🍃🍃🍃
"Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan. Sekarang ke arah kiri."
Seorang gadis bermata kecil, dengan tinggi 155 cm, memperagakan gerak tari di hadapan puluhan anak perempuan di sebuah aula sanggar tari. Gadis berusia 21 tahun itu menjadi guru kesenian di Sekolah Menengah Pertama Belas Raya. Tangannya bergerak gemulai seraya dengan kakinya. Gerakannya sesuai parasnya, lembut, manis bak gulali di pasar malam.
"Ehem!"
Gadis itu menoleh ke sisi kanan, di mana pintu aula berada. Semua murid perempuannya ikut menolehkan kepala, menghadapkan pandangan ke sana setelah mendengar suara deheman itu. Pria paruh baya berdiri di ambang pintu sanggar tari. Kantung mata pria itu naik, membesar dibalik kacamata hitamnya dengan bibir tersenyum. Ia kepala sekolah, Ilyas Muzakki namanya.
"Bu Hafsah." Ilyas menggerakkan kepala ke arah kiri, mengajak Hafsah keluar dari sanggar.
Hafsah Nafisah, itulah nama gadis berkerudung hitam itu. Hitung-hitungan kelemahannya dan seni keahliannya. Beberapa bakat seni dikuasainya, menari, bermain alat musik, menyanyi, melukis, dan membuat kerajinan tangan. Meski bukan lulusan sarjana, Hafsah mampu mengharumkan nama melalui bakatnya yang bermula dari sekadar hobi.
"Kalian ingat gerakan yang sudah kakak tunjukkan? Pelajari dulu." Hafsah mengambil rok yang ada di pojokan, di atas meja, lalu mengenakannya dengan celana panjang yang dari tadi terpasang saat mengajar tetap berada dalam kurungan rok itu.
Hafsah meninggalkan aula sanggar tari, menemui Ilyas yang lebih dulu duduk di bangku depan sanggar tari itu sambil menunggunya. Ilyas berdiri setelah melihat Hafsah, lalu mengajak gadis itu mengikutinya sambil berbicara mengenai acara 1 Muharram yang akan diselenggarakan esok hari. Ilyas menjadikan Hafsah sebagai pengurus penyelenggara acara itu. Oleh sebab itu, Ilyas perlu membicarakan agenda yang diharapkannya ada di acara esok hari.
"Bapak tenang saja. Saya berusaha mempersiapkan acara untuk esok hari," ujar Hafsah, berjalan di samping Ilyas.
"Saya yakin dengan itu. Kreativitas yang kamu miliki pasti mampu membuat acara besok bagus dan teratur. Acara besok cukup besar, ada beberapa orang dari luar sekolah yang diundang," ujar Ilyas.
"Pak Ilyas!" Fardi, salah satu anggota tata usaha memanggil pria itu dari pintu di mana ruangan tata usaha berada.
Hafsah dan Ilyas berhenti melangkah dan berdiri tepat di depan ruang tata usaha yang berada di samping kantor majelis guru. Sapaan Fardi bertujuan mengajak Ilyas berbicara. Bahkan, Hafsah bisa membacanya dari ekspresi pria itu.
"Persiapkan anak-anak dengan baik karena pengisi acaranya ustaz dari kota itu. Ustaz Rashdan Khairi Rasyid." Ilyas menepis bahu kanan Hafsah dengan lembut, lalu berjalan menghampiri Fardi.
Kedua pria itu memasuki ruangan itu, meninggalkan Hafsah masih berdiri di posisinya dengan senyuman.
***
Hafsah mengendarai motor dengan kelajuan kencang setelah melihat langit kelam menyedihkan. Prediksinya hujan akan turun lebat dalam beberapa waktu ke depan. Oleh sebab itu, ia memacu kecepatan motornya.
Benar saja, hujan turun tak terduga. Hafsah memberhentikan motornya di depan halte bus, berteduh di sana. Tangannya menepuk-nepuk tas sekolahnya dari sentuhan air hujan yang sempat hinggap.
"Mur. Kita punya baju hujan?"
Pria yang duduk di dalam mobil mewah berwarna putih memperhatikan Hafsah dari seberang jalan.
"Ada. Untuk apa? Kita tunggu hujan reda saja, Ustaz."
