"Bodohnya aku," Sizy merutuk dirinya sendiri.
Mobil yang ia kemudikan dengan kecepatan tinggi tanpa memakan waktu lama tiba diapartemennya, walau ia harus menulikan telinganya atas makian pengendara lainnya yang dibuat jantungan karena aksi ugal-ugalannya dijalan.
Security melongo, merasa aneh pada Sizy yang biasanya menyandang predikat penghuni apartemen teramah, juga paling rapi saat memarkirkan mobilnya di basemen, berjalan acuh dan terkesan buru-buru dengan rambut panjangnya sebagian menutupi wajah cantiknya.
"Jangan harap--, jangan harap aku menangisimu Edwin!" geramnya marah.
Brakk!
Sizy membanting pintu apartemennya, dan akhirnya tetap menangis juga. Hatinya begitu kesal, merasa dibohongi kekasihnya.
Ia menghempaskan tubuhnya dipembaringan, dan menangis sejadi-jadinya. Melepaskan segala energi negatif yang bercokol dalam dadanya.
...***...
Pukul 1:30.
Clive mendorong pelan pintu kamar Berry. Dalam cahaya remang lampu tidur, pria itu melangkah masuk dan duduk di tepi pembaringan. Ia menatap Berry yang telah pulas, napasnya juga nampak teratur.
Clive mengusap kasar wajahnya, mengingat laporan David beberapa menit yang lalu sebelum ia masuk kekamar putranya itu.
Flasback on :
"Tuan kecil tidak berperilaku baik saat guru les-nya datang mengajarinya, juga tidak mau mengerjakan pekerjaan rumahnya yang telah ditugaskan oleh sekolah, Tuan."
"Biarkan saja. Dia sendiri yang akan menanggung hukuman dari gurunya besok di sekolah," Clive berusaha acuh, sambil melonggarkan dasinya yang membuatnya seakan gerah saat mendengar laporan tentang kebandelan putranya.
Ia melihat setumpuk mainan rusak disudut ruangan. Tentu Berry yang melakukannya, siapa lagi? Clive mendesah pelan.
"Tuan kecil sudah tidur sejak sore, melewatkan makan malamnya. Saya sudah berusaha membujuknya tapi dia bersikeras tidak mau Tuan, sebelum bertemu nona Sizy," lapor David lagi, ia menelan salivanya sàat melihat Clive menghentikan pergerakan tangannya melonggarkan dasi tanpa menatap kearahnya.
Flasback off.
Clive bangkit, membenarkan selimut Berry, lalu meninggalkan kamar putranya itu.
Beberapa detik berikutnya, terlihat ada pergerakan ringan. Berry bangkit dari berbaringnya dan turun dari sana menuju kamar mandi setelah memastikan ayahnya tidak akan masuk lagi kedalam kamarnya.
...***...
Ting! Tong! Ting! Tong!
"Ugh!" Sizy menggeliat ditempat tidur, nyawanya belum terkumpul sepenuhnya karena kantuk masih menguasainya. Bahkan semalam ia tidak sempat membersihkan diri dikamar mandi karena sibuk meratapi kebodohannya.
"Siapa pagi-pagi buta begini mengganggu ketenangan orang tidur?" perlahan Sizy beringsut turun, menyeret langkah malasnya menuju pintu, tidak tahan mendengar bunyi bel apartemennya yang terus saja berteriak.
Ceklek.
"Nona, bagaimana mungkin anda bisa enak-enakan tidur? Sementara putra anda, anda biarkan hampir mati kedinginan diluar!" sambil menunjuk Berry yang berdiri disamping pintu dengan wajah pucat kuyu, memeluk tubuhnya sendiri yang hanya mengenakan piyama tipis.
Sizy terperangah, ia bingung karena pria berpakaian security itu tiba-tiba saja memarahinya, dan wajahnya terlihat asing. Mungkin pegawai baru, fikirnya cepat menyimpulkan.
"M-maaf pak. Dia bukan anak saya, dia--" berusaha memberi penjelasan.
