Malam itu, aku bercengkrama dengan istriku melalui panggilan telepon. Rasa rindu yang tak terbayangkan menggebu dalam hatiku. Demi profesionalitas, aku harus meninggalkan keluargaku dan menjalankan tugasku, kode etik dari kepolisian dan kedokteran tertanam dengan teguh di dalam dasar hatiku.
Fanny sedari tadi dari balik jendela menatapku, tatapan matanya memancarkan rasa penasaran. Anehnya dia tidak mengeluarkan suara apa pun ketika aku sedang menelepon istriku.
Setelah panggilan selesai, Fanny baru mengeluarkan suaranya. "Ternyata Dr. Fikri sudah punya keluarga," katanya menggodaku.
"Diam, ini sudah malam. Tidurlah, Fan," perintahku kepada Fanny.
"Aku juga bisa memberikan kamu keturunan, tubuhku masih bagus," katanya mencoba menggodaku sekali lagi.
Aku berdiri dan menghampirinya ke arah jendela. "Diam, kamu sepertinya hanya ingin membuatku risih, dan itu akan sia-sia, Fan," ucapku tepat di depan wajahnya.
Fanny tiba-tiba tertawa dengan sangat keras, tawanya menggema di sepanjang lorong rumah sakit. Para penjaga yang mendengarnya segera berlari menuju sel Fanny. Aku menatap mereka dan memerintahkan mereka untuk pergi dari sini, karena situasinya masih terkendali.
"Mengapa kamu membunuh anak itu?" tanyaku lagi untuk mengungkap kebenaran.
"Aku tidak membunuh siapa pun," jawabnya dengan sangat percaya diri.
"Tapi sidik jari di tubuhnya adalah sidik jarimu, Fanny! Sidik jari pada barang bukti, semua mengarah kepadamu. Kenapa kamu membunuh anak itu?" tanyaku sekali lagi.
Dia tersenyum dan menjauh dari jendela sel, lalu memutar tubuhnya, menari. Tarian balet yang sangat indah, diiringi dengan nyanyian yang dia senandungkan.
......Tonight......
...I'm gonna have myself a real good time...
...I feel alive...
...And the world—I'll turn it inside out...
...Yeah!...
...I'm floating around...
...In ecstasy...
...So don't stop me now don't stop me...
Dia menyanyikan lagu dari Queen, "Don't Stop Me Now".
Aku memperhatikan gerakannya tanpa melepaskan pandanganku darinya. Lalu tiba-tiba dia naik ke atas kasur membuka bajunya, telanjang bulat. Menutup CCTV dengan bajunya.
Saat Fanny mulai menanggalkan pakaiannya dan menari dengan gerakan yang begitu anggun namun penuh provokasi, aku merasakan campuran perasaan yang membingungkan. Mataku tak bisa lepas dari tubuh telanjang Fanny yang berputar dan melenggok di ruangan itu.
"Ini tidak masuk akal," pikirku. Napasku tertahan, jantungku berdegup lebih cepat. Aku berusaha keras untuk menjaga profesionalismeku, tapi otakku dipenuhi pikiran-pikiran yang bertentangan.
Aku mengepalkan tanganku, berusaha meredam perasaan risih dan marah yang bergejolak di dalam diriku. "Apa yang dia coba lakukan? Menghancurkan mentalku?" Aku mencoba fokus pada alasan profesional berada di sini, namun gerakan Fanny yang memancing dan senandungnya yang menghipnotis membuatku semakin sulit untuk tetap tenang.
Aku menelan ludah, merasa tenggorokanku kering. Dalam benakku, aku tahu bahwa Fanny sedang berusaha memanipulasi dan mengendalikanku. Namun, di sisi lain, ada perasaan takut dan tak berdaya yang menyelinap. Fanny bukan hanya tantangan profesional, tetapi juga ancaman nyata terhadap kestabilan emosionalku.
"Fanny, jika kamu terus membuatku risih, aku tidak akan membantumu dan kamu mungkin akan membusuk di penjara, tanpa bertemu Reino lagi selamanya," ancamku kepada Fanny.
Fanny menghentikan tariannya dan dia segera mengambil bajunya lagi, kembali memakainya, dia berjalan menuju jendela sel dan kembali mendekatiku.
"Sudah kubilang, aku tidak bersalah, monyet," dia menghinaku dengan wajah datar.
Aneh, bagaimanapun dia dengan percaya diri tidak mengakui perbuatannya. Aku harus terus mencari tahu kebenarannya, rasanya ada sesuatu yang belum lengkap di sini. Status kepolisian akan naik dari terduga menjadi tersangka jika Fanny mengakui perbuatannya. Alat bukti dan saksi masih kurang untuk menjadikan Fanny tersangka. Itu sebabnya aku dikirim ke sini. Dia harus segera mengakui perbuatannya dan aku harus segera cepat pulang untuk segera bertemu keluargaku.
"Apa yang membuatmu sulit untuk mengakuinya, Fan?" tanyaku mencoba menekan Fanny sekali lagi.
"Dr. Fikri, aku tidak pernah membunuh siapa pun. Sasya memang anak monyet, tapi aku tidak pernah membunuhnya. Walaupun sebenarnya, aku senang karena dia mati," wajahnya masih datar.
Bisa-bisanya dia mengucapkan kalimat yang mengerikan itu dengan wajah yang sangat datar.
Dua psikiater sebelumnya juga menyerah, jika dalam enam bulan kasus ini tidak terselesaikan, Fanny akan dibebaskan secara bersyarat. Akan tetapi, bagaimana jika ternyata dia memang pembunuh? Dilema dan rasa kalut menguasai pikiranku. Aku hanya butuh pengakuan, untuk kesembuhan bisa menjadi faktor lain. Setidaknya, dia harus mengaku bahwa dialah pembunuhnya. Bagaimana jika ternyata dia bukan pembunuh, tapi kami memaksa dia menjadi tersangka? Apakah itu melanggar kode etik? Aku benar-benar tidak tahu jawabannya. Karirku, benar-benar dipertaruhkan dalam kasus ini.
