NovelToon NovelToon

Saat Aku Bernafas Aku Berharap

Sekolah

"Ayo sekolah, supaya pintar, juga kaya, juga sukses!" Membaca sampul majalah. "Mungkin seandainya, boleh aku ubah. Maka, aku akan merubahnya. Ayo sekolah, supaya pintar, supaya bisa belajar mencintai kehidupan ini. Apapun dan bagaimanapun, status serta kondisi kita, kelak di kemudian hari," gumamku di dalam kamar.

Matahari sudah membumbung tinggi, semua putra-putri indonesia sedang bersiap-siap berangkat ke sekolahnya masing-masing. Begitu juga denganku.

Sesampainya di sekolahan, bel berbunyi, hampir saja terlambat.

"Pagi, anak-anak ... ."

"Pagi, Ibu Guru!" Seperti biasa kita kompak, berdiri dan menjawab salam.

"Keluarkan buku matematika kalian," tegasnya Ibu Guru, setelah mengabsen para murid dan memberi mukadimah pagi. Semacam motivasi kepada murid-murid supaya semangat dalam belajar.

Satu jam penuh kami menyimak dan mencatat rumusan yang diajarkan oleh Beliau, hari ini. Sampai jam pelajaran matematika pun, selesai. Dan berikutnya pelajaran kedua, Teknik Mesin.

Alangkah senangnya, bapak guru tidak bisa hadir. Dikarenakan ada halangan. Separuh kelas bersorak, termasuk aku. Hehehe.

Tetapi, Ketua Kelas kami menginstruksikan untuk belajar mandiri, berkelompok. Satu kelas dibagi menjadi tiga. Aku yang tidak mau kehilangan momen, langsung memilih kelompok yang sepemikiran.

"Bagas, kumpulin anak-anak ke sini saja," ucapku.

"Pasti dong ... " sahut Bagas seraya mengajak teman yang lainnya. "Ayo, kita kumpul di belakang ... ."

"Kelompok tiga di sini," teriakku di sela ramaiannya kelas.

Kelompok pertama dipimpin oleh Ketua Kelas, berjumlah lima belas siswa. Kelompok kedua dipimpin Wakil Kelas, berjumlah sepuluh siswa. Dan yang terakhir, kelompok oposisi. Aku, Bagas, Deni, Toni dan enam teman lainnya yang belum punya cita-cita.

"Raka, awas loh. Jangan ganggu kelompok yang lain," pinta Ketua Kelas setengah mengancam.

"Siap, Pak Ketua!" seruku sembari berdiri meluruskan badan serta memberi hormat.

"Agenda kita ngapain nih, Raka?" tanya Bagas.

"Kita jadi penonton saja," balas Toni.

"Daripada nonton Marto sama Untung, mending tiduran," celetuk Bagas.

Marto adalah ketua kelas kami, dan Untung wakilnya.

"Iya betul," sahut Deni dan teman lainnya mengiyakan.

Diantara tiga kelompok - kelompok kami yang paling berisik.

"Kalian mau nggak? Dengerin ceritaku," ocehku pada teman kelompok.

Bagas merespon. "Boleh juga tuh. Pasti tentang riana anak SMA satu itu, ya. Bagaimana, kelanjutan perjuangan kamu? Masih belum menyerah."

"Siapa itu riana? Cantik nggak?" Toni menatap Bagas.

"Nanti, kapan-kapan, aku kenalkan riana ke kalian. Jadi ... begini ceritanya," ucapku setengah sungguh-sungguh kepada mereka.

Cerita pun dimulai.

"Waktu itu, aku sedang bersama riana, jalan-jalan di dalam mall. Karena sudah muter-muter cukup lama. Aku berinisiatif untuk membelikan dia, cemilan dan minuman. Tiba-tiba, datang dua scurity penjaga," ucapku pada teman-teman.

"Ayo, ikut kami ke kantor." Menarik lenganku.

"Ada apa ini, Pak." Mataku melotot, kaget.

Semua pengunjung mall yang berada di sekitar tempat kasir, kompak memandangiku penuh curiga.

Tanpa sedikit pun, menjawab pertanyaan dariku, dua Scurity itu langsung membawa aku ke ruangan yang tak jauh dari tempat kasir. Wajahku memerah, badanku berkeringat, padahal sedang berada di ruangan yang ber-AC.

Riana hanya berdiri mematung tanpa berkata dan membelaku.

Sesampainya di dalam ruangan. "Keluarin semua yang ada di dalam kantongmu," perintah Scurity dengan wajah garang.

"Maksudnya?" tanyaku, merasa malu karena sudah diseret di depan umum secara paksa.

Dari arah belakang, dua tangan besar langsung meluncur kedalam kantong celanaku. "Masih sekolah sudah berani mencuri! Mau jadi apa kamu, besarnya nanti," ucap Bapak Scurity, nadanya tinggi.

"Kamu kelas berapa?" tanya Bapak Scurity satunya.

