Bab 11 : Fakta

Aku keluar dari selku dan berkeliling di rumah sakit. Aku berjalan ke ruangan Dr. Irma dan mengetuk pintu ruangannya.

Dr. Irma mempersilahkanku masuk. "Ada yang bisa ku bantu Dr. Fikri?" tanya Dr. Irma dengan tatapan penasaran.

"Aku butuh berkas dari Fanny. Tolong tunjukan padaku," kataku serius.

Dr. Irma menatapku tajam, dia memberikan mencari berkas tersebut dan memberikannya kepadaku. Aku membuka berkas itu dan membaca biodata Fanny.

Namanya adalah Sasya Fanny Laurensia, berusia dua puluh lima tahun, status menikah dan memiliki seorang anak yang bernama Yunita.

Kaget dengan informasi yang baru saja kuperoleh, aku tertegun sejenak. Nama Fanny adalah Sasya Fanny Laurensia, dan dia ternyata memiliki seorang anak bernama Yunita. Aku segera teringat akan mimpiku dan fakta bahwa nama Yunita adalah nama anakku sendiri.

"Ada yang salah, Dr. Fikri?" tanya Dr. Irma, tampak memperhatikan ekspresi penasaran.

Aku mencoba menenangkan diri dan meresapi informasi yang baru saja kuperoleh. "Tidak, Dr. Irma. Aku hanya ingin memastikan beberapa detail."

Kepalaku tiba-tiba sakit, rasanya seperti cahaya yang sangat terang memenuhi pandanganku. Apa ini, kenapa kepalaku sangat sakit. "Dr. Irma, aku butuh aspirin," ucapku.

Dr. Irma segera berlari ke lemari obat di ruangannya dan mengambil sebotol aspirin. Dia membuka botol itu dengan cepat dan memberikannya kepadaku, bersamaan dengan segelas air. "Ambil ini, Dr. Fikri. Semoga bisa membantu mengurangi rasa sakitmu," katanya dengan nada khawatir.

Aku menelan aspirin dan meminum airnya dengan cepat. Rasa sakit di kepalaku sedikit mereda, tetapi pandanganku masih kabur. Aku berusaha menenangkan diri, mengatur napas, dan fokus pada tujuan penyelidikanku.

"Apakah ada yang bisa aku lakukan untuk membantu lebih lanjut?" tanya Dr. Irma dengan cemas.

Aku menggelengkan kepala pelan. "Tidak, terima kasih, Dr. Irma. Aku hanya perlu beberapa menit untuk beristirahat."

Dr. Irma mengangguk dan kembali duduk di kursinya dengan pandangan yang mengawasiku. Aku duduk di kursi, memejamkan mata, dan mencoba memahami semua informasi yang baru saja kuperoleh. Ada begitu banyak detail yang perlu kupikirkan, nama Sasya Fanny Laurensia, anaknya Yunita, dan tentu saja nama misterius Nazam yang terus muncul dalam pikiranku.

Saat rasa sakit di kepalaku mereda, aku mulai mengingat kembali mimpi-mimpi yang terus menghantuiku. Mimpi tentang keluargaku, perampokan di pom bensin, dan Yunita yang tertembak. Semua itu terasa sangat nyata, seolah-olah memang benar-benar terjadi.

Ketika aku akhirnya membuka mataku, pandanganku mulai kembali normal. Aku berdiri dan berjalan keluar dari ruangannya Dr. Irma, memutuskan untuk pergi ke ruang arsip rumah sakit. Mungkin ada informasi lebih lanjut di sana yang bisa membantuku memahami lebih dalam tentang Fanny dan hubungannya dengan nama Nazam.

Di ruang arsip, aku bertemu dengan seorang petugas arsip yang bernama Pak Rahmat. Dia adalah pria tua yang sudah bekerja di rumah sakit ini selama bertahun-tahun. "Apa yang bisa saya bantu, Dr. Fikri?" tanya Pak Rahmat dengan ramah.

"Aku butuh akses ke semua catatan medis Fanny, khususnya yang berkaitan dengan pengobatannya sebelumnya dan riwayat terapi," kataku.

Pak Rahmat menggelengkan kepalanya dengan tegas. "Maaf, Dr. Fikri, tapi Anda harus punya izin dari Pak Budi atau Dr. Irma untuk mengakses ruangan arsip," katanya dengan suara tegas.

Kata-kata itu memicu kemarahan yang tiba-tiba dalam diriku. "Izin? Izin?" teriakku, suaraku mulai bergetar. "Ini masalah penting! Nyawa seseorang bisa terancam dan kalian malah berbicara soal izin?"

