“Chen Huang, apa kau percaya dengan pertanda?”
Anak yang dipanggil Chen Huang menoleh dengan malas. “Biar kutebak, kau ingin membuatku berpikir keras lagi.”
Wu Rui, anak dengan kepala gundul licin tak berkutu itu tersenyum lebar. “Aku hanya bertanya.”
Chen Huang mengendikkan bahu. Dia kembali menyibukkan diri dengan mayat di hadapannya, mencari harta benda apa pun yang bisa ditemukan. Darah di tubuh mayat-mayat itu sudah mengering, tapi perut Chen Huang cukup mual untuk mencium bau busuknya.
“Itu hanya perkataan orang-orang tua penghuni Rumah Hantu, jangan kauanggap serius,” ujar Chen Huang ketika dirinya menemukan sekeping koin emas bergambar serigala. Milik Suku Serigala, ya?. Chen Huang memasukkan koin itu ke dalam kantong kecilnya. “Tapi ....”
Wu Rui menghentikan kegiatannya. Dia sudah mengorek empat mayat dan hampir mengumpat karena hanya menemukan pisau berkarat yang sudah tidak utuh. Wajar saja, desersi tak punya banyak harta.
“Tapi ...?”
Chen Huang sengaja menggantung ucapannya. Dia menatap langit kelabu pagi hari yang dihias awan-awan besar. “Semoga hanya perasaanku, tapi beberapa hari terakhir ini malam-malam yang kulewatkan ... sedikit lebih dingin dari biasanya.”
Wu Rui kehilangan senyumnya. Dia menundukkan muka, memandangi mayat-mayat itu yang cukup ngeri untuk dipandang, padahal biasanya ia bisa menatap mereka sambil melontarkan ejekan pedas. “Bukan hanya kau yang merasakan.”
...----------------...
Tengah malam, ketika bulan purnama menggantung di kanvas hitam bertabur bintang, terdengar suara lolongan serigala dari kejauhan.
Namun, bukan karena itu Chen Huang terbangun dari tidurnya. Dikenakannya mantel hitam panjang berkerah bulu kebanggaan Suku Gagak, dia membuka knop pintu dan melihat keluar.
Saat itu, ucapan Wu Rui pagi tadi kembali terngiang.
'... apa kau percaya dengan pertanda?'
“Wu Rui ... maaf saja, tapi sepertinya kita harus percaya itu,” gumam Chen Huang ketika dia melihat badai di kejauhan. Datang dari utara, segelap dan sepekat awan hitam yang akan membawa malapetaka besar.
Tergopoh-gopoh Chen Huang membanting ember besi ke batu runcing untuk membangunkan ayah dan ibunya di kamar belakang. Karena hal ini pula, anjing putih dan burung merpati yang sangkarnya digantung pada cabang pohon rendah, terbangun dengan tubuh terhenyak.
“Aku tak mau mengakui ini, tapi badai benar-benar datang!” tutur Chen Huang sebelum ayah dan ibunya sempat bertanya. “Aku akan ke menara.”
Tanpa menunggu jawaban, Chen Huang naik ke menara kayu yang di atasnya terdapat lonceng perak seberat ratusan kati. Begitu sampai di bawah lonceng, Chen Huang mengambil kayu besar dan memukulnya kuat-kuat.
Deng ... deng ....
“Badai dataaaang ...!” Yang berteriak ini ayah Chen Huang. Dia sudah berlari-lari keliling desa.
Suara lonceng itu terus berdentang seolah dapat menggetarkan tanah seluruh bagian desa. Semua orang bangun dari mimpi-mimpi mereka, menatap ke utara, di mana badai itu kian mendekat.
“Kegelapan milik kita!”
Seorang lelaki tua, mengenakan mantel hitam berkerah bulu, menaiki kuda hitamnya, ia berlari ke menara tempat Chen Huang masih terus memukul lonceng.
“Pemulung, benarkah badai itu datang?” tanya lelaki tua itu.
Chen Huang sama sekali tak memandang ke bawah, dia mengamati gunung besar di sebelah utara desa dan kakinya menggigil. “Tanduk ... Darah ....” gumamnya dengan gugup.
Mata si lelaki tua melotot. “Bangun kalian semua! Bangun! Bersiap untuk perang habis-habisan!”
