waktu luang, dia hanya akan berdiam diri di kamar, sibuk dengan pekerjaanya.
Kembali ku letakkan ponsel di meja rias. Mematikan lampu dan hanya membiarkan satu lampu kecil menyala dekat tempat tidur. Baru aku hendak membaca buku, ponsel kembali berdering. Aku terlonjak dan segera meraih ponsel,berharap itu Ibu.
Aku menghela nafas begitu melihat panggilan masuk.
"Iya kenapa,Nad."
"Lo di rumah?" Suara Nadira terdengar nyaring dari seberang sana.
"Nggak, gue lagi semedi di goa."
"Karaaaaaa," lengkingan suara Nadira membuatku menjauhkan ponsel dari telinga. Aku terkekeh mendengarnya.
"Di rumah lagi ada acara ulang tahun kaka gue, Nadia. Gue lupa ngasih tau lo tadi di sekolah."
"Dasar pikun!" Cibirku.
"Gue beneran lupa, Kara. Gue aja di telpon bokap saking keasikan di toko buku. Lo kesini ya, kakak gue ngundang lo."
Kulirik jam yang ada di atas nakas, masih pukul delapan malam lewat lima belas menit.
"Gimana ya,," aku mempertimbangakan ajakan Nadira.
"Ayolah. Sebentar aja, nanti sebelum jam sepuluh juga udah balik lagi. Mau ya?" Aku masih bingung, karena tidak ada persiapan apapun. Bahkan aku sudah mengenakan baju tidur.
"Ayolah Kara, kali ini aja.
Lo udah sering banget menolak ajakan gue. Masa undangan kakak gue juga lo tolak sih."
Aku cukup mengenal ka Nadia dengan baik, beruntung sekali Nadira memiliki kakak perempuan sebaik ka Nadia. Terkadang aku iri dengan interaksi mereka berdua,sifat dewasa kak Nadia di tambah dengan sifat manja Nadira, menjadi satu hubungan yang harmonis antara kakak beradik.
"Oke gue kesitu satu jam lagi." Terdengar seruan Nadira dari seberang sana. Aku tak enak hati jika harus menolak undangan ka Nadia.
Sebelum berangkat ke rumah Nadira, aku terlebih dahulu meminta izin Ayah. Untungnya Ayah dan om Dito, papa nya Nadira berteman baik, jadi Ayah langsung mengijinkan aku datang ke acara ulang tahun ka Nadia.
"Karaaa,,"
Sambut Nadira antusias begitu melihat kedatanganku. Nadira segera menghampiriku dan langsung mengapit lengan dan menyeretku ke dalam rumahnya.
"Akhirnya princes Rapunzel keluar kandang juga." Ejeknya
"Apaan sih," aku melepaskan gandengan tangan Nadira.
Acara ulang tahun ka Nadia ternyata di rayakan di belakang rumah dekat kolam renang, bertema garden party. Semua bernuansa putih, dari mulai hiasan , bunga dan balon. Semua warna putih.
"Kara."
Ka Nadia datang menghampiriku dan Nadira. Kami berpelukan sesaat. Ka Nadia nampak cantik mengenakan dress putih sebatas lutut dengan tali kecil di pundak. Memperlihatkan bahu nya yang putih dan mulus.
"Selamat ulang tahun ka," ucapku,mengecup kedua pipi ka Nadia.
"Makasih udah datang." Aku mengangguk, memberi paperbag berisi kado yang sengaja aku siapkan dari rumah.
"Aku ga tau ka Nadia suka atau engga kadonya."
"Wahhh makasih banyak ya, Kara. Kalau gitu nikmati pesta nya ya. Kakak mau nyapa tamu yang lain dulu."
Ka Nadia pergi,menghampiri beberapa tamu undangan yang baru datang. Semua tamu sepertinya teman kuliah atau teman tongkrongannya, karena mereka terlihat seumuran.
