Episode 2

Rumah Siska sepi dan gelap seperti yang mereka tinggalkan enam jam lalu. Wajar saja karena orangtua Siska tengah keluar kota menghadari undangan reuni sekolah. Dia membawa Siska sampai ke ruang tidur, sesuatu yang tak mungkin dilakukannya dalam keadaan normal, dinyalakannya lampu kamar sebelum masuk hingga tampak di sekelilingnya kamar tidur yang dipenuhi boneka dan poster anjing. Siska penggila berat hewan itu, dan yang membuat Yudi tersenyum geli adalah bed cover dan bantalnya yang senada, hush puppies. ”Nah, pelan-pelan. Hampir sampai...”

Belum sempat membaringkan Siska kecelakaan terjadi, gadis itu mendadak muntah ke kasur dan muntahannya membanjiri pakaiannya sendiri. Bed cover lucu yang menampakkan wajah lugu spaniel crocker itu berubah menjijikkan, disertai bau busuk yang bikin hidung mengernyit, uap alkohol yang sepertinya enggan ditahan dalam perut Siska pun melayang bebas di langit-langit penuh kemenangan.

”Sial!” maki Yudi dalam hati.

Namun pelakunya berada dalam keadaan tak sadarkan diri, lelap dalam buaian rasa mabuk yang mendominasi, jadi percuma saja mengomelinya. Yudi masih bersyukur karena muntahan Siska tidak sampai mengotori pakaiannya, bisa gawat kalau dia harus pulang dari rumah ini dengan pakaian penuh muntahan!

Yudi segera menarik bed cover dan menidurkan Siska ke ranjang yang beralas bersih. Sejenak pria itu ragu, dia harus melepas pakaian Siska supaya noda muntahan itu tak berbekas esok pagi namun di satu sisi itu berarti dia harus menelanjanginya. Peluh menjalari kening, dia menepuk dahinya, ”Kenapa gue harus terjebak kayak begini, sih?”

”What the hell...” dia akhirnya berkata dalam hati setelah menimbang-nimbang. “Buat apa ragu-ragu? Siska kan tetap akan jadi istrinya, ini hanya masalah waktu...”

Dengan sigap pemuda itu melepas pakaian Siska satu demi satu. Mula-mula dia berusaha menutup pikiran kotornya dengan menutup mata namun yang terpampang di hadapannya merupakan sebentuk makluk indah, matang dalam keranuman usianya yang dewasa, layaknya jeruk yang siap dipetik dan mengundang rasa ingin tahu orang buat mencoba rasa yang tersimpan didalamnya. Nafas Yudi perlahan menderu, tangannya pun gemetaran, berulang kali jemarinya terpeleset, entah sengaja atau tidak, menyentuh bagian intim di dada Siska.

Sekuat-kuatnya Yudi menebalkan iman, dia berada dalam pengaruh alkohol, dan cairan laknat dalam sel-sel tubuhnya itu memacu testosteron ke titik puncak hingga merubah maksud baiknya menjadi sesuatu yang destruktif. Hormon itu memicu sifat kebinatangan dalam dirinya dan itu yang membuat ludahnya menetes tanpa kendali mendapati paha putih mulus dan hutan perawan tanpa cacat yang menaungi kontur dari lembah tak bertuan tersebut.

Matanya menatap nyalang, bukan lagi dengan rasa bersalah, melainkan dengan rasa kewajaran karena disertai alasan bahwa dia harus melakukan itu untuk memakaikan pakaian Siska dengan lebih rapih. Sayangnya, itu hanya pembenaran palsu, alasan yang sangat tidak masuk akal karena selama seperempat jam itu dia tidak melakukan apa-apa pada tubuh polos Siska selain memandanginya. Menikmati tiap lekuknya untuk disimpannya dalam ingatan alam bawah sadarnya yang paling intim. Dia ingin pemandangan terindah di bumi ini terpatri lekat di dalam otaknya dan sanggup dipanggilnya kembali untuk maksud-maksud tertentu.

Hanya saja, alam bawah sadarnya memberi sinyal kuat bahwa dirinya tidak akan mampu menyimpan pemandangan indah ini dalam kapasitas yang tersedia seperti sedianya di hadapan Yudi. Ini terlalu indah. Terlalu personal. Dan untuk itu, otaknya yang telah tergerus berbagai logika dan pengetahuan mustahil menyimpan sensasi pemandangan ini dalam kepolosannya yang paling utuh. Untuk itu dia perlu sebuah alat yang lebih canggih, dan ia diingatkan bahwa dia memilikinya, alat itu tidak jauh dan berada dalam genggamannya, kamera ponselnya.

Tanpa merasa bersalah Yudi mengabadikan tubuh telanjang Siska di kasur dengan empat sampai lima kali jepretan. Semua ini didasarkan dengan alasan bahwa ini hanya akan menjadi koleksi pribadinya, sebagai pelepas kangen manakala dirinya berada di Kalimantan nanti. Tak perlu merasa kuatir karena dia toh tidak berniat berbuat jahat, foto-foto ini kan tidak akan disebarkan di internet atau media. Maka sensasi dari rasa itu pun kini tersimpan rapih dalam bank data memori ponselnya, siap dipanggil dalam keutuhan citra yang penuh bila Yudi rindu menengoknya kembali, dan keutuhan itu tak akan dirusak oleh distorsi yang biasa terdapat pada ilusi. Gambar-gambar ini jelas, lengkap, dan detil.

Yudi selesai dengan kamera ponsel tapi entah kenapa kelaki-lakiannya masih terbius dalam sensasi yang ditimbulkan pemandangan dari sosok di hadapannya. Keringat membanjiri tubuhnya,testosteron memompa suhu tubuhnya tak henti...panas-dingin tak karuan bergantian. Dorongan makluk buas dalam dirinya terlalu kuat, sepertinya enggan dibendung.

Bayangan yang berputar di kepalanya bukan lagi tentang keindahan tubuh Siska tetapi pada apa yang bisa dia lakukan terhadapnya...suatu gaya yang biasa dilakukan para pemain film porno yang dijejalkan teman-teman satu mess-nya kepadanya....dan tanpa menyadari apa yang terjadi selanjutnya, Yudi mendapati dirinya tanpa busana dan berbaring di atas tubuh Siska. Menciumi wangi dari sang bunga yang berada begitu dekat dengannya ini. Dan saat memasukkan kepunyaannya ke dalam kepunyaan Siska, dia makin bersemangat karena Siska tiba-tiba memeluk lehernya.

Otaknya yang membeku membuat Yudi tidak mampu mengartikan seringai di wajah Siska...seringai yang dilihatnya sebagai senyuman dan disalahartikan secara harafiah bahwa gadis itu menerima apa yang diperbuatnya...hingga pemuda itu tak sadar telah bersama gadis itu semalaman penuh. Menulikan telinganya pada rasa bersalah yang memudar pasrah, seolah malu karena gagal melaksanakan tugasnya.

***

BONTANG, JANUARI 1999, MINGGU KETIGA

Suasana di perusahaan ini sebenarnya menyenangkan, diluar beban pekerjaan yang sering memicu stress dan frustrasi di setiap harinya ternyata beberapa orang tidak kehilangan perhatian akan satu dengan yang lain, terbukti hari ini rekan-rekan kerja di divisinya berkumpul di ruang makan kantor demi mengucapkan selamat untuknya. Tidak hanya rekan-rekannya tapi juga sang supervisor, yang biasanya menjaga jarak dengan anak buahnya, ikut memberikan ucapan yang mengejutkan buat Yudi.

Tak ada yang istimewa dari apa yang mereka lakukan sebenarnya, hanya mengucapkan salam dan menjabat tangan namun kenyataan bahwa orang-orang ini mengingat hari istimewa dalam hidupnya membuat Yudi menyadari betapa suasana kekeluargaan yang tercipta disini serasa menggantikan kepingan hilang dari apa yang ditinggalkannya di Jakarta. Ini laksana mata air yang menyejukkan di tengah rutinitas membosankan yang dihasilkan oleh hutan dan suasana tambang batubara yang muram di kota Bontang.