Pak Rahmat tetap tenang, meski jelas terlihat kaget dengan reaksiku. "Maaf, Dr. Fikri, tapi prosedur harus diikuti. Saya tidak bisa mengizinkan Anda masuk tanpa izin yang sesuai."

Kemarahan dalam diriku semakin memuncak. "Prosedur? Kau tahu apa artinya prosedur di tengah ancaman nyata? Kita berbicara tentang seseorang yang berbahaya di luar sana, dan aku butuh informasi sekarang!"

Aku mulai bergerak ke arah pintu arsip, niatku jelas terlihat. "Saya akan masuk ke ruangan itu dengan atau tanpa izinmu, Pak Rahmat," kataku dengan suara mengancam.

Pak Rahmat mencoba menghalangi jalanku, tapi aku sudah terlalu marah untuk berpikir jernih. Dengan gerakan cepat, aku mendorongnya ke samping, membuatnya hampir terjatuh. "Jangan halangi aku!" teriakku.

Pak Rahmat segera bangkit kembali, mencoba menghentikanku, tapi aku sudah mencapai pintu arsip. Aku membuka pintu dengan kasar dan memasuki ruangan itu. Berkas-berkas tersebar di sekitarku, dan aku mulai mencari dengan panik, mencari nama Fanny dalam tumpukan dokumen.

Pak Rahmat memanggil bantuan melalui interkom, suaranya terdengar cemas. "Kita butuh bantuan di ruang arsip, segera!"

Tidak lama kemudian, beberapa staf keamanan rumah sakit datang dan mencoba menarikku keluar dari ruangan. Aku melawan dengan sekuat tenaga, tapi mereka berhasil menjatuhkanku ke lantai. Mereka menahanku, dan aku terus berteriak, "Aku butuh berkas-berkas itu! Ada yang tidak beres di sini!"

Pak Rahmat menjelaskan situasinya dengan singkat, dan Dr. Irma menatapku dengan tatapan tajam. "Dr. Fikri, ini perilaku yang tidak bisa ditoleransi. Kamu tahu ada prosedur yang harus diikuti."

Aku mencoba mengatur napas, merasa sedikit tenang meski masih marah. "Aku butuh informasi itu, Dr. Irma. Ada sesuatu yang sangat salah di sini, dan aku perlu tahu apa yang terjadi."

Dr. Irma mendekat dan berbicara dengan suara rendah, mencoba menenangkanku. "Aku mengerti kamu khawatir, tapi ada cara yang lebih baik untuk menangani ini. Mari kita bicarakan ini dengan kepala dingin."

Michelle juga datang dengan cepat, wajahnya terlihat cemas. Michelle yang dari awal sikapnya dingin, bisa tampak begitu cemas? "Apa yang terjadi di sini?" tanyanya dengan nada khawatir.

Dr. Irma menjawab tanpa memalingkan tatapannya dariku. "Dr. Fikri berusaha masuk ke ruang arsip tanpa izin. Dia tampak sangat terganggu dan marah."

Michelle mendekat dan memegang lenganku dengan lembut. "Dr. Fikri, tolong tenangkan dirimu. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa kamu begitu terdesak?"

Aku menghela napas berat, mencoba mengumpulkan pikiranku. "Ada sesuatu yang salah dengan kasus Fanny, Michelle. Aku merasa ada informasi penting yang disembunyikan. Semua ini mulai tidak masuk akal, dan aku butuh jawaban."

Dr. Irma mengangguk pelan, meski tetap waspada. "Aku mengerti kekhawatiranmu, Dr. Fikri. Tapi kita tidak bisa menyelesaikan masalah ini dengan cara seperti ini. Prosedur ada untuk melindungi semua orang, termasuk pasien dan staf."

Michelle menatap Dr. Irma, seolah meminta izin. "Dr. Irma, mungkin ada cara kita bisa membantu Dr. Fikri tanpa melanggar prosedur. Bagaimana kalau kita duduk bersama dan melihat berkas-berkas yang relevan? Aku bisa mendampingi Dr. Fikri untuk memastikan semuanya sesuai dengan aturan."

Dr. Irma terlihat mempertimbangkan saran tersebut. Setelah beberapa detik, dia mengangguk. "Baiklah, kita bisa mencoba pendekatan itu. Tapi aku akan tetap mengawasi prosesnya. Dr. Fikri, kamu harus berjanji untuk tetap tenang dan bekerja sama."

Aku mengangguk, merasa sedikit lega. "Terima kasih, Dr. Irma. Aku janji akan bekerja sama."