"Sebelas," jawabku datar.

"Panggil sekarang juga orang tuamu ke sini." Bentaknya keras.

Aku bertanya. "Salah aku apa?"

Kemudian ruangan menjadi hening.

Lama.

"Kalian tahu, kan. Apa yang aku rasakan saat itu?" ucapku pada teman-teman.

"Terus - terus bagaimana?" kata salah satu teman, balik bertanya, yang lain masih khusyu'.

"Selang beberapa waktu kemudian, sesuai permintaan Bapak Scurity. Ibuku datang mengetuk pintu," sahutku pada teman-teman.

Mereka masih mendengarkan dengan khusyu'.

"Tok, tok, tok ... ketukannya semakin lama semakin keras bersamaan dengan teriakkan memanggil namaku." Aku menatap teman-teman. "Raka, Raka. Raka ... AYO BANGUN ... SUDAH SIANG NANTI KAMU TERLAMBAT KE SEKOLAH! Aku kaget, buru-buru bangun dari tempat tidurku," ungkapku pada teman-teman.

Seketika ruangan kelas menjadi pecah, ada yang tertawa, juga marah, juga memukul-mukul meja, merasa dikerjain dan menyesal mendengar kisah yang aku ceritakan tersebut.

...***...

Aku tidak jauh berbeda seperti siswa-siswi lainnya. Waktunya belajar, aku gunakan untuk belajar. Waktunya istirahat, aku gunakan untuk istirahat, hanya kadang, sesekali aku ingin menjadi pusat perhatian, atau barangkali, mungkin aku butuh hiburan di sela-sela waktu kosong seperti sekarang ini.

Dan tentang riana, benar adanya, dia adalah cinta pertamaku. Walaupun aku tahu, dia hanya menganggapku sebagai teman, tidak kurang - tidak lebih. Namun, aku selalu berharap, dia mau menjadi pacarku.

Kita satu kampung tapi beda sekolah. Riana bersekolah di SMA favorit, sedangkan aku bersekolah di SMA kejuruan yang biasa-biasa saja. Siapapun bisa masuk di sini, tanpa standar nilai ataupun test ujian masuk.

Setiap hari aku selalu berjuang keras supaya bangun lebih awal, agar bisa naik angkutan umum bersamanya. Bangun pagi, ternyata tidak segampang yang aku kira. Berkali-kali aku terbangun karena dibangunkan oleh ibuku.

Sudah bisa ditebak, riana sudah berada di dalam kelasnya, sedangkan aku masih di dalam kamar mandi.

Dua purnama telah berlalu begitu saja, rinduku tebal tak terobati. Matahari baru saja bangun dari tidur malam yang panjang. Dari kaki cakrawala nun jauh, sinar mentari menyebar ke setiap sudut kota. Angin, burung dan suara kendaraan berpadu jadi satu, bertalu-talu. Dedaunan di ranting-ranting pohon melambai riang gembira, naik turun mengabarkan kemenangan kepadaku setelah semalaman aku terjaga.

Aku yang sedari tadi bergelut dengan rasa kantuk, akhirnya bisa tersenyum lebar.

"Tumben, pagi-pagi sekali sudah bangun," tanya Ibu, penasaran.

Aku hanya melempar senyum pada Ibu, dan bergegas menuju halte, tempat di mana, riana menunggu angkutan umum.

Tepat pukul 06.00 WIB. Aku sudah berada di lokasi. Tidak lama kemudian, sesuai prediksi. Dari arah barat, dia muncul dengan seragam putih dan rok abu-abu lima belas centimeter di atas lutut.

Kuning langsat warna kulitnya semakin bersinar terkena paparan sinar mentari. Wajahnya terlihat lembut, ikal hitam, dia punya rambut yang tergerai angin, tampak menggoda.

Jarakku dan Riana hanya satu langkah. Pikiranku sudah bimbang duluan, sesekali menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal.

"Hai ... ." Sapanya.

"Hai, juga, bagaimana kabarnya?" balasku, gugup.

"Baik ... Kamu apa kabar? Tumben jam segini sudah ada di halte." Riana tersenyum.

Beruntung aku sudah menyiapkan beberapa kalimat untuk dijadikan bahan obrolan dengannya. Obrolan mengalir begitu saja, sembari menunggu angkutan umum datang.

"Itu ... " Riana menyetop angkutan umum.

Kita duduk berhadapan. Jalanan masih relatif sepi, angkutan melaju pelan di Jalan Wahidin Sudirohusodo, yang masih lenggang. Tanpa hambatan. Pemandangan pagi yang cerah membuatku bersemangat. Warung dan toko-toko di sepanjang jalan belum banyak yang buka. Angkutan terus melaju meninggalkan Jalan Wahidin Sudirohusodo.

"Kamu ambil jurusan apa?" tanya Riana tepat di depan mukaku.