Tak menunggu waktu lama, para pemuda dan orang tua yang hidup sebagai prajurit menaiki kuda masing-masing lalu mengikut si orang tua tersebut. Orang tua itu bukan lain adalah pemimpin perang Suku Gagak, namanya memang tak begitu penting di desa, tapi di luar tahunya semua orang, berkat pedang orang itu Suku Gagak masih tetap aman. Memang seorang yang rendah hati.
Dan Chen Huang adalah salah satu orang yang tahu akan hal itu.
“Paman Chi, kita harus pergi!”
Chi Yan, itulah nama orang tua tersebut. Dia menghentikan kudanya dan menoleh. “Kalau kita semua pergi, lalu siapa yang akan menjadi penghalangnya?” Dalam suara ini mengandung getaran akan rasa takut, tapi Chi Yan mencoba mengenyahkannya.
“Pedang kami!” sahut orang muda yang matanya menyinarkan keberanian tak terhingga. Hanya melihat mata itu, orang akan tahu kalau tak ada setitik pun rasa takut di sana. “Tiga ratus orang Prajurit Gagak, pedang berkilau yang dingin membekukan, kita akan tunjukan pada mereka siapa raja malamnya di sini.”
“Jangan bodoh!” Chen Huang mengumpat dari atas menara. “Tanduk Darah, iblis-iblis itu, mereka ada, mereka nyata! Lawan kalian bukan manusia.”
“Itu tugas kami. Pemulung, aku titipkan adik dan nenekku padamu, bawa pergi dari desa ini!”
Setelah itu, Chi Yan berteriak lantang. "Bentangkan sayapmu!" dan tiga ratus prajurit Suku Gagak menyerbu ke utara.
Sedangkan dari utara, makhluk-makhluk bertanduk merah dengan taring setajam pedang, tertawa-tawa lantas menerjang. Jumlah makhluk bertanduk itu ada seratus, tapi Chen Huang hampir yakin bahwa jumlah itu sudah cukup banyak untuk membantai tiga ratus prajurit Suku Gagak.
“Dewa bersama kita,” kata salah seorang lelaki tua ketika dengan tergesa-gesa mereka meninggalkan desa. Orang ini adalah kepala desa.
Sial! Dia menoleh ke belakang, tempat desanya berada. Dari kejauhan, tempat itu tampak suram. Akan tetapi sesuram apa pun, rumahnya ada di sana.
“Sepertinya dewa tidak berpihak pada kalian.”
Semua orang berhenti berlari seketika.
Suara itu asalnya dari depan, lebih tepatnya dari balik pohon raksasa yang disebut orang desa sebagai Pohon Induk. Di sana, ada sosok pemuda dengan jubah merah gelap, berjalan tenang keluar dari balik kegelapan. Mata merah itu sudah tampak sebelum seluruh tubuhnya tersiram cahaya bulan. Tak lama kemudian, seorang wanita cantik menyusul di belakangnya.
Persamaan mereka hanya satu, ada tanduk di dahi mereka. Dahi kanan dan kiri.
“Maaf menganggu, tapi kalian tak bisa pergi lebih jauh dari ini.” Si pemuda tersenyum ramah.
Namun di mata orang-orang Suku Gagak, senyum itu hanya berupa seringai kejam yang mengandung ancaman mengerikan.
Kepala desa mengeluarkan tangan dari balik mantel dan menggeram. Pola-pola rumit tercipta di sepanjang lengan, pola hitam yang menghasilkan cahaya biru gelap tak lama sesudahnya.
“Jangan remehkan kami.”
Sesaat setelah itu, cahaya biru gelap melingkupi seluruh tubuh kepala desa, lalu ribuan bintang-bintang menyerang dua makhluk bertanduk itu tanpa ampun. Serangan mematikan yang dulu pernah menembus dada tebal kaum raksasa, setidaknya itulah yang pernah dikatakan oleh si dongeng.
“Mundur, menjauh!” ayah Chen Huang berseru-seru.
Sekitar seratus orang anggota suku, berlarian meninggalkan kepala desa yang memang berniat mengulur waktu.
Namun, hanya lima langkah mereka dapat pergi sebelum terdengar teriakan menyayat hati dan kepala pemimpin desa itu terlempar, menabrak sebatang pohon lalu mengeluarkan bunyi berdebuk ketika menghantam tanah dengan keras.
