"Atuuun.....!!!"
Teriak seseorang perempuan paruh baya, memakai sarung batik beserta kebaya lawas berkacak pinggang.
Gadis yang baru saja pulang mengendap-endap itu berdiri tegang, takut menoleh kebelakang, sebelah kakinya kembali turun perlahan padahal sudah melangkah diambang pintu.
"Darimana saja kamu?" tanya perempuan itu membuat jantungnya dag-dig-dug, takut seraya meremas tangannya sendiri.
"Anak tidak tau diri! Tidak mau mendengar perintah orang tua, durhaka kamu sama Emak!" teriak perempuan itu.
"Maaf Mak, Atun tidak bermaksud melawan Emak. Sumpah!" berbalik, mengangkat dua jari, ia menatap ngeri pada tangan kanan emaknya yang selalu setia di temani centong nasi terbuat dari kayu untuk memukulinya setiap ibunya emosi.
"Sumpah, sumpah gundulmu! Sudah tau Pak Sukma itu mau datang, kamu malah kabur!Emak sampai pusing mesti ngomong apa sama dia." ucap perempuan paruh baya itu mengacungkan centong nasi ke arah Atun. Sesekali memukulkannya di lengan anaknya.
"Aduh Mak, sakit!" jawabnya sambil berusaha mengelak walau percuma. "Aku masih sekolah Mak, aku enggak mau menjadi istri ke tiga belas Pak Sukma." jawabnya meringis.
"Gampang kamu ngomong begitu, Terus nasib kita gimana? Kalau sampai kamu enggak mau menikah dengan dia, artinya kita harus bayar hutang bapakmu yang menggunung itu! Kita dapat duit dari mana? Semua harta bapakmu sudah di gadaikan sama Pak Sukma! Lagian kamu enggak akan mati cuma karena menjadi istri ke tiga belas pak Sukma. Dia kaya raya! Dan yang paling penting kita bebas hutang." jelasnya lagi, tampak dadanya naik turun menahan emosi.
"Aku enggak mau Mak." jawab gadis itu mulai terisak, pundaknya gemetar menatap emaknya yang juga menatap tajam, menakutkan.
"Enggak ada alasan. Kamu harus mau." tegasnya lagi, seraya memukul punggung Atun berkali-kali, geregetan.
"Ampun Mak, Atun enggak Mau!" jawab Atun mencoba menghalangi pukulan emaknya dengan kedua tangan, ia menangis menahan sakit.
"Mulai hari ini kamu bantuin emak di rumah saja. Enggak usah sekolah-sekolahan segala." ucap perempuan itu menarik tangan Atun masuk ke dalam rumahnya dengan paksa.
"Mak...!" rengek Atun memohon.
"Gak usah manja. Lagian kamu itu enggak pernah bayar iuran sekolah, kamu enggak malu sama temen-temenmu?" kesalnya menghempaskan tangan Atun dengan kasar.
"Enggak Mak, Atun enggak malu. Yang malu itu kalau harus menikah dengan pak Sukma." jawab Atun sambil terus menangis.
"Kenapa harus malu Tun....? Hidup kamu bakalan enak! Kamu benar-benar tidak tahu diuntung ya!" mengangkat lagi centong nasi untuk memukul Atun.
"Mak!" Setengah membentak, suara Atun meninggi.
"Coba kalau anak bungsunya emak bukan aku? Apakah Emak akan tetap menjodohkan anak emak yang lain dengan Pak Sukma yang umurnya bahkan lebih tua dari Bapak?" tanya Atun mencoba protes, ia selalu merasa emaknya lebih menyayangi kedua kakaknya daripada Atun. Itu membuat Mak Rodiah sedikit terkejut.
"Ya-ya jelas! Tapi beruntungnya kamu yang jadi anak bungsunya Emak. Harusnya kau bersyukur Tun... Atun." emak-emak itu geregetan kepada anak bungsunya yang sulit di nasehati menurutnya.
"Enggak Mak." jawab Atun Serak, dia semakin menangis, dadanya sesak penuh dengan kekecewaan terhadap ibunya.