"Saya tahu mencari uang itu susah. Tapi jangan itu dijadikan alasan untuk menelantarkan anak. Untung saja saya berpatroli pagi ini dan menemukan anak ini tidur didepan pintu Nona," potong security itu dengan omelan.
"Baiklah-baiklah, maafkan saya pak," Sizy mengangkat kedua belah tangannya, ia tidak ingin meneruskan perdebatan ini, merasa tidak nyaman saat masing-masing penghuni apartemen terbangun dan mengintipnya dari pintu mereka.
"Ayo Berry," Sizy menarik pelan pergelangan tangan anak itu dan membawanya masuk.
Ia mengurungkan niatnya untuk bertanya saat mendengar bunyi yang dikeluarkan oleh perut Berry.
"Kamu lapar?" tanyanya menatap Berry, anak laki-laki itu hanya mengangguk mengiyakan.
"Mau makan apa? Bibi akan buatkan," Sizy mengulas senyum lembutnya.
Berry terlihat berfikir sejenak.
"Ayam fillet saus mentega dan segelas susu."
"Baiklah, tunggu disini sebentar, Bibi akan memasakannya sebentar," Sizy buru-buru menyelimuti tubuh kecil Berry dengan selembar selimut yang ia ambil dari lemari dalam kamarnya, menyalakan televisi lalu meninggalkan Berry seorang diri di sofa tamu.
Bukannya menonton televisi, Berry sibuk memindai seisi ruangan. Tidak cukup sampai disana, ia beranjak turun dari sofa menuju kamar Sizy sambil waspada melihat kearah dapur.
25 menit kemudian.
"Makanan sudah siap. Ayo kita makan," Sizy muncul dari dapur dengan senyum terkembang.
Berry mengalihkan pandangan dari televisi yang ia tonton, lalu turun dari sofa, dan mengekor Sizy yang berjalan menuju meja makan.
"Duduk disini," Sizy mengangkat tubuh kecil Berry dengan hati-hati dan mendudukannya dikursi, disebelahnya.
Berry tidak berbicara, ia langsung memejamkan matanya, dan Sizy tahu anak itu sedang berdoa sebelum memulai sarapannya.
Menit berikutnya, Sizy yang sedang mengunyah sarapan yang sama dengan Berry sesekali melirik pria kecil disebelahnya itu. Ia tidak heran melihat cara makan Berry yang elegan, membuat dirinya akhirnya meniru cara makan anak itu.
"Bibi akan mengantarmu pulang sebentar lagi setelah bersiap, karena pagi ini kamu juga harus segera kesekolah supaya tidak terlambat."
Sizy memutuskan tidak bertanya seperti niatannya, saat melihat jam dindingnya sudah menunjukan pukul 6:40. Begitu selesai membereskan peralatan makan, ia bergegas masuk kekamar dan mebersihkan diri dikamar mandi.
...***...
"Terima kasih nona Sizy, sudah mengantarkan Tuan kecil kami pulang," David membungkuk hormat saat Sizy terlihat terburu-buru.
"Sama-sama," Sizy tersenyum, lalu menaikan kaca jendela mobilnya perlahan.
David masih berdiri ditempatnya bersama Berry, memandangi mobil Sizy yang merayap perlahan meninggalkan mereka.
"Bersiaplah, kita berangkat sekarang Berry," Clive yang sedari tadi memperhatikan keduanya akhirnya bersuara.
"Ayah, aku harus bersiap dulu," Berry mendongak sebentar pada ayahnya yang jangkung itu, lalu menarik tangan David agar mengikutinya.
"David sudah menyiapkan pakaian, sepatu, dan tas sekolahmu didalam mobil ayah. Kamu bisa mengganti pakaian didalam, sambil kita berangkat menuju sekolahmu," datar Clive sembari melangkah menuju mobilnya.
"Aku bahkan belum sempat mandi Ayah," Berry melayangkan protes.
"Salahmu sendiri. Itu hukuman karena kamu berani pergi diam-diam tanpa seizin Ayah," Clive berhenti disamping mobilnya hanya untuk melihat wajah tidak suka Berry padanya.