"Teknik mesin," jawabku sembari menoleh ke belakang keluar jendela, tidak kuat menatap kerling matanya, bikin jantung mau copot.

"Oh ..." Riana mengecek isi tas.

"Aku mau minta tolong, boleh?"

"Minta tolong apa dulu nih," sahutnya Riana.

"Bantuin aku mengerjakan tugas, mau yah?" Aku setengah memaksa.

"Hmm ..." Riana berpikir sejenak. "Kenapa harus aku," tanya Riana.

"Pliss!" Aku memohon.

"Memangnya tugas apa?" Riana menatap.

Jantungku kacau. "Matematika. Sekalian ajarin aku caranya belajar biar mudah paham, bisa, kan." Menggaruk kepala.

"Kapan?" balasnya Riana.

"Secepatnya ... ." Meringis

Riana merespon, mengiyakan. "Atur saja deh, aku tunggu kamu di rumah." Menyisipkan rambut ke telinganya.

Satu per satu penumpang naik, bangku menjadi penuh. Kita berdesakan dengan Ibu-Ibu yang hendak pergi ke pasar dan beberapa siswa sekolah lain. Sepanjang jalan terlihat banyak proyek pembangunan gedung dan mall-mall megah berjejer di pinggir jalan raya.

"Aku duluan, yah." Riana pamit turun.

Aku mengiyakan. "Hati-hati."

***

Semenjak hari itu, aku sudah tidak pernah lagi terlambat pergi ke sekolah. Ibu pun, tak perlu repot-repot membangunkanku, berteriak di depan kamar. Pribadiku yang malas berubah seratus delapan puluh derajat, seperti ada energi baru yang merasuk ke tubuhku.

Setiap hari, kita berangkat sekolah bersama, bercanda dan tertawa. Rutinan belajar bersama dengannya berjalan lancar setiap seminggu sekali. Tanpa membolos satu kali pun, sampai tiba waktunya ujian kenaikan kelas besok pagi.

"Semangat, yah?" Riana tersenyum.

"Pasti, kamu juga." Langkahku gagah menuju rumah, sesekali menengok ke arah belakang.

"Besok jangan terlambat," suruhnya seraya melambaikan tangan.

Aku tersenyum kegirangan. "Oke!" Mengangkat tinggi-tinggi ibu jariku.

"Hati-hati ... ." Suaranya melambung ke udara, sayup-sayup, perlahan Riana masuk ke dalam rumahnya.

Malam ini langit begitu cerah, bulan purnama dengan sejuta keelokannya dikelilingi bintang-bintang membentuk pola-pola indah. Aku enggan memejamkan mata, seakan tidak rela hari ini berlalu begitu saja.

Satu tahun kemudian.

Hari ini, aku dan Riana janjian akan mengunjungi destinasi wisata di kota kita. Riana seperti biasa, tampil sederhana tapi mempesona.

"Maaf, sudah menunggu lama." Mengatur nafas.

"Nggak kok," ucapnya sambil berdiri, sejurus kemudian angkutan umum datang.

Angkutan umum melaju membawa kita ke Guci. Satu jam lebih tiga puluh lima menit, setelah melewati perjalanan yang dilewati ninja hatori. Akhirnya, kita sampai di tempat tujuan. Pemandangan dari atas bukit begitu indah. Aku tidak punya kosakata untuk menggambarkannya.

Lama, kita saling mencuri pandang tanpa bicara.

"Kenapa senyum-senyum," tanya Riana menggoda.

"Itu pemandangannya indah banget." Aku menuding sembarangan.

"Mana? Aku kok nggak lihat," ujarnya.

Aku panik segera mencari topik lain. "Bagaimana menurutmu ujian nasional nanti?" tanyaku sambil menyodorkan minuman. "Nggak terasa, kita sudah kelas dua belas. Ujian nasional sudah dekat saja."

"Hmm ..." gumamnya Riana.

"Apakah akan sulit," lanjutku sembari memandangi hamparan hijau yang luas di depanku.

"Bisa jadi," celetuknya sambil makan dengan mulut seperti ikan buntal.

"Kamu sudah siap."

"Siap, nggak siap harus siap," sahut Riana dengan mulut masih penuh makanan.

"Soalnya ujian nasional, kan bukan hanya persiapan belajar saja. Tapi kita harus siap mental juga."

"Tinggal dijalani, nggak perlu takut," sahutnya cepat.

"Iya juga sih." Garuk-garuk kepala yang tidak gatal.

Senja telah tiba, matahari tergelincir di ufuk barat. Semburat jingga mengindahkan semua yang disentuhnya, laut, juga hutan, juga perkampunganku tampak terlihat indah dari atas bukit.

"Kamu tahu, kenapa aku suka senja?" celetuk Riana dengan pandangan lurus ke depan.

Aku menggelengkan kepala sembari menatap wajahnya penuh rasa kagum.

