Episode : 4 — Jimat Hitam

Chen Huang tak ingat kapan dia menjatuhkan diri, tapi yang terjadi saat ini menjawab semua itu. Ia terbangun dalam ruangan yang bisa dikatakan gelap pekat, dia tak bisa melihat apa pun, kecuali diri sendiri.

Pemuda itu menghela tubuhnya berdiri, mengedarkan pandang. Barangkali ada sesuatu, ya, sesuatu. Namun, yang dilihat hanya kekosongan tak berujung.

"Hanya untuk yang pantas mendapatkannya," gumam Chen Huang. Mengingat hal itu, senyumnya tercipta. Sebuah senyum pahit. "Apakah aku tidak pantas?"

Chen Huang ingat di ruang bawah tanah Rumah Hantu, dia membuka peti kecil yang menyimpan benda paling berharga milik Suku Gagak. Benda itu disebut Jimat Hitam.

Bentuknya bulat yang dibuat dari batu mengkilap. Diasah sedemikian rupa sehingga jika orang memandang, seakan-akan dia dapat melihat urat-urat batu yang kuning kehijauan. Batu yang indah.

Namun begitu memegangnya, Chen Huang tersesat di tempat gelap seperti ini.

Dia tertawa keras, entah karena apa. Tak berselang lama, dia mulai menangis, entah karena apa.

Makin lama, keadaan sekeliling tak sepekat tadi. Dari yang awalnya benar-benar hitam perlahan berubah warna menjadi hitam muda atau abu-abu.

Orang-orang yang dikenalnya entah sejak kapan sudah berdiri berkerumun memandangnya. Tatapan mereka itu menyebalkan menurut Chen Huang. Kosong, tanpa ekspresi, ia dapat merasakan kekecewaan besar di mata setiap orang.

Hanya ayah, ibu, dan bocah gundul yang berdiri paling depan, kecuali tiga orang itu, mereka semua memandang kosong.

Wu Rui tersenyum tipis. Ibunya tersenyum iba. Ayahnya tersenyum lebar sampai giginya terlihat.

"Bangkitlah," berkata Wu Rui dengan suara menggema. Chen Huang yakin itu bukan suara Wu Rui. Suaranya tak pernah seberat itu. "Ini bukan pantas atau tidak, simpanlah jimat itu untuk seseorang yang pantas."

"Wu Rui?" Air mata Chen Huang masih terus menetes.

Satu per satu, orang-orang berbalik dan pergi meninggalkannya. Sampai menyisakan tiga orang itu.

"Jangan pergi!" Chen Huang menjerit. "Kumohon, jangan tinggalkan aku ...." Chen Huang mengejar, tapi seberapa keras pun ia berusaha, jarak di antara mereka sama sekali tak berkurang. "Aku bukan raja, aku bukan raja ... katakan padaku, siapa yang pantas untuk Jimat ini?"

"Seseorang," satu suara menjawab dan saat itu Chen Huang baru sadar bahwa ia tak lagi melihat Wu Rui, ayah dan ibunya. "Seseorang yang tak lama lagi akan muncul."

"Katakan lebih jelas!" Chen Huang mulai marah. "Aku bersumpah akan melindungi Jimat Hitam dan kuberikan padanya."

"Raja Malam akan segera hadir, kau akan tahu nanti ...."

Suara itu menghilang.

Bersamaan dengan itu, Chen Huang tersadar. Dia melihat langit-langit ruangan yang kotor. Kemudian Chen Huang tahu bahwa saat ini ia sudah kembali ke alam nyata.

"Apa-apaan itu?" Chen Huang menelan ludah susah payah. "Siapa Raja Malamnya?" ia mengamati Jimat Hitam selama beberapa saat sebelum mengalungkannya di leher dan menyembunyikannya di balik jubah.

...----------------...

Raja Malam adalah seseorang dari Suku Gagak yang berhasil mengusir pasukan Tanduk Darah lima ribu tahun yang lalu. Sejak saat itu, Raja Malam wafat dan dia hanya mengatakan bahwa pemilik Jimat Hitam adalah penerusnya.

Akan tetapi, hal itu cukup rumit. Hanya karena mengenakan Jimat Hitam, bukan berarti dia adalah penerus Raja Malam. Sehingga tak heran selama ini kisah Raja Malam dijadikan legenda dan hampir terlupakan, keberadaan Jimat Hitam pun hanya dijadikan pusaka Suku Gagak yang dipercaya dapat menangkal kesialan. Hanya sebatas itu.