"Berikan baju hujannya kepada wanita itu. Kasihan dia,” ucap pria berpeci hitam yang tengah duduk memandangi Hafsah dari kejauhan, di balik kaca mobil.
Mur, sopir mobil putih itu mengarahkan pandangan seirama dengan arah wajah pria itu mengarah. Mur menganggukkan kepala dan mengambil baju hujan dari bangku belakang. Kemudian, beranjak keluar dari mobil, berjalan menghampiri Hafsah dengan payung yang melindunginya dari tetesan air hujan.
Pria di dalam mobil itu memperhatikan Mur dan Hafsah berbicara dari balik kaca jendela. Ia tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan, tetapi ia berpikir pembicaraan mereka baik setelah melihat Hafsah tersenyum dan beberapa kali menganggukkan kepala pelan kepada Mur.
TRENGG!
Suara dentingan pesan masuk ke ponsel pria itu.
[Sudah sampai di desa Belasan Raya? Jangan lupa hubungi aku.]
Bibir pria itu sedikit melengkung, tersenyum ringan. Lalu, senyumannya memudar dan bercampur sedih setelah melihat pesan lanjutan yang masuk. Sebuah foto dikirim padanya. Di foto tersebut terdapat potret bocah laki-laki usia tiga tahun dan seorang wanita cantik berhijab syar'i.
[Kami sudah sampai di rumah Mama.]
Pesan tersebut dikirim oleh wanita berhijab syar'i itu, istrinya.
[Alhamdulillah. Aku juga sudah sampai, tapi mobil kami tiba-tiba mogok. Di sini hujan, nanti setelah hujannya reda, aku hubungi kamu. Jaga kesehatan dan jaga Husein.]
Pria itu membalas pesan sang istri sambil tersenyum.
Mur kembali ke dalam mobil.
Pria berparas tampan itu tidak sadar sopirnya sudah hendak masuk ke dalam mobil karena fokus dengan ponselnya. Suara pintu mobil dibuka yang baru menyadarkannya.
Pria itu menoleh ke samping, memandangi Hafsah menaiki motor di depan halte dan berkendara di bawah rintikan hujan yang mereda.
***
Sore hari berlanjut malam. Hafsah mengeringkan rambut menggunakan handuk dan hair dryer. Ia memakai hijab persegi warna hitam dengan panjang sepinggang dan memakai gamis polos warna krim.
"Hafsah! Cepatlah!" Seorang gadis seusianya berseru dari teras rumah.
"Icha menunggumu sejak tadi. Cepatlah! Nanti dia mengamuk dan membakar rumah ini." Rianti, ibu gadis itu tersenyum sambil bercanda dari pintu kamar sang anak.
Hafsah menusukkan jarum pentul di kepalanya sambil berjalan keluar dari kamar. Ia menghampiri Icha, gadis tomboy, dan anak guru ngajinya dulu.
"Ayo! Saff depan pasti sudah penuh. Acaranya juga pasti sudah dimulai. Kamu ngapain aja dari tadi?" Icha mengoceh kesal di teras.
Hafsah hanya tersenyum.
Rianti keluar dari rumah, mengunci pintu, lalu mengikuti kedua anak gadis itu, mereka bertiga berjalan menuju masjid yang berada 200 meter dari keberadaan rumah sederhana itu. Hari ini adalah hari tahun Baru Islam, 1 Muharram. Mereka akan menghadiri acara yang diadakan di masjid itu sebagai sebuah peringatan dan perayaan.
Setelah beberapa menit di perjalanan, mereka sampai juga di masjid. Sayangnya, perkataan Icha benar. Mereka hanya bisa duduk di teras masjid dan acara juga sudah dimulai. Mereka datang di tengah pria yang dipanggil ustaz itu sedang berceramah di dalam masjid, di hadapan semua orang dengan pembawaannya yang santai, membuat mata adem saat melihatnya.
"Gila. Masjid tidak pernah sepenuh ini. Mengapa tidak? Ustaz Rashdan ceramah kali ini. Ustaz seribu wanita. Itu julukan yang pas." Icha menyanjung pria itu dan memperhatikannya dari pintu masjid yang terbuka lebar bersama leher memanjang bak jerapah dan mata melebar seperti gorila.
