Kantor Pusat Laboratorium Pengujian Bahan Konstruksi, Samarinda, Indonesia.
Ting!
Sizy buru-buru keluar dari lift sambil melirik arloji tangannya.
"Oh, tuan Clive, dia tampan sekali," gemas salah satu resepsionis sambil mencengkram buku tamu ditangannya, sementara satu teman resepsionis lainnya berdiri membatu dengan wajah penuh damba.
Sizy menoleh, menemukan presisi seorang pria yang menjadi pusat perhatian para pegawai wanita memasuki pintu utama, dengan postur tegap dan wajah datarnya, melangkah pasti tanpa menoleh kiri dan kanan menuju lift dimana dirinya keluar sebelumnya.
Ini bukan hal yang baru ia lihat, semua wanita dikantornya akan bersikap demikian setiap kali pria berdarah Indonesia-Inggris itu berkunjung dikantor mereka.
Derrt. Derrt. Derrt.
Sizy buru-buru meraih ponselnya yang ada didalam tas.
"Edwin..." Sizy mengulas senyum saat melihat nama kekasihnya tertera dilayar ponselnya.
📞"Maaf, aku baru akan menjemputmu di bandara, tadi ada pekerjaan yang tidak bisa aku tinggalkan," Sizy kembali terburu-buru menuruni tangga kantor menuju parkiran.
📞"Tidak Sizy, aku menelponmu hanya mengabarkan kalau aku sudah didalam taxi menuju apartemenku, lanjutkan saja pekerjaanmu. Besok saja kita bertemu sekalian makan siang. Aku lelah sekali, dan ingin langsung beristirahat."
📞Baiklah, aku mengerti. Penerbangan jauh memang melelahkan, beristirahatlah."
Sizy menarik napas, lalu menghembuskannya pelan, dan berusaha tersenyum. Empat tahun tidak bertemu Edwin, membuatnya sangat merindukan kekasihnya itu.
Demi pria yang dicintainya itu, Sizy bahkan rela mengorbankan beasiswa dari kantor tempatnya berkerja untuk meraih gelar doktor di universitas Harvard, Amerika. Dan memberikan tabungannya seratus dua puluh dua ribu dolar pada Edwin, yang memang ia canangkan untuk studinya diluar negeri.
Berusaha menjaga suasana hatinya tetap tenang dan bahagia, Sizy memutuskan untuk beranjak menuju kantin kantornya, mengisi perutnya yang baru terasa lapar setelah berkutat dengan pekerjaannya.
...***...
"Kak Sizy, maaf--" wajah Fiona nampak cemas, hingga tangannya gemetar menggenggam ujung jas laboratoriumnya.
"Sedang apa anak itu disini?" tanya Sizy, menatap Fiona, anak magang asuhannya, begitu ia pulang dari kantin.
"A-anak itu, d-dia menumpahkan agregat (material berupa kerikil, pasir, batu pecah) yang sudah dua hari ini aku uji," Fiona menunjuk tumpahan material disudut ruangan, sementara anak laki-laki itu berdiri disana sambil menempelkan tubuhnya didinding.
Sizy berjalan mendekati anak laki-laki itu, berjongkok dan menatapnya lembut.
"Apa yang kamu lakukan disini anak tampan? Ini ruang pengujian bahan bangunan, dan sangat berbahaya untuk anak kecil seusiamu berada diarea sini," Sizy menatap wajah datar anak laki-laki itu, setengah jidatnya tertutup oleh poninya yang pirang.
"Panggil aku Berry, dan aku tidak suka dikatakan anak kecil, seakan diriku ini lemah," tegasnya datar.
Sizy terperangah, tidak menduga mendapat respon tegas dari seorang anak laki-laki yang ia taksir pasti baru berusia lima tahun itu. Sizy kembali mengulas senyum lembutnya.
"Baiklah, aku sepakat memanggil namamu Berry. Sekarang katakan padaku, apa yang membawamu datang ke tempat ini? Dimana orang tuamu?" Sizy menelisik wajah imut anak laki-laki itu, begitu tampan dan sangat familiar, mirip seseorang yang tidak asing baginya.