“Aaaaarrrrggghhh!!!” Chen Huang meraung karena kepala itu jatuh tepat di depan kakinya.
Tiga penatua lain maju menyerang makhluk bertanduk setelah mereka membuat seluruh lengan penuh pola seperti sang kepala desa. Namun, hanya terlihat cahaya-cahaya biru selama beberapa saat sebelum tiga orang itu bernasib sama.
“Habisi,” perintah si tanduk jantan kepada si tanduk betina.
Tanpa mengucapkan sepatah kata, wanita cantik bertanduk itu menebas seorang nenek dengan salah satu tangannya. Chen Huang terkejut ketika mengenal nenek itu tak lain adalah nenek prajurit muda yang tadi berangkat melawan badai.
“Chen Huang, lari,” teriak ibu Chen Huang sambil menarik tangannya.
Si wanita bertanduk mengejar. Beberapa lelaki mencoba menghadang demi melindungi istri dan anak-anak mereka, tapi tak membawa hasil apa pun.
“Aaarrggghh!”
Ibu Chen Huang tergeletak dengan dada terbelah. Melihat itu, kepala Chen Huang berdenyut dan air matanya mulai menetes.
“Jangan berhenti!” Wu Rui tiba-tiba sudah berdiri di sampingnya dan menariknya dengan paksa. “Kita harus hidup ... harus.”
Namun secepat itu pula, dada Wu Rui tertembus sesuatu berwarna merah dan bersisik. Chen Huang melihat tak berkedip. Ketika tubuh sahabatnya tersungkur tanpa nyawa, dia hanya mampu berlutut. Entah sejak kapan, seluruh penghuni desa sudah menjadi mayat. Hanya dia yang tersisa.
“Anak malang ....” Ucapan ini bernada simpati, tapi Chen Huang ragu apa itu memang sungguh-sungguh. “Biar kuakhiri penderitaanmu.”
Si wanita dengan darah padat yang membentuk cakar besar dari punggungnya, berjalan perlahan. Matanya yang merah memandang tajam. Namun ketika cakar yang terbuat dari darah padat itu menebas, bertepatan dengan itu, semua hal yang Chen Huang lihat hanya kegelapan.
Dia tak sadarkan diri, bersamaan dengan cakar darah itu mengenai tubuhnya.
...----------------...
Mohon Diperhatikan!
Informasi-informasi dalam novel ini tidak akan saya beberkan dalam sekali waktu. Jadi kedepannya, kemungkinan tidak ada satu episode full yang isinya cuma informasi.
Untuk memahaminya, informasi-informasi tentang kekuatan, wilayah, atau hal lainnya akan dijelaskan seiring berjalannya waktu. Jadi bertahap ya, bro.
Kalau seandainya nanti kurang jelas, bisa ditanyakan di kolom komentar atau mampir ke ig saya @arisena_p
“Aku melakukan ini berkat saranmu,” Qin Sheng berkata, “Semoga aku tak menyesalinya.”
Di sebelahnya, berjalan sosok tua yang tampak renta, punggungnya bongkok dan tangannya gemetaran. Dia berjalan dibantu tongkatnya, menyusuri jalan setapak yang mendaki ke arah bukit kecil, tempat tuannya menuju setiap kali ada suatu masalah. Orang tua itu bernama Ming Zhe.
Dengan suaranya yang bijak, orang itu menjawab. “Seharusnya tidak.”
“Seharusnya?” Qin Sheng mengulang dengan pandangan bingung.
Ming Zhe tersenyum. Hanya tersenyum, tak mengatakan apa pun.
“Ini sudah tiga hari kalau tidak salah, berarti pagi ini hari keempat.” Qin Sheng kembali berkata. Mereka sudah sampai di atas bukit kecil yang ditumbuhi banyak pepohonan, udara di sini sejuk sampai membuat Ming Zhe menggigil karena tubuh rentanya. “Nampaknya dia cukup akrab dengan Minzhu.”
Ming Zhe mengangguk. “Anak itu butuh teman bermain. Karena itulah saya menyarankan anda untuk mengadopsinya.”
Qin Sheng mengepalkan tangan, dia tampak tak senang. “Gagak tetaplah gagak, pembawa sial.”