Hari itu, Chen Huang sudah nekat mengambil keputusan. Dia berpikir dirinyalah yang berhak memakai Jimat Hitam karena bukankah dia adalah Suku Gagak terakhir? Namun setelah mimpi itu, Chen Huang mulai ragu. Apakah ada Suku Gagak lain yang masih hidup? Atau perkataan Raja Malam sebelumnya hanya dongeng?

Chen Huang semakin pusing dibuatnya. Yang jelas, dia sudah bertekad untuk melindungi Jimat Hitam, apa pun yang terjadi.

"Waktu yang akan menjawab, bahkan jika aku bukan raja sekalipun, akan kuciptakan Pasukan Gagak yang baru, untuk menyambut kedatangan raja suatu hari nanti. Aku janji," katanya seraya menggenggam erat Jimat Hitam di dadanya. "Kegelapan milik kita".

Dia naik ke permukaan, menutup lubang bawah tanah seperti semula dan menghampiri pintu. Ketika dia dapat kembali melihat matahari, Chen Huang bertanya-tanya apakah dia akan bisa kembali lagi ke sini suatu hari nanti.

"Apa yang kaulakukan?" Qin Mingzhu bertanya.

"Sesuatu," Chen Huang menjawab singkat. "Urusan para Gagak, kupikir kalian tak tertarik untuk mengetahuinya."

"Memang," sahut seorang prajurit disusul tawa riuh di antara mereka.

"Baguslah." Chen Huang berjalan menuju kuda poninya ditambatkan. Ia melepas tali kekang yang dikaitkan ke sebatang pohon sebelum melompat dan duduk di punggungnya. "Urusanku sudah selesai, kalau kalian masih mau main-main, aku pulang dulu."

Pemimpin pasukan menggertakkan gigi. "Sikapmu sudah seperti majikan kami, keparat."

Chen Huang meliriknya, dengan malas menanggapi. "Maaf soal itu, tapi aku tetap akan tidur di pondok belakang sebagai gelandangan, seperti biasa."

"Bagus kalau kau tahu tempatmu!"

"Sudah cukup!" tegas Qin Mingzhu yang sudah naik pula ke atas kuda. "Mari pulang."

...----------------...

"Memang tak ada bekas pedang bergerigi milik Suku Naga," Qin Mingzhu memberi laporan kepada ayahnya. "Ayah, apa kau tahu apa kira-kira yang telah terjadi?"

Qin Sheng menatap penasihatnya. Bagaimanapun, Qin Mingzhu masih empat belas tahun. Walau sudah dianggap sebagai lelaki dewasa menurut tradisi mereka, tapi tetap saja di mata Qin Sheng dia masih anak-anak. Qin Sheng tak begitu tega memberitahukan kengerian itu secara langsung.

"Kau pernah dengar Tanduk Darah?" Akhirnya Ming Zhe yang mengambil alih. "Kupikir sudah karena aku pernah mendongengkannya padamu."

Qin Mingzhu mengangguk. "Ada apa dengan mereka?"

Ming Zhe menatapnya penuh arti. Di balik punggung, dua tangannya saling bertaut dengan resah. "Yah ... begitulah, kau bukan anak bodoh dan itu kebanggaan kami. Hanya saja sedikit pelupa."

"Apa yang—" wajah Qin Mingzhu membayangkan kengerian yang sulit dijelaskan, "tunggu, itu hanya dongeng, kan?"

"Iya, jadi kau tak perlu memikirkannya terlalu dalam. Fokus saja pada latihanmu. Sudah, pergi sana!" ayahnya memotong dengan nada suara yang tak dapat dibantah lagi, "dan jangan menanyakan itu kepada Gagak, dia masih terguncang, bisa-bisa dia jadi gila, bisa repot aku."

Untuk saat ini, Qin Mingzhu tidak membantah. Anak itu mengangguk patuh lalu pergi meninggalkan ruangan ayahnya tanpa banyak cakap.

"Anda selalu bersikap seperti ini," Ming Zhe menghela napas berat. "Bahkan anda tak pernah menyebut namanya."

Qin Sheng mencengkeram pegangan kursi. "Aku bersikap selayaknya serigala, seperti yang dikatakannya. Karena perbuatanku ...."

