Menyalakan radio; 'Apa kabar Indonesia tempo doeloe. Apa kabar Indonesia kini. Dan apa kabar Indonesia yang akan datang. Apakah cintamu akan tetap sama kepada kami. Ataukah sebaliknya, kaulah yang lebih pantas mempertanyakan itu kepada kami. Apakah perlu kami menjawabnya dengan kata-kata. Apakah perlu kami memaklumatkannya di telivisi dan radio-radio seluruh Indonesia. Apakah itu yang kau butuhkan, wahai Indonesiaku. Mana yang akan kau pilih, suara kami atau perbuatan kami. Mana yang akan kau pilih, tenaga kami atau kepintaran kami. Ataukah kedua-duanya. Maka, pinjamkan lah kami kekuatan agar kami bisa tetap menjaga kewarasan.'
Sepuluh hari setelah berakhirnya ujian nasional. Sebagian siswa-siswi masih merasa khawatir. Sebab di tahun ini, berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.
'Kebijakan untuk melaksanakan ujian nasional bagi SMA, MA dan SMK pada tahun ajaran 2006-2007 se-Indonesia hanya diadakan satu sekali.' Mendengar Radio.
Begitulah yang sering aku dengar dari radio dan dari televisi, dan batas kelulusan ditentukan dengan hasil nilai rata-rata 4,50 untuk setiap mata pelajaran. Sebelum ujian nasional hingga sekarang, kekhawatiran tersebut masih memberi efek positif. Tempat-tempat ibadah selalu ramai dikunjungi remaja. Entah, merindukan Tuhan atau ada tujuan musiman. Siaran radio yang biasanya hanya menjadi jalan alternatif bagi para remaja menitip rindu, juga salam kepada orang yang mereka cintai. Sekarang menjadi sarana untuk memanjatkan doa. Bait demi bait berterbangan di setiap gelombang frekuensi yang aku putar.
Beberapa waktu lalu aku juga rutin mengirimkan salam, narasi-narasi, juga request lagu. Namun, itu dulu, waktu masih dekat dengan riana. Sekarang, hampir dua bulan, aku sudah tidak pernah lagi kirim-kirim apapun.
Pagi ini, setelah mendengarkan kawan-kawan saling balas salam, juga balas-balasan doa di radio. Jiwaku meronta ingin segera menulis sesuatu dan mengirimkannya ke radio ternama di kotaku.
Selepas isya, kembali aku menyalakan radio favoritku; 'Kita tidak bisa menjadi anak-anak abadi yang selalu bermain riang gembira tanpa tahu apa tujuannya. Tidak ada jalan kembali ke taman kanak-kanak. Kita sudah melewati tahun-tahun penuh lika-liku, terjal, kabut rintangan dan kenangan. Dengan bekal harapan serta cita-cita kita berangkat. Tugas kita adalah memerangi kebodohan yang bersemayam di dalam diri kita. Bukan untuk mengangkat piala atau sekedar mendapatkan selembar kertas yang dilaminasi semata. Kita sama tahu, berhasil atau tidak bukan urusan kita. Sebaik-baiknya urusan kembali kepadaNya.' Narasiku terbaca dalam siaran radio.
Malam berlalu, matahari dari timur meninggi mengirimkan sinar ke dalam kamarku. Tampak bayangan dari buku yang bertumpuk di atas meja terkena sinar mentari, juga bayangan dia yang selalu muncul saat aku bangun, sama-sama tampak di dalam kamarku.
Masih di hari tenang, aku hanya ingin menghabiskan waktuku sendiri di dalam kamar.
"Raka di mana, Ibu?"
"Bagaimana kabarnya, Raka. Habis ujian seperti hilang ditelan bumi saja."
"Iya, nih."
Suara Toni, Bagas dan Deni dari luar kamarku.
"Ada itu, di dalam kamarnya, sudah berhari-hari nggak mau keluar, samperin sana, ajak keluar," suruh Ibu pada mereka.
"Raka." Mengetuk pintu.
Waktunya kurang tepat, malas banget rasanya bertemu dengan mereka bertiga. Tapi, percuma saja kalau aku kunci kamar dan pura-pura tidur. Mereka tidak akan pergi begitu saja.
"Ada apa?" tanyaku dalam kamar.
"Oalaah ... sudah seperti kera sakti saja kamu, Raka. Terkurung dalam kamar," celoteh Toni.
"Goa!" Deni meluruskan.
"Iya, itu maksudnya," respon Toni.
Aku membuka pintu kamar.
"Uuu ... Aaa ... Uuu ... Aaa ... ." Toni bergaya.