"Rashdan," kata Hafsah sambil berpikir, nama itu terasa familiar di telinganya.
"Iya. Kamu tidak tau? Dia anak pemilik pesantren Al-Huda di kampung sebelah. Dia juga punya pesantren di kota. Masih muda, sudah punya bekal baik di akhirat nanti. Menantu idaman," sahut Soraya, teman Rianti yang kebetulan berada di hadapan mereka.
"Iya, Bi. Sayang sekali, dia sudah menikah. Tapi, aku siap dijadikan istri keduanya. Pasti bahagia rasanya menjadi istri seorang ustaz Rashdan Khairi Rasyid. Sudah tampan, pendidikan bagus, agama bagus, kaya lagi." Sanjungan Icha semakin bertambah sambil memperhatikan wajah pria yang sedikit melawak dalam ceramahnya itu.
"Rashdan Khairi Rasyid? Bukankah itu …." Hafsah berbicara dalam hati sambil menatap wajah ustaz itu yang kurang jelas karena berada cukup jauh dari posisinya.
Hafsah mulai santai setelah bisa mengingat nama yang familiar di telinganya itu.
🍃🍃🍃
Usai selesainya acara 1 Muharram di masjid tersebut, beberapa orang berbondong-bondong menghampiri ustaz bernama Rashdan itu, penceramah tadi. Kebanyakan dari mereka para kaum hawa yang masih muda, meminta foto dan tanda tangan pria itu. Sudah seperti artis saja.
Kecuali Hafsah, gadis itu berdiri di luar pintu, di teras dengan mata hanya memperhatikan mereka, itu pun menunggu Icha yang ikut berkerumun di hadapan ustaz itu.
"Sabar ...! Satu-satu dan jangan dorong-dorong. Semuanya duduk teratur," ucap pria itu, Rashdan Khairi Rasyid.
Mereka yang mungkin terdiri hampir seratus orang mengindahkan kalimat perintah dari Rashdan. Duduknya mereka menampakkan wujud Hafsah di mata pria itu. Sejenak mereka saling memandang dalam kebisuan sampai akhirnya Hafsah menundukkan kepala dalam pengabaian. Namun, sorot mata Rashdan menyiratkan sesuatu yang dalam.
***
Di musala kecil di Sekolah Menengah Pertama Belas Raya, Rashdan kembali memberikan ceramah di hadapan para penghuni sekolah, setelah semalam sempat memberikan ceramah juga di masjid yang berada tidak jauh dari kediaman Hafsah.
Tidak hanya kalangan para gadis muda, remaja juga banyak mengagumi pria berjubah abu-abu tua itu. Para pelajar terutama para anak gadis remaja itu antusias menatap Rashdan dengan senyuman.
Di sisi lain, Hafsah bergegas memasuki musala dari pintu sisi kiri rumah Allah itu, hendak duduk bergabung bersama para majelis guru lain yang sudah berada di sana sejak tadi. Gelagat gadis itu cepat karena datang terlambat, tidak seperti perencanaan kemarin. Untung saja, OSIS yang bekerjasama dengannya sudah menyiapkan acara itu sejak pagi sesuai arahannya kemarin.
Kaki Hafsah berhenti melangkah di ambang pintu ketika matanya beradu dengan mata Rashdan yang kebetulan menatapnya, pria itu diam di tengah ceramahnya. Otak Hafsah berputar seketika, mengingat mimpinya semalam yang membuatnya tidak bisa tidur dan baru bisa tidur usai salat subuh tadi, sampai tidak sengaja kesiangan.
'Qobiltu nikahaha wa tazwijaha 'alal mahril madzkuur wa rodhiitu bihi, wallahu waliyyut taufiq.'
Kalimat itu lancar diucapkan Rashdan dalam mimpi Hafsah, terekam jelas oleh gadis itu. Hal itu membuat Hafsah sedikit frustasi karena tidak pernah terpikir akan dinikahi pria yang jelas-jelas sudah beristri.
"Hafsah!" panggil Namima dengan suara kecil, guru mata pelajaran matematika yang duduk tidak jauh dari pintu.
Lamunan Hafsah seketika buyar, matanya beralih menatap Namima di sisi kanan pintu dengan senyuman manis. Kakinya melangkah masuk dan duduk di samping wanita yang jauh lebih tua darinya usianya itu dengan posisi kedua kaki ditekuk, diimpit.