"Sebab, pagi tempatnya orang bergemuruh mengejar kehidupannya masing-masing. Sedangkan, senja waktunya melepas lelah dari hiruk pikuk dunia," ucapnya lirih.

Aku memberanikan diri meraih tangannya. "Ayo, kita pulang."

Tanpa memandang, tanpa berkata, kita berjalan meninggal tempat wisata.

Hari beranjak gelap.

Ujian

Siang menjelang sore, di bawah pohon rindang.

"Apakah kamu sudah siap?" tanya Bagas.

"Santai saja, kan ada Raka. Ya, nggak, Toni," sahut Deni.

Toni merespon. "Yoi ... ."

"Percaya banget kalian berdua. Aku kok nggak yakin, ya," balas Bagas.

"Nggak yakin bagaimana? Dari dulu, kan kita selalu di kasih jawaban sama Raka," sambungnya Toni.

"Tenang saja, Bagas. Mana ada, Raka nggak bantu kita, sejak ujian kenaikan kelas satu dan dua, kita, kan selalu dibantu. Apalagi momen penting se-Indonesia seperti ini, Raka, pasti bantu kita," timpal Deni.

"Benar juga tuh, pertanyaan sesulit apapun. Pasti, Bagas bisa menjawabnya dengan mudah dan cepat. Sisanya seperti biasa, buat ngurusin kita bertiga. Ditambah lagi, akhir-akhir ini, Raka rajin belajar dengan cewek siapa itu namanya?" tanya Toni.

"Riana," sahut Deni.

"Masalahnya, ini beda. Ujian nasional itu berbeda dengan ujian-ujian lainnya. Kita nanti akan duduk terpisah, guru pengawasnya juga nggak main-main mengawasi kita sampai selesai," tegas Bagas.

"Nanti kita bahas bareng, tunggu Raka keluar," usul Deni.

"Anak itu aneh, ia sebenarnya bisa saja jadi nomor satu dengan mudah. Dari dulu kecerdasannya sengaja ditutup-tutupin, jalan pikirannya nggak jelas," gurau Toni.

Aku yang sedari tadi berada di balik tembok merapikan poster filsuf Inggris di dalam basecamp masih saja kepikiran tentang riana. Perasaan yang bersemayam di hatiku begitu megah. Aku takut dengan diriku sendiri, takut menghadapi kenyataan yang akan terjadi nanti.

Setelah kelulusan nanti, dia ingin melanjutkan pendidikannya di Universitas ternama di Kota Jogja. Sedangkan, aku belum pasti akan melangkahkan kaki ke mana, orang tuaku tidak mungkin sanggup membiayai aku kuliah.

"Hai. Sori, sudah nunggu lama." Sapaku.

"Nggak, paling baru dua hari. Nggak lama kok," canda Deni.

"Kopinya mana? kok, nggak sekalian dikeluarin." Bagas menagih.

"Muka kamu kusut banget, Raka. Semoga, nggak ada kabar buruk, hari ini," sela Toni.

"Kamu ini, ada-ada saja. Iya sudah. Aku mau bikin kopi dulu, sebentar." Menepuk pundak Toni.

Kembali, aku membawakan kopi. Mereka masih saja ramai.

"Tenang, semua pasti ada solusinya," Toni hendak mendongeng.

Aku membagikan kopi.

"Ujian itu urusan nanti, kita hadapi dulu problem hari ini. Sekarang, bagaimana caranya biar kopi ini, ada pasangannya. Hidup itu, harus berpasang-pasangan, masa meja sebesar ini, hanya ada kopi. Tega banget kamu, Raka. Makanannya mana?" pinta Toni.

"Toni mah, otaknya, isinya hanya makanan," timpal Bagas.

Toni membalas. "Makanan dapat memperbaiki gizi, dan perbaikan gizi itu penting untuk kesehatan dan kecerdasan otak kita. Iya, kan Raka." Mencari teman untuk melawan balik.

"Iya ... ."

"Tuh, kan. Orang pintar pasti sepemikiran denganku." Tertawa slengean.

Di sela gelak tawa, kicau burung-burung berterbangan. Suara aliran air sungai yang masih jernih serta pepohonan rindang membuat kita betah berlama-lama di sini.

"Riana kabarnya bagaimana?" Bagas mengawali tema baru.

"Dengar-dengar katanya, kamu sudah jadian dengan riana." Deni menambahi.

"Ini baru kabar baik," celetuk Toni.

Aku meringis.

"Kok, aku baru tahu. Kapan kamu jadiannya, Raka? Baru ya, pastinya baru dong. Kita, kan belum merayakannya. Terus, kapan, kamu mau merayakan bareng kita," tambah Toni.

Bagas membalas. "Aku hapal nih, ujung-ujungnya makanan lagi." Tertawa.

"Di mana-mana, kalau ada teman yang sedang senang, ia harus berbagi dengan temannya. Tapi, kan nggak mungkin, Raka membagi riana pada kita. Sebagai gantinya, wajar dong, kalau Raka harus traktir kita makan-makan." Bantah Toni pada Bagas.