Malam itu aku tidak dapat tidur tenang dengan segala pikiran yang melayang di kepalaku.
Pagi harinya, aku dibangunkan perawat yang rutin memberikan sarapan. Saat aku sedang menikmati sarapanku, Risma datang dan menghampiri selku. Dia benar-benar tidak tahu sopan santun, mengganggu orang yang sedang makan adalah perbuatan yang sangat tidak beretika.
Dia tidak masuk ke dalam sel, dia hanya berdiri di depan kamar sel. "Apa kabar, Toni?" tanyanya mengganggu konsentrasiku dalam menikmati sarapan.
Aku tetap melanjutkan sarapanku, tidak menghiraukan Risma sama sekali.
Cklek.
Pintu kamar selku terbuka, Risma masuk ke sini tanpa penjagaan sama sekali. Anak ini cukup berani, tapi keberanian saja tidak cukup untuk menjadi seorang psikiater.
"Aku bingung, Ton, mengapa dari semua sel di rumah sakit ini hanya sel ini yang ada jendelanya dan juga hanya di kamar ini yang ada CCTV-nya. Selain itu, aku tidak boleh masuk ke sel sebelah, berkasnya pun dirahasiakan, apa sebenarnya yang ada di ruangan sebelah, Ton? Aku juga mencoba mencari ruangan pengawas CCTV, hasilnya nihil. Para karyawan yang bekerja di sini, tidak ada satu pun yang tahu di mana letaknya," katanya panjang.
Rasanya, ingin aku lakban mulutnya dan mengusirnya dari rumah sakit ini.
Aku menarik napas panjang sebelum menjawab. "Jangan cari tahu lebih banyak, keluar sekarang. Kamu mengganggu waktu sarapanku," ucapku.
Risma menatap jendela sel, dia mendekat ke arah jendela. "Aku penasaran apa yang ada di kamar sebelah," katanya dengan rasa penasaran yang tinggi. "Tidak ada siapa-siapa?" katanya lagi.
Jangan-jangan dia bersembunyi di sebelah jendela, itu adalah titik buta. Bisa sangat berbahaya jika posisi Risma terlalu dekat dengan jendela. Risma bisa saja menerima serangan mendadak.
Belum sempat aku memperingatinya, semua telah terjadi, mata Risma tertusuk oleh jarinya Fanny, Risma berteriak kencang, dan darah menetes dari kedua bola matanya.
"Aaaaaagh! Aaaaaaaaaaaahh!" teriakannya sangat kencang, aku tidak bisa membayangkan betapa menyakitkannya itu.
"Risma!" teriakku, tubuhku bergerak tanpa berpikir. Adrenalin memompakan kekuatan pada kakiku yang berlari menuju sumber suara. Ketika aku sampai di sana, melihat Risma yang berjongkok dengan darah mengalir deras dari kedua matanya, perutku terasa mual.
Aku meraih lengan Risma, berusaha menenangkannya meski tanganku sendiri gemetar. "Tenang, Risma. Aku di sini," suaraku bergetar, berusaha terdengar kuat meski hatiku penuh kecemasan. Pandanganku beralih ke Fanny yang tersenyum di balik jeruji. Senyum puas dan penuh kemenangan.
"Fanny!" aku berteriak ke arah Fanny.
Fanny menjauh dan kembali duduk di tempat tidurnya. Aku mengecek keadaan Risma, bola matanya terluka parah akibat tusukan jari dari Fanny.
Tak lama kemudian para petugas berlarian, aku juga melihat kepala yayasan rumah sakit berlari ke sini karena mendengar teriakan Risma, dia melihat Risma yang terluka dan mendekat ke arahku lalu tiba-tiba meninjuku dengan sekuat tenaga. Lumayan, tapi tidak terlalu sakit, karena umurnya yang sudah tua, jadi tenaganya tidak begitu kuat.
"Polisi bajingan! Apa yang kamu lakukan ke anakku!" teriakannya tertuju ke arahku.
"Bapak akan dipecat dari posisi ketua yayasan karena pukulan ini, tanya ke anakmu, siapa yang melukainya," ucapku tegas ke arahnya.
"Saya tidak takut!" teriaknya lagi menantangku.
Aku mengambil telepon genggamku dan segera menelepon AKBP Sunaryo, menceritakan seluruh kronologinya dengan sejelas-jelasnya.
Kepala yayasan rumah sakit ini terus menyerangku tanpa henti, tapi para petugas menahannya, lalu dia berteriak menggila.
"Lepaskan! Anjing kalian! Kalian saya pecat!" teriakannya kali ini sangat keras, tubuhnya juga terlihat gemetar.
Fanny tiba-tiba tertawa dari sel sebelah, ini semua karenanya. Fanny benar-benar berbahaya.
Semua ditangani dengan cepat. AKBP Sunaryo benar-benar bisa diandalkan. Dr. Irma juga bersikap tenang dalam menangani masalah yang ada.
Setelah semuanya tampak damai, Fanny berbicara kepadaku. "Hati-hati, perbuatanmu barusan bisa saja membuat kepala yayasan rumah sakit ini melapor ke media, tentang adanya aku dan kamu," ucap Fanny memperingatiku.
"Kita lihat saja," jawabku berusaha tenang.
Sebenarnya, aku juga memikirkan kemungkinan yang diucapkan Fanny, seandainya media tahu, semua perjuanganku untuk kasus ini, akan sia-sia.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments