"Bu, udah ... Nika ini pilihanku, jadi aku siap hidup bersama Nika. Walaupun harus tinggal bersama adik-adiknya." berang Abrar muak dengan Ibunya.
"Abrar ..." lirih Rina.
"Ibu melakukan semua ini untukmu Abrar, Ibu gak mau jika nanti kamu kesusahan. Kamu menyesal." balas Rina.
"Ini semua gak benar Bu, aku yakin jika nanti pasti ada aja rejekinya. Apalagi mereka anak-anak yatim piatu, dan sudah pasti rejeki yang aku dapatkan jauh lebih berkah." Abrar masih keukeh.
"Aku tetap keberatan, aku gak setuju. Karena aku gak sudi, jika kamu harus membiayai mereka semua." larang Rina.
"Cukup Bu, cukup. Seharusnya, biarkan mereka membicarakan ini berdua dulu." bela Samsul.
"Oo gak bisa, aku gak mau jika nanti Nika kembali menggoda putra saya. Aku gak rela ya ..." cetus Rina.
"Nak ,,, bagaimana menurutmu?" tanya Samsul menatap Nika.
Abrar langsung mendekati Nika.
"Aku mohon, jangan dengarkan Ibu, kita berjuang sama-sama Nika, kita akan mencari jalan keluarnya sama-sama." mohon Abrar memegangi tangan Nika.
"Aku setuju Bu, aku akan membatalkan lamaran ini ..." balas Nika dengan penuh keyakinan.
Dan Abrar dengan lemah melepas genggaman tangannya.
"Nika ..." lirihnya, dengan air mata yang jatuh di pipinya.
Sakit tentu saja. Namun, dia tidak bisa menyalahkan Nika. Karena dia tahu, pasti Nika merasakan hal yang sama.
"Kamu dengar sendirikan? Ayo kita pulang ..." ajak Rina mendekati Abrar yang masih bengong.
"Gak, ini semua gara-gara Ibu. Ibu yang membuat Nika membatalkan rencana kami. Ibu yang bersalah ..." teriak Abrar.
Plak ... Rina dengan entengnya menampar pipi Abrar. Baginya, Abrar sudah sangat keterlaluan.
"Pulang lah, selesaikan masalah kalian di rumah. Karena gak baik buat keributan disini. Apalagi, disini masih berduka ..." usir Samsul.
"Wak, tolong ..." Abrar kembali mendekati Samsul. "Tolong bujuk Nika, tolong bujuk dia untuk kembali menerima ku wak. Katakan padanya, jika aku mau tinggal disini, dan berjuang bersamanya." mohon Abrar.
"Pulang lah, dulu nak. Bicarakan hal ini dengan Ibumu terlebih dahulu ..." sahut Samsul dengan tenang.
Abrar kembali menatap ke arah Nika. Namun, dengan teganya Nika memalingkan wajahnya.
Kemudian Abrar bangkit dengan lemah, dia pergi meninggalkan kediaman Nika. Beruntung, dia masih waras memboncengi Rina dibelakang sepeda motornya. Tapi, tidak ada sepatah katapun yang keluar dari bibirnya saat dalam perjalanan pulang.
Sampai di rumah. Abrar baru menatap nyalang ke arah Ibunya.
"Kenapa Bu? Kenapa Ibu tega sama aku?" tanya Abrar dengan menjaga intonasinya.
"Ya, karena Ibu menyayangimu nak, Ibu gak tega melihat kamu menderita. Ibu gak rela." ujar Rina memegangi pipi Abrar. Namun, ditepisnya.
"Terus Ibu mau aku gila?" berang Abrar.
"Gak, Ibu akan mencari seseorang yang jauh lebih cantik dari Nika. Ibu akan mencari yang lebih kaya, sehingga kamu tidak perlu capek-capek menafkahi orang lain." terang Rina.
"Aku hanya mau Nika Bu, hanya Nika. Aku mencintainya Bu ..."
"Cinta akan hilang seiring waktu Abrar. Kamu akan menemukan cinta yang lain." kembali Rina membujuk Abrar.
"Tidak Bu, jika tidak dengan Nika. Maka aku tidak akan menikah." seru Abrar dengan penuh keyakinan.
"Dia udah menolakmu. Ingat itu."
"Tapi semua gara-gara kamu Bu, kamu penyebabnya." teriak Abrar.
"Kalo gitu, kamu gak usah Nikah sekalian." seru Rina jengkel.
"Oke, jika bukan dengan Nika. Maka tidak ada lagi wanita lain di hatiku." ujar Abrar kembali melangkah pergi.
