Ujian

Siang menjelang sore, di bawah pohon rindang.

"Apakah kamu sudah siap?" tanya Bagas.

"Santai saja, kan ada Raka. Ya, nggak, Toni," sahut Deni.

Toni merespon. "Yoi ... ."

"Percaya banget kalian berdua. Aku kok nggak yakin, ya," balas Bagas.

"Nggak yakin bagaimana? Dari dulu, kan kita selalu di kasih jawaban sama Raka," sambungnya Toni.

"Tenang saja, Bagas. Mana ada, Raka nggak bantu kita, sejak ujian kenaikan kelas satu dan dua, kita, kan selalu dibantu. Apalagi momen penting se-Indonesia seperti ini, Raka, pasti bantu kita," timpal Deni.

"Benar juga tuh, pertanyaan sesulit apapun. Pasti, Bagas bisa menjawabnya dengan mudah dan cepat. Sisanya seperti biasa, buat ngurusin kita bertiga. Ditambah lagi, akhir-akhir ini, Raka rajin belajar dengan cewek siapa itu namanya?" tanya Toni.

"Riana," sahut Deni.

"Masalahnya, ini beda. Ujian nasional itu berbeda dengan ujian-ujian lainnya. Kita nanti akan duduk terpisah, guru pengawasnya juga nggak main-main mengawasi kita sampai selesai," tegas Bagas.

"Nanti kita bahas bareng, tunggu Raka keluar," usul Deni.

"Anak itu aneh, ia sebenarnya bisa saja jadi nomor satu dengan mudah. Dari dulu kecerdasannya sengaja ditutup-tutupin, jalan pikirannya nggak jelas," gurau Toni.

Aku yang sedari tadi berada di balik tembok merapikan poster filsuf Inggris di dalam basecamp masih saja kepikiran tentang riana. Perasaan yang bersemayam di hatiku begitu megah. Aku takut dengan diriku sendiri, takut menghadapi kenyataan yang akan terjadi nanti.

Setelah kelulusan nanti, dia ingin melanjutkan pendidikannya di Universitas ternama di Kota Jogja. Sedangkan, aku belum pasti akan melangkahkan kaki ke mana, orang tuaku tidak mungkin sanggup membiayai aku kuliah.

"Hai. Sori, sudah nunggu lama." Sapaku.

"Nggak, paling baru dua hari. Nggak lama kok," canda Deni.

"Kopinya mana? kok, nggak sekalian dikeluarin." Bagas menagih.

"Muka kamu kusut banget, Raka. Semoga, nggak ada kabar buruk, hari ini," sela Toni.

"Kamu ini, ada-ada saja. Iya sudah. Aku mau bikin kopi dulu, sebentar." Menepuk pundak Toni.

Kembali, aku membawakan kopi. Mereka masih saja ramai.

"Tenang, semua pasti ada solusinya," Toni hendak mendongeng.

Aku membagikan kopi.

"Ujian itu urusan nanti, kita hadapi dulu problem hari ini. Sekarang, bagaimana caranya biar kopi ini, ada pasangannya. Hidup itu, harus berpasang-pasangan, masa meja sebesar ini, hanya ada kopi. Tega banget kamu, Raka. Makanannya mana?" pinta Toni.

"Toni mah, otaknya, isinya hanya makanan," timpal Bagas.

Toni membalas. "Makanan dapat memperbaiki gizi, dan perbaikan gizi itu penting untuk kesehatan dan kecerdasan otak kita. Iya, kan Raka." Mencari teman untuk melawan balik.

"Iya ... ."

"Tuh, kan. Orang pintar pasti sepemikiran denganku." Tertawa slengean.

Di sela gelak tawa, kicau burung-burung berterbangan. Suara aliran air sungai yang masih jernih serta pepohonan rindang membuat kita betah berlama-lama di sini.

"Riana kabarnya bagaimana?" Bagas mengawali tema baru.

"Dengar-dengar katanya, kamu sudah jadian dengan riana." Deni menambahi.

"Ini baru kabar baik," celetuk Toni.

Aku meringis.

"Kok, aku baru tahu. Kapan kamu jadiannya, Raka? Baru ya, pastinya baru dong. Kita, kan belum merayakannya. Terus, kapan, kamu mau merayakan bareng kita," tambah Toni.

Bagas membalas. "Aku hapal nih, ujung-ujungnya makanan lagi." Tertawa.

"Di mana-mana, kalau ada teman yang sedang senang, ia harus berbagi dengan temannya. Tapi, kan nggak mungkin, Raka membagi riana pada kita. Sebagai gantinya, wajar dong, kalau Raka harus traktir kita makan-makan." Bantah Toni pada Bagas.

Bagas berucap. "Kamu, bisa aja, Toni. Bilang saja pengin makan gratis."

Deni tertawa.

Aku terdiam, memikirkan riana. Sudah dua hari ini, dia belum juga membalas surat dariku.

"Raka, parah kamu nggak mau mengakui. Jangan gitu dong, paling berapa sih, ongkos buat traktir kita bertiga. Murah kok. Iya, kan?" Toni mendesak cari bantuan Bagas dan Deni.

"Jujur saja deh," tambah Deni.

Bagi pencinta mendengarkan nama yang dicintainya disebut, jiwanya meronta-ronta tak terelakan, ingin segera bertemu. Seperti hembusan angin yang menjatuhkan dedaunan ke tanah. Ini juga dikenal sebagai hukum gaya tarik bumi yang dikemukakan oleh Sir Issac Newton. Hukum yang tak terbantahkan. Darahku mendidih menciptakan halusinasi. Bahwasannya, tidak ada yang lain selain dia yang tampak. Perlahan bibirku mengembang, tak bisa menyembunyikan senyuman.