Kami berjalan bersama menuju ruang arsip dengan Michelle dan Dr. Irma mengawasi. Pak Rahmat yang masih berada di sana terlihat canggung, tapi dia membiarkan kami masuk dengan pengawasan ketat. Michelle dan Dr. Irma mulai membantu mencari berkas-berkas yang relevan dengan kasus Fanny.

Setelah beberapa saat mencari, kami menemukan beberapa dokumen penting. Aku duduk di meja dan mulai membaca dengan seksama. Berkas-berkas tersebut mengungkapkan riwayat medis Fanny, termasuk catatan pengobatan dan sesi terapi yang pernah dia jalani.

Satu catatan menarik perhatianku, sebuah laporan terapi dari beberapa tahun lalu yang menunjukkan bahwa Fanny pernah mengalami trauma serius yang berhubungan dengan kematian anaknya, Yunita. Namun, ada detail lain yang membuatku semakin bingung, nama Nazam muncul beberapa kali dalam catatan tersebut sebagai seseorang yang terlibat dalam trauma Fanny.

Aku mengangkat kepala dan menatap Michelle serta Dr. Irma. "Lihat ini. Nama Nazam muncul beberapa kali. Dia jelas punya peran penting dalam trauma Fanny."

Michelle dan Dr. Irma mendekat, membaca catatan tersebut dengan seksama. Michelle mengernyitkan dahi, sementara Dr. Irma tampak lebih cemas.

Aku terus membaca berkas itu, berusaha mencari lebih banyak petunjuk. Namun, ada satu detail yang membuatku tertegun, seolah-olah dunia berhenti sejenak. Di salah satu halaman laporan terapi itu, ada sebuah catatan kecil yang hampir terlewatkan. Nama lengkap yang tertera di situ adalah Nazam F, nama yang selama ini menghantui pikiranku.

"Nazam..." gumamku dengan suara pelan, nyaris tidak percaya. "Itu adalah suami dari Fanny."

Michelle dan Dr. Irma saling bertatapan, kemudian wajah Michelle tampak terkejut. "Suami dari Fanny?" tanya Michelle dengan nada tidak percaya.

Aku mengangguk, mencoba merangkai semua potongan informasi yang ada. "Ini berarti TonNazam mungkin tahu lebih banyak tentang trauma Fanny dan peristiwa yang menyebabkan dia berada di sini."

Sebelum ada yang bisa berkata lebih lanjut, pintu ruang arsip tiba-tiba terbuka dengan keras, dan seorang petugas keamanan bergegas masuk. "Dr. Irma, Dr. Fikri, ada keadaan darurat. Fanny... dia hilang dari selnya."

Ruangan itu seolah membeku sejenak, sebelum kekacauan meledak. Dr. Irma menginstruksikan petugas untuk mencari Fanny, sementara Michelle bergegas mengambil peralatan medis darurat.

Aku berdiri di sana, menggenggam catatan itu, merasa jantungku berdetak semakin kencang. "Kita harus menemukannya. Dia mungkin dalam bahaya, atau bisa menjadi bahaya bagi orang lain."

Dengan cepat, kami semua bergerak keluar dari ruang arsip, bergabung dengan tim keamanan dalam pencarian. Pikiran tentang Fanny, Nazam, dan trauma yang membelenggu mereka terus berputar di kepalaku.

Namun, di dalam hati, aku tahu bahwa jawaban atas semua ini mungkin lebih gelap dan lebih rumit dari yang pernah kubayangkan. Dan aku harus siap menghadapi apapun yang akan kutemukan di ujung pencarian ini.

Tiba-tiba, suara alarm darurat rumah sakit berbunyi, menandakan situasi yang semakin genting. Di kejauhan, aku bisa mendengar suara langkah kaki yang terburu-buru, disertai dengan teriakan yang semakin mendekat.

"Apa yang sebenarnya terjadi di sini?" pikirku, merasa adrenalin mengalir deras melalui nadiku.

Di tengah kekacauan, aku menatap Michelle yang berdiri di sampingku. "Kita harus menemukannya, dan kita harus menemukan jawabannya. Nazam mungkin kunci dari semua ini."

Michelle mengangguk tegas, dan kami berdua berlari menuju arah suara alarm, siap untuk menghadapi kebenaran yang tersembunyi di balik bayang-bayang trauma dan misteri yang melingkupi Fanny dan Nazam.

Dan di saat itu, aku tahu bahwa pencarian ini baru saja dimulai dan mungkin akan membawa kita ke tempat yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!