Ming Zhe memandangi tuannya sambil tersenyum tipis. Sikapnya bukan seperti penasihat kepada tuannya, melainkan seperti ayah kepada anaknya yang nakal. Dia berkata bijak. “Tapi dia manusia.”
Qin Sheng tak menjawab.
...----------------...
Umur anak itu sekitar empat belas tahun, dia memiliki rambut hitam pekat pendek yang belum mampu dikuncir. Matanya pun hitam, sehitam dan segelap langit malam. Wajahnya amat tampan, sekilas pandang malah mirip perempuan. Namun, bibir dan tarikan dagunya membayangkan ketegasan dan sedikit keangkuhan.
Dia membawa makanan yang masih mengepul pada mangkuk. Didatanginya pondok kayu sederhana yang berada di sebelah taman lalu mengetuk pintunya. “Chen Huang, sarapan.”
Pintu dibuka dengan mendadak dan menampakkan sosok bocah seumuran dengan muka kusut. Rambutnya yang panjang dikuncir dengan tali kasar, dagunya membayangkan kekerasan. Yang paling mencolok adalah mata dan alisnya, sekilas pandang itu hampir mirip tatapan burung elang. “Kau hanya membawa masalah kepadaku.”
“Hah?” Qin Minzhu menelengkan kepalanya, heran. “Aku bawa sarapan.”
“Kau itu Tuan Mudanya di sini, dan hampir semua orang di kediamanmu menganggap aku budakmu,” kata Chen Huang ketus sambil merebut nampan berisi makanannya. “Bahkan para pekerja di dapur pun, memandangku dengan jijik.”
Sejenak, Qin Minzhu tercengang. Sedetik kemudian, senyumnya terbit. “Yah ... itu pekerja dapur, bukan aku.”
Chen Huang memandangnya dengan curiga. Memang dia sudah tiga hari berada di sini, desa tempat Suku Serigala berada. Namun, watak serigala mereka yang angkuh benar-benar membuatnya jengkel. Pernah pada suatu malam, dia berpikir lebih biak dimakan macan tutul daripada harus diasuh di antara kawanan serigala.
“Aku masih heran, kenapa kalian mau menyelamatkan Gagak?” tanya Chen Huang yang belum beranjak dari tempatnya. “Terakhir kali, seingatku kita malah berperang.”
Itu benar. Sepanjang pengetahuan Chen Huang, hal-hal tentang Suku Serigala hanya terkait perselisihan dan permusuhan. Walau itu baru terjadi hampir dua puluh tahun lalu. Namun kini, Suku Serigala menyelamatkan seorang Suku Gagak yang terlunta-lunta di hutan liar. Itu benar-benar sesuatu.
“Aku yang minta dan penasihat ayah menyetujui,” jawab Qin Mingzhu tanpa beban, “Waktu itu serigala kami mencium keberadaan seseorang.”
“Kuingat mereka ingin menerkamku.”
“Aku berhasil menghentikan mereka dan membawamu pulang. Kau tahu mereka hendak menerkammu? Kupikir waktu itu kau sudah pingsan.”
“Memang benar, tepat setelah rombongan serigalamu datang.”
“Maaf soal itu.” Qin Mingzhu tertawa hambar. “Makanlah cepat, setelah itu kita pergi main.”
Chen Huang membawa makannya ke dalam, menghabiskannya tanpa banyak suara. Setelah selesai dan keluar dari pondoknya, dia melihat Tuan Muda itu masih di sana, duduk di batu sebelah pondok.
“Nah, ayo!”
Qin Mingzhu mengambil nampan di tangan Chen Huang lalu melemparkannya kepada seorang pelayan yang kebetulan lewat.
“Tuan Muda, anda mau pergi ke mana?” teriak pelayan itu.
“Kebun apel!” Qin Mingzhu tak menghiraukan pelayan itu karena dia sudah menarik tangan Chen Huang berlarian di lorong rumahnya yang besar. Tiba di halaman, dia bertemu ayah dan penasihatnya, tapi dia hanya lewat di sebelah dua orang tua itu.
“Nah, apa yang saya bilang. Saya belum pernah melihat Tuan Muda seceria itu,” ujar Ming Zhe.
Qin Sheng hanya memandang itu, tanpa ekspresi.
Setibanya di hutan apel yang dikatakan Qin Mingzhu, dia membawa Chen Huang ke bawah salah satu pohon apel. Di sana terdapat batu besar yang bisa digunakan sebagai alas duduk, tempat itulah mereka menuju.
“Kudengar, para Gagak ahli dalam sihir gelap, benarkah?” Qin Mingzhu langsung mengutarakan rasa penasarannya. “Coba tunjukkan padaku.”
Chen Huang menghela napasnya lelah. “Hari pertama aku di sini, kau meminta tiga kali. Hari berikutnya dua kali. Berikutnya lagi lima kali. Sekarang mau berapa kali lagi? Sudah kubilang, aku belum mampu menguasai sihir gelap apa pun.”
“Kau bohong!”
“Buktikan kalau aku bohong.”
Tiba-tiba, Qin Mingzhu menarik lengan kiri Chen Huang sampai ke atas. “Nah, simbol ini tandanya.”
Di lengan atas Chen Huang, terdapat simbol segi empat yang di dalamnya ada lingkaran hitam. Lingkaran itu diisi dengan warna hitam pekat.
Chen Huang menutupkan kembali lengannya. “Anak-anak di atas umur dua belas sudah diberikan tanda itu.”
“Apa maksudnya? Bukankah itu simbol bagi para Gagak yang sudah bisa mengeluarkan sihir?”
Chen Huang menggeleng. “Itu hanya melambangkan kalau dia sudah dewasa. Bukankah aku sudah jelaskan padamu berkali-kali?”
Qin Mingzhu tampak belum puas. “Kau menyembunyikan sesuatu.”
“Terserah.”
Qin Mingzhu yang tidak puas, pergi meninggalkan Chen Huang di sana seorang diri. Dia memilih untuk memanjat salah satu pohon apel dan memakan buah-buah itu di atas pohonnya langsung.
Ditinggal sendirian, Chen Huang teringat akan kejadian beberapa hari lalu, ketika dia belum ditemukan oleh Suku Serigala.
Teringat itu, tangannya terkepal dan giginya bergemelutuk. Urat-urat nadi di dahi tanpa dapat dicegah menegang dan sampai dapat dilihat dari luar. Kemarahnnya bangkit mendadak.
'Iblis-iblis itu ... suatu hari nanti aku harus membunuhnya!'
...----------------...
Di ruangannya, Qin Sheng sedang bicara dengan Ming Zhe mengenai sebuah dongeng yang beberapa tahun ini menghantui tujuh suku di Wilayah Pedalaman.
“Benarkah orang-orang yang disebut kultivator itu ada?” Qin Sheng memandang ke luar, mengamati jauh ke arah selatan. “Ada yang bilang, puncak kekuatan mereka dapat hidup abadi?”
Ming Zhe terkekeh. “Itu berlebihan,” katanya, “saya pernah menemukan buku tentang mereka yang sekarang entah kusimpan di mana. Paling lama mereka hanya dapat hidup selama tiga ratus tahun, kalau beruntung mungkin tiga ratus lima puluh atau empat ratus.”
“Dan katanya mereka bisa jadi dewa?”
“Di mana harga diri dewa-dewa kita kalau posisi mereka dapat direbut oleh manusia? Itu konyol.”
“Aku lebih percaya omonganmu, itu lebih masuk akal.” Qin Sheng mendudukkan dirinya di sebuah kursi rotan yang sudah cukup lama berada di ruangan itu. “Wilayah Tengah sangat luas.”
“Di sana ada pemimpinnya, mereka menyebutnya kaisar.”
“Itu tak lebih hanya pemimpin suatu wilayah, kan?”
Ming Zhe mengangguk. “Tapi wilayah yang amat besar.”
Qin Sheng merenung, kembali melihat ke arah selatan. “Andai saja para kultivator itu menyerbu ke sini, kira-kira apakah kita mampu bertahan?”
Kali ini, bahkan Ming Zhe pun merasakan keraguan. “Saya tak berani menjawab.”
“Kenapa para kultivator itu, dapat mengeluarkan pukulan-pukulan hebat seperti kita? Bukankah mereka hanya manusia biasa tanpa Simbol Magis?”
“Qi, mereka mengumpulkan Qi, itu yang pernah saya baca.”
“Qi?” Qin Sheng memandang Ming Zhe dengan penasaran. “Maksudmu, aliran yang mengalir di setiap makhkuk hidup?”