Rashdan menghela napas dan ekspresi wajah lebih tenang tergambar sambil mengalihkan sorot mata dari Hafsah menuju para pelajar yang duduk di hadapannya. Sejak tadi pria itu tampak berada dalam beban pikiran, tetapi tetap berusaha untuk menyembunyikannya karena ingin tampil profesional di hadapan mereka.
***
Dahi Hafsah mengerut bingung, sekaligus penasaran mendapati wujud mobil yang sama tadi terparkir di parkiran sekolah kini berada di halaman rumahnya, yang dilihatnya dari celah pagar rumah berbahan besi dengan tinggi dua meter dengan kondisi mengendarai motornya. Transportasi beroda dua itu memasuki gerbang rumah, diparkiran di samping mobil itu sampai akhirnya melihat jelas mobil tersebut dan yakin itu mobil yang sama, yang ada di sekolah tadi.
Setelah melepas helm dari kepalanya, Hafsah lanjut berjalan memasuki rumah dengan awalan salam yang dilontarkan. Ucapannya dibalas oleh beberapa mulut yang tengah duduk di ruang tamu. Gadis itu tidak melanjutkan kakinya melangkah masuk setelah menemukan wujud Rashdan di antara mereka. Tidak banyak, hanya ada kedua orang tua gadis itu, Rashdan, dan Mur di sana.
"Ustaz Rashdan." Hafsah berkata dalam hati dengan ekspresi kaget. "Pria itu? Bukankah dia yang memberikan baju hujan kemarin?" Hafsah kembali berbicara dalam hati sambil mengingat Mur setelah mengalihkan pandangan dari Rashdan.
"Hafsah!" Rianti tersenyum manis pada anaknya itu sambil mengayun tangan, memanggil.
Hafsah membalas senyuman sang ibu dan berjalan pelan memasuki rumah, menghampiri mereka dengan benak diisi oleh rasa penasaran dan bingung. Gadis itu berakhir duduk di samping Rianti dan menganggukkan kepada Rashdan dan Mur dalam kebisuan sebagai sapaan.
"Ternyata dia anak Pak Hadid. Cantik sekali," puji Mur, ikut mengingat gadis yang dibantunya kemarin.
"Masya Allah, terima kasih," ucap Hafsah, tersipu malu.
Rashdan menatap dalam Hafsah yang menundukkan kepala. Tingkah gadis itu diperhatikan dalam diam sambil mengingat cerita kedua orang tua Hafsah, Hadid dan Rianti mengenai pendidikan gadis itu yang hanya lulusan sekolah menengah atas saja. Meskipun begitu, Rashdan tidak memandang sebelah mata gadis itu, malah memujinya yang tampak menunjukkan adab baik saat bersikap dan bertutur.
"Hmm ... ada acara apa?" tanya Hafsah dan melirik kedua orang tuanya bergantian.
Ekspresi Rianti dan Hadid sedikit berubah, volume senyuman mereka berkurang dalam beberapa detik, lalu sepasang suami-istri itu tertawa ringan membuat Hafsah mengerutkan dahi sedikit bingung, merasa sesuatu yang tidak beres disembunyikan oleh mereka.
"Kedatangan kami ke sini memiliki niat baik. Kami ingin melamar Mbak Hafsah," ujar Mur dengan nada suara terdengar ragu, tidak terlalu berani untuk berkata secara spontan.
"Maksudnya, bagaimana? Melamar pekerjaan?" Hafsah tersenyum ringan dengan raut wajah masih terlihat bingung.
Mur menepuk paha kanan Rashdan, menarik perhatian gadis itu dsn mengalihkan pandangan Hafsah kepada pria itu yang baru menundukkan kepala, menatap kedua tangan yang menyatu di atas pangkuannya.
"Begini. Ustaz Rashdan datang ke sini untuk menjadikanmu istrinya," terang Hadid dengan wajah senang, juga terselip sedikit raut wajah ragu anaknya itu akan menerima lamaran tersebut.
"Ayah ...," tegur Hafsah, mengira sang ayah bergurau mengingat kebiasaan pria paruh baya itu begitu.