"Abrar, kamu mau kemana Abrar? Kembali!" teriak Rina.
Tetapi Abrar tidak peduli, dia malah menaiki sepeda motornya dan melaju dengan kecepatan tinggi.
"Pasti ke rumah Nika ..." gumam Rina. Dia pun menjatuhkan tubuhnya ke atas sofa.
Keluarga Abrar memang bukan tergolong keluarga kaya. Rina sendiri seutuhnya menjadi Ibu rumah tangga. Dia hanya mengandalkan gaji dari suaminya. Sedangkan Abrar, dia hanya seorang petani. Dia menanam aneka jenis sayur-sayuran, mulai dari cabe, tomat dan juga bawang. Serta aneka ragam sayuran lainnya.
Maka dari itu, dengan menjual hasil tanamannya, Abrar bisa membeli sepetak kebun sendiri. Dia yang sebelumnya menyewa kebun orang. Sudah bisa menanam di tempat sendiri.
Rina kembali menghubungi suaminya. Dia mengatakan jika esok suaminya tidak usah pulang. Karena lamarannya sudah dibatalkan. Semula Ilham, suami dari Rina keberatan tentang hal itu. Namun, Rina tetap Rina. Dia masih keukeh pada pendiriannya.
"Dia anak kita satu-satunya Bang, aku tetap gak setuju." seru Rina dan menutup panggilan dengan segera.
Kembali ke rumah Nika. Nika memasuki kamar mendiang orang tuanya. Disana, sudah ada ke tiga adiknya yang tertidur pulas. Karena kamar yang sebelumya digunakan oleh mereka. Sekarang, dihuni oleh Samsul dan istrinya.
Akhirnya, Nika menjatuhkan air matanya. Dia menangis sembari menutup mulutnya.
"Aku janji Mak Ayah, aku janji hanya akan menjaga adik-adikku." gumam Nika dalam tangisnya.
Safa yang tiba-tiba terjaga dari tidurnya. Mendengar suara tangis. Dan dia kembali memejamkan matanya, kala mengetahui jika yang menangis ialah Kakaknya.
Karena kasihan akan Nika, akhirnya Safa memilih bangun untuk memeluk kakaknya.
"Maaf, kamu terganggu karena Kakak ya?" Nika menyapu bekas air matanya. Dia juga menjaga intonasinya agar jangan terlihat menangis.
"Kakak rindu Mak sama Ayah juga ya?" Safa balik bertanya. Ia turun dari ranjang, dan mendekati Nika yang duduk lesehan di dekat ranjang.
"Sama, aku juga. Tapi, bukankah, kita harus ikhlas? Kakak nangis aja, aku tahu kok. Jika kak Nika ingin terlihat kuat sama kita. Padahal, kakak juga kehilangan mereka." ujar Safa kembali membuat Nika menjatuhkan air matanya.
Safa dan Nika pun kembali larut dalam tangis mereka.
"Kak Nika harus kuat. Karena sekarang, kami hanya punya kak Nika. kak Nika pengganti Mak sama Ayah." bisik Safa.
Dan Nika kembali mengeratkan pelukannya.
"Kita tidur, kamu kembali lah ke atas. Biar kakak tidur dibawah." ujar Nika membuat Safa mengangguk patuh.
"Ternyata pilihanku tepat. Lebih baik kehilangan orang yang dicintai. Dari pada kehilangan mereka yang sudah mencintaiku dan bersama sejak lama." batin Nika.
Nika memang menangis. Namun bukan karena kehilangan cintanya. Melainkan karena kehilangan orang tuanya.
"Tenyata aku tidak sekuat yang kalian kira ..." gumam Nika sebelum menutup matanya.
Di tempat lain, Abrar menjauh sejauh-jauhnya dari rumah. Dia hany ingin menenangkan pikirannya. Jika ingin menemui Nika kembali, rasanya percuma saja. Karena mungkin, Samsul kembali melarangnya.
Jadi sekarang, disini lah Abrar. Dia berada di tepi laut. Laut yang sangat jarang disinggahi oleh manusia.
Abrar berteriak sepuasnya. Dia meluapkan seluruh perasaannya dengan tangis yang tidak akan disembunyikan. Sampai akhirnya, dia ditemani oleh rintik-rintik dari langit, yang seakan ikut merasakan kepedihannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments
NurAzizah504
Semoga yang hilang bisa tergantikan dg yang lebh baik
2024-08-22
0
Teteh Lia
aku sampe bingung harus berkata apa tentang ibu ini 😔
2024-08-05
1
Mawar_Jingga
Nika😭😭😭🤣
2024-08-04
1