Bagas menyela. "Sudah mirip."
Terpaksa aku tersenyum tipis. Semenjak riana tak mau lagi bertemu denganku, makin lama makin hilang hasrat tersenyum juga tertawa. Entahlah.
"Ada apa?" Aku mengulangi bertanya.
"Jangan begitu dong ... kamu sendiri, kan pernah bilang." Toni berpikir. "Apapun dan bagaimanapun, status serta kondisi kita kelak di kemudian hari. Kita harus tetap semangat menjalani dan mencintai hidup ini," tegur Toni sembari slengean.
"Cerdas ..." timpal Bagas.
"Pintar kamu." Deni mengacungkan jempol pada Toni.
"Tumben, otak kamu ada isinya," celetuk Bagas menjatuhkan Toni.
Walaupun hanya sekedar candaan, bagiku perkataannya Toni, bak petir di siang hari yang memecah langit. Aku menghela nafas. "Ayo, kita ke basecamp saja, ngopi di sana." Berjalan keluar.
"Nah, gitu dong," sahut Toni.
Basecamp kami tidak jauh dari rumahku. Terletak di tengah-tengah antara kebun dan persawahan kecil. Di sebelah barat tidak jauh dari basecamp ada sungai yang mengalir. Tepat di depan basecamp terdapat pohon besar yang rindang.
Di sinilah, tempat favorit kami.
"Semalam kita mendengar narasi dari kamu, Raka. Makanya kita ke sini," ujar Deni.
Bagas merangkul. "Iya, sudah dua minggu lebih nggak tahu kabar dari kamu. Sebenarnya dari kemarin-kemarin kita mau ke sini. Tapi nggak enak, barangkali kamu lagi ingin sendiri dulu. Begitu tahu, kamu mau kirim narasi lagi di radio, kita jadi ingin kumpul lagi, Raka."
"Kita harus terus bersama, Guru. Melanjutkan tugas mencari kitab suci ke barat." Toni meloncat-loncat. "Bagaimana menurutmu, adik pertama?" Menatap Bagas.
"Dasar ... ." Bagas menendang Toni.
"Guru ... tolongin aku." Lari berputar.
Perlahan gurat-guratan di pipiku mulai kembali bersama canda dan tawanya mereka. Duduk-duduk di bawah pohon yang rindang, berbicara tentang pribadi masing-masing, juga tentang mimpi dan harapan kami kelak di kemudian hari.
Hari berganti, di depan sekolahan sebagian murid berkumpul, sebagian lainnya berceceran di aula, juga di ruang kelas, juga di tempat ibadah yang berada di sekolahan.
Pengumuman kelulusan ujian nasional lebih maju dari jadwal semula. Pengumuman dilakukan secara serentak di seluruh sekolah se-Indonesia. Kami semua menunggu penuh cemas. Satu per satu orang tua murid datang.
"Toni dari tadi, orang tua kamu belum kelihatan?" tanya Bagas.
"Katanya, ada urusan pekerjaan. Jadi, mungkin, orang tuaku datangnya agak siangan," jawab Toni. "Kamu, sendiri kenapa, Deni? Dari tadi, aku perhatikan, kamu mondar-mandir terus, kayak orang kebingungan, bukankah tadi ibumu sudah masuk." tanya Toni pada Deni.
"Aku, kok, jadi takut, ya." Deni mengusap muka.
"Tenang saja, jangan khawatir, kita semua pasti lulus," ucapku percaya diri.
"Amin ... ," sahut mereka.
Satu jam lebih tiga menit. Tapi, belum ada tanda-tanda orang tua murid yang keluar dari dalam sekolahan.
"Lama banget, lagi pada ngapain sih, mereka?!" celetuk Toni.
Bagas menyahuti. "Lagi makan-makan mungkin."
"Ayo, kita samperin saja, masuk ke dalam," kata Toni.
"Di dalam kamu mau ngapain? Orang tua kamu juga nggak ada di dalam, belum datang," ujar Bagas.
"Oh, iya." Toni menyeringai.
Selang beberapa menit kemudian, satu-dua orang tua murid mulai keluar dari dalam sekolahan, berurutan. Mencari, juga memanggil nama anaknya yang sedari tadi menunggu di depan sekolahan.
Langit-langit sekolahan perlahan menjadi riuh. Ada yang mengekspresikan keberhasilannya dengan teriak, juga meloncat-loncat kegirangan, juga sujud syukur dan saling berpelukan, juga tertawa riang gembira.
"Bagas, Deni, itu orang tua kalian keluar," ucap Toni. "Buruan samperin, tanya, bagaimana?" lanjutnya.
"Sabar, nanti juga sampai ke sini," balas Bagas pada Toni.
"Ibu ... gimana Bagas sama Deni?" Toni lari menjemput orang tuanya Bagas dan Deni.
"Dasar ... ." Bagas mendengus.
"Anak itu, kalau kepalanya belum di benturkan, nggak bakal bisa diam," timpal Deni.
"Sudahlah, biarin saja," ucapku menenangkan.
"Deni ... , Bagas ... . KALIAN LULUS!" teriak Toni gembira.
"Alhamdulillah ... ." Deni mengusap muka.
Bagas menghela nafas. "Hari ini, aku maafin kamu."
Kami semua tersenyum juga tertawa. Saling berjabat tangan.
"Toni, kamu sendiri bagaimana?" tanya Deni.
"Santai saja, gampang ... " jawabnya Toni. "Kita tunggu saja, ibunya Raka keluar. Kalau Raka lulus, aku juga pasti lulus." Toni menyeringai.
Bagas dan Deni tertawa, tahu maksudnya.
Lima belas menit berlalu.
"Itu, Ibunya, Raka keluar!" Toni kembali lari menjemput.
Tiba-tiba ekspresi Toni murung, suasana menjadi kaku. Ibuku berjalan menundukan kepala.
Bagas memegang pundakku. "Sabar dulu, Raka."
Ibu menghampiriku, mengulurkan tangan. "Ayo, kita pulang dulu, Raka."
Aku diam, menatap Ibu.
"Nggak apa-apa, masih banyak waktu untuk memperbaikinya," ucap Ibu.
"Tapi, Ibu ... aku sudah menjawab semua soal dengan benar," sahutku.
"Ibu tahu, kok," tuturnya. "Ayo ..." pinta Ibu.
Bagas dan Deni terus menenangkan Toni yang sedang kacau. Toni sadar jawaban soalnya tidak jauh berbeda dengan punyaku.
"Maaf, ya, Toni?" Aku berjalan setengah putus asa, meninggalkan mereka.
Ibu berjalan tanpa ekspresi.
Di tengah perjalanan menuju rumah.
"Aku minta maaf ya, Ibu." Menatap.
Ibu membalas senyum.
"Selama ini, aku sudah belajar dengan sungguh-sungguh. Tapi ... ." Aku menunduk. "Sekali lagi, aku minta maaf. Sudah mengecewakan Ibu," lanjutku.
"Ibu bangga sama kamu," tuturnya.
Lama, aku diam menunduk, menunggu kalimat Ibu berikutnya.
"Ibu yang seharusnya minta maaf ke kamu." Suaranya terhenti. "Kiri, pirr ... ," pekik Ibu pada supir angkutan umum.
Kami sudah sampai tujuan.
Ragaku sudah sampai rumah. Tapi, pikiranku masih tertinggal di sekolahan. Toni pastinya sangat terpukul. Apa yang harus aku katakan kepadanya nanti. Aku bergegas masuk ke dalam kamar dan menjatuhkan diri dalam kekalutan. Apa yang harus aku lakukan. Cita, cinta dan harapanku bagaimana.
"Raka ... ," Ibu memanggil. "Keluarlah dulu sebentar, Ibu mau bicara!"
Aku menghampiri Ibu dengan putus asa.
"Ibu minta maaf, yah. Ibu nggak bisa membiayai kamu masuk ke perguruan tinggi."
"Mak-sud Ibu?" Menatap.
Ibu menghela nafas. "Penghasilan bapak kamu, sudah nggak bisa lagi untuk membiayai kamu."
Aku menebak-nebak. "Aku, kan nggak lulus. Maksud Ibu, perguruan tinggi gimana?"
"Siapa yang bilang kamu tidak lulus? Ibu, kan hanya mengajak kamu pulang," tegasnya.
"Jadi ... ." Aku langsung memeluk Ibu. "Aku beneran lulus, kan Ibu?"
Ibu menganggukan kepala. "Kamu bukan hanya lulus saja. Tapi, kamu juga mendapatkan nilai terbaik." Ibu tersenyum.
Ternyata benar, apa kata pepatah. Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Hampir saja aku frustasi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
sean hayati
ceritanyq bagus,jadi ingat masa dulu nunggu kiriman lagu dari seseorang
2024-09-18
1
Andi Jatmiko
Baru di bab 3
iklannya udh ganggu aja /Curse/
2024-08-13
0
Inayatun Aini
jdi ingat masalalu, hiburannya dengerin radio 🤗
2024-08-07
0