Ming Zhe mengangguk.
“Mereka mengumpulkannya dan menggunakannya dalam pertarungan? Tak masuk akal.”
“Tapi kalau mereka benar-benar ada, begitulah kenyataannya,” jawab Ming Zhe tenang. Dia mengusap-ngusap hidung sebelum melanjutkan. “Tapi, itu tak begitu penting sekarang. Yang mengkhawatirkan adalah, kehancuran Suku Gagak. Saya sudah mengonfirmasi bahwa tak ada satu pun suku di Wilayah Pedalaman yang menyerbu Suku Gagak.”
“Bagaimana kau bisa tahu?” Qin Sheng tampak benar-benar terkejut.
Ming Zhe menjawab. “Saya mengirim selusin pasukan Suku Serigala pengawal saya. Tak ada satu pun dari mereka menemukan tanda-tanda pertempuran. Kalau itu memang bisa disebut pertempuran, kenapa hanya ada mayat Suku Gagak?”
“Kau serius? Tak ada tanda-tanda pedang bercabang dari Suku Naga?”
Ming Zhe menggeleng. “Gagak memang sering berselisih dengan Naga. Tapi mereka sudah berdamai beberapa bulan ini. Bagaimanapun, Suku Gagak amat kecil, hanya berjumlah ratusan orang, mereka sudah mengambil tindakan bijak dengan perdamaian itu.”
“Suku Gagak selalu dikucilkan,” gumam Qin Sheng. Kemudian lelaki itu menghampiri rak buku yang ada di sana, mengambil salah satu gulungan. “Tapi, ketika Wilayah Pedalaman masih dipimpin satu raja pada Zaman Permulaan, ada salah satu orang bijak berkata ....” Qin Sheng lalu membaca satu baris tulisan di gulungan tersebut. “Sayap-sayap gagak membentang melindungi umat manusia. Apa maksudnya?”
“Hanya ada satu penjelasan yang masuk akal,” jawab Ming Zhe dengan pandangan serius.
“Jelaskan.”
“Apa musuh Wilayah Pedalaman pada Zaman Permulaan?”
Wajah Qin Sheng pucat seketika. “Tanduk Darah?”
“Kita semua sudah tahu.”
...----------------...
Untuk hal-hal terkait cerita, bisa mampir ke instagram @arisena_p
"Bawa dua puluh Pasukan Serigala, dan lebih banyak lagi serigala pemburu, aku yakin semua akan baik-baik saja."
Qin Sheng mendengar kekeras kepalaan anaknya dengan tatapan malas. "Kupikir kau makin kepala batu setelah kenal dengannya." Kata orang, gagak adalah burung pembawa kesialan, dan Qin Sheng sedikit banyak memercayai hal itu. "Tidak bisa, dia baru seminggu ada di sini."
"Lalu kenapa?" Qin Mingzhu tak mau kalah. "Bukankah ayah tak memedulikannya? Apa ruginya kalau dia mendapat sial di jalan?"
"Kita yang rugi. Kaupikir pasukan yang mengawalmu itu tak ambil tindakan ketika dia berada dalam masalah? Kalau pun iya, kau pasti bakal memaksanya, kan?"
Qin Mingzhu menggertakkan gigi. "Apa masalahnya dengan gagak? Chen Huang hanya kebetulan lahir di Suku Gagak."
"Pembawa sial. Aku pernah berpikir kita akan bernasib sama setelah membawa Gagak itu datang ke sini," jawab Qin Sheng tegas, "banyak buktinya, kalau ada rumah didatangi seekor gagak, maka akan ada yang mati di sana."
"Kita Serigala dan takut dengan yang semacam itu?" Qin Mingzhu tersenyum miring karena berhasil mengenai keangkuhan ayahnya. "Serigala tak kenal takut."
Pundak Qin Sheng bergetar, dia bisa saja memukul hancur mejanya saat ini, tapi tak ia lakukan.
Di sebelahnya, penasihat Ming Zhe hanya memandang sambil tersenyum tipis. Seolah perdebatan mereka tak lebih dari sekadar perbantahan anak-anak.
"Gagak pun punya keluarga," berkata Ming Zhe setelah Qin Sheng tak berkata apa pun selain geraman jengkel. "Aku mengikuti anda, bersumpah setia, bukan karena kekejaman anda."
"Lakukan, terserah apa maumu!" Qin Sheng membentak. "Tapi aku bersumpah tak akan turun tangan kalau kau mendapat kesulitan di luar sana. Biar kau diculik siluman!"
Senyum Qin Mingzhu terbit. "Terima kasih, Ayah."
"Simpan rasa terima kasihmu itu!" sergah ayahnya. "Sekarang pergi!"
...----------------...
Di dalam pondoknya, Chen Huang dikejutkan dengan suara Qin Mingzhu yang cukup nyaring. Lebih terkejut lagi ketika pintu pondoknya dibuka secara mendadak.
Chen Huang melihat raut senang di wajah Tuan Muda itu. Napasnya sedikit memburu, tapi tetap saja Qin Mingzhu kelihatan girang akan sesuatu.
"Apa?" Chen Huang bertanya, masih dengan sikapnya yang dingin menyebalkan bagi sebagian orang.
"Kau akan dikawal dua puluh Pasukan Serigala bersama lima puluh serigala pemburu. Aku sendiri juga akan ikut menemani."
Chen Huang bangkit dari tempatnya duduk. "Apa kau gila?" sergahnya, "ayahmu bisa menggorok leherku karena menggunakan prajuritnya untuk melindungi satu Gagak."
"Aku sendiri yang minta dan dia menyetujui dengan senang hati."
"Aku lebih percaya kalau dia menyetujui dengan berat hati. Jujurlah."
Akan tetapi, Qin Mingzhu tak menghiraukan. "Besok, kan? Baiklah, siapkan dirimu. Pagi-pagi buta aku akan mengetuk pintu ini. Sampai jumpa."
Chen Huang memandang kepergian bocah itu sampai punggungnya lenyap di balik pintu. Dia bertanya-tanya, kenapa Serigala Muda sepertinya mau berteman dengan Gagak? Selama ini, Chen Huang selalu berpikir bahwa Suku Naga dan Serigala adalah dua suku paling angkuh dan menjengkelkan. Namun juga kuat di samping semua sifat menyebalkan itu.
Akan tetapi, dia melihat sesuatu yang lain dalam diri Qin Mingzhu. Memang kadang bocah itu memgeluarkan sifat angkuhnya, tapi tak lebih hanya sekadar bercanda.
"Bagaimanapun, dia tetap Serigala. Bahkan para pelayan pun, melihatku dengan tatapan muak. Menjengkelkan!"
Chen Huang menutup pintu dengan suasana hati yang tak terlalu baik.
Esok harinya, Qin Mingzhu menepati janji. Bahkan sebelum cahaya matahari tampak, dia sudah mengetuk pintu pondok Chen Huang dengan terlalu keras.
"Tidakkah kaupikir ini masih terlalu gelap?" tanya Chen Huang yang baru saja selesai membasuh tubuh dengan air dingin. "Jangan bilang kau ...."
"Mereka sudah menunggu." Qin Mingzhu menunjuk seorang prajurit dari Pasukan Serigala dengan dagunya. Pemuda bertubuh tinggi yang memandangnya dingin. "Prajurit yang lain sudah menunggu di halaman depan."
'Sialan! Yang punya urusan ini aku atau kau?' Namun, mulutnya berkata. "Tunggu sebentar lagi." Chen Huang menutup pintu lalu segera bersiap. Pakaian hitam yang diberi oleh ayah Qin Mingzhu secara terpaksa, serta jubah hitam berkerah bulu yang dulu milik tawanan Suku Gagak. Karena beberapa tahun lalu kedua suku sudah berdamai, maka semua tawanan Gagak sudah dilepas.
Namun tetap saja, kedua suku sukar untuk benar-benar damai.
Ketika mereka melewati prajurit Serigala yang mengantar Qin Mingzhu, Chen Huang dapat mendengar dengus muak darinya.
Chen Huang diberi kuda poni yang sesuai dengan ukuran tubuhnya. Kuda itu sedikit lebih kecil dibanding milik Qin Mingzhu. Mereka melakukan perjalanan menuju utara, ke tempat Suku Gagak berada.
"Kau pernah bilang, kau seorang pemulung. Apa maksudnya itu?" tanya Qin Mingzhu di tengah-tengah perjalanan.
Chen Huang tak langsung menjawab. Bukan tanpa alasan, tapi dia hanya mempersiapkan hati untuk diejek habis-habisan. "Aku bersama temanku dulu, kadang pergi ke luar desa untuk mengambil harta-harta di antara para mayat."
Qin Mingzhu tampak terkejut. "Mayat siapa?"
"Banyak orang. Desersi, pengelana yang dimakan singa, atau orang-orang malang lain." Chen Huang melirik ke belakang, beberapa prajurit menahan kekehannya. "Aku dan kawanku, sebagai Gagak memunguti harta-harta mereka."
Suara kekehan para prajurit makin keras.
"Pemulung, katanya."
Chen Huang mencoba mengacuhkan itu.
Akan tetapi, tanggapan Qin Sheng jauh berbeda. Bukannya mengejek atau tersenyum meremehkan, tapi dia malah tersenyum lebar, tampak tertarik. "Hebat kau, tak takut melihat mayat. Apa kali ini kau akan melakukan hal yang sama?"
Chen Huang menggeleng.
"Lalu?"
"Rumah Hantu," jawabnya, "Itulah tujuanku."
"Hantu?" Qin Mingzhu mengulang. "Kaubilang hantu?"
...----------------...
Rumah Hantu adalah tempat para penatua berkumpul untuk membicarakan segala hal sakral di Desa Gagak. Tempat itu jarang digunakan kecuali untuk ritual, pernikahan, atau membahas tentang keresahan yang dirasakan akhir-akhir ini. Sebelum pembantaian tentu saja.
Bangunan itu dibuat dari kayu bercat hitam pekat, hanya memiliki satu lantai. Di sebelah bangunan itu berdiri menara kayu yang sampai sekarang Chen Huang masih meragukan kegunaannya. Itu hanya seperti tiang kayu tegak yang tak bertugas apa-apa.
Di sana-sini, hanya menyisakan tulang dan daging terkoyak. Lebih banyak tulang sisa makanan burung gagak atau hewan-hewan liar. Qin Mingzhu sudah muntah dua kali. Terpaksa bocah itu dikelilingi Pasukan Serigala dalam formasi rapat. Memang hidung masih dapat mencium, tapi setidaknya mata tetap aman.
"Kau hebat bisa bertahan di sana," gumam Qin Mingzhu melihat Chen Huang berjalan di barisan paling depan, melihat ke kanan-kiri tanpa ekspresi. "Kalau dipikir-pikir, kenapa hanya ada mayat Suku Gagak, ini bekas pertempuran atau bencana?"
Namun, benarkah Chen Huang melihat itu semua tanpa ekspresi?
Hanya luarnya saja, karena di dalam lubuk hati paling dalam, Chen Huang sedang menangis.
'Aku akan ingat ini.'
Dia mendatangi bangunan besar yang disebut Rumah Hantu. "Tak ada yang diperbolehkan masuk ke dalam kecuali anggota desa kami. Maaf," katanya kepada prajurit yang memimpin rombongan.
"Selesaikan dengan cepat!" kata prajurit itu ketus.
Chen Huang turun dari kuda, membuka pintu perlahan lalu menutupnya kembali.
Beruntung Qin Sheng sama sekali tak memedulikannya, sehingga dia hanya berkata ingin pergi ke Desa Gagak tanpa menjelaskan rinciannya. Memang ditolak, tapi Qin Mingzhu berhasil mengatasinya. Dia harus berterima kasih soal itu.
"Ada yang harus kulakukan, sesuatu yang harus kulakukan," katanya kepada Qin Mingzhu kemarin. "Tak peduli kalian para serigala mengijinkan atau tidak, aku akan tetap pergi."
Dan inilah hasilnya.
"Katanya dia belum mendapat pemilik. Hanya orang yang pantas yang boleh mendapatkannya," guman Chen Huang sambil terus berjalan ke dalam. Tiba di ujung ruang, dia menekan sebuah tombol rahasia berupa batu kasar di bawah meja kayu. Sebuah lubang tercipta di sampingnya, lubang kecil selebar satu tubuh orang dewasa. "Dan kupikir, akulah orang yang pantas."
Chen Huang memasuki lubang kecil tersebut.
...----------------...
Untuk hal-hal terkait cerita, bisa mampir ke instagram @arisena_p
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!