"Kenapa bukan Mbak Rara, atau Mbak Ajeng saja yang di jodohkan dengan pria tua Bangka itu. Kenapa Mak?" tanya Atun lagi, ia terkekeh dalam tangisnya. Sementara Mak Rodiah itu terpaku melihat putri bungsunya yang terlalu manut itu mendadak berani menjawab.
"Kenapa Harus aku Mak?" lanjutnya lagi tak mampu dijawab Mak Rodiah.
"Dah lah Mak, Atun sudah tau kok. Emak enggak sayang Atun Kan?" sambungnya lagi dengan kecewa.
Atun tertawa, getir dan hampa bercampur tangis, begitulah wajah gadis belia itu menatap ibunya.
"Atun juga sadar diri kok, enggak pernah nuntut apapun sama emak. Enggak pernah minta uang sama emak. Sejak kecil Atun rela kerja mengupas bawang di rumah tetangga biar emak enggak merasa terbebani akan kehadiran Atun dalam hidup emak." parau suara Atun, sesekali tangannya sibuk mengusap air mata beserta ingusnya.
"Atun juga sering menahan lapar. Biar enggak mengurangi jatah makan emak."
"Enggak apa-apa Mak, asal Atun bisa tetap tinggal di rumah emak, bisa sekolah agar bisa bekerja dan membalas kebaikan Emak. Asal tidak menjadi istri ke tiga belas Pak Sukma. Atun gak mau." ucapnya semakin lirih dan perih.
Tanpa terasa air mata Mak Rodiah mengalir mendengar ungkapan hati anak gadisnya yang selama ini hanya menurut saja. Mendadak dia tak tega, namun sebagian hatinya tetap tidak mau di salahkan, apalagi mengingat harta almarhum suaminya yang sama sekali tak bisa di manfaatkan semenjak perjanjian untuk menikahkan anak bungsunya kepada laki-laki tua kaya raya dikampung tersebut.
"Tapi keinginan almarhum bapakmu itu ya kamu Tun, bukan kedua Mbak mu." jawab Mak Rodiah mengusap air matanya, namun enggan menatap Atun anaknya yang terlihat menyedihkan itu.
"Izinkan Atun tetap sekolah Mak, seperti Mbak Rara dan Mbak Ajeng." mohon Atun, meraih tangan ibunya.
"Tun, kamu harus tetap menikah dengan Pak Sukma, baik itu sekarang atau nanti. Itu sudah keputusan Emak. Emak capek hidup susah." jawab Emak Rodiah menghempaskan lagi tangan anak gadisnya lalu pergi.
Lemas hati Atun mendengar jawaban ibunya, jelas sudah tak ada harapan untuk lepas dari pernikahan dengan pria tua mata keranjang itu.
Atun masuk ke kamarnya , ia tak mau menunda pergi ke sekolah meskipun masih terisak sedih. Ia segera berangkat tanpa sarapan bahkan tanpa minum walaupun hanya air putih saja.
Baju abu-abu lusuh dan terdapat dua jahitan di rok bagian belakang, warisan dari kedua kakaknya itu masih setia menemani hari-hari perih Atun. Lapar dan haus sering di rasa, namun tak menyurutkan niatnya untuk menyelesaikan sekolah yang tak sampai satu tahun lagi itu.
"Tun."
Langkah Atun berhenti, ia hafal betul siapa yang manggilnya. Ia berbalik.
"Masih berniat pergi ke sekolah Tun?" tanya pria berkulit hitam manis itu tersenyum mengejek.
"Ya-iya, kalau tidak sekolah aku mau gimana lagi?" jawab Atun kesal, tangannya mengusap sisa air matanya.
"Ya kawin Tun." jawab pria itu lagi, maju selangkah menatap wajah Atun lebih dekat.
"Aku enggak mau, aku lebih baik susah daripada harus menjadi istri ketiga belas pak Sukma." jawabnya.
Lekas Atun berbalik, malas meladeni laki-laki yang seringkali menggodanya setiap kali berangkat ke sekolah itu.
"Tunggu Tun." Laki-laki itu meraih tangan Atun.
"Apa sih Mas." kesal Atun menghempaskan tangan laki-laki bernama Abdul Abdullah itu.
"Denger dulu Tun, maksud saya bukan kawin sama pak Sukma. Kamu kok marah sih?" jelas pria itu membujuk Atun.
"Ya kalau bukan sama pak Sukma, lalu sama siapa? Sama kamu?" Ucap Atun asal, semakin kesal karena langkahnya dihalangi Abdul.
"Iya Tun." jawabnya membuat Atun melongo, tapi tak percaya.
"Aku serius Tun." jelas pria itu meyakinkan Atun yang tampak kesal.
"Mas ngomong apa sih?" Atun menggeleng.
"Ayok Tun, kita menikah saja. Daripada kamu jadi istri ketiga belas Pak Sukma. Lagian kalau kamu sudah jadi istriku kamu sudah pasti terbebas dari emakmu yang gemar menyiksa itu. Aku kasihan tau! Enggak sakit apa di gebukin emak Rodiah tiap hari?" ucap pria itu membuat Atun terpaku, memikirkan ucapan laki-laki yang seratus persen benar itu.
"Kamu sedang bercanda Mas?" tanya Atun pelan, ragu tapi mulai terpengaruh.
"Aku serius Tun." jawab laki-laki itu mantap.
"Apa Mas Abdul serius dengan ucapannya?" Atun bergumam didalam hati.
Habis isya Atun barulah pulang setelah mengupas bawang di rumah tetangga jauhnya. Ia berjalan gontai memikirkan kehidupan rumitnya lagi.
"Kalau dipikir-pikir, tawaran untuk menikah dengan pria itu lebih baik daripada harus menikah dengan Pak Sukma. Paling tidak dia masih muda, masih bujangan." gumamnya lagi sambil menarik nafas berat.
"Atun." suara Rara membuat Atun menoleh, dia baru sadar jika di halaman rumahnya ada mobil hitam. Ya dia tahu itu pasti punya Rara, lebih tepatnya suami Rara.
"Baru sampai Mbak?" tanya Atun berdiri menatap kakak perempuannya itu.
"Udah agak lama, sebelum Maghrib." jawabnya tersenyum-senyum.
"Oh." Atun mengangguk, berlalu masuk ke dalam rumahnya.
"Tun, sini dulu." emak Rodiah memanggil Atun, menepuk kursi kosong di sampingnya.
Atun manut, seraya melirik laki-laki yang juga melirik dengan senyum aneh ke arahnya.
"Salim dulu, sama suami mbak mu. Menantu emak." ucap Mak Rodiah bangga. Wanita paruh baya itu tampak sedang merapikan antingnya, seperti akan pergi.
"Iya Mak." jawabnya, mendekat dan mengulurkan tangan kepada kakak iparnya.
"Sehat Tun?" ucap pria tambun itu memperhatikan wajah Atun.
"Injeh Mas, Alhamdulillah." Atun menjawab sopan.
"Emak mau keluar sebentar sama Rara, kamu jangan lupa makan dulu." ucap Mak Rodiah kepada anak bungsunya itu.
"Iya Mak." ucapnya lagi kemudian berlalu masuk ke dalam kamarnya.
Atun segera meraih handuk dan menuju kamar mandi yang bersebelahan dengan dapurnya. Sejenak ia melirik tudung saji yang tertutup, dia tersenyum dengan bayang-bayang makanan yang tersaji di dalamnya. Sudah tentu ada banyak karena ada suami Rara ikut ke rumahnya.
Dengan bersenandung kecil Atun mandi terburu-buru, perutnya sudah tidak bisa bersabar untuk minta di isi.
Ia berjalan cepat menujunya kamarnya untuk segera berganti baju.
"Lho! Kok pintunya di kunci." gumam Atun mengotak-atik handle pintu beberapa kali.
Ia mengingat-ingat sebelum mandi. "Perasaan aku gak pernah mengunci pintu." gumamnya lagi.
"Ada apa Tun?"
"Allahu Akbar!" Atun berjingkat kaget. Tiba-tiba saja kakak iparnya itu sudah berdiri di sampingnya dengan senyuman, lebih tepatnya menyeringai.
"Pintunya kenapa?" ucapnya lagi, tangannya meraih tangan Atun yang masih memegang erat pegangan pintu tersebut.