"Anda masih menyalahkan diri sendiri?"

"Gagak tua itu mungkin akan mati bersama seluruh Desa Gagak kemarin jika aku lebih bijak waktu itu." Cengkeraman pada lengan kursi semakin kuat. "Gagak dan Serigala bertempur, sejatinya adalah kesalahan kita, kau tahu itu. Mereka hanya mencoba membalas kematian keluarganya."

Ming Zhe mengangguk. "Dan kita hanya menjaga diri." Lelaki bongkok ini lalu mengambil perkamen-perkamen di meja Qin Sheng, meletakkannya di lemari sesuai keadaan semula. "Anda tidak membenci Gagak Kecil itu, hanya teringat masa lalu."

"Kau benar," Qin Sheng merenung. "Hanya kepadamu aku mengakui hal ini."

Ming Zhe menatap barisan perkamen dan buku di rak tersebut, seolah deretan buku dan perkamen itu adalah kepingan-kepingan masa lalu yang saling terpisah, tapi juga saling berkaitan. "Sudah dua puluh tahun ya ... tidak terasa. Apa dia baik-baik saja?"

"Dia mungkin sudah mati," potong Qin Sheng dengan hati perih, "dan aku hanya melakukan janjinya. Menjaga Gagak, melindunginya, dan tak akan pernah lagi berperang melawannya. Ini kesempatan terakhir, Gagak terakhir."

"Kira-kira, apa yang dilakukan Chen Huang di desa itu tadi?"

"Apa lagi kalau bukan soal Jimat Hitam?"

"Anda tak pernah menginginkannya, karena itulah istri anda berani mengatakan hal itu."

Mata Qin Sheng sedikit bergetar. "Mungkin bisa disebut mendiang?"

Ming Zhe menghela napasnya sebelum melanjutkan tanpa menghiraukan jawaban Qin Sheng. "Bagaimana kalau ternyata dialah Raja Malam?"

"Serigala akan berdiri di belakangnya," Qin Sheng berkata tegas, tanpa keraguan, tanpa berpikir, "dan kalau seandainya ada yang menentang, bahkan Naga sekalipun, Serigala hanya perlu menginjak-injaknya."

Ming Zhe tersenyum, senyum bijak penuh pengertian. 'Itulah yang membuat saya kagum padamu, Tuan Qin.'

...----------------...

Untuk hal-hal terkait cerita, bisa mampir ke instagram @arisena_p

Terpopuler

Comments

Tanata✨

Tanata✨

Makin kasihan aku padanya

2024-11-04

1

Filanina

Filanina

Menarik ceritanya. Bahasanya juga apik.

2024-08-05

1

Filanina

Filanina

tapi bagaimana kalau suku gagaknya tinggal seorang?