Bagas berucap. "Kamu, bisa aja, Toni. Bilang saja pengin makan gratis."

Deni tertawa.

Aku terdiam, memikirkan riana. Sudah dua hari ini, dia belum juga membalas surat dariku.

"Raka, parah kamu nggak mau mengakui. Jangan gitu dong, paling berapa sih, ongkos buat traktir kita bertiga. Murah kok. Iya, kan?" Toni mendesak cari bantuan Bagas dan Deni.

"Jujur saja deh," tambah Deni.

Bagi pencinta mendengarkan nama yang dicintainya disebut, jiwanya meronta-ronta tak terelakan, ingin segera bertemu. Seperti hembusan angin yang menjatuhkan dedaunan ke tanah. Ini juga dikenal sebagai hukum gaya tarik bumi yang dikemukakan oleh Sir Issac Newton. Hukum yang tak terbantahkan. Darahku mendidih menciptakan halusinasi. Bahwasannya, tidak ada yang lain selain dia yang tampak. Perlahan bibirku mengembang, tak bisa menyembunyikan senyuman.

"Fik ... Raka sudah jadian. Jadi, kapan kita mau merayakannya?" timpal Toni.

Disusul Bagas dan Deni. "Bagaimana, Raka?"

Di tengah gempuran materialisme terdengar deru langkah kaki.

"Raka, Raka ..." teriaknya, sambil melangkah terburu-buru.

Semua menengok ke sumber suara.

"PANJANG UMUR ..." ujar Bagas dan Deni bersamaan.

"Memang kalau jodoh nggak ke mana," celetuk Toni.

"Ssstt ...!" Aku memberi kode.

"Cie ... ," timpal Toni.

"Ayo, kita masuk ke dalam, cinderella sudah tiba." Ajaknya Bagas pada Deni dan Toni.

Riana mendekat. "Ini maksudnya apa?" Melempar secarik kertas padaku.

"Nanti. A-aku -" Terpotong.

"Nggak usah nanti-nanti, sekarang saja. Ini maksudnya apa?" Riana merajuk.

"Ceritanya panjang, nggak enak, ada teman-teman di sini," ungkapku.

"Sekarang! Aku maunya sekarang ..." pinta Riana.

"Bukan maksud apa-apa. Tapi. A-aku ... menulis seperti itu. Supaya kamu bisa fokus belajar dan mengejar mimpimu," ujarku.

"Alasan nggak masuk akal." Nadanya tinggi. "Jadi, begini cara kamu menghindar. Memang benar, ya. Semua cowok sama saja, datang sesukanya dan pergi sesukanya." Matanya berkaca-kaca.

"Maksud aku bukan seper-" Terpotong.

"Ah, sudahlah." Berpaling. "Aku benci kamu." Riana bergegas pergi.

Aku hanya bisa terdiam, melihat dia pergi. Ada rasa dan pikiran yang bercampur aduk. Saat ini, aku belum bisa menjelaskannya.

"Kamu baik-baik saja, kan, Raka?" tanya Bagas.

"Gimana ini, baru saja mau senang-senang, kok jadi begini." Toni berbisik pada Deni.

Deni merangkul. "Sudahlah, kita duduk dulu."

"Aku tahu, aku salah," ujarku.

"Sudahlah, Raka. Tenangin dulu pikiran kamu," sahut Bagas.

Toni menyahuti. "Iya. Kita juga nggak bakal ninggalin kamu, kok. Iya, kan, Deni."

"Diam kamu," jawab Deni.

"Aku pengin sendiri dulu," pintaku.

"Kamu sih ... " bisik Toni.

"Bisa nggak sih, diam sebentar," balas Deni.

"Iya, ini. Bisa nggak sih, diam," ucap Bagas menarik Toni.

"Kalian pulang saja dulu sana, aku baik-baik saja kok." Masuk ke dalam basecamp.

Toni berucap, "Ayo, Denii, Bagas, kita pulang dulu."

Bagas merespon, "Apaan sih, kamu." Memukul. "Bisa diam nggak?" lanjutnya.

Hari ini, senja memberikanku pelajaran berharga. Aku tidak akan pernah lupa bahwa senja pernah indah. Aku juga menyukai senja, seperti dia menyukainya. Meskipun tidak bisa bertahan lama. Mega merah dari barat membias, berangsur-angsur berubah gelap. Jutaan rintik hujan jatuh, menimbulkan kegaduhan di langit-langit atap rumah.

Pagi hari sang surya malas bangun, awan hitam masih bergulung-gulung di langit yang luas. Sepasang merpati tak bisa terbang bebas.

Sepulang sekolah, aku mendatangi rumah Riana. "Kita masih bisa berteman, kan."

"Untuk apa?" ucap Riana.

"Memperbaiki kesalah pahaman kita."