"Ayahmu benar," bantu Rashdan.
Hafsah langsung diam kaget, tercengang, mematung dalam beberapa detik sampai akhirnya tersenyum bodoh, merasa mereka sedang mengerjainya. Ia tidak percaya mengingat Rashdan memiliki istri dan anak, lalu keluarga mereka juga terdengar olehnya cukup harmonis.
Rianti berdiri dengan menunjukkan senyuman terdengar dengan tawa ringan kepada Rashdan. Tangan kanan wanita paruh baya itu menggenggam dan menarik pergelangan tangan Hafsah, mengajak gadis itu yang masih menganggap mereka bercanda beranjak memasuki kamar yang berada tepat di belakang bangku ruang tamu yang diduduki Rashdan.
Usai pintu kamar ditutup, senyuman bodoh itu masih tergambar di wajah Hafsah kepada Rianti.
"Kalian mau merayakan apa sampai bercanda begitu besarnya?" tanya Hafsah.
"Ini bukan candaan,” timpal Rianti dengan wajah serius.
Senyuman Hafsah memudar spontan dan tergambar ekspresi kaget setelah itu.
“Ustaz tampan itu ingin menjadikanmu istri keduanya. Dia baru saja cerita kalau tiga malam ia dia bermimpi, mendapatkan petunjuk yang merujuk dirinya menikahimu. Ini sebuah anugerah, sebuah kebaikan, karena kalian bisa bersama atas seizin Allah," ucap Rianti, berbicara dengan suara senang karena bahagia memikirkan dirinya akan mendapatkan menantu seorang ahli agama.
"Tapi, dia sudah memiliki istri dan anak. Jika aku berada di posisi istrinya, aku tidak akan bisa menerima kenyataan itu, Bu ... itu hanya sebuah mimpi belaka, tidak perlu dipercaya." Secara tidak langsung Hafsah menolak keras lamaran Rashdan di hadapan sang ibu.
"Dia sudah membincangkannya bersama istri dan keluarganya. Mereka setuju," bujuk Rianti, masih berharap Hafsah dapat mengubah pendapatnya mengenai istri kedua yang dianggap tidak baik.
"Dia seorang pria yang mengerti agama, dia pasti tahu mana salah dan benar” Rianti masih membujuk anaknya itu dengan nada suara dan raut wajah memelas.
Pembicaraan mereka samar ditangkap oleh kedua indra pendengaran Rashdan. Pandangan pria itu mengarah ke depan, mengadunya dengan Hadid yang tersenyum, tapi telinganya fokus ke belakang.
Pria itu bisa mengerti posisi dan pola berpikir Hafsah saat itu sampai menolak lamarannya. Namun, ia juga tidak bisa berbuat banyak, mimpi yang dialaminya semalam menjadi sebuah petunjuk yang dirasa membawa kebaikan untuknya dan Hafsah.
🍃🍃🍃
Sekitar sepuluh menit di kamar, Hafsah dan Rianti keluar dari sana, kembali duduk di posisi awal mereka dengan bibir Rianti tersenyum melebar menyembunyikan perdebatan yang cukup melelahkan antara dirinya dan putrinya itu, sedang Hafsah sendiri diam dengan ekspresi bingung, masih tampak berpikir keras, dan ada keraguan di hatinya dengan hubungan yang diperbincangkan jika disetujui olehnya.
"Bagaimana, Nak?" tanya Hadid kepada Hafsah, tanpa tahu begitu banyak hal yang dipikirkan anaknya itu.
“Huff!” Hafsah menghela napas.
“Bismillahirrahmanirrahim. Iya,” ucap Hafsah, menerima lamaran Rashdan.
Hafsah mengadu pandangan dengan Rashdan.
“Dua hari lagi saya akan kembali ke kota. Jadi, pernikahan akan dilaksanakan sebelum saya pergi,” terang Rashdan dengan ekspresi ciri khasnya, yaitu tampak dingin secara raut wajah, tetapi sebenarnya pria itu orang yang peduli.
“Secepat itu?” tanya Hafsah, kaget.
“Um. Kalau bisa, besok. Saya sudah membicarakannya bersama ustaz Zainan subuh tadi di masjid, dia sudah memberikan izin untuk mengadakan pernikahan di sana. Untuk sementara, saya minta maaf karena tidak bisa menyelenggarakan resepsi karena waktu yang mepet. Nanti kita bicarakan lagi mengenai hal itu,” terang Rashdan dengan sedikit berat hati mengatakannya.
“Jika menikah besok, kapan aku punya waktu berbicara bersama ustaz Rashdan untuk membuatnya paham akan perasaan istrinya dan aku?” Hafsah berucap dalam hati, masih tidak menyangka akan secepat itu.
“Baik. Lebih cepat, lebih bagus,” ucap Hadid.
Hafsah menoleh ke sisi kanan, menatap sang ayah yang duduk tersenyum padanya dengan sorot mata menyuruhnya untuk diam dan menyetujui keputusan Rashdan.
“Kalau begitu, kami pamit undur diri karena masih ada kajian yang harus saya hadiri,” pamit Rashdan.
Pria itu mengambil secangkir kopi yang ada di atas meja, yang ada di hadapannya. Ia meneguk air berwarna coklat kehitaman itu sampai habis dalam beberapa tegukan karena kondisi air sudah tidak panas.
“Terima kasih,” ucap Rashdan sambil menaruh gelas kopi kembali ke atas meja.
“Sama-sama,” balas Rianti.
Rashdan dan Mur berdiri. Pria yang baru melamar Hafsah itu menyalam tangan Hadid secara langsung, tetapi tidak kepada Rianti dan Hafsah, mereka melakukannya dari jauh. Hal yang sama juga diikuti Mur.
Kedua pria itu berjalan keluar dari rumah sederhana itu diantar oleh penghuni rumah sampai ke teras.
“Ustaz Rashdan!” Hafsah memanggil Rashdan yang hendak memasuki mobil.
Pria itu memutar badan ke belakang, menatap Hafsah yang sesekali menurunkan pandangan karena melihat sorot mata Rashdan yang baru disadari membuat jantung wanita itu tidak stabil, berdegup kencang. Hal itu dirasakan Hafsah sejak matanya beradu tatap di sekolah pagi tadi.
“Bisa kita bicara nanti malam? Kita bertemu di taman dekat masjid,” ujar Hafsah.
Beralih Rashdan menatap Mur yang berdiri di sampingnya. Sopir pribadi yang terlihat seperti temannya itu menganggukkan kepala dengan sudut bibir sedikit tersenyum.
“Baiklah,” ucap Rashdan, lalu melanjutkan kaki memasuki mobil.
Hafsah menghela napas lega karena menunaikan niat yang sulit untuk dilakukan sejak tadi, mengajak pria itu berbicara.
Mereka bertiga yang berdiri di teras memandang mobil yang dikemudikan Mur kian menjauh, menghilang dari sorot mata mereka.
***
Hafsah berjalan di samping Rashdan memasuki taman Griya, di mana ada Mur yang menjadi obat nyamuknya, pria itu berjalan sejajar dengan mereka tepat di sisi kiri Rashdan, agar mereka tidak terkesan dipandang buruk di mata Tuhan, sedang berduaan karena status mereka belum sah menjadi pasangan suami-istri. Meskipun ada Mur di sana, suasananya masih terasa canggung bagi Hafsah, membuat mereka saling diam sampai akhirnya wanita itu duduk di bangku taman, sedangkan Rashdan dan Mur berdiri di hadapannya.
“Ustaz punya istri dan anak. Coba pikirkan bagaimana perasaan istri ustaz menyadari dirinya dimadu? Tidak ada wanita yang bisa dimadu di dunia ini, Ustaz. Ini bukan zaman nabi.” Hafsah berusaha membuat Rashdan mengerti dan bisa mengurungkan niat untuk menikahinya. “Jika aku istri ustaz, aku tidak bisa menerimanya,” lanjut Hafsah.
Keberadaan Mur yang jauh lebih tua dari mereka tidak merusak suasana, membuat mereka canggung membicarakan hal itu. Sopir pribadi Ustaz tampan itu bisa menaruh tepat posisinya di situasi mereka.
“Sayangnya kamu bukan istri saya. Jadi, kamu tidak akan bisa mengerti,” timpal Rashdan dengan wajah dinginnya.