"Aku mencarimu Sizy," anak itu balas menatap, datar.
Lagi-lagi Sizy terperangah. Anak laki-laki itu bahkan berani hanya menyebut namanya saja, tanpa embel-embel kakak, tante, bibi, atau apapun serupa itu.
"Dari mana tau namaku? Dan untuk apa mencariku?" Sizy masih dalam mode terperangahnya. Heran, bagaimana anak kecil itu bisa tahu namanya.
"Itu perkara mudah bagiku," sambil mengibaskan tangan kecilnya, merapikan poni dan menyugarnya kebelakang.
Sizy tertawa didalam hati, melihat sikap dewasa yang berusaha ditunjukan Berry dengan kepercayaan dirinya yang tinggi.
"Aku menyukaimu. Andai aku dewasa, aku pasti menikahimu. Sayangnya, aku masih terlalu kecil untuk itu. Jadi, kumohon--, jadilah ibuku."
"Apa?!" Sizy kian terperangah. Sama sekali dirinya tidak menyangka anak sekecil itu bisa berkata seperti itu. Enam bulan terakhir ini, ia memang beberapa kali melihat Berry ada diarea kantornya ini, tapi baru kali ini sempat berinteraksi dengannya, itupun karena anak itu melakukan kekacauan dalam ruang laboratoriumnya.
Tok! Tok! Tok!
Sizy, Fiona, dan juga Berry, sama-sama menoleh kearah pintu, dengan ekspresinya masing-masing.
"Ayah?!" Berry berucap kaget.
"Tuan Clive begitu sempura sebagai seorang pria..." Fiona membingkai wajahnya sendiri dengan sepasang tangannya sembari menyipitkan matanya.
Dan Sizy, perempuan itu bangkit dari posisi jongkoknya, lalu sedikit membungkukkan tubuhnya saat melihat Clive berada diambang pintu laboratoriumnya yang terbuka.
"Maaf, Berry pasti melakukan kekacauan disini," Clive menatap lantai disekitar injakan kaki putranya. Suara datar tapi tetap terdengar sopan.
"Saya akan meminta orang-orang saya untuk membereskannya."
"Tidak masalah tuan Clive, kami bisa membereskannya, ini tidak berat," sambut Sizy, tersenyum tipis melirik Berry yang berjalan menuju ayahnya lalu naik kegendongan. Ia baru sadar ternyata pria kecil itu anak dari Clive.
"Kami pamit," Clive berbalik, membawa Berry dalam gendongannya.
"Fio, Fiona!" Sizy menyaringkan suaranya, membuat Fiona yang masih hanyut dalam pesona Clive segera tersadar dengan gayanya yang gelagapan salah tingkah.
"M-maaf kak--, bukan salahku--, tuan Clive terlalu tampan untuk level para pria yang berseliweran dikantor kita, mereka semua--, lewaaaaat!" kekehnya sambil mengibaskan tangan dan rambutnya.
Mendengarnya, Sizy hanya menggeleng datar.
"Jangan banyak berkhayal Fio, kamu tidak perlu ketularan para wanita dikantor ini, mereka bagai serbuk besi yang langsung tersedot magnet pesonanya tuan Clive. Ayo cepat, kita bereskan kekacauan ini," sambil mengambil oven, mengumpulkan agregat yang terhambur dilantai dengan tangannya yang sudah menggunakan sarung tangan.
...***...
"Tidak adakah pekerjaan yang bisa kamu lakukan selain mengganggu kesibukan orang lain?" Clive melirik dingin Berry yang duduk disebelahnya.
"Aku hanya ingin wanita itu menjadi ibuku. Bila menunggu Ayah, sampai sekarang tidak ada tanda-tanda kehidupan," Berry ikut melirik dingin pada ayahnya.
"Siapa yang mau menjadi Ibumu? Wanita itu?" Clive tersenyum sinis mendengar ucapan putranya.
"Aku saja tidak mau jadi Ayahmu. Terpaksa saja, karena kamu adalah anakku," Clive membuka sabuk pengamannya, lalu segera turun dari mobil. Ia membuka pintu, lalu meraih tubuh kecil Berry masuk dalam gendongannya dan menyerahkannya pada pengasuhnya.