"Aku melakukannya karena menginginkan wanita itu menjadi ibuku," ungkap pria kecil itu dengan mata melotot.
"David, angkat dia dan bawa masuk ke mobil. Omong kosongnya akan membuat kita semua terlambat," perintah Clive.
"Tuan kecil, tolong maafkan saya," David meraih tubuh kecil Berry, dan membawanya masuk ke dalam mobil sesuai perintah sang majikan.
"Tuan kecil, saya akan membantu anda mengganti pakaian," ijin David kemudian, saat mobil sudah melaju dijalan raya.
"Berbalik, biar aku mengganti pakaianku sendiri," Berry mengambil alih pakaian sekolahnya yang dipegang oleh David, sambil melirik ayahnya yang sedang mengawasinya dari pantulan kaca spion dekat sopirnya.
Drrt. Drrt. Drrt.
"Ibu Kepala Sekolah? Ada apa beliau menelpon?" Clive menatap layar ponselnya.
📞"Selamat pagi Ibu kepala sekolah," sapa Clive sopan.
📞"Selamat pagi tuan Clive, maaf mengganggu waktu Tuan. Bolehkah pagi ini singgah di sekolah? Ada hal penting yang harus saya sampaikan tentang Berry."
📞"Tentu. Kami sebentar lagi tiba."
📞"Kalau begitu, terima kasih Tuan. Saya menunggu kedatangan Tuan diruangan saya."
Clive menyimpan ponselnya begitu sambungan terputus.
Suasana sekolah TK Tiga Bahasa nampak sepi, saat mobil mereka masuk diarea sekolah.
"David, antar Berry kekelasnya, saya akan menemui Ibu kepala sekolah diruangannya."
"Baik Tuan. Ayo Tuan kecil," David meraih tas sekolah dan membawa Berry sertanya menuju kelasnya.
...***...
"Saya tidak melihat satupun murid dan orang tuanya, hanya berpapasan dengan beberapa guru saat berjalan kemari," ungkap Clive, setelah dipersilahkan duduk berhadapan dengan sang kepala sekolah.
"Hari ini libur Tuan," sahut sang kepala sekolah tenang.
"Libur?" Clive mengerutkan keningnya.
"Hari ini bukan tanggal merah Bu kepala sekolah, bagaimana bisa libur?" imbuhnya kemudian.
"Itulah hebatnya Berry, putra Tuan. Dia-lah yang meliburkan semua murid sekolah kami khusus hari ini."
Clive terperangah, sesaat kemudian ia segera menguasai perasaan kagetnya.
"Maaf, bolehkah saya diberi penjelasan?" Clive bergerak, merapikan perasaannya yang sempat berantakan atas ucapan tidak biasa sang kepala sekolah.
"Semalam, seseorang yang mengaku dari pihak sekolah telah menelpon semua orang tua murid, mengatakan kalau hari ini libur karena adanya rapat guru."
"Begitu mendapat kesaksian dari beberapa orang tua murid, pihak sekolah segera meminta bantuan pihak telekomunikasi, dan ternyata seseorang itu menelpon dari satu titik, yaitu telepon rumah anda Tuan."
Ibu kepala sekolah lalu memutar rekaman suara yang ia terima dari pihak telekomunikasi, memperdengarkan suara pria dewasa yang menelpon sekian banyak orang tua murid.
Clive lagi-lagi terperangah.
"Itu suara yang sengaja disamarkan oleh sang penelpon, Tuan. Dan ini suara aslinya yang telah diubah oleh pihak Telekomunikasi."
Clive menelan salivanya dengan susah payah, ia mengenal jelas kalau itu adalah suara putranya, Berry.
Bersambung...✍️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 114 Episodes
Comments
Indah Dewi
Segini dulu bebz bacanya entar di lanjut lagi/Kiss/ 3 🌹 buat kak dewi
2024-12-01
1
Indah Dewi
si bocah itu lah sapa lagi/Facepalm//Facepalm/
2024-12-01
1
〈⎳ HIATUS
cerdas
2024-11-06
1