Pesantren

"Raka, jadi bagaimana?" tanya Bagas.

"Hmm ... ." Aku berpikir.

"Mending di sini saja, Raka. Kuliah bareng kita." Sarannya Deni.

"Iya, betul, Raka. Jadi, kita juga bisa bantu kamu." Bagas menawarkan.

"Terima kasih, niat baiknya," sahutku.

Angin berhembus tak terlalu kencang, menyapu peluh keringat para pekerja. Burung blekok putih berterbangan di atas hamparan hijau kuning persawahan. Timbulkan sejuk di mata.

"Hai, kalian ... " sapanya Toni. "Sudah nungguin aku, yah," imbuhnya sembari duduk.

"Siapa yang nyuruh kamu ke sini," timpal Bagas.

Deni menyela. "Suasananya kok, jadi sumpek, yah."

"Haha ... . Biasa saja kali ... muka kamu tuh, yang madesu, masa depan suram. Jadi, terasa sumpek," tepisnya Toni.

"Yang penting nggak cengeng," balas Deni.

Begitulah kami, kala sudah berkumpul.

"Toni, kapan kamu berangkat ke Jakartanya?" tanyaku.

"Oh, iya. Soal itu, anak-anak yang masuk dalam sepuluh besar, nanti akan dikumpulkan di sekolahan untuk diberi arahan dulu. Kamu jadi ikut, kan!" serunya Toni.

"Aku nggak ikut," jawabku datar.

"Loh, kenapa?" tanya Toni.

"Nggak kenapa-kenapa, ada rencana lain yang sedang aku bidik." Tertawa.

Deni memotong. "Raka, emang aneh, diajak kuliah bareng nggak mau, dapat tawaran kerja bagus dari sekolahan, juga nggak mau."

"Apa jangan-jangan kamu mau langsung nikah?" celetuk Bagas bertanya.

"Sama siapa?" sahut Toni.

"Sama kambing!" timpal Bagas.

"Riana juga mau lanjutin kuliah di Jogja, iya,  kan, Raka," ucap Toni.

Aku mengangguk.

"Lah, terus kamu sendiri, bagaimana?" tanyanya Toni.

"Aku mau berpetualang menjelajah nusantara." Menyeringai.

"Suka-suka kamu, deh."

Toni membantah. "Jangan banyak gaya kamu, sok-sok'an menjelajah nusantara segala, duit saja pas-pasan!" serunya Toni.

"Sadar, Raka, sadar ..." imbuhnya Deni.

"Di rumah kamu, ada kaca, kan. Raka?" tanya Bagas kesal.

Aku menyeringai puas. "Nih, aku kasih tahu ke kalian. Orang kalau yakin punya bekal ilmu. Uang itu bukan problem, mau ada atau nggak ada, nggak jadi masalah. Terus saja berjalan, nanti bakal sampai tujuan dengan sendirinya."

Toni bertanya. "Tujuan kamu mau kemana?"

"RA - HA - SI - A !"

"Dasar aneh ..." pungkasnya Toni.

Sore adalah waktu di mana orang melepas lelah dari hiruk pikuk dunia. Sore juga berarti potongan waktu yang disediakan untuk menyeimbangkan doa dan perjuangan. Seperti matahari yang perkasa, saat sore tiba, ia harus merelakan keganasannya ditelan bumi. Tiada sedikit pun awan putih di langit, bulan dan bintang menggelantung.

"Ibu ... aku sudah putuskan. Aku mau mencari pekerjaan juga melanjutkan pendidikanku," ucapku.

"Di mana?" tanyanya Ibu.

"Pesantren," jawabku.

"Apa kamu mampu menjalankan keduanya?" Ibu memastikan.

"Kalau belum dicoba, aku sendiri juga belum tahu."

"Kalau kamu yakin. Ibu sih, setuju saja," Ibu menatapku.

Aku tersenyum.

"Tapi, ingat ... kamu harus jaga kondisi kesehatan kamu di sana, jangan terlalu di forsil. Pokoknya ingat, kalau kamu mau terus bisa bekerja sambil menuntut ilmu, ya kamu-nya dulu harus sehat dan semangat selalu."

Aku mengiyakan.

"Ibu tahu? tahu banget ... kamu dan Ibu sama, Nak. Ingin bisa bermanfaat bagi semua orang, kan. Jadi, berjuanglah terus di jalan apa yang kamu yakini, Ibu hanya bisa mendoakan yang terbaik buat kamu."

"Makasih, Ibu." Senyum.

Kepada langit dan bumi, aku pinta tetap cengkram telapak kaki iman. Kepada hati dan pikiran, aku minta jangan berkobar tetap jaga kewarasan. Kepada Sang Maha dari Segala Maha, aku memohon jawablah semua doa dan harapanku. Dan kepada ibu, aku titipkan pesan untuk riana juga kawan-kawanku.

Tiga puluh enam purnama sudah berlalu, aku pergi meninggalkan rumah untuk menimba ilmu. Pagi aku telusuri, malam aku jalani, semuanya sudah aku lewati untuk sebuah mimpi. Meski hari ini, aku harus manahan rindu.

'Ibu sama bapak di rumah baik-baik saja. Kamu sendiri apa kabar?' tanya Ibu via telepon.