"Pastikan pria kecil ini tidak membuntutiku lagi."
"Baik Tuan," David membungkuk hormat, lalu menggandeng tangan Berry yang segera ditepis anak itu lalu berlari memasuki rumah.
"Sepertinya Tuan kecil sangat menyukai nona Sizy, Tuan," ungkap David.
"Beberapa bulan ini, dia terus mengikuti kemanapun wanita itu pergi," sambungnya.
Clive berfikir sejenak.
"Kalau kamu sudah tidak sanggup menjaga Berry lagi, ajukan surat pengunduran dirimu secepatnya, aku akan segera mencari penggantimu," setelah mengucapkan itu, Clive berlalu, menuju mobilnya.
"M-maafkan saya Tuan, b-bukan itu maksud saya," David tergagap. Ia tahu dirinya sudah lancang mencampuri urusan pribadi tuannya.
...***...
Rasa rindu yang besar membawa Sizy menyambangi apartemen Edwin sore itu sepulang kerja, ia sudah tidak bisa menunggu hingga esok hari.
Ting! Tong! Ting! Tong!
Cukup lama Sizy berdiri didepan pintu, sambil sesekali menekan bel.
Ceklek.
Sizy kaget, saat ia memutar gagang pintu, ternyata tidak terkunci.
"Edwin tentu sangat kelelahan, sampai lupa mengunci pintunya," gumam Sizy, lalu menutup pintu dibelakangnya, sambil mengedarkan pandangannya keseluruh sudut ruangan.
"Tidak ada yang berubah, masih seperti empat tahun yang lalu," gumam Sizy lagi, melihat ruangan apartemen yang bersih dan tertata rapi sama seperti terakhir kali ia kesana saat kekasihnya itu akan berangkat ke Amerika kala itu.
"Suara apa itu?" Sizy menajamkan pendengarannya, melangkah pelan mengikuti sumber suara.
Dada Sizy berdebar, jantungnya memacu kencang, diusianya yang sudah menginjak 27 tahun ini, tentu suara aneh didalam kamar itu membuatnya sangat curiga.
Pintu yang sedikit terbuka, terganjal koper dari dalam, sangat memudahkan Sizy mendorongnya hingga terbuka lebar.
"Brengsek kamu Edwin! Dasar perempuan laknat!" pekik Sizy murka.
Sizy mengangkat koper besar yang berat didekatnya, melemparnya sekuat tenaga pada kedua manusia yang tengah bergelut tanpa busana diatas ranjang dihadapannya. Lalu pergi dengan perasaan marah yang membara, tanpa menghiraukan panggilan Edwin yang terus berteriak memanggilnya.
"Stefhany, aku sudah memperingatkanmu supaya tidak ke apartemenku!" Edwin menatap tajam pada wanita bugil dihadapannya.
"Lebih baik dia melihatnya, jadi kita tidak perlu repot-repot menjelaskannya bukan?" perempuan itu terkekeh.
Edwin mendelik, tanpa berkata apapun lagi, ia beranjak dari ranjang menuju kamar mandi.
Bersambung...✍️
✍️Selamat membaca karya baru Author Dewi Payang.
✍️Dukungan para Readers untuk novel ini sangat Author harapkan, jangan lupa tinggalkan jejak, like, dan komennya.🙏🙏
✍️Bisa jadi, komen Readers bisa menjadi inspirasi Author dalam menulis bab-bab selanjutnya.
Salam dan doa dari Author
Dewi Payang. 🫰🫰
"Bodohnya aku," Sizy merutuk dirinya sendiri.
Mobil yang ia kemudikan dengan kecepatan tinggi tanpa memakan waktu lama tiba diapartemennya, walau ia harus menulikan telinganya atas makian pengendara lainnya yang dibuat jantungan karena aksi ugal-ugalannya dijalan.
Security melongo, merasa aneh pada Sizy yang biasanya menyandang predikat penghuni apartemen teramah, juga paling rapi saat memarkirkan mobilnya di basemen, berjalan acuh dan terkesan buru-buru dengan rambut panjangnya sebagian menutupi wajah cantiknya.
