The Ginger Bread Prince
Hari ini, dia telah memutuskan untuk pergi dari kota yang sudah dia tinggali puluhan tahun, mencoba mengubur semua kenangan yang telah membekas di hati. Tujuannya hanya satu, melupakan tragedi yang terjadi sebulan lalu.
Kecelakaan beruntun di sebuah tol dalam kota yang telah merenggut belahan jiwanya membuatnya tidak bisa lagi tinggal di kota itu. Seluruh penjuru kota selalu mengingatkan dirinya pada sang istri.
Dia tidak mau berakhir menjadi orang gila, apalagi masih ada yang harus diperjuangkan: seorang anak lelaki yang kini berusia enam belas tahun, Raihan Chandra Abimanyu.
Sambil fokus menyetir, dia sesekali memandangi wajah anak semata wayangnya yang tengah tertidur pulas dengan headset kabel berwarna putih menyumbat kedua lubang telinganya. Jika dipikir-pikir, anak lelakinya itu sangat mirip dengannya saat masih muda dulu. Raihan memiliki wajah yang tampan, kulit cerah, hidung mancung, dan alis tebal.
Candra Prasetya adalah seorang chef pastry yang pengalamannya tidak bisa diragukan lagi. Dia telah bekerja lama di sebuah hotel mewah bintang lima dan menciptakan banyak kreasi resep baru. Tidak pernah terbayangkan oleh siapapun jika dia memilih mengasingkan diri ke kota lain dan menanggalkan semua yang sudah dia dapatkan. Dia rela melepaskan kehidupan mewahnya di kota metropolitan yang dia dapat dengan penuh perjuangan.
Kota Kabut Batu menjadi pilihannya untuk memulai kehidupan baru, sebuah kota kecil pegunungan yang suhu udaranya sangat dingin menusuk ke permukaan kulit.
Meskipun kota ini kecil, kota ini telah menjadi destinasi favorit bagi orang-orang yang ingin menyembuhkan diri atau mereka yang menyukai ketenangan. Alam yang ada di kota ini masih sangat terjaga. Kota Kabut Batu juga sering diibaratkan sebagai Eropa kecil yang tersembunyi.
Ada alasan mengapa dia memilih kota ini: karena dia tidak memiliki kenangan apapun yang terikat dengan kota ini. Setelah memulai lembaran baru di sini, dia ingin hari-hari sedih segera berlalu.
Lampu sein sebelah kiri mobilnya berkedip. Dia perlahan membawa mobilnya menepi karena di depan sana dia melihat pedagang soto ayam yang bersiap berjualan. Setelah itu, dia memarkirkan kendaraannya di dekat tenda bertuliskan "Soto Ayam Pak Gi."
Prasetya melepas sabuk pengaman. Dia juga melepas kacamata minusnya, lalu mengucek kedua bola matanya sambil mencoba membangunkan sang anak, "Han, bangun."
Tak ada respon. Dia menepuk pelan pipi Raihan sambil berbisik, "Han, bangun, ayo makan soto."
Raihan membuka matanya, perlahan dia menggeliat dan menguap. Namun kesadarannya belum pulih sepenuhnya. Pras melepaskan headset kabel berwarna putih yang menyumbat kedua kuping Raihan.
"Kamu berjam-jam tidur sambil mendengarkan musik keras seperti itu, bahaya lho."
"Bahaya apa, Pah?" tanya Raihan dengan nada pelan dan badannya masih terasa lemas.
"Kalau tidur itu tidak boleh sambil mendengarkan musik, kasihan otakmu tidak bisa istirahat sepenuhnya."
"Oh begitu. Kita sudah sampai, Pah?"
"Belum, kita sarapan dulu yuk. Tuh di depan ada pedagang soto ayam."
"Papa saja yang sarapan, aku makannya nanti kalau sudah sampai rumah," Raihan memilih rebahan lagi meskipun perutnya juga keroncongan namun rasa kantuk menahan tubuhnya untuk bergerak.
Prasetya menggelengkan kepala dan berkata, "Ya sudah kalau kamu tidak mau