"Aku mau fokus belajar, kamu sudah lupa? Bukankah, kamu sudah mengatakan itu." Berpaling.

"Bukan begitu maksudku, Riana."

Riana meninggalkanku begitu saja di depan halaman rumahnya.

Hari-hari berganti. Hati masih saja terselimuti perasaan, entah. Pada semesta yang lain, otak tertinggi justru terbangun menampakkan hasrat dan emosi tersembunyi.

Hari pertama ujian nasional, aku berangkat lebih awal. Tapi tidak satu angkutan bersama riana seperti biasa, sudah beberapa hari aku tidak pernah melihatnya.

"Pagi-pagi sudah datang, rajin betul kamu sekarang," kata Pak Satpam sembari membuka pintu gerbang.

"Jangan bilang-bilang, ya, Pak. Aku baru saja mendapatkan wangsit," ucapku lirih sambil melangkah.

"Baguslah kalau begitu. Apa isi wangsitnya?" tanya Pak Satpam.

"Aku akan menjadi murid yang terbaik di sekolah ini!" seruku seraya meninggalkan Pak Satpam di depan gerbang sekolahan.

Ruang kelas masih kosong. Aku segera mencari meja sesuai nomor urut. Bagas dan Deni berbeda ruangan. Sedangkan, Toni satu ruangan denganku. Aku yakin mereka berdua pasti bisa menyelesaikannya dengan baik.

Pengumuman Ujian

Menyalakan radio; 'Apa kabar Indonesia tempo doeloe. Apa kabar Indonesia kini. Dan apa kabar Indonesia yang akan datang. Apakah cintamu akan tetap sama kepada kami. Ataukah sebaliknya, kaulah yang lebih pantas mempertanyakan itu kepada kami. Apakah perlu kami menjawabnya dengan kata-kata. Apakah perlu kami memaklumatkannya di telivisi dan radio-radio seluruh Indonesia. Apakah itu yang kau butuhkan, wahai Indonesiaku. Mana yang akan kau pilih, suara kami atau perbuatan kami. Mana yang akan kau pilih, tenaga kami atau kepintaran kami. Ataukah kedua-duanya. Maka, pinjamkan lah kami kekuatan agar kami bisa tetap menjaga kewarasan.'

Sepuluh hari setelah berakhirnya ujian nasional. Sebagian siswa-siswi masih merasa khawatir. Sebab di tahun ini, berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.

'Kebijakan untuk melaksanakan ujian nasional bagi SMA, MA dan SMK pada tahun ajaran 2006-2007 se-Indonesia hanya diadakan satu sekali.' Mendengar Radio.

Begitulah yang sering aku dengar dari radio dan dari televisi, dan batas kelulusan ditentukan dengan hasil nilai rata-rata 4,50 untuk setiap mata pelajaran. Sebelum ujian nasional hingga sekarang, kekhawatiran tersebut masih memberi efek positif. Tempat-tempat ibadah selalu ramai dikunjungi remaja. Entah, merindukan Tuhan atau ada tujuan musiman. Siaran radio yang biasanya hanya menjadi jalan alternatif bagi para remaja menitip rindu, juga salam kepada orang yang mereka cintai. Sekarang menjadi sarana untuk memanjatkan doa. Bait demi bait berterbangan di setiap gelombang frekuensi yang aku putar.

Beberapa waktu lalu aku juga rutin mengirimkan salam, narasi-narasi, juga request lagu. Namun, itu dulu, waktu masih dekat dengan riana. Sekarang, hampir dua bulan, aku sudah tidak pernah lagi kirim-kirim apapun.

Pagi ini, setelah mendengarkan kawan-kawan saling balas salam, juga balas-balasan doa di radio. Jiwaku meronta ingin segera menulis sesuatu dan mengirimkannya ke radio ternama di kotaku.

Selepas isya, kembali aku menyalakan radio favoritku; 'Kita tidak bisa menjadi anak-anak abadi yang selalu bermain riang gembira tanpa tahu apa tujuannya. Tidak ada jalan kembali ke taman kanak-kanak. Kita sudah melewati tahun-tahun penuh lika-liku, terjal, kabut rintangan dan kenangan. Dengan bekal harapan serta cita-cita kita berangkat. Tugas kita adalah memerangi kebodohan yang bersemayam di dalam diri kita. Bukan untuk mengangkat piala atau sekedar mendapatkan selembar kertas yang dilaminasi semata. Kita sama tahu, berhasil atau tidak bukan urusan kita. Sebaik-baiknya urusan kembali kepadaNya.' Narasiku terbaca dalam siaran radio.

Malam berlalu, matahari dari timur meninggi mengirimkan sinar ke dalam kamarku. Tampak bayangan dari buku yang bertumpuk di atas meja terkena sinar mentari, juga bayangan dia yang selalu muncul saat aku bangun, sama-sama tampak di dalam kamarku.

Masih di hari tenang, aku hanya ingin menghabiskan waktuku sendiri di dalam kamar.

