Tahun kelulusanku ditandai oleh dua hal yang mengejutkan. Pertama, banyaknya pembangunan gedung-gedung tinggi yang menandai masuknya babak baru peralihan jaman. Kedua, mulai hilangnya tradisi-tradisi lama yang ditandai oleh gaya hidup.
Di tahun ini, surat kabar harian cetak, juga telepon umum sudah menghilang dari daerahku. Kantor-kantor siaran radio juga tidak luput dari cengkraman era modernisasi. Satu per satu gelombang frekuensi radio mulai hilang dijual oleh pemiliknya. Dengan arus modernisasi yang begitu kencang seperti sekarang ini, aku menebak-nebak, lima atau sepuluh tahun lagi akan seperti apa?
"Apakah kamu sudah memikirkannya matang-matang?" ucap Ibu.
"Sudah."
"Sayang loh." Membujuk. "Katanya, pihak sekolahan hanya rekomendasikan sepuluh siswa terbaiknya saja, supaya bisa langsung masuk ke PT besar di ibu kota," ujar Ibu.
"Aku nggak minat, Ibu."
"Ya sudah, terserah kamu saja, Ibu nggak akan memaksa kamu lagi." Berpaling. "Tapi, kalau soal kuliah ... Ibu nggak bisa mengongkosi," serunya Ibu seraya keluar dari rumah.
Semua siswa-siswi yang berhasil lulus sebagian meneruskan masuk ke perguruan tinggi, sebagiannya lagi berlomba-lomba mencari pekerjaan yang layak. Dan bagi siswa-siswi yang tidak lulus, mereka harus mengulang kembali di kelasnya.
Aku keluar rumah bersama menaiknya matahari di atas kepala. Langit siang ini menyala, suhu udara sedang panas-panasnya. Ladang, juga kebun, juga sawah. Satu per satu perlahan-lahan menumbuhkan bangunan kokoh. Aku berteduh di bawah pohon, depan basecamp, menunggu teman-teman.
"Halo bro ... !" pekiknya Toni, langkahnya masih jauh, membuyarkan lamunanku dari rumah.
Bagas juga Deni mendorong Toni ke kanan dan ke kiri, mungkin karena suaranya Toni terlalu keras.
Aku menghela nafas.
"Raka ada titipan nih, buat kamu." Bagas menyodorkan surat.
Baru saja aku mau mengatakan dari siapa, Toni sudah menyambar. "Dari riana."
"Kemarin waktu konvoi kelulusan, kita nggak sengaja bertemu dengan riana di sekolahannya," ucap Deni.
"Iya, betul." Toni meneruskan.
Bagas menoyor. "Kamu, kan nggak ikut. Nangis minta dianterin pulang."
Aku dan Deni tertawa.
"Yang seperti itu nggak perlu dijelasin, Bagas. Nggak boleh buka-buka aib orang." Toni berkelit. "Tapi, kalau kamu mau cerita tentang TONI MENDAPAT PERINGKAT KE LIMA DARI TUJUH RATUS PESERTA SISWA UJIAN NASIONAL itu baru boleh. Iya, nggak, Raka?" Membusungkan dada.
"Iya, ya. Kamu memang top."
"Keren ... ."
Bagas dan Deni mengalah.
Aku memasukan surat darinya, ke dalam kantong. "Kalian ngobrol apa saja dengan riana, kemarin?" tanyaku.
"Awalnya, kita hanya ngobrol basa-basi biasa saja, Raka. Setelah kita bilang kamu nggak lulus, dia kayak terpukul gitu," ungkapnya Bagas.
"Terus." Aku penasaran.
"Dia minta nomor handphone, karena aku dan Deni nggak punya handphone. Jadi, kita kasih nomor handphone-nya Toni." Bagas menuding Toni.
Toni menyambar. "Kamu harus berterima kasih ke aku, Raka."
"Terima kasih." Menyeringai.
"Hanya ucapan saja, mana bisa bikin kenyang." Toni menolak.
"Kan, tadi kamu suruhnya, aku berterima kasih," celetukku.
"Tinggal cerita saja, kok, jadi ribet banget sih." Bagas menyikut Toni.
Deni menimpali. "Pegangin, kita lempar saja, ia ke sawah, biar nyungsep." saranya Deni pada Bagas.
Toni menghindar. "Beruntung, kamu, Raka. Riana nelpon aku, waktu orang tuaku sudah pulang dari sekolahan. Jadi, dia bisa mendengarkan jawaban dari orang yang tepat, akurat dan terpercaya. Nggak seperti onoh." Toni menatap Bagas dan Deni.
"Terus ...?" tanyaku pada Toni.
"Tolong - Guru, adik pertama dan adik kedua punya rencana jahat." Berputar ke belakangku.
"Mana ada kera sakti takut sama kedua adiknya?" Aku tertawa. "Ditahan dulu, Bagas, tunggu kalau, Toni sudah selesai cerita!" seruku.
"Oalaah ... perasaanku, kok, jadi nggak enak, yah." Toni menebak.
"Aman ... . Selama, aku masih ada di sini, dan kamu mau cerita sampai selesai, aku yang jamin." ujarku pada Toni.
