Waktu menunjukkan pukul tujuh lewat lima belas menit saat Yudi memacu motor dengan santai. Situasi jalanan yang lengang seperti inilah yang selalu dirindukannya setiap kali berada di Jakarta. Lepas dari kegilaan dan frustasi akan kemacetan. Mirna yang membonceng di belakang membisu hingga tiba di tempat makan pilihan mereka sepuluh menit kemudian.
Berbeda dengan kebanyakan karyawan wanita di kantornya, Mirna berdandan feminim dengan kemeja kerja wanita yang tipis dan rok lima senti diatas lutut. Mungkin itu sebabnya gadis tersebut banyak diam sepanjang perjalanan, bukan karena tidak biasa naik motor tetapi sibuk menjagai pahanya agar tidak tersingkap kemana-mana.
Angin yang menderu dari samping sesekali menguarkan wangi parfum dari sosok yang duduk di belakangnya. Malam ini Mirna sepertinya lebih berdandan dengan memoleskan maskara dan lain sebagainya, yang bikin mata pria manapun terbelalak, dan itu didapatinya ketika gadis itu melangkah di sisinya saat memasuki Pondok Ikan Banara, restauran yang mereka tuju..
”Bagaimana Jakarta?” tanya Mirna setelah Yudi selesai menulis pesanan.
”Cepat berubah seperti halnya kota besar. Baru meninggalkan kota itu seminggu saja sudah ada bangunan baru berdiri...apalagi baru setelah enam bulan balik kesana...”
“Sepertinya ada yang sudah nggak betah di sini?” Mirna tersenyum menggoda.
Yudi mengangkat bahu, “Hanya kangen ibu kota,kadang-kadang...tapi bukan kangen lalu-lintasnya yang jelas."
”Apa kamu berpikir untuk pergi dari KPC suatu saat nanti ?”
”KPC oke, tapi aku ingin kerja di luar negeri. Itu cita-citaku dari dulu.”
”Oh,ya? Kemana misalnya?”
”Inggris.”
Mirna terkikik,”Jangan bilang kamu ingin kerja di Inggris supaya bisa nonton Liverpool setiap akhir pekan.”
”Salah satu alasannya itu,” Yudi tertawa karena Mirna mengingat tim sepak bola favoritnya. ”Kalau kamu sendiri? Betah kerja di situ?”
”Aku lahir dan besar di Kutai. Bisa dapat pekerjaan di perusahaan paling oke di Bontang nggak pernah terbayang dalam pikiranku. Jadi rasanya nggak ada alasan untuk pergi dari sini,” Mirna menyerocos. “Nggak terbayang kerja di tempat yang selama tiga bulan penuh salju.”
”Ngomong-ngomong tentang salju, dua hari lalu istri Mr.Felds jadi datang dari Amerika. Aku dengar dia khusus ke mari untuk menghindari musim dingin,”ujar Yudi.
“Mr.Felds...Rick Felds yang Head Operation di divisimu, kan?” Mirna mengulangi. “Tahu nggak, bule-bule yang lain bilang istrinya itu paling cantik di antara istri para ekspatriat KPC.”
“Masa? Aku belum pernah melihatnya, sih...hanya baru dengar cerita saja.”
”Stella Felds itu mantan Miss California. Dia juga sempat jadi foto model majalah di era delapan puluhan,” Mirna menerangkan. “Kok dia kemari? Aku pikir Mr. Felds mau balik kesana.”
”Rekomendasi dokter supaya istrinya itu meninggalkan Chicago dan mencari daerah yang lebih tenang, juga berudara segar, untuk melindungi janinnya dari stress dan polusi.”
”Janin?” tanya Mirna. ”Jadi dia sedang hamil?”
”Kok suaramu jadi aneh gitu dengar istrinya hamil?” Yudi bertanya seraya mengangkat alis melihat ekspresi aneh itu.
”Nggak! Aku cuma senang soalnya Rick kan sudah lama ingin punya anak. Syukurlah, akhirnya itu terjadi. Sudah berapa bulan kandungannya?”
”Enam bulan. Perut orang bule itu lebih lucu dari wanita asia kalau sedang hamil, gendut seperti balon, dan bentuk gelembungnya itu sepertinya siap meledak sewaktu-waktu.”