"Anu Mas, kekunci kayaknya." jawab Atun menarik tangannya, dia jadi takut dan risih sebelum akhirnya balik lagi ke dapur mencari jarik untuk menyelimuti bahunya.
"Udah Tun! Udah bisa di buka." ucap Pria bernama Bima itu.
Atun berbalik heran, belum juga dia menemukan jarik di tali jemuran dapur. "Kok bisa ya?" gumam Atun heran.
"Makasih Mas." ucapnya segera masuk melewati Bima. Namun ia terkejut ketika pintunya malah tidak bisa di tutup rapat. Dan tampak tangan kokoh Bima sedang menahan dan mendorong pintu.
"Mau ngapain Mas!" teriak Atun tetap bersikeras menahan pintunya agar Bima tidak masuk.
Terjadilah dorong-dorongan yang sengit, dua orang beda jenis itu sama-sama tak mau mengalah walau akhirnya Atunlah yang kalah tenaga. Tangan Bima lebih besar apalagi bobot tubuhnya yang besar itu ikut menahan pintu.
"Mas mau ngapain?" ucap Atun takut.
"Ssstttt.." pria itu mengacungkan telunjuk di bibirnya, melangkah masuk dengan tatapan liar.
"Pergi atau Atun teriak." ancam Atun dengan kedua tangannya memegang erat handuk didadanya. Ia sadar jika niat kakak iparnya itu sudah tak beres.
"Jangan berisik lah Tun, kita senang-senang yuk." ucap laki-laki itu dengan nafas memburu kasar dan tersenyum keji, membuat Atun bergidik ngeri, mundur perlahan mencari apa saja yang bisa melindungi dirinya.
Pria itu semakin mendekat dengan tidak sabar, ia menggiring Atun agar terus Mundur ke tempat tidurnya yang Kumal.
"Pergi Mas!" teriak Atun mulai menangis, tangannya masih meraba-raba dinding dibelakangnya.
Bukannya mendengarkan, seperti singa lapar pria bertubuh besar itu mendorong dan menutup mulut Atun agar tidak berteriak. Atun berusaha memberontak sambil mempertahankan handuk di tubuhnya. Ia semakin takut juga jijik melihat pria berkepala plontos itu memonyongkan bibirnya. Perutnya yang kosong mendadak mual melihatnya.
"Stop Mas, berhenti!" ucap Atun berusaha berteriak namun rasanya suara Atun begitu kecil.
"Diam!" bentak pria itu terus memaksa Atun yang terus melawan.
Ccrassh
Sebuah gunting kecil berhasil menusuk bibir hitam menjijikkan milik Bima.
"Arrrgghh.... kurang ajar!" umpatnya memegangi bibirnya yang mengucurkan darah. Namun umpatannya terhenti ketika melihat tangan Atun berusaha menusuk dadanya. Beruntung pria itu masih sempat menahan tangan kecil adik iparnya itu.
"Arrgghhh!" geram Atun terus berusaha menusukkan gunting ke dada kakak iparnya.
Bima-pun tak mau mengalah begitu saja, terlebih lagi bibirnya terluka membuatnya semakin nekat untuk mendapatkan apa yang dia mau.
Tok...tok...tok.
Samar Atun mendengar orang mengetuk pintu. Namun tidak dengan pria itu.
"Tolong!" Teriak Atun, Seketika wajah jelek Bima menjadi tegang, namun tak juga melepaskan Atun.
Brakkk!!
"Atun!!"
Suara lantang seorang pria membuat Bima terkejut, menghentikan serangannya.
"Mas Abdul! Tolong Atun Mas!" teriak Atun, ia beringsut mundur segera meraih daster di ujung ranjangnya.
Abdul menatap nanar pria hitam manis di depannya, sambil memegangi bibirnya yang terluka, ia juga bersiap memukul Abdul.
Bugh
Naas bagi Bima, Abdul lebih dulu memukul dirinya.
Perkelahian terjadi, pukul-pukulan dan juga tendang-tendangan tak bisa di elakkan lagi.
"Heiii! Apa-apaan ini?"