Timpalan Rashdan kali ini menarik rasa kaget Hafsah, tidak menyangka pria itu membalas penjelasannya sedikit tajam yang tidak dilihat sebelumnya.
“Benar. Aku bukan istri ustaz. Baiklah. Terima kasih atas waktunya, aku hanya mengatakan itu saja,” ketus Hafsah, kesal.
Gadis itu berdiri, berjalan meninggalkan keberadaan mereka dengan perasaan kesal dan sedikit emosi yang ditahan sampai membuatnya geram. Perkataan Rashdan sedikit menyinggung perasaannya dan Rashdan menyadari hal itu, membuat pria itu sedikit merasa bersalah jadinya.
Mur memperhatikan ekspresi Rashdan, pria itu tersenyum ringan, tahu apa yang dirasakan oleh majikannya itu. Senyumannya tidak disadari Rashdan karena pria itu fokus memperhatikan kepergian Hafsah yang masih tampak oleh pemantauan indra penglihatan mereka.
“Wanita kalem seperti Mbak Hafsah cukup sensitif saat diajak bicara dengan nada begitu, Ustaz,” ucap Mur, masih tersenyum ringan.
“Kamu meledekku, Pak Mur?“ tanya Rashdan dengan nata sedikit mengecil, tidak ada senyuman yang terukir.
“Maaf, Ustaz.“ Mur merapatkan bibir, menahan senyumannya.
***
“Qobiltu nikahaha wa tazwijaha 'alal mahril madzkuur wa rodhiitu bihi, wallahu waliyyut taufiq.“
Rashdan mengucapkan kalimat itu dalam satu tarikan napas. Kalimat yang sempat muncul di mimpi sepertiga malam itu yang akhirnya terucap juga, menjadikan mereka sebagai pasangan suami-istri yang sah.
“Sah?” tanya penghulu, menatap para saksi pernikahan dari kedua belah pihak.
“Sah …,” ucap mereka.
Hafsah diam membeku, merasa tidak percaya, mimpi di malam yang sama dengan mimpi yang dialami Rashdan terjadi juga. Matanya menatap kosong buku nikah yang ada di hadapan penghulu, yang akan ditandatangani olehnya dan Rashdan.
Para kaum hawa yang belum menikah, yang hadir di masjid, yang menyaksikan pernikahan itu merasa tidak rela. Mereka merasa iri dengan posisi yang diambil Hafsah dalam hidup Rashdan ke depannya, pria yang mereka kagumi. Namun, mereka juga sadar, begitulah takdir.
“Hafsah …!” panggil Rianti, menyadarkan wanita itu dari lamunannya.
“Ustaz Rashdan …!” Mur ikut memanggil Rashdan yang juga sempat duduk termenung setelah mengucapkan ijab-kabul bersama Hadid.
“Silakan tandatangani surat nikahnya,” ucap penghulu sambil menyodorkan dua buku nikah ke hadapan Hafsah dan Rashdan di atas meja akad.
Mempelai pria mengambil pulpen lebih dulu, menandatangani buku nikah itu dan dilanjutkan oleh Hafsah. Kemudian, Rashdan mengenakan cincin di jari manis kanan gadis yang resmi menjadi istri keduanya itu, sebaliknya juga dilakukan mempelai wanita. Tidak lupa, Hafsah menyalam, mencium punggung tangan Rashdan, dibalas mempelai pria dengan menaruh tangan kirinya di kepala Hafsah dan mengecup dahi gadis itu.
Rianti memegang tangan Hadid, tersenyum pada suaminya itu, menyalurkan perasaan bahagia melihat putri semata wayang mereka berada dalam tanggung jawab Rashdan, pria yang tepat menurut mereka.
Setelah acara itu singkat itu usai, kedua mempelai menerima ucapan selamat dari orang-orang terdekat yang hadir di acara tersebut. Senyuman palsu diumbar oleh Hafsah dan Rashdan untuk menutupi perasaan yang sebenarnya murung, dalam jiwa yang tidak baik-baik saja. Mereka memikirkan satu orang yang sama, yaitu Halma. Bagaimana perasaan Halma saat ini, juga ke depannya dengan hubungan mereka? Hal itu mengganggu benak mereka, terutama Rashdan, meskipun istri pertamanya itu sudah memberikan izin atas pernikahan keduanya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!