"Jangan harap--, jangan harap aku menangisimu Edwin!" geramnya marah.
Brakk!
Sizy membanting pintu apartemennya, dan akhirnya tetap menangis juga. Hatinya begitu kesal, merasa dibohongi kekasihnya.
Ia menghempaskan tubuhnya dipembaringan, dan menangis sejadi-jadinya. Melepaskan segala energi negatif yang bercokol dalam dadanya.
...***...
Pukul 1:30.
Clive mendorong pelan pintu kamar Berry. Dalam cahaya remang lampu tidur, pria itu melangkah masuk dan duduk di tepi pembaringan. Ia menatap Berry yang telah pulas, napasnya juga nampak teratur.
Clive mengusap kasar wajahnya, mengingat laporan David beberapa menit yang lalu sebelum ia masuk kekamar putranya itu.
Flasback on :
"Tuan kecil tidak berperilaku baik saat guru les-nya datang mengajarinya, juga tidak mau mengerjakan pekerjaan rumahnya yang telah ditugaskan oleh sekolah, Tuan."
"Biarkan saja. Dia sendiri yang akan menanggung hukuman dari gurunya besok di sekolah," Clive berusaha acuh, sambil melonggarkan dasinya yang membuatnya seakan gerah saat mendengar laporan tentang kebandelan putranya.
Ia melihat setumpuk mainan rusak disudut ruangan. Tentu Berry yang melakukannya, siapa lagi? Clive mendesah pelan.
"Tuan kecil sudah tidur sejak sore, melewatkan makan malamnya. Saya sudah berusaha membujuknya tapi dia bersikeras tidak mau Tuan, sebelum bertemu nona Sizy," lapor David lagi, ia menelan salivanya sàat melihat Clive menghentikan pergerakan tangannya melonggarkan dasi tanpa menatap kearahnya.
Flasback off.
Clive bangkit, membenarkan selimut Berry, lalu meninggalkan kamar putranya itu.
Beberapa detik berikutnya, terlihat ada pergerakan ringan. Berry bangkit dari berbaringnya dan turun dari sana menuju kamar mandi setelah memastikan ayahnya tidak akan masuk lagi kedalam kamarnya.
...***...
Ting! Tong! Ting! Tong!
"Ugh!" Sizy menggeliat ditempat tidur, nyawanya belum terkumpul sepenuhnya karena kantuk masih menguasainya. Bahkan semalam ia tidak sempat membersihkan diri dikamar mandi karena sibuk meratapi kebodohannya.
"Siapa pagi-pagi buta begini mengganggu ketenangan orang tidur?" perlahan Sizy beringsut turun, menyeret langkah malasnya menuju pintu, tidak tahan mendengar bunyi bel apartemennya yang terus saja berteriak.
Ceklek.
"Nona, bagaimana mungkin anda bisa enak-enakan tidur? Sementara putra anda, anda biarkan hampir mati kedinginan diluar!" sambil menunjuk Berry yang berdiri disamping pintu dengan wajah pucat kuyu, memeluk tubuhnya sendiri yang hanya mengenakan piyama tipis.
Sizy terperangah, ia bingung karena pria berpakaian security itu tiba-tiba saja memarahinya, dan wajahnya terlihat asing. Mungkin pegawai baru, fikirnya cepat menyimpulkan.
"M-maaf pak. Dia bukan anak saya, dia--" berusaha memberi penjelasan.
"Saya tahu mencari uang itu susah. Tapi jangan itu dijadikan alasan untuk menelantarkan anak. Untung saja saya berpatroli pagi ini dan menemukan anak ini tidur didepan pintu Nona," potong security itu dengan omelan.
"Baiklah-baiklah, maafkan saya pak," Sizy mengangkat kedua belah tangannya, ia tidak ingin meneruskan perdebatan ini, merasa tidak nyaman saat masing-masing penghuni apartemen terbangun dan mengintipnya dari pintu mereka.
"Ayo Berry," Sizy menarik pelan pergelangan tangan anak itu dan membawanya masuk.
Ia mengurungkan niatnya untuk bertanya saat mendengar bunyi yang dikeluarkan oleh perut Berry.
"Kamu lapar?" tanyanya menatap Berry, anak laki-laki itu hanya mengangguk mengiyakan.
"Mau makan apa? Bibi akan buatkan," Sizy mengulas senyum lembutnya.
Berry terlihat berfikir sejenak.
"Ayam fillet saus mentega dan segelas susu."
"Baiklah, tunggu disini sebentar, Bibi akan memasakannya sebentar," Sizy buru-buru menyelimuti tubuh kecil Berry dengan selembar selimut yang ia ambil dari lemari dalam kamarnya, menyalakan televisi lalu meninggalkan Berry seorang diri di sofa tamu.
Bukannya menonton televisi, Berry sibuk memindai seisi ruangan. Tidak cukup sampai disana, ia beranjak turun dari sofa menuju kamar Sizy sambil waspada melihat kearah dapur.
25 menit kemudian.
"Makanan sudah siap. Ayo kita makan," Sizy muncul dari dapur dengan senyum terkembang.
Berry mengalihkan pandangan dari televisi yang ia tonton, lalu turun dari sofa, dan mengekor Sizy yang berjalan menuju meja makan.
"Duduk disini," Sizy mengangkat tubuh kecil Berry dengan hati-hati dan mendudukannya dikursi, disebelahnya.
Berry tidak berbicara, ia langsung memejamkan matanya, dan Sizy tahu anak itu sedang berdoa sebelum memulai sarapannya.
Menit berikutnya, Sizy yang sedang mengunyah sarapan yang sama dengan Berry sesekali melirik pria kecil disebelahnya itu. Ia tidak heran melihat cara makan Berry yang elegan, membuat dirinya akhirnya meniru cara makan anak itu.
"Bibi akan mengantarmu pulang sebentar lagi setelah bersiap, karena pagi ini kamu juga harus segera kesekolah supaya tidak terlambat."
Sizy memutuskan tidak bertanya seperti niatannya, saat melihat jam dindingnya sudah menunjukan pukul 6:40. Begitu selesai membereskan peralatan makan, ia bergegas masuk kekamar dan mebersihkan diri dikamar mandi.
...***...
"Terima kasih nona Sizy, sudah mengantarkan Tuan kecil kami pulang," David membungkuk hormat saat Sizy terlihat terburu-buru.
"Sama-sama," Sizy tersenyum, lalu menaikan kaca jendela mobilnya perlahan.
David masih berdiri ditempatnya bersama Berry, memandangi mobil Sizy yang merayap perlahan meninggalkan mereka.
"Bersiaplah, kita berangkat sekarang Berry," Clive yang sedari tadi memperhatikan keduanya akhirnya bersuara.
"Ayah, aku harus bersiap dulu," Berry mendongak sebentar pada ayahnya yang jangkung itu, lalu menarik tangan David agar mengikutinya.
"David sudah menyiapkan pakaian, sepatu, dan tas sekolahmu didalam mobil ayah. Kamu bisa mengganti pakaian didalam, sambil kita berangkat menuju sekolahmu," datar Clive sembari melangkah menuju mobilnya.
"Aku bahkan belum sempat mandi Ayah," Berry melayangkan protes.
"Salahmu sendiri. Itu hukuman karena kamu berani pergi diam-diam tanpa seizin Ayah," Clive berhenti disamping mobilnya hanya untuk melihat wajah tidak suka Berry padanya.
"Aku melakukannya karena menginginkan wanita itu menjadi ibuku," ungkap pria kecil itu dengan mata melotot.
"David, angkat dia dan bawa masuk ke mobil. Omong kosongnya akan membuat kita semua terlambat," perintah Clive.
"Tuan kecil, tolong maafkan saya," David meraih tubuh kecil Berry, dan membawanya masuk ke dalam mobil sesuai perintah sang majikan.
"Tuan kecil, saya akan membantu anda mengganti pakaian," ijin David kemudian, saat mobil sudah melaju dijalan raya.
"Berbalik, biar aku mengganti pakaianku sendiri," Berry mengambil alih pakaian sekolahnya yang dipegang oleh David, sambil melirik ayahnya yang sedang mengawasinya dari pantulan kaca spion dekat sopirnya.
Drrt. Drrt. Drrt.
"Ibu Kepala Sekolah? Ada apa beliau menelpon?" Clive menatap layar ponselnya.
📞"Selamat pagi Ibu kepala sekolah," sapa Clive sopan.
📞"Selamat pagi tuan Clive, maaf mengganggu waktu Tuan. Bolehkah pagi ini singgah di sekolah? Ada hal penting yang harus saya sampaikan tentang Berry."
📞"Tentu. Kami sebentar lagi tiba."
📞"Kalau begitu, terima kasih Tuan. Saya menunggu kedatangan Tuan diruangan saya."
Clive menyimpan ponselnya begitu sambungan terputus.
Suasana sekolah TK Tiga Bahasa nampak sepi, saat mobil mereka masuk diarea sekolah.
"David, antar Berry kekelasnya, saya akan menemui Ibu kepala sekolah diruangannya."
"Baik Tuan. Ayo Tuan kecil," David meraih tas sekolah dan membawa Berry sertanya menuju kelasnya.
...***...
"Saya tidak melihat satupun murid dan orang tuanya, hanya berpapasan dengan beberapa guru saat berjalan kemari," ungkap Clive, setelah dipersilahkan duduk berhadapan dengan sang kepala sekolah.
"Hari ini libur Tuan," sahut sang kepala sekolah tenang.
"Libur?" Clive mengerutkan keningnya.
"Hari ini bukan tanggal merah Bu kepala sekolah, bagaimana bisa libur?" imbuhnya kemudian.
"Itulah hebatnya Berry, putra Tuan. Dia-lah yang meliburkan semua murid sekolah kami khusus hari ini."
Clive terperangah, sesaat kemudian ia segera menguasai perasaan kagetnya.
"Maaf, bolehkah saya diberi penjelasan?" Clive bergerak, merapikan perasaannya yang sempat berantakan atas ucapan tidak biasa sang kepala sekolah.
"Semalam, seseorang yang mengaku dari pihak sekolah telah menelpon semua orang tua murid, mengatakan kalau hari ini libur karena adanya rapat guru."
"Begitu mendapat kesaksian dari beberapa orang tua murid, pihak sekolah segera meminta bantuan pihak telekomunikasi, dan ternyata seseorang itu menelpon dari satu titik, yaitu telepon rumah anda Tuan."
Ibu kepala sekolah lalu memutar rekaman suara yang ia terima dari pihak telekomunikasi, memperdengarkan suara pria dewasa yang menelpon sekian banyak orang tua murid.
Clive lagi-lagi terperangah.
"Itu suara yang sengaja disamarkan oleh sang penelpon, Tuan. Dan ini suara aslinya yang telah diubah oleh pihak Telekomunikasi."
Clive menelan salivanya dengan susah payah, ia mengenal jelas kalau itu adalah suara putranya, Berry.
Bersambung...✍️
"Berry?" Sizy bergegas masuk keruangan laboratoriumnya saat mendapatkan anak ajaib itu bisa-bisanya ada disana lagi siang ini.
Tentu saja Sizy cemas, terakhir Berry ada disana, anak laki-laki itu telah mengacaukan uji agregat kelas B yang dilakukan oleh Fiona, terpaksa gadis magang itu mengulang dari awal uji laboratoriumnya itu.
"Apa yang kamu lakukan disini seorang diri Berry? Ini jam istirahat, tidak ada satu orang-pun disini, sangat berbahaya untuk anak seusia-mu."
"Ayo ikut Bibi," Sizy meraih pergelangan tangan Berry, tapi anak itu menahan tubuhnya sekuat tenaga agar tidak bergerak dari posisinya semula.
"Berry, dengarkan Bibi nak," Sizy berjongkok, menatap teduh dan berusaha berbicara selembut mungkin.
"Laboratorium ini hanya boleh dimasuki oleh pegawai yang berkerja dikantor ini. Dan disini area terlarang untuk anak seusiamu, sangat berbahaya Sayang. Jadi kamu tidak boleh masuk kemari lagi ya," berharap tamu kecilnya yang tidak diundang itu bisa mengerti.