"Fik ... Raka sudah jadian. Jadi, kapan kita mau merayakannya?" timpal Toni.

Disusul Bagas dan Deni. "Bagaimana, Raka?"

Di tengah gempuran materialisme terdengar deru langkah kaki.

"Raka, Raka ..." teriaknya, sambil melangkah terburu-buru.

Semua menengok ke sumber suara.

"PANJANG UMUR ..." ujar Bagas dan Deni bersamaan.

"Memang kalau jodoh nggak ke mana," celetuk Toni.

"Ssstt ...!" Aku memberi kode.

"Cie ... ," timpal Toni.

"Ayo, kita masuk ke dalam, cinderella sudah tiba." Ajaknya Bagas pada Deni dan Toni.

Riana mendekat. "Ini maksudnya apa?" Melempar secarik kertas padaku.

"Nanti. A-aku -" Terpotong.

"Nggak usah nanti-nanti, sekarang saja. Ini maksudnya apa?" Riana merajuk.

"Ceritanya panjang, nggak enak, ada teman-teman di sini," ungkapku.

"Sekarang! Aku maunya sekarang ..." pinta Riana.

"Bukan maksud apa-apa. Tapi. A-aku ... menulis seperti itu. Supaya kamu bisa fokus belajar dan mengejar mimpimu," ujarku.

"Alasan nggak masuk akal." Nadanya tinggi. "Jadi, begini cara kamu menghindar. Memang benar, ya. Semua cowok sama saja, datang sesukanya dan pergi sesukanya." Matanya berkaca-kaca.

"Maksud aku bukan seper-" Terpotong.

"Ah, sudahlah." Berpaling. "Aku benci kamu." Riana bergegas pergi.

Aku hanya bisa terdiam, melihat dia pergi. Ada rasa dan pikiran yang bercampur aduk. Saat ini, aku belum bisa menjelaskannya.

"Kamu baik-baik saja, kan, Raka?" tanya Bagas.

"Gimana ini, baru saja mau senang-senang, kok jadi begini." Toni berbisik pada Deni.

Deni merangkul. "Sudahlah, kita duduk dulu."

"Aku tahu, aku salah," ujarku.

"Sudahlah, Raka. Tenangin dulu pikiran kamu," sahut Bagas.

Toni menyahuti. "Iya. Kita juga nggak bakal ninggalin kamu, kok. Iya, kan, Deni."

"Diam kamu," jawab Deni.

"Aku pengin sendiri dulu," pintaku.

"Kamu sih ... " bisik Toni.

"Bisa nggak sih, diam sebentar," balas Deni.

"Iya, ini. Bisa nggak sih, diam," ucap Bagas menarik Toni.

"Kalian pulang saja dulu sana, aku baik-baik saja kok." Masuk ke dalam basecamp.

Toni berucap, "Ayo, Denii, Bagas, kita pulang dulu."

Bagas merespon, "Apaan sih, kamu." Memukul. "Bisa diam nggak?" lanjutnya.

Hari ini, senja memberikanku pelajaran berharga. Aku tidak akan pernah lupa bahwa senja pernah indah. Aku juga menyukai senja, seperti dia menyukainya. Meskipun tidak bisa bertahan lama. Mega merah dari barat membias, berangsur-angsur berubah gelap. Jutaan rintik hujan jatuh, menimbulkan kegaduhan di langit-langit atap rumah.

Pagi hari sang surya malas bangun, awan hitam masih bergulung-gulung di langit yang luas. Sepasang merpati tak bisa terbang bebas.

Sepulang sekolah, aku mendatangi rumah Riana. "Kita masih bisa berteman, kan."

"Untuk apa?" ucap Riana.

"Memperbaiki kesalah pahaman kita."

"Aku mau fokus belajar, kamu sudah lupa? Bukankah, kamu sudah mengatakan itu." Berpaling.

"Bukan begitu maksudku, Riana."

Riana meninggalkanku begitu saja di depan halaman rumahnya.

Hari-hari berganti. Hati masih saja terselimuti perasaan, entah. Pada semesta yang lain, otak tertinggi justru terbangun menampakkan hasrat dan emosi tersembunyi.

Hari pertama ujian nasional, aku berangkat lebih awal. Tapi tidak satu angkutan bersama riana seperti biasa, sudah beberapa hari aku tidak pernah melihatnya.

"Pagi-pagi sudah datang, rajin betul kamu sekarang," kata Pak Satpam sembari membuka pintu gerbang.

"Jangan bilang-bilang, ya, Pak. Aku baru saja mendapatkan wangsit," ucapku lirih sambil melangkah.

"Baguslah kalau begitu. Apa isi wangsitnya?" tanya Pak Satpam.

"Aku akan menjadi murid yang terbaik di sekolah ini!" seruku seraya meninggalkan Pak Satpam di depan gerbang sekolahan.

Ruang kelas masih kosong. Aku segera mencari meja sesuai nomor urut. Bagas dan Deni berbeda ruangan. Sedangkan, Toni satu ruangan denganku. Aku yakin mereka berdua pasti bisa menyelesaikannya dengan baik.

Terpopuler

Comments

sean hayati

sean hayati

Setiap ketikan kata author sangat bagus,2 jempol untuk author ya

2024-09-17

2

tongky's team

tongky's team

mantap saya suka kata katanya tentang senja dan sepasang merpati

2024-09-05

0

Amelia

Amelia

betul tepat sekali...👍👍😅

2024-08-11

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!