Teriakkan Mak Rodiah menghentikan perkelahian mereka, sementara Atun menangis di sudut kamarnya.
"Dia Mak!" Bima menunjuk Abdul.
"Dia kenapa? Kamu ngapain di sini, di kamar Atun Hah?" tanya Mak Rodiah bertanya kepada Abdul.
"Harusnya Emak tanya dia, ngapain dia di kamar Atun?" jawab Abdul menunjuk Bima.
"Dia Mak, dia masuk ke kamar Atun!" jawab Bima lagi.
"Hah, kurang ajar kamu!" Mak Rodiah emosi, langsung memukuli Abdul dengan tasnya.
"Jangan Mak, dia enggak salah, dia berkata jujur Mak!" teriak Atun mencoba menghalangi pukulan emaknya.
"Kamu jangan ikutan jadi pembohong, emak tahu yang mana yang benar atau enggak!" bentak Mak Rodiah, sedangkan Rara segera memeluk suaminya yang kesakitan, bibir juga wajahnya.
"Tapi Mak_" protes Abdul.
"Keluar kamu!" tunjuk Mak Rodiah kepada Abdul.
"Mak!" rengek Atun lagi.
"Diam." kesal Mak Rodiah keluar dari kamarnya.
"Ya Allah." lirih Atun mengusap dadanya. Tak habis pikir dengan sikap ibunya sedemikian tak percaya kepada Atun. Ia juga kepikiran dengan Abdul.
Atun mengunci pintu. Nafasnya masih memburu ketakutan.
"Tun... Atun!" suara Mak Rodiah berteriak, Atun mengelus dadanya.
"Iya Mak." jawab Atun masih menyandar di belakang pintu kamar, masih bergidik ngeri membayangkan perbuatan kakak iparnya yang brengsek itu.
"Tun, kamu enggak makan?" tanya emak Rodiah.
"Enggak Mak."
"Kamu harus makan tun, Kamu harus sehat dan baik-baik saja." ucap emaknya lagi.
Diam, hingga beberapa saat Atun memilih berpura-pura tidur dalam ketakutan. Walaupun akhirnya ia tertidur sungguhan.
Entah sudah berapa lama, tapi keinginan buang air kecil beserta lapar Atun berniat untuk keluar kamar.
Namun membuat ia terhenti ketika mendengar percakapan kakak dan ibunya di luar kamar lumayan berisik.
"Besok kamu suruh adikmu sarapan, ingat kata pak Sukma semalam Atun harus di urus."
Samar terdengar pembicaraan Emak Rodiah dengan Rara, Atun jadi menunda membuka pintu.
"Beres Mak, lagian mereka akan menikah besok, hidup kita akan berubah." suara Rara juga tertawa girang.
"Jangan keras-keras, nanti Atun denger. Emak enggak mau dia kabur lagi." ucap Mak Rodiah setengah berbisik.
Mereka tidak tahu jika saat ini Atun mendengarkan mereka sambil menangis. "Ya Allah, aku kudu piye?"
Pagi itu, Atun duduk di persimpangan jalan menuju sekolahnya untuk menunggu Abdul.
"Udah lama Tun?"
Datanglah Marina langsung menepuk pundak sahabatnya.
"Lumayan Mar, aku pergi terlalu pagi kayaknya." jawab Atun nyengir kuda. Disana pula biasanya kedua sahabat itu bertemu untuk pergi kesekolah.
"Pasti belum sarapan lagi." ucap Marina, merogoh tasnya, lalu memberikan sebungkus nasi kepada sahabatnya itu.
"Gak usah Mar, aku sudah minum teh hangat tadi, milik Mbak Rara." tolak Atun.
"Jangan di tolak dong Tun, aku capek loh ngebungkus nasi ini buat kamu." gerutu Marina meletakkan bungkusan tersebut di tangan sahabatnya.
"Bukannya nolak Mar, tapi aku enggak enak nyusahin kamu terus." jelas Atun.
"Ya Wes ah, kalau begitu buruan makan. Terus kita berangkat." Marina tersenyum penuh semangat, duduk di samping sahabatnya yang Kumal dekil itu, jauh berbeda dengan penampilan Marina.
Marina, anak penjual bawang merah tempat Atun bekerja.