"Baiklah, aku mengerti. Tapi bolehkah aku meminta nomor ponselmu sebagai gantinya? Walau aku tidak diperbolehkan kemari, aku masih bisa menelponmu."
Bukan sekedar negosiasi, tapi pria kecil itu serta merta menyodorkan tab miliknya yang ada dalam pelukannya sejak tadi.
Sizy tersenyum senang, ia cukup lega karena pria kecil itu mau memahami penjelasannya. Tanpa pikir panjang, ia menerima tab itu, memasukan dan menyimpan nomornya disana tanpa rasa ragu.
"Nah sudah selesai, ayo ikut keluar bersama Bibi," Sizy mengembalikan tab itu pada Berry dan bergegas bangun dari jongkoknya. Langkahnya kembali tertahan saat tangan kecil Berry menahannya lagi.
"Katakan, apa yang kamu inginkan lagi?" Sizy berusaha sesabar mungkin.
"Aku ingin kamu menjadi Ibuku, bukan Bibi."
Sizy terperangah, walau anak itu pernah mengatakan hal itu padanya beberapa hari yang lalu, tetap saja ia masih tidak terbiasa mendengarnya.
Membayangkan dirinya sebagai wanita dari kalangan biasa, yang akan menjadi isteri seorang Clive, pria konglomerat yang terkenal kaya dikota ini, yang ketampanannya banyak digandrungi oleh banyak wanita, Sizy seketika merasa ngeri, ia tidak siap saja kalau harus dimusuhi para wanita dan menjadi incaran para pesaing bisnis pria kaya itu.
Semasa SMU dulu, Clive adalah kakak kelasnya. Ia pernah menyaksikan para gadis bertengkar gara-gara pria itu, yang bahkan tidak memperdulikan salah satu dari gadis-gadis yang memperebutkannya.
Begitu pula membayangkan menjadi ibu dari Berry, anak laki-laki ajaib yang bisa tiba-tiba muncul diruang laboratoriumnya, bahkan tahu alamat apartemennya, sampai kini dirinya masih belum bisa mengerti dan memecahkannya, bagaimana bisa anak sekecil itu melakukannya?
"Maaf Berry, Bibi rasa itu tidak mungkin. Kamu bisa mencari orang lain saja untuk menjadi ibumu, Bibi tidak berminat," tegas Sizy. Ia sengaja berkata seperti itu, supaya anak itu tidak mengganggunya dengan permintaan seperti itu lagi.
Berry terdiam, menatap Sizy dengan raut datar, otak dalam kepalanya terus bekerja memikirkan sesuatu yang luar biasa.
"Baiklah, lupakan saja ucapanku memintamu menjadi ibuku," Berry akhirnya bersuara, pelan.
"Tapi aku mohon--, temani aku makan siang kali ini saja. Setelah itu, aku janji tidak akan merepotkanmu lagi. Sebenarnya aku ingin makan bersama Ayahku, tapi dia terlalu sibuk hingga tidak punya waktu, hanya pengasuhku saja yang selalu menemaniku."
Sizy menatap wajah imut Berry, pria kecil itu terlihat sedih dan kesepian, jiwa empati-nya langsung merespon dan merasa tersentuh.
"Baiklah, Bibi setuju. kebetulan Bibi juga belum makan siang."
Berry terlihat senang. Ini pertama kalinya Sizy melihat senyum tipis terukir diwajah anak laki-laki itu, membuatnya terlihat lebih tampan dan menggemaskan.
"Terima kasih, ayo kita temui pengasuhku didepan," Berry menarik tangan Sizy, wanita itu dapat merasakan betapa antusiasnya anak itu mengajaknya.
...***...
Ong Palace Asia Restaurant.
Beberapa kali pernah mampir di restoran itu bersama para pimpinan perusahaan yang memerlukan jasanya menguji kualifikasi beton bangunan, Sizy sangat tahu menu-menu yang sedang dinikmatinya saat ini bersama Berry dan David lebih ramah dikantong-kantong orang kaya. Sekali makan saja, bisa menghabiskan satu bulan gajinya.
"David, berikan tab-ku."
