Pagi itu, Atun duduk di persimpangan jalan menuju sekolahnya untuk menunggu Abdul.
"Udah lama Tun?"
Datanglah Marina langsung menepuk pundak sahabatnya.
"Lumayan Mar, aku pergi terlalu pagi kayaknya." jawab Atun nyengir kuda. Disana pula biasanya kedua sahabat itu bertemu untuk pergi kesekolah.
"Pasti belum sarapan lagi." ucap Marina, merogoh tasnya, lalu memberikan sebungkus nasi kepada sahabatnya itu.
"Gak usah Mar, aku sudah minum teh hangat tadi, milik Mbak Rara." tolak Atun.
"Jangan di tolak dong Tun, aku capek loh ngebungkus nasi ini buat kamu." gerutu Marina meletakkan bungkusan tersebut di tangan sahabatnya.
"Bukannya nolak Mar, tapi aku enggak enak nyusahin kamu terus." jelas Atun.
"Ya Wes ah, kalau begitu buruan makan. Terus kita berangkat." Marina tersenyum penuh semangat, duduk di samping sahabatnya yang Kumal dekil itu, jauh berbeda dengan penampilan Marina.
Marina, anak penjual bawang merah tempat Atun bekerja.
"Mbak Rara pulang?" tanya Marina sambil memandangi sahabatnya yang sedang makan dengan lahap.
"Hu'umm..." Atun mengangguk, kemudian menelan makanan di mulutnya. "Mbak Rara pulang bersama suaminya, mau nyari rumah di sini." jawab Atun setelah menegak habis air mineral harga lima ratusan yang juga di berikan oleh Marina.
"Bukannya di sana lebih enak, kok malah pilih tinggal di kampung Tun?" tanya Marina.
"Enggak tau, tapi sepertinya bukan cuma itu alasannya." jawab Atun, dia sudah kenyang.
"Terus?" tanya Marina penasaran.
"Mereka mau menikahkan aku sama pak Sukma nanti malam." jawab Atun.
"Waduh... Mbak Rara-mu itu juga ikut-ikutan!" sahabat Atun itu mendesah. Lalu melanjutkan lagi kata-katanya. "Kata emakku suami mbak Rara itu orang kaya. Aku malah berharap suami kakak mu itu baik, terus bersedia nampung kamu dan melindungi kamu. Jadi enggak perlu menjadi istri ketiga belas pak Sukma."
Atun-pun mendesah berat. "Iya kalau baik Mar, nyatanya dia itu jahat."
"Jahat piye Tun?" tanya Marina penasaran.
"Mar." panggil Atun tak menjawab pertanyaan sahabatnya.
"Ya." jawab Marina masih menunggu penjelasan Atun.
"Kamu pergi ke sekolah duluan aja."
"Lho, mana bisa begitu." tolak Marina, kesal.
"Sebenarnya aku sedang menunggu Mas Abdul. Ada hal penting yang harus aku sampaikan." jelas Atun dengan wajah serius.
"Penting piye Tun?" Marina semakin penasaran.
"Sepertinya aku akan menikah dengan Mas Abdul saja."
"Hah! Kamu serius? Tapi kamu masih sekolah Tun."
"Aku serius Mar. Lagian apa gunanya sekolah kalau akhirnya aku akan dinikahkan dengan pak Sukma. Bertahan dengan keadaan begini amatlah sulit Mar." jelas Atun, terdengar putus asa.
"Kadang aku suka kepikiran hidupmu lho Tun." Marina tampak berpikir sejenak." Apa jangan-jangan kamu itu anak tiri emakmu ya?"
Seketika Atun menoleh sahabatnya yang tampak kikuk.
"Sorry Tun." ucap Marina takut, tapi Atun malah diam menunduk.
"Maaf ya Tun. Aku berlebihan ya?" Marina meraih lengan Atun.
"Enggak apa-apa." Atun celingukan mencari seseorang.
"Yakin kamu mau kawin sama Abdul?" tanya Marina.
"Ya, makanya aku mau bicara sama dia." jawab Atun menatap jalanan sempit di depannya.
"Trus Abdul-nya Mana Tun?" tanya Marina ikut menatap jalan di hadapan mereka, jalan menuju rumah Abdul.
"Aku juga enggak tahu, wong biasanya dia itu datang tak di jemput pulang tak diantar." jawab Atun asal.
"Yakin mau menikah sama jelangkung?" tanya Marina, terkekeh pelan.
"Aku tidak tahu yakin itu gimana, yang ku tahu kemarin itu dia ngajakin aku menikah. Lalu semalam dia datang ke rumah dan berkelahi sama suami Mbak Rara demi menyelamatkan aku." jelas Atun.
"Menyelamatkan piye meneh Tun? Aku kok Yo merasa tulalit ngomong sama kamu." kesal Marina.
"Dah lah, pokoknya Mas Abdul itu udah menolong aku Mar. Kapan-kapan aku cerita semuanya. Lagian kamu harus sekolah." jawab Atun.