"Mbak Rara pulang?" tanya Marina sambil memandangi sahabatnya yang sedang makan dengan lahap.
"Hu'umm..." Atun mengangguk, kemudian menelan makanan di mulutnya. "Mbak Rara pulang bersama suaminya, mau nyari rumah di sini." jawab Atun setelah menegak habis air mineral harga lima ratusan yang juga di berikan oleh Marina.
"Bukannya di sana lebih enak, kok malah pilih tinggal di kampung Tun?" tanya Marina.
"Enggak tau, tapi sepertinya bukan cuma itu alasannya." jawab Atun, dia sudah kenyang.
"Terus?" tanya Marina penasaran.
"Mereka mau menikahkan aku sama pak Sukma nanti malam." jawab Atun.
"Waduh... Mbak Rara-mu itu juga ikut-ikutan!" sahabat Atun itu mendesah. Lalu melanjutkan lagi kata-katanya. "Kata emakku suami mbak Rara itu orang kaya. Aku malah berharap suami kakak mu itu baik, terus bersedia nampung kamu dan melindungi kamu. Jadi enggak perlu menjadi istri ketiga belas pak Sukma."
Atun-pun mendesah berat. "Iya kalau baik Mar, nyatanya dia itu jahat."
"Jahat piye Tun?" tanya Marina penasaran.
"Mar." panggil Atun tak menjawab pertanyaan sahabatnya.
"Ya." jawab Marina masih menunggu penjelasan Atun.
"Kamu pergi ke sekolah duluan aja."
"Lho, mana bisa begitu." tolak Marina, kesal.
"Sebenarnya aku sedang menunggu Mas Abdul. Ada hal penting yang harus aku sampaikan." jelas Atun dengan wajah serius.
"Penting piye Tun?" Marina semakin penasaran.
"Sepertinya aku akan menikah dengan Mas Abdul saja."
"Hah! Kamu serius? Tapi kamu masih sekolah Tun."
"Aku serius Mar. Lagian apa gunanya sekolah kalau akhirnya aku akan dinikahkan dengan pak Sukma. Bertahan dengan keadaan begini amatlah sulit Mar." jelas Atun, terdengar putus asa.
"Kadang aku suka kepikiran hidupmu lho Tun." Marina tampak berpikir sejenak." Apa jangan-jangan kamu itu anak tiri emakmu ya?"
Seketika Atun menoleh sahabatnya yang tampak kikuk.
"Sorry Tun." ucap Marina takut, tapi Atun malah diam menunduk.
"Maaf ya Tun. Aku berlebihan ya?" Marina meraih lengan Atun.
"Enggak apa-apa." Atun celingukan mencari seseorang.
"Yakin kamu mau kawin sama Abdul?" tanya Marina.
"Ya, makanya aku mau bicara sama dia." jawab Atun menatap jalanan sempit di depannya.
"Trus Abdul-nya Mana Tun?" tanya Marina ikut menatap jalan di hadapan mereka, jalan menuju rumah Abdul.
"Aku juga enggak tahu, wong biasanya dia itu datang tak di jemput pulang tak diantar." jawab Atun asal.
"Yakin mau menikah sama jelangkung?" tanya Marina, terkekeh pelan.
"Aku tidak tahu yakin itu gimana, yang ku tahu kemarin itu dia ngajakin aku menikah. Lalu semalam dia datang ke rumah dan berkelahi sama suami Mbak Rara demi menyelamatkan aku." jelas Atun.
"Menyelamatkan piye meneh Tun? Aku kok Yo merasa tulalit ngomong sama kamu." kesal Marina.
"Dah lah, pokoknya Mas Abdul itu udah menolong aku Mar. Kapan-kapan aku cerita semuanya. Lagian kamu harus sekolah." jawab Atun.
"Lha, terus kamu gimana?" tanya Marina bingung, ia melirik jam di tangannya.
"Aku berhenti sekolah Mar." ucapnya.
"Tun..." Marina meraih tangan Atun, terdengar merengek. menatap dalam wajah Atun, sorot mata sahabatnya itu tampak kecewa dan berkaca-kaca. Marina jadi ingin menangis.