”Norak. Wanita manapun kalau sedang hamil perutnya ya seperti balon,” Mirna terkikik geli. “Dia ke sini hanya sampai bayinya melahirkan atau pindah selamanya di sini?”
“Aku tidak tahu,” sahut Yudi. “Kalau untuk selamanya apa mungkin mengingat Felds masih warga Amerika?”
“Kudengar dari HRD dia sedang mengajukan diri supaya bisa jadi warga Indonesia,” jawab Mirna. ”Nah, Mr. Felds sudah membuktikan Bontang jauh lebih menyenangkan daripada Chicago. Jadi buat apa pindah ke luar negeri?”
Yudi tersenyum kecut namun belum sempat memberi jawaban ketika mendadak Mirna menjerit ketakutan, gadis itu bahkan sampai melompat ke atas kursi hingga membuat hampir sebagian besar tamu yang sedang makan di tempat itu menoleh ke arah meja mereka. Pemandangan seorang gadis memakai rok mini berjongkok di atas kursi jelas bukan hal biasa, tetapi wajah Mirna betul-betul ketakutan hingga akhirnya Yudi berdiri dan menyeberang ke sisi Mirna untuk melihat apa yang membuat gadis itu histeris, ”Ada apa?”
”Jauhkan benda itu dariku...” teriak Mirna.
”Ada apa,sih?”
Seekor anjing tekel lucu dengan wajah tanpa dosa berdiri di samping kursi Mirna. Hewan itu menggeram kepada Mirna, mungkin untuk mengatakan bahwa bukan hanya gadis itu yang kaget, tapi beberapa kemudian si kaki empat langsung berbalik dan mengibas-ngibaskan ekornya pada Yudi.
`
”Anjing yang lucu,” ucap Yudi mengelus-ngelus tengkuk si anjing mungil.
”Yudi, jauhkan dia dari sini.”
”Ah, rupanya kesini kamu pergi...”
Yudi mendongak dan melihat Pak Wayang ada disitu. Lagi-lagi suatu kebetulan yang aneh dia bertemu dengannya di tempat ini. Namun logikanya mengatakan itu wajar saja karena Bontang kota kecil, bertemu di restauran terkenal macam Pondok Ikan Banara sangat besar kemungkinannya. Si anjing tekel yang mengenali tuannya datang menghampiri dengan ekor terkibas. Yudi sempat melirik Mirna yang mengernyit sekaligus lega melihat hewan itu akhirnya menjauh.
Dengan malu-malu gadis itu turun dari kursi karena kondisinya saat itu, apalagi dengan rok yang kelewat tinggi, membuat semua orang, termasuk para tamu lelaki, menatapnya tanpa berkedip. Tanpa sepengetahuan keduanya, saat itu Wayan mengarahkan benda menyerupai kaca pembesar kepada Mirna. Pria itu mengangguk-angguk puas, dan segera menyembunyikan benda di tangannya ketika Yudi berpaling lagi kepadanya. Pak Wayang menghampiri dengan menggendong si anjing tekel dalam pelukannya, di wajahnya tersungging senyum mengejek, sepertinya gembira karena menangkap basah Yudi dan Mirna yang sedang makan berduaan.
Dia mengajukan pertanyaan yang bikin Yudi jengah, ”Melanjutkan perayaan tadi siang? Atau ini acara khusus tanpa mengundang orang lain?”
Saat itu seorang pria tinggi besar dengan kumis melintang dan berdada bidang datang menghampiri. Dari seragamnya tampak orang itu karyawan di restauran ini dan dia segera menegur Pak Wayang dengan wajah kaku, ”Maaf, pak! Tempat ini melarang membawa binatang kemari.”
“Sepertinya restauran ini juga tidak menginginkan kehadiran anda disini,” sahut Yudi dingin. Walau menyukai si anjing tekel, Yudi tidak senang karena Pak Wayang membiarkannya berkeliaran sehingga bikin Mirna ketakutan sedemikian rupa, yang juga tentunya mempermalukan gadis itu di hadapan banyak orang.