"Lha, terus kamu gimana?" tanya Marina bingung, ia melirik jam di tangannya.
"Aku berhenti sekolah Mar." ucapnya.
"Tun..." Marina meraih tangan Atun, terdengar merengek. menatap dalam wajah Atun, sorot mata sahabatnya itu tampak kecewa dan berkaca-kaca. Marina jadi ingin menangis.
"Maaf ya Mar, gak bisa nemenin kamu. Terimakasih selama ini kamu udah baik banget sama aku." Tumpah sudah air mata Atun yang sejak tadi pagi di tahannya.
"Tun, bisa nggak sih kamu tetep sekolah?" tangis Marina juga pecah, ketika melihat Atun menggeleng pelan.
Keduanya terisak bersahut-sahutan di pertigaan jalan, beruntungnya masih pagi dan lumayan sepi.
"Atun."
Kedua gadis yang berpelukan cukup lama itu menghentikan tangisnya, terlebih lagi Atun yang sejak tadi sudah menunggu kedatangan Abdul.
"Tun, apa kamu kabur aja Tun, kerja jadi pembantu di kota. Aku bersedia kok bantuin kamu!" ucap Marina menahan sahabatnya untuk menghampiri Abdul.
"Sudahlah Mar, kita sudah pernah membahas ini kan? Aku tidak mau kamu terseret masalah gara-gara aku. Emak ku gak akan tinggal diam." jawab Atun mengusap air matanya, ia menarik nafas mencoba tegar.
Jawaban Atun membuat Marina pasrah.
"Mas, Atun mau bicara penting." ucap Atun kepada pria yang baru saja datang itu.
"Aku juga mau bicara Tun." jawab Abdul.
"Silahkan Mas." jawab Atun, sesekali tangannya mengusap tangan Marina yang ingin menahannya.
"Soal ajakan menikah ku padamu Tun, apakah kamu sudah memikirkannya?" tanya Abdul tanpa melirik Marina yang sepertinya ingin mencegah Atun bicara.
"Iya Mas, aku sudah memikirkannya." jawab Atun, ia menoleh Marina dan mengangguk agar sahabatnya itu mengerti.
"Terus, apa jawabanmu Tun?" tanya pria itu lagi.
"Aku bersedia Mas. Aku mau menikah dengan kamu." jawab Atun penuh keyakinan.
Abdul menatap Atun sejenak, masih tak percaya. Tapi kemudian dia tertawa senang. "Oke, nanti malam aku akan melamar kamu." ucapnya kemudian.
"Enggak usah Mas, kamu gak usah melamar, apalagi datang ke rumahku."
Jawaban Atun membuat pria itu bingung. "Lho, kan mau nikah Tun, ya harus_"
"Gak usah Mas, gak perlu pake lamaran, apalagi memberitahu emak ku." ucapan Atun membuat kedua orang di depannya bingung.
"Kita kawin lari." sambung Atun dengan pasti.
Abdul sampai melongo dibuatnya, dia tidak menyangka Atun yang polos, kuper dan penurut bisa berkata nekat begitu.
"Aku ikut kemanapun Mas Abdul pergi." ucap Atun lagi, melepaskan tangan Marina, ia mendekati Abdul.
"Tun, enggak bahaya tah?" ucap Marina, pikirannya bercampur aduk, sedih, takut dan bingung. Namun Atun malah mengangguk mantap, dia tersenyum yakin.
"Baiklah Tun, terus kapan kita pergi?" tanya Abdul sudah memahami segala kondisi calon istrinya itu.
"Sekarang Mas, karena nanti malam Emak akan menikahkan aku sama pak Sukma."
"Hah!"
Belum habis Abdul terkejut, tampak dua orang perempuan berlarian datang mendekat ke arah mereka.
"Itu Emak Tun!!!" ucap Marina panik.
"Ayok Mas, kita pergi!" ajak Atun menarik tangan Abdul untuk segera meninggalkan tempat itu.
"Cepetan Tun, lari....!" teriak Marina semakin panik, tak hanya Mak Rodiah dan Rara, tapi di belakang mereka ada beberapa orang laki-laki yang sudah pasti akan datang menangkap Atun.
"Tun, ini kita beneran kawin lari?" tanya Abdul sambil terus memacu kedua kakinya sambil menggandeng Atun menuju mobil di dekat rumah Abdul.
"Iya Mas." jawab Atun, segera masuk ke dalam mobil yang dia sendiri tidak tahu mobil siapa, tapi Abdul mulai menyalakan mesinnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
🍵𝒚𝒂𝒚𝒖𝒌 𝒋ᷟ𝒖ⷽ𝒐ᷟ𝒔ⷽ𝒔๎🦈
yahhhhh ngakak aq.. kawin lari apa kawin sambil larii hadehhhh
2024-10-15
2
⍣⃝ꉣꉣAndini Andana
iya.. kawin sambil lari 🏃🏃🏃🏃
2024-08-27
4