2024-08-05

1

lihat semua
Episodes
1 Episode : 1 — Gagak Terakhir
2 Episode : 2 — Serigala
3 Episode : 3 — Rumah Hantu
4 Episode : 4 — Jimat Hitam
5 Episode : 5 — Qin Yuying
6 Episode : 6 — Kegesitan Serigala
7 Episode : 7 — Menara Putih
8 Episode : 8 — Kekhawatiran
9 Episode : 9 — Cerita
10 Episode : 10 — Kabar Buruk
11 Episode : 11 — Bentangkan Sayapmu
12 Episode : 12 — Kosong
13 Episode : 13 — Kultivator
14 Episode : 14 — Bai Li
15 Episode : 15 — Ajari Aku
16 Episode : 16 — Tingkat Bumi
17 Episode : 17 — Gila
18 Episode : 18 — Latihan Bertempur
19 Episode : 19 — Kau Membuatku Hancur
20 Episode : 20 — Maaf
21 Episode : 21 — Ini Sumpahku!
22 Episode : 22 — Penguatan Tubuh
23 Episode : 23 — Bergerak ke Selatan
24 Episode : 24 — Tamu Tak Diundang
25 Episode : 25 — Matahari Ganda
26 Episode : 26 — Perbedaan Kekuatan
27 Episode : 27 — Sebuah Rahasia
28 Episode : 28 — Wilayah Tengah
29 Episode : 29 — Bulan Menangis
30 Episode : 30 — Pelukan Halimun Pagi
31 Episode : 31 — Kalau Aku Mati
32 Episode : 32 — Rencana
33 Episode : 33 — Sandiwara
34 Episode : 34 — Kekuatan Simbol Magis
35 Episode : 35 — Melanjutkan Perjalanan
36 Episode : 36 — Bendera Hitam
37 Episode : 37 — Kegelapan Milik Kita
38 Episode : 38 — Pesta
39 Episode : 39 — Serikat Dagang
40 Episode : 40 — Sejarah
41 Episode : 41 — Peningkatan Tulang
42 Episode : 42 — Simbol Magis
43 Episode : 43 — Sumpah
44 Episode : 44 — Rencana Rumit
45 Episode : 45 — Dugaan Chen Huang
46 Episode : 46 — Aku Menyerah
47 Episode : 47 — Pertandingan Kedua
48 Episode : 48 — Aku Berhasil
49 Episode : 49 — Malam Perayaan
50 Episode : 50 — Raja Malam
51 Episode : 51 — Sekte Musim Gugur
52 Episode : 52 — Hao Chen
53 Episode : 53 — Cara Belajar Sekte Musim Gugur
54 Episode : 54 — Informasi
55 Episode : 55 — Serangan
56 Episode : 56 — Kenyataan
57 Episode : 57 — Chen Huang
58 Episode : 58 — Berubah
59 Episode : 59 — Orang Jahatnya
60 Episode : 60 — Pulang
61 Episode : 61 — Akrab Sekali
62 Episode : 62 — Makam Kultivator Pertama
63 Episode : 63 — Kabut Ilusi
64 Episode : 64 — Tidur Nyenyak?
65 Episode : 65 — Song Kiu
66 Episode : 66 — Pemukiman
67 Episode : 67 — Raksasa
68 Episode : 68 — Ancaman Kedua
69 Episode : 69 — Rombongan Jubah Biru Muda
70 Episode : 70 — Gua
71 Episode : 71 — Penglihatan
72 Episode : 72 — Dapat Dua?
73 Episode : 73 — Harimau Hitam
74 Episode : 74 — Naga
75 Episode : 75 — Keluarga Xian
76 Episode : 76 — Menggerutu
77 Episode : 77 — Kepulangan Mereka
78 Episode : 78 — Diskusi
79 Episode : 79 — Pesan
80 Episode : 80 — Wu Chen
81 Episode : 81 — Tentang Naga
82 Episode : 82 — Rasa Takut
83 Episode : 83 — Dibantai
84 Episode : 84 — Surat
85 Episode : 85 — Keputusan
86 Episode : 86 — Keberangkatan
87 Episode : 87 — Desa Daun Wangi
88 Episode : 88 — Tumpah, Ujung, Harga Murah
89 Episode : 89 — Malam Hari
90 Episode : 90 — Lari
91 Episode : 91 — Kerja Sama
92 Episode : 92 — Salah Paham
93 Episode : 93 — Sekte Cabang
94 Episode : 94 — Membuktikan
95 Episode : 95 — Menyerahkan Diri
96 Episode : 96 — Berjalan Mulus
97 Episode : 97 — Opera Merah
98 Episode : 98 — Rencana Penyusupan
99 Episode : 99 — Siasat
100 Episode : 100 — Penyusup
101 Episode : 101 — Mengacau
102 Episode : 102 — Cang An
103 Episode : 103 — Tolong Jangan Pergi Lagi
104 Episode : 104 — Bersaing
105 Episode : 105 — Cinta Mereka
106 Episode : 106 — Langkah Selanjutnya
107 Episode : 107 — Janji
108 Episode : 108 — Persiapan
Episodes