Meskipun begitu, kepingan hilang yang ada di Jakarta merupakan sesuatu yang tidak bisa dilupakan begitu saja sebab saat Yudi tersenyum mengangguk dan mengucapkan terima kasih pada kawan-kawannya yang memberi ucapan selamat, pikiran Yudi melayang ke loker miliknya di ruang kerja. Di dalam loker itu terdapat kado dari Siska yang baru saja diterimanya tadi pagi. Kado yang belum sempat dibuka karena sepanjang hari ini berhadapan dengan tumpukan kerjaan yang membuat dia belum bisa kembali ke ruang kerja, dan rasa penasaran untuk mengetahui isi kado dari Siska terus menggelayuti benak Dia berniat membukanya sebentar lagi...setelah makan siang ini berakhir...

”Yudi, selamat, ya...” sapa pria berperawakan kerempeng bermata cekung dan rambut lurus seperti sikat. Penampilannya mirip hyenna lapar yang tengah menatap buruannya.

Pria itu, Wayan Suritno namanya, dan biasa dijuluki pak Wayang oleh setiap orang di divisi mereka karena tubuhnya yang kurus, gepeng dan tipis laksana boneka wayang kulit. Anehnya tidak seorang pun berani menyebut nama julukan ini di depan Wayan Suritno. Mungkin karena dia bukan orang yang terlalu disukai di divisinya. Pak Wayang tipe orang yang frontal dan suka meremehkan orang lain. Sikapnya tidak ada pengecualian kepada siapapun yang dianggapnya bodoh, tak terkecuali supervisor mereka.

Tak ada yang berani macam-macam dengan orang ini, pekerja senior berpengalaman macam Pak Wayang dilindungi begitu rupa oleh perusahaan. Profesional di bidangnya sebagai peledak tambang tanpa memiliki cacat atau kegagalan misi sepanjang karirnya membuka tambang-tambang baru bagi perusahaan. Tak heran perusahaan lebih suka menyingkirkan siapapun yang bermasalah dengan Wayan Suritno daripada menghadapi kenyataan pekerja yang satu ini mundur dan dipekerjakan perusahaan lain.

Untungnya, Yudi belum pernah bermasalah dengan pria ini hingga dia dengan enteng berdiri dan menyambut jabatan tangan lelaki tersebut, ”Terima kasih, pak...”

Wayan menatap ke arahnya, terbelalak seolah tak percaya mendapati Yudi berani menanggapi dirinya, bibirnya tertarik sedikit ke atas membentuk seringai menyepelekan sang lawan bicara sebelum lelaki itu menepuk bahu Yudi dan berbalik untuk berbicara dengan orang-orang lain yang dipandangnya lebih layak diajak bicara.

Yudi tidak mau ambil pusing dengan sikapnya, baginya orang itu sekedar angin lalu, diperhatikan saat datang tetapi segera dilupakan saat pergi. Jadi lelaki itu meneruskan ngobrol dengan rekan-rekannya yang lain sampai lewat jam makan siang dan orang-orang disitu menghilang satu persatu untuk kembali pada kesibukannya, termasuk Yudi.

Waktu yang terlewati di depan komputer ruang administrasi sungguh membosankan. Selama tiga jam itu Yudi menatap layar dengan kosong, memperhatikan tanpa makna bagan conveyor yang harus diperbaikinya minggu ini. Tiang-tiang di seksi C1 itu sulit diperbaiki tanpa membongkar pondasinya. Agar tidak mengganggu proses produksi harus dibangun tiang-tiang sementara untuk menopangnya, dan itu berarti bebatuan yang menjepitnya di sisi kanan harus disingkirkan dengan cara diledakkan. Minggu lalu dia sudah sekitar tiga kali bertemu Wayan Suritno untuk mengerjakan masalah peledakan dan lagi-lagi oleh suatu kebetulan aneh lain, kini dia juga harus bertemu kembali dengan orang itu.

Setelah membuat proposal dan surat tugas yang harus ditandatangani atasannya untuk bekerja sama dengan bagian dimana Wayan Suritno berada, Yudi baru sadar kalau dia sebenarnya hendak membuka kado kiriman dari Siska begitu kembali dari lapangan tadi pagi. Niat itu tertunda sesaat setelah mendapat kiriman SMS dari supervisornya yang meminta penyelesaian laporan dari pekerjaan yang baru saja dikirimkannya. Jadi rasanya sekarang waktu yang tepat untuk membuka hadiah itu dan mengintipnya sebentar...

Baru saja Yudi bangun dari kursi,seseorang menepuk bahunya dari belakang, ”Rajin sekali masih kerja jam segini...”

Yudi tersenyum dan berbalik dari kursinya, ”Kamu juga!”

”Soalnya ada yang bilang mau traktir aku,” balas gadis di belakangnya.

Hati Yudi berdesir sejenak melihat Mirna Ende yang memberinya senyum manis, meski gadis itu berpostur kurus tinggi, bagian-bagian tubuhnya yang menonjol tampak penuh dan membusung, wajahnya yang oval dengan rambut belah tengahnya yang lurus menambah indah pesonanya yang disertai senyum memikat. Tidak heran banyak pria di kantornya yang terpikat padanya.

“Kemana tadi siang?” Yudi bertanya bagai anak kecil yang kehilangan temannya saat dia punya mainan hebat untuk dipamerkan. ”Kukira kamu mau datang pas makan siang.”

”Maaf,” sahut Mirna. ”Aku sibuk sekali. Bagaimana acaranya? Ramai?”

”Kebanyakan sih dari divisiku.”

”Kalau begitu untung aku nggak datang,” canda Mirna.

”Payah, nih! Makanya kamu terkenal nggak gaul.”

“Enak aja. Aku kenal lebih banyak orang disini dibanding kamu, anak baru!” Mirna menanggapi disertai cekikikan. “Yang tadi siang maaf sekali lagi, aku lupa banget.”

“Dimaafkan kalau kamu traktir aku.”

“Yang ulang tahun kamu...kok yang traktir aku?” Mirna menyahut dengan bibir tercibir.

“Kan dengan satu syarat...” Yudi nyengir. “...itu kalau kamu ingat.”

“Dan aku ingat...” gadis itu mengeluarkan tangannya yang sedari tadi dilipat ke belakang dan ternyata disana terdapat sepotong tart coklat berukuran mini. “...selamat ulang tahun.”

Mata Yudi terbelalak, “Ya, ampun! Kok jadi beneran, ya? Aku kira kamu cuma bercanda waktu bilang mau bikinkan tart ultah buatku.”

“Beneran, dong!” ujar Mirna. “Dan kuharap kamu nggak bercanda ya waktu bilang mau traktir aku sebagai balasannya kalau aku membuatkan tart buat kamu.”

“Kamu membuatnya sendiri?”

“Coba dulu dong supaya kamu tahu...”

Yudi menatap tart itu dengan mata berbinar tapi kemudian menggeleng, “Nanti deh, kita cicip sama-sama setelah kita dinner.”

”Aku sudah siap dari tadi,” sahut Mirna tersenyum. Senyumnya bagai malaikat sehingga membuat hati Yudi teranja-anja dan melupakan Siska untuk sejenak.

”Kalau begitu kita berangkat...” Yudi kemudian mematikan komputernya.

***

Terpopuler

Comments

Heldha Yanti

Heldha Yanti

Per episode nya pnjnh bnget

2021-06-29

0

Sandaran hati

Sandaran hati

g papa tulis aja semaumu biar yang baca yang mikir🤣😂😂🤣

2021-06-14

0

Nona Muda

Nona Muda

Siska hamil gra

2021-06-04

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!