"Raka di mana, Ibu?"

"Bagaimana kabarnya, Raka. Habis ujian seperti hilang ditelan bumi saja."

"Iya, nih."

Suara Toni, Bagas dan Deni dari luar kamarku.

"Ada itu, di dalam kamarnya, sudah berhari-hari nggak mau keluar, samperin sana, ajak keluar," suruh Ibu pada mereka.

"Raka." Mengetuk pintu.

Waktunya kurang tepat, malas banget rasanya bertemu dengan mereka bertiga. Tapi, percuma saja kalau aku kunci kamar dan pura-pura tidur. Mereka tidak akan pergi begitu saja.

"Ada apa?" tanyaku dalam kamar.

"Oalaah ... sudah seperti kera sakti saja kamu, Raka. Terkurung dalam kamar," celoteh Toni.

"Goa!" Deni meluruskan.

"Iya, itu maksudnya," respon Toni.

Aku membuka pintu kamar.

"Uuu ... Aaa ... Uuu ... Aaa ... ." Toni bergaya.

Bagas menyela. "Sudah mirip."

Terpaksa aku tersenyum tipis. Semenjak riana tak mau lagi bertemu denganku, makin lama makin hilang hasrat tersenyum juga tertawa. Entahlah.

"Ada apa?" Aku mengulangi bertanya.

"Jangan begitu dong ... kamu sendiri, kan pernah bilang." Toni berpikir. "Apapun dan bagaimanapun, status serta kondisi kita kelak di kemudian hari. Kita harus tetap semangat menjalani dan mencintai hidup ini," tegur Toni sembari slengean.

"Cerdas ..." timpal Bagas.

"Pintar kamu." Deni mengacungkan jempol pada Toni.

"Tumben, otak kamu ada isinya," celetuk Bagas menjatuhkan Toni.

Walaupun hanya sekedar candaan, bagiku perkataannya Toni, bak petir di siang hari yang memecah langit. Aku menghela nafas. "Ayo, kita ke basecamp saja, ngopi di sana." Berjalan keluar.

"Nah, gitu dong," sahut Toni.

Basecamp kami tidak jauh dari rumahku. Terletak di tengah-tengah antara kebun dan persawahan kecil. Di sebelah barat tidak jauh dari basecamp ada sungai yang mengalir. Tepat di depan basecamp terdapat pohon besar yang rindang.

Di sinilah, tempat favorit kami.

"Semalam kita mendengar narasi dari kamu, Raka. Makanya kita ke sini," ujar Deni.

Bagas merangkul. "Iya, sudah dua minggu lebih nggak tahu kabar dari kamu. Sebenarnya dari kemarin-kemarin kita mau ke sini. Tapi nggak enak, barangkali kamu lagi ingin sendiri dulu. Begitu tahu, kamu mau kirim narasi lagi di radio, kita jadi ingin kumpul lagi, Raka."

"Kita harus terus bersama, Guru. Melanjutkan tugas mencari kitab suci ke barat." Toni meloncat-loncat. "Bagaimana menurutmu, adik pertama?" Menatap Bagas.

"Dasar ... ." Bagas menendang Toni.

"Guru ... tolongin aku." Lari berputar.

Perlahan gurat-guratan di pipiku mulai kembali bersama canda dan tawanya mereka. Duduk-duduk di bawah pohon yang rindang, berbicara tentang pribadi masing-masing, juga tentang mimpi dan harapan kami kelak di kemudian hari.

Hari berganti, di depan sekolahan sebagian murid berkumpul, sebagian lainnya berceceran di aula, juga di ruang kelas, juga di tempat ibadah yang berada di sekolahan.

Pengumuman kelulusan ujian nasional lebih maju dari jadwal semula. Pengumuman dilakukan secara serentak di seluruh sekolah se-Indonesia. Kami semua menunggu penuh cemas. Satu per satu orang tua murid datang.

"Toni dari tadi, orang tua kamu belum kelihatan?" tanya Bagas.

"Katanya, ada urusan pekerjaan. Jadi, mungkin, orang tuaku datangnya agak siangan," jawab Toni. "Kamu, sendiri kenapa, Deni? Dari tadi, aku perhatikan, kamu mondar-mandir terus, kayak orang kebingungan, bukankah tadi ibumu sudah masuk." tanya Toni pada Deni.

"Aku, kok, jadi takut, ya." Deni mengusap muka.

"Tenang saja, jangan khawatir, kita semua pasti lulus," ucapku percaya diri.

"Amin ... ," sahut mereka.

Satu jam lebih tiga menit. Tapi, belum ada tanda-tanda orang tua murid yang keluar dari dalam sekolahan.

"Lama banget, lagi pada ngapain sih, mereka?!" celetuk Toni.

Bagas menyahuti. "Lagi makan-makan mungkin."

"Ayo, kita samperin saja, masuk ke dalam," kata Toni.