'Alhamdulillah, aku juga di sini, baik-baik saja.' Aku tersenyum dari balik telepon.

'Kamu pulang kapan?' Ibu kembali bertanya.

'Tahun ini, aku nggak pulang. Ibu nggak apa-apa, kan,' jawabku.

'Ibu nggak apa-apa sayang ... yang penting kamu di sana baik-baik saja.'

'Makasih, ya Ibu.'

'Jangan lupa makan, jangan lupa istirahat, ingat pesan Ibu.'

'Iya ... .'

'Jaga diri baik-baik. Ehh, sudah dulu yah ... bapak kamu, memanggil-manggil nih, mumpung rumah lagi sepi, hehehe. Betah-betah di sana,' pungkasnya Ibu.

Aku menutupnya dengan salam.

Matahari merangkat dari ujung tanah nusantara bagian timur. Aku dan beberapa teman di sini, keluar dari dalam surau tempat kami belajar. Iya, di saat kebanyakan orang baru bangun dari tidur malamnya yang panjang. Kami sudah selesai belajar menghapalkan beberapa kalam. Kemudian, setelah istirahat sejenak, kami melanjutkan belajar pukul 07.00 WIB sampai pukul 11.00 WIB.

Di tahun ketiga ini, aku bekerja sebagai penjaga toko buku.

"Mulai sekarang kamu atur sendiri, toko saya ini, supaya kamu nggak perlu pindah-pindah kerja lagi," ucap pemilik toko.

"Memangnya boleh seperti itu, Pak?" Aku berpikir. "Bagaimana kalau omsetnya menurun," lanjutku.

Pemilik toko tertawa kecil. "Soal itu, kamu nggak perlu khawatir. Tugas kamu hanya membuka toko, menjaga dan melayani pengunjung dengan baik, sampai dengan selesai. Selebihnya urusan rejeki sudah ada yang mengaturnya."

Pemilik toko buku itu adalah alumni dari pesantren tempat aku belajar. Aku merasa beruntung sudah di izinkan bekerja di sini. Jadi, aku sudah tidak lagi bekerja sebagai buruh serabutan seperti di tahun pertama dan kedua.

'Halo, Assalamualaikum ... ' Suara Riana dari balik telepon.

'Waalaikumsalam.'

'Lagi sibuk, yah?' ucap Riana.

'Lumayan,' sahutku.

'Iya sudah, nanti aku hubungi kamu lagi, kalau kamu sudah senggang saja,' Nadanya menggantung.

Aku merespon. 'Bagaimana kabar kamu di Jogja? terus kuliah kamu bagaimana? lancar, kan.'

'Kabar aku, alhamdulillah baik, kuliahnya juga lancar. Kamu apa kabar?' Nadanya riang.

'Alhamdulillah, sama.'

'Aku boleh tanya sesuatu?' kata Riana.

'Boleh ... .'

'Ada nggak, hal yang ingin kamu ubah dari diriku?' Nadanya menggoda.

'Banyak,' celetukku.

'Misalnya?' lanjutnya Riana.

'Waktunya makan, gunakanlah untuk makan. Waktunya istirahat, gunakanlah untuk istirahat. Waktunya belajar, juga gunakanlah untuk be-la-' Terpotong.

'Hmm ... . Kalau seperti itu, anak SD juga paham. Maksudnya yang lainnya gitu ... .' Riana menyanggah.

'Apa, yah?' Aku berpikir.

'Iya, kan, sekarang kamu sudah beda. Sudah menjadi santri, sudah belajar tentang agama. Sedangkan aku ... .' Nadanya mesra.

'Kita semua sama, Riana. Aku, kamu atau mereka, sama-sama makhluk kecil yang diberi hak untuk memilih jalan hidupnya sendiri. Terserah, mau menjadi apa saja. Asalkan itu baik untuk dirinya juga agamanya. Dan selama dia berbuat baik berarti dia adalah santri. Tapi, kalau ada santri yang berbuat buruk berarti dia bukan santri,' ungkapku.

'Jadi, aku boleh menjadi seperti apa yang aku cita-citakan dulu.' Nadanya bersemangat.

'Boleh sekali.'

Selama tiga puluh menit, kita berbicara panjang lebar, tanya jawab dan ditutup saling menyemangati.

Aku sadar, hal seperti ini, sebenarnya tidak perlu dipertanyakan. Karena sebenarnya, dia sendiri sudah mengetahui, mana yang baik dan mana yang tidak baik. Tapi, barangkali mungkin, dia hanya ingin melepas rindu. Sekedar berbicara, satu bulan sekali denganku.

Terkadang dalam hidup kita harus menekan tombol cepat, terkadang juga perlu menekan tombol jeda. Di dunia yang samar ini, jika kamu merasa lelah, aku bisa memberi tanda koma untukmu. Membiarkanmu terus bercerita tentang dirimu, dan jangan pernah terluka kekasihku. Bisa jadi, hatiku tidak cukup lapang untuk menampungnya.

Terpopuler

Comments

Amelia

Amelia

si bolang dong ...😅😅

2024-08-12

0

Mas Alit

Mas Alit

mantap...

2024-08-09

2

Levo

Levo

Luar biasa

2024-08-08

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!