"Maaf ya Mar, gak bisa nemenin kamu. Terimakasih selama ini kamu udah baik banget sama aku." Tumpah sudah air mata Atun yang sejak tadi pagi di tahannya.
"Tun, bisa nggak sih kamu tetep sekolah?" tangis Marina juga pecah, ketika melihat Atun menggeleng pelan.
Keduanya terisak bersahut-sahutan di pertigaan jalan, beruntungnya masih pagi dan lumayan sepi.
"Atun."
Kedua gadis yang berpelukan cukup lama itu menghentikan tangisnya, terlebih lagi Atun yang sejak tadi sudah menunggu kedatangan Abdul.
"Tun, apa kamu kabur aja Tun, kerja jadi pembantu di kota. Aku bersedia kok bantuin kamu!" ucap Marina menahan sahabatnya untuk menghampiri Abdul.
"Sudahlah Mar, kita sudah pernah membahas ini kan? Aku tidak mau kamu terseret masalah gara-gara aku. Emak ku gak akan tinggal diam." jawab Atun mengusap air matanya, ia menarik nafas mencoba tegar.
Jawaban Atun membuat Marina pasrah.
"Mas, Atun mau bicara penting." ucap Atun kepada pria yang baru saja datang itu.
"Aku juga mau bicara Tun." jawab Abdul.
"Silahkan Mas." jawab Atun, sesekali tangannya mengusap tangan Marina yang ingin menahannya.
"Soal ajakan menikah ku padamu Tun, apakah kamu sudah memikirkannya?" tanya Abdul tanpa melirik Marina yang sepertinya ingin mencegah Atun bicara.
"Iya Mas, aku sudah memikirkannya." jawab Atun, ia menoleh Marina dan mengangguk agar sahabatnya itu mengerti.
"Terus, apa jawabanmu Tun?" tanya pria itu lagi.
"Aku bersedia Mas. Aku mau menikah dengan kamu." jawab Atun penuh keyakinan.
Abdul menatap Atun sejenak, masih tak percaya. Tapi kemudian dia tertawa senang. "Oke, nanti malam aku akan melamar kamu." ucapnya kemudian.
"Enggak usah Mas, kamu gak usah melamar, apalagi datang ke rumahku."
Jawaban Atun membuat pria itu bingung. "Lho, kan mau nikah Tun, ya harus_"
"Gak usah Mas, gak perlu pake lamaran, apalagi memberitahu emak ku." ucapan Atun membuat kedua orang di depannya bingung.
"Kita kawin lari." sambung Atun dengan pasti.
Abdul sampai melongo dibuatnya, dia tidak menyangka Atun yang polos, kuper dan penurut bisa berkata nekat begitu.
"Aku ikut kemanapun Mas Abdul pergi." ucap Atun lagi, melepaskan tangan Marina, ia mendekati Abdul.
"Tun, enggak bahaya tah?" ucap Marina, pikirannya bercampur aduk, sedih, takut dan bingung. Namun Atun malah mengangguk mantap, dia tersenyum yakin.
"Baiklah Tun, terus kapan kita pergi?" tanya Abdul sudah memahami segala kondisi calon istrinya itu.
"Sekarang Mas, karena nanti malam Emak akan menikahkan aku sama pak Sukma."
"Hah!"
Belum habis Abdul terkejut, tampak dua orang perempuan berlarian datang mendekat ke arah mereka.
"Itu Emak Tun!!!" ucap Marina panik.
"Ayok Mas, kita pergi!" ajak Atun menarik tangan Abdul untuk segera meninggalkan tempat itu.
"Cepetan Tun, lari....!" teriak Marina semakin panik, tak hanya Mak Rodiah dan Rara, tapi di belakang mereka ada beberapa orang laki-laki yang sudah pasti akan datang menangkap Atun.
"Tun, ini kita beneran kawin lari?" tanya Abdul sambil terus memacu kedua kakinya sambil menggandeng Atun menuju mobil di dekat rumah Abdul.
"Iya Mas." jawab Atun, segera masuk ke dalam mobil yang dia sendiri tidak tahu mobil siapa, tapi Abdul mulai menyalakan mesinnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!