"Di dalam kamu mau ngapain? Orang tua kamu juga nggak ada di dalam, belum datang," ujar Bagas.

"Oh, iya." Toni menyeringai.

Selang beberapa menit kemudian, satu-dua orang tua murid mulai keluar dari dalam sekolahan, berurutan. Mencari, juga memanggil nama anaknya yang sedari tadi menunggu di depan sekolahan.

Langit-langit sekolahan perlahan menjadi riuh. Ada yang mengekspresikan keberhasilannya dengan teriak, juga meloncat-loncat kegirangan, juga sujud syukur dan saling berpelukan, juga tertawa riang gembira.

"Bagas, Deni, itu orang tua kalian keluar," ucap Toni. "Buruan samperin, tanya, bagaimana?" lanjutnya.

"Sabar, nanti juga sampai ke sini," balas Bagas pada Toni.

"Ibu ... gimana Bagas sama Deni?" Toni lari menjemput orang tuanya Bagas dan Deni.

"Dasar ... ." Bagas mendengus.

"Anak itu, kalau kepalanya belum di benturkan, nggak bakal bisa diam," timpal Deni.

"Sudahlah, biarin saja," ucapku menenangkan.

"Deni ... , Bagas ... . KALIAN LULUS!" teriak Toni gembira.

"Alhamdulillah ... ." Deni mengusap muka.

Bagas menghela nafas. "Hari ini, aku maafin kamu."

Kami semua tersenyum juga tertawa. Saling berjabat tangan.

"Toni, kamu sendiri bagaimana?" tanya Deni.

"Santai saja, gampang ... " jawabnya Toni. "Kita tunggu saja, ibunya Raka keluar. Kalau Raka lulus, aku juga pasti lulus." Toni menyeringai.

Bagas dan Deni tertawa, tahu maksudnya.

Lima belas menit berlalu.

"Itu, Ibunya, Raka keluar!" Toni kembali lari menjemput.

Tiba-tiba ekspresi Toni murung, suasana menjadi kaku. Ibuku berjalan menundukan kepala.

Bagas memegang pundakku. "Sabar dulu, Raka."

Ibu menghampiriku, mengulurkan tangan. "Ayo, kita pulang dulu, Raka."

Aku diam, menatap Ibu.

"Nggak apa-apa, masih banyak waktu untuk memperbaikinya," ucap Ibu.

"Tapi, Ibu ... aku sudah menjawab semua soal dengan benar," sahutku.

"Ibu tahu, kok," tuturnya. "Ayo ..." pinta Ibu.

Bagas dan Deni terus menenangkan Toni yang sedang kacau. Toni sadar jawaban soalnya tidak jauh berbeda dengan punyaku.

"Maaf, ya, Toni?" Aku berjalan setengah putus asa, meninggalkan mereka.

Ibu berjalan tanpa ekspresi.

Di tengah perjalanan menuju rumah.

"Aku minta maaf ya, Ibu." Menatap.

Ibu membalas senyum.

"Selama ini, aku sudah belajar dengan sungguh-sungguh. Tapi ... ." Aku menunduk. "Sekali lagi, aku minta maaf. Sudah mengecewakan Ibu," lanjutku.

"Ibu bangga sama kamu," tuturnya.

Lama, aku diam menunduk, menunggu kalimat Ibu berikutnya.

"Ibu yang seharusnya minta maaf ke kamu." Suaranya terhenti. "Kiri, pirr ... ," pekik Ibu pada supir angkutan umum.

Kami sudah sampai tujuan.

Ragaku sudah sampai rumah. Tapi, pikiranku masih tertinggal di sekolahan. Toni pastinya sangat terpukul. Apa yang harus aku katakan kepadanya nanti. Aku bergegas masuk ke dalam kamar dan menjatuhkan diri dalam kekalutan. Apa yang harus aku lakukan. Cita, cinta dan harapanku bagaimana.

"Raka ... ," Ibu memanggil. "Keluarlah dulu sebentar, Ibu mau bicara!"

Aku menghampiri Ibu dengan putus asa.

"Ibu minta maaf, yah. Ibu nggak bisa membiayai kamu masuk ke perguruan tinggi."

"Mak-sud Ibu?" Menatap.

Ibu menghela nafas. "Penghasilan bapak kamu, sudah nggak bisa lagi untuk membiayai kamu."

Aku menebak-nebak. "Aku, kan nggak lulus. Maksud Ibu, perguruan tinggi gimana?"

"Siapa yang bilang kamu tidak lulus? Ibu, kan hanya mengajak kamu pulang," tegasnya.

"Jadi ... ." Aku langsung memeluk Ibu. "Aku beneran lulus, kan Ibu?"

Ibu menganggukan kepala. "Kamu bukan hanya lulus saja. Tapi, kamu juga mendapatkan nilai terbaik." Ibu tersenyum.

Ternyata benar, apa kata pepatah. Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Hampir saja aku frustasi.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!