"Oke, janji ya, aku pegang omongan kamu," sahutnya Toni.
"Duduk sini, jangan berdiri di situ, nanti cape!" Bagas culas.
Toni mengabaikan Bagas, meneruskan berbicara. "Terus ... riana mengucapkan selamat. Aku bilang ke dia, aku dapat peringkat ke lima dari satu sekolahan."
"Duduk sini." Bagas makin geram.
Aku tertawa.
"Lalu, aku disuruh mampir ke rumahnya, kalau mau main ke sini. Tadi, sebelum ke sini, aku mampir dulu di sana, ya, kan Bagas? Terus riana titip surat, minta tolong diberikan ke kamu," ungkapnya Toni.
"Sini duduk." Bagas masih merayu Riki.
"Bagas, Deni ... aku mau bikin kopi dulu, sisanya aku serahkan ke kalian." Aku menatap mereka berdua.
Deni dan Bagas Menyeringai jahat.
"Raka! Jangan begitu dong, kamu, kan sudah janji?" Toni menagih.
Aku berlalu pergi sambil tertawa senang meninggalkannya. Toni terus berteriak, terancam akan dilemparkan ke sawah oleh mereka berdua.
Senja tengah beranjak tenggelam di ufuk barat. Kami menyaksikan keelokannya dengan mata telanjang dari pematang sawah. Hingga datang segerombolan kelelawar dari balik semak-semak yang menerobos keluar, berhamburan tanpa arah. Langit pun menjadi gelap. Kami kembali ke rumah masing-masing.
Di dalam kamar, aku membaca surat dari riana.
"Terima kasih, sudah pernah menemani waktuku, berbagi cerita, canda dan tawa bersama. Berbagi perhatian serta saling menyemangati dan peduli. Seperti sepenggal surat yang pernah kamu tulis untukku; Sekarang masih banyak harapan dan mimpi yang belum tercapai. Biarlah, rasa rindu ini, kita tunda untuk sementara. Bagi waktumu untuk yang lain.
Maaf jika aku salah memahaminya waktu itu. Maafkan aku jika selama ini terlalu egois. Jangan salahkan aku, jika hati ini, masih berharap. Sebab, cinta yang sesungguhnya tak mudah pudar. Sekarang, aku mengerti dan aku tak ragu lagi kepadamu atau curiga. Aku sangat percaya kepadamu seperti juga kamu percaya kepadaku. Aku tunggu kamu di Jogja."
From: RIANA. 24 Juni 2007.
Malam semakin larut, mata sulit untuk dipejamkan, pikiranku melayang-layang sambil berbaring menatap langit yang jauh. Aku coba menulis apa yang bisa aku tulis untuk riana;
"Kembali, aku dengar panggilmu. Sejauh apapun kamu berada, jarak bukanlah masalah. Lepaskan risau di hatimu, akupun merindumu. Aku dengar suaramu, kekasihku. Jalani dan jangan bersedih. Pastikan semua mimpi-mimpimu akan berarti. Meskipun jarak memisahkan kita, kamu akan selalu ada di mata juga hidupku. Kemarin, hari ini, besok pagi dan lusa nanti, kamulah yang selalu aku tunggu di hati."
From: Raka.
Suara bedug masjid bertalu-talu. Adzan subuh berkumandang, mataku masih terjaga sampai mentari mengirimkan sinarnya ke dalam kamarku, dan aku masih belum juga dapat memejamkan mata. "Riana ... Apakah kamu merasakan apa yang aku rasakan?" gumamku dalam hati.
"Raka. Raka ... . Ayo cepat bangun, hari sudah siang." teriaknya Ibu bersamaan dengan mengetuk pintu.
"Iya, Ibu." sahutku menggerutu. "Belum juga tidur, di suruh bangun."
"Cepat keluar dan kerjakan tugasmu." Suruhnya Ibu.
"Iya ... ."
Pasca kelulusan, ibuku mengambil cuti sebagai tukang cuci piring juga tukang cuci baju. Tugas mulia ini, sekarang di amanatkan padaku. Bukan cuma itu saja, ibu juga cuti dalam urusan logistik. Semuanya, aku yang mengemban sendiri sampai dengan selesai.
"Ibu mau sampai kapan? mengambil cutinya?" tanyaku lemas.
"Sampai kamu punya kegiatan baru," tegasnya Ibu.
"Hari ini, aku libur dulu, ya. Ibu." Memelas.
"Kalender di rumah ini, nggak ada tanggal merahnya," sahutnya Ibu.
"Aku janji besok mau cari kerja deh, Ibu."
"Sudah sana, kerjakan tugas kamu. Sekarang, Ibu mau keluar, pokoknya, kalau Ibu sudah pulang ke rumah, semuanya harus sudah selesai!" serunya Ibu.
Kicau burung-burung berterbangan, ayam jantan berkokok, dan satu dua kendaraan yang berseliweran adalah bagian dari orkestra yang mengiringi aktivitas magangku di rumah sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
Levo
Bahasanya asik sekali, jangan ge'er ya thor😄
2024-08-07
0