Wajah Wayan Suritno seperti terkejut mendengar itu, ini kali kedua dimana Yudi berani menanggapi dirinya, dan kali ini bahkan dengan sikap kurang ajar. Pria itu tersenyum kalem menanggapi si karyawan restauran seraya mengelus-elus kepala anjingnya yang mengerut ketakutan melihat kedatangan karyawan tersebut, ”Maaf, saya hanya pesan makanan buat dibawa pulang. Kebetulan anjing saya ini lepas dari mobil dan lari menyusul, atau mungkin juga karena mencium bau ikan...” Wayan Suritno sempat menengok ke arah Mirna saat menekankan ucapan tersebut.
Si karyawan restauran menyipitkan mata, ”Baiklah, bapak sudah mendapatkan anjing itu. Tolong sekarang tunggu di luar. Saya tidak mau pelanggan saya kabur karena kutu yang dia sebarkan disini.”
”Anjing saya tidak berkutu. Kalau anda mau berdebat saya berani taruhan anjing saya lebih bersih dari restauran anda.”
Si karyawan melotot, mulutnya membuka dan bermaksud hendak membalas perkataan itu namun Wayan sudah keburu pergi membawa anjing dan bungkusan makanan pesanannya. Lelaki itu bukan hanya merusak mood si karyawan tetapi juga membunuh selera makan Yudi dan Mirna di malam yang indah itu. Gadis itu sama sekali tidak berselera ketika makanan yang mereka pesan terhidang di meja. Disendoknya nasi tanpa gairah, tak satu pun lauk disentuhnya.
“Kamu mau kita pindah dari tempat ini?” Yudi bertanya, Dipahaminya perasaan gadis itu. Meloncat ke atas kursi dengan wajah ketakutan gara-gara seekor anjing memang membuat siapapun jadi terlihat konyol, dan itu sungguh tidak menyenangkan bila terjadi di tempat ramai.
“Aku mau pulang saja, deh,” desis Mirna. “Maaf banget, ya...seharusnya kita mengakhiri ini dengan makan tart ulang tahun kamu sama-sama tapi aku...aku benar-benar lagi nggak bisa saat ini...”
Yudi mengangguk, “Nggak apa-apa. Aku mengerti, kok! Ayo aku antar kamu pulang.”
Mirna berdiri seraya menyangklong tasnya, “Tidak apa-apa. Aku pulang sendiri saja.”
”Ini kan sudah malam,” ucap Yudi. “Aku antar kamu pulang dulu nggak apa-apa?
”Nggak apa-apa. Aku sudah janjian sama bunda ketemu di swalayan di ujung jalan ini,” Mirna menyahut.
”Kalau begitu biar aku antar kalian sekalian,” kata Yudi berkeras.
“Naik motor bertiga?” Mirna mengangkat alis kebingungan.
“Motorku biar ditinggal disini dulu. Aku bisa pesan taksi untuk kita bertiga.”
“Jangan repot-repot!” Mirna menolak. ”Bunda kolot orangnya. Dia nggak senang kalau tahu aku jalan dengan laki-laki yang hanya teman, apalagi sampai makan malam sama-sama.”
”Kenapa nggak sekalian kenalin aku sama bundakamu? Siapa tahu kalau kami sudah kenalan, beliau tidak keberatan aku mengajakmu jika ada hari-hari lain seperti ini...”
“Maksud kamu?”
”Aku ingin ajak kamu makan malam lagi lain kali. Tanpa insiden. Yang itu tadi sungguh merusak suasana. Aku ingin memperbaikinya.”
Mirna menggeleng, ”Sudahlah! Itu bukan salah kamu,kok. Aku tidak menyalahkanmu.”
”Janji kamu akan baik-baik saja?” tanya Yudi yang merasa tidak enak membiarkan seorang wanita sendirian di tengah malam apalagi itu karena ajakan kencannya.
”Aku preman di kota ini,” Mirna mengingatkan bahwa dia mengenal Bontang lebih baik dari Yudi dan itu benar adanya. “Lagipula swalayan itu hanya beberapa meter dari sini kok.”
”Oke, deh...”
”Makasih buat makan malam sama perlindungan kamu, ya...” walau suasana masih terasa canggung tapi Mirna mengecup pipi Yudi sebelum meninggalkannya.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments
Hadi Ghorib
478 lije
2021-05-14
0
Muti☑️
paling benci banget gua sama setan ini
2021-04-24
0
n_utami
dih.. au ah lihat dulu deh..
2021-04-16
0