Updated 108 Episodes

1
Episode : 1 — Gagak Terakhir
2
Episode : 2 — Serigala
3
Episode : 3 — Rumah Hantu
4
Episode : 4 — Jimat Hitam
5
Episode : 5 — Qin Yuying
6
Episode : 6 — Kegesitan Serigala
7
Episode : 7 — Menara Putih
8
Episode : 8 — Kekhawatiran
9
Episode : 9 — Cerita
10
Episode : 10 — Kabar Buruk
11
Episode : 11 — Bentangkan Sayapmu
12
Episode : 12 — Kosong
13
Episode : 13 — Kultivator
14
Episode : 14 — Bai Li
15
Episode : 15 — Ajari Aku
16
Episode : 16 — Tingkat Bumi
17
Episode : 17 — Gila
18
Episode : 18 — Latihan Bertempur
19
Episode : 19 — Kau Membuatku Hancur
20
Episode : 20 — Maaf
21
Episode : 21 — Ini Sumpahku!
22
Episode : 22 — Penguatan Tubuh
23
Episode : 23 — Bergerak ke Selatan
24
Episode : 24 — Tamu Tak Diundang
25
Episode : 25 — Matahari Ganda
26
Episode : 26 — Perbedaan Kekuatan
27
Episode : 27 — Sebuah Rahasia
28
Episode : 28 — Wilayah Tengah
29
Episode : 29 — Bulan Menangis
30
Episode : 30 — Pelukan Halimun Pagi
31
Episode : 31 — Kalau Aku Mati
32
Episode : 32 — Rencana
33
Episode : 33 — Sandiwara
34
Episode : 34 — Kekuatan Simbol Magis
35
Episode : 35 — Melanjutkan Perjalanan
36
Episode : 36 — Bendera Hitam
37
Episode : 37 — Kegelapan Milik Kita
38
Episode : 38 — Pesta
39
Episode : 39 — Serikat Dagang
40
Episode : 40 — Sejarah
41
Episode : 41 — Peningkatan Tulang
42
Episode : 42 — Simbol Magis
43
Episode : 43 — Sumpah
44
Episode : 44 — Rencana Rumit
45
Episode : 45 — Dugaan Chen Huang
46
Episode : 46 — Aku Menyerah
47
Episode : 47 — Pertandingan Kedua
48
Episode : 48 — Aku Berhasil
49
Episode : 49 — Malam Perayaan
50
Episode : 50 — Raja Malam
51
Episode : 51 — Sekte Musim Gugur
52
Episode : 52 — Hao Chen
53
Episode : 53 — Cara Belajar Sekte Musim Gugur
54
Episode : 54 — Informasi
55
Episode : 55 — Serangan
56
Episode : 56 — Kenyataan
57
Episode : 57 — Chen Huang
58
Episode : 58 — Berubah
59
Episode : 59 — Orang Jahatnya
60
Episode : 60 — Pulang
61
Episode : 61 — Akrab Sekali
62
Episode : 62 — Makam Kultivator Pertama
63
Episode : 63 — Kabut Ilusi
64
Episode : 64 — Tidur Nyenyak?
65
Episode : 65 — Song Kiu
66
Episode : 66 — Pemukiman
67
Episode : 67 — Raksasa
68
Episode : 68 — Ancaman Kedua
69
Episode : 69 — Rombongan Jubah Biru Muda
70
Episode : 70 — Gua
71
Episode : 71 — Penglihatan
72
Episode : 72 — Dapat Dua?
73
Episode : 73 — Harimau Hitam
74
Episode : 74 — Naga
75
Episode : 75 — Keluarga Xian
76
Episode : 76 — Menggerutu
77
Episode : 77 — Kepulangan Mereka
78
Episode : 78 — Diskusi
79
Episode : 79 — Pesan
80
Episode : 80 — Wu Chen
81
Episode : 81 — Tentang Naga
82
Episode : 82 — Rasa Takut
83
Episode : 83 — Dibantai
84
Episode : 84 — Surat
85
Episode : 85 — Keputusan
86
Episode : 86 — Keberangkatan
87
Episode : 87 — Desa Daun Wangi
88
Episode : 88 — Tumpah, Ujung, Harga Murah
89
Episode : 89 — Malam Hari
90
Episode : 90 — Lari
91
Episode : 91 — Kerja Sama
92
Episode : 92 — Salah Paham
93
Episode : 93 — Sekte Cabang
94
Episode : 94 — Membuktikan
95
Episode : 95 — Menyerahkan Diri
96
Episode : 96 — Berjalan Mulus
97
Episode : 97 — Opera Merah
98
Episode : 98 — Rencana Penyusupan
99
Episode : 99 — Siasat
100
Episode : 100 — Penyusup
101
Episode : 101 — Mengacau
102
Episode : 102 — Cang An
103
Episode : 103 — Tolong Jangan Pergi Lagi
104
Episode : 104 — Bersaing
105
Episode : 105 — Cinta Mereka
106
Episode : 106 — Langkah Selanjutnya
107
Episode : 107 — Janji
108
Episode : 108 — Persiapan

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!