Pria yang menjadi pengasuh Berry itu segera memberikan apa yang diminta majikannya itu.
Sebelum mengoperasikan tab miliknya, Berry menatap sejenak pada Sizy yang sedang menikmati makan siangnya tepat dihadapannya.
^^^🧒Berry^^^
^^^"Ayah dimana?"^^^
👦Ayah Clive
"Kerja."
^^^🧒 Berry^^^
^^^"Dimana?"^^^
👦Ayah Clive
"Menurutmu?"
^^^🧒Berry^^^
^^^"Aku kekantor ayah sekarang."^^^
👦Ayah Clive
"Untuk apa?"
^^^🧒Berry^^^
^^^"Mengantarkan hadiah."^^^
👦Ayah Clive
"Tidak mau."
^^^🧒Berry^^^
^^^"Aku memaksamu Ayah. Kalau menolak, aku akan membuat perhitungan denganmu lebih dari yang sudah-sudah."^^^
👦Ayah Clive
"Terserah kau saja. Letakkan dikamar Ayah, nanti malam Ayah akan memeriksanya.
...***...
"Ugh, kepalaku pusing," Sizy mengerang, sembari memegang pelipisnya, ia berniat bangkit dari berbaringnya, tapi tangan seseorang sedang memeluk perutnya.
"T-tuan Clive?! Bagaimana dia bisa berada dikamarku?" Wanita itu tersentak kaget saat tahu siapa pemilik tangan itu, spontan ia menyingkirkan kasar tangan Clive dari tubuhnya, lalu tergesa-gesa menyibak selimut yang menutupi tubuhnya.
"Hmph!" Mata Sizy terbelalak dan seketika berhenti bernapas, saat menyadari dirinya sekarang dalam kondisi bugil.
"Apa yang Tuan lakukan padaku?!" spontan Sizy menutupi tubuhnya kembali dengan selimut, wajahnya merah padam, ia begitu murka sampai-sampai menggoyang kuat tubuh pria yang berbaring disebelahnya hingga terbangun dan mengerjap-ngerjapkan kelopak matanya.
"Aku?" Pria itu ikut bangkit, tubuh atasnya yang terekspos juga telanjang, membuat Sizy langsung membuang muka.
"Tidak mungkin kan kamu tidak mengerti apa yang dilakukan oleh pria dan wanita dewasa saat mereka berada ditempat tidur yang sama?" imbuh pria itu tenang.
Sizy mendelik marah, mengitari pandangannya keseluruh sudut ruangan. Benar saja, dia berada dikamar pria itu, bukan di kamar apartemennya.
"Oh, bagaimana mungkin?" Sizy merasa frustrasi. Seketika wanita itu teringat pada saat terakhir ia sedang makan siang bersama Berry dan David di restoran.
"A-apa mungkin anak itu memberi obat tidur dalam makanan atau minumanku?" Sizy membekap mulutnya, tidak percaya bila apa yang ia fikirkan itu mungkin saja benar.
"Oh my God!" Sizy kian frustrasi, saat pandangannya menangkap noda darah menempel pada seprei disekitar bokongnya begitu ia beringsut turun dari ranjang.
"Kamu tidak boleh pergi begitu saja dari sini. Kamu harus bertanggung jawab atas apa yang kamu lakukan semalam padaku."
Sizy membisu, hanya matanya saja yang menatap tajam penuh kemarahan sambil mengenakan pakaiannya yang berserakan dilantai, dan pria itupun melakukan hal yang sama, mengenakan pakaiannya.
"Lepas! Enyahlah!" Sizy menepis kasar tangan Clive yang berusaha menahannya, lalu bergegas menuju pintu.
Ceklek.
Sizy terpaku sesaat, melihat sosok pria kecil berdiri didepan pintu kamar, menampilkan wajah polos tidak berdosanya.
"Berry! Dia biang keroknya!" Kesal Sizy, ia menepis tangan kecil Berry yang ingin meraih jemarinya, dan bergegas pergi tanpa bicara apapun.
Saat ini ia benar-benar murka tingkat dewi. Bagaimana mungkin anak sekecil itu bisa menipu dirinya dengan wajah polosnya.
Bersambung...✍️
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!