"Jadi, lo maksa gue dateng cuman karena lo ga ada temennya. Karena semua tamunya orang gede?"
Nadira langsung tersedak
""Bukan gitu, emang kakak gue ngundang lo, ko. Beneran." Aku masih menatap tajam ke arah Nadira. Aku tau dia pasti sengaja memaksaku datang karena dia merasa sendirian berada di tengah-tengah acara orang dewasa seperti ini, dan Nadira menjadikan aku sebagai tumbal agar dirinya tidak terlihat menyedihkan.
"Kue nya enak." Nadira mengalihkan pembicaraan,aku pun tak ingin melanjutkan perdebatan, karena sudah terlanjur aku berada di acara ini . Jadi lebih baik aku menikmati acara dan pulang begitu acara selesai.
Aku dan Nadira memang sengaja mengasingkan diri di pojokan dekat lampu taman, berjarak beberapa meter dari keramaian acara ulang tahun. Aku sedikit merasa tidak nyaman berada di antara orang-orang yang sama sekali tidak aku kenali.
Hingga mataku menangkap sosok yang begitu familiar, dia mengenakan kemeja biru muda dan celana jeans biru tua. Aku butuh beberapa detik untuk memastikan nya,karena penampilannya begitu berbeda ketika dia datang ke rumah.
Begitu dia tersenyum, aku langsung tahu dan yakin jika itu Alfaro, guru pembimbingku. Tapi apa yang dia lakukan di sini? Bahkan dia datang dengan seorang perempuan cantik.
"Mau minum lagi ga?" Aku mendengar tawaran Nadira, tapi mataku masih fokus menatap dua orang yang saling bergandengan mesra di depan sana.
"Karaaa. Oyyyyy." Kini suara Nadira begitu nyaring di telinga. Begitu aku menoleh, dia memang sengaja meneriaki namaku persis di dekat telinga.
"Ihhhh apa sih ! Sakit telinga aku denger suara kamu!" Decakku.
"Lagian gue ngomong dari tadi dicuekin mulu. Liatin apa sih?" Mata Nadira menelusuri semua tempat, mencari apa yang menjadi pusat perhatianku.
"Eh lihat tuh yang di sana." Dagu Nadira menunjuk kerumunan orang yang tengah asik berpesta.
"Siapa?"
"Itu cewe yang pake dres biru navy." Kini telunjuk Nadira menunjuk seorang wanita berparas cantik yang tengah asik bercengkrama dengan ka Nadia.
"Dia itu model. Nama nya Dea, dan itu cowo ganteng yang di sebelahnya yang pake kemeja biru ,pacarnya. Namanya Alfaro." Jelas Nadira.
Aku masih menatap ke arah Faro berada, melihat bagaimana dia berinteraksi dengan orang lain berbeda ketika dia berinteraksi denganku. Aku bisa melihat Faro dengan sikap nya yang ramah, selalu tersenyum saat berbicara. Dia begitu berbeda ketika bersamaku yang hanya seperti robot, kaku dan jarang bicara.
"Ganteng dan cantik ya? Keduanya sahabat baik ka Nadia. Mereka sering ko maen kerumah." Aku masih mendengarkan Nadira berbicara, tapi mataku masih menatap diman Faro berada.
Tanpa aku duga Faro menoleh, tatapan kita bertemu. Dia sedikit terkejut melihat kehadiranku, aku tidak berniat memutus tatapanku hingga wanita di sebelahnya menarik lengan Faro dan tatapan kami terputus.
Apa mungkin ini urusan yang dia maksud?
Menemani kekasihnya ke acara ulang tahun?
Aku tau itu hak nya, hanya saja entah mengapa ada sedikit rasa tidak terima mengganjal di hatiku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
Just Rara
kyk nya si kara suka ya sm alfaro🤔
2022-03-12
0
Rin's
apakah nanti nya Kara akn suka2'an dg Faro??
2020-09-07
1
LalisaFansGirls
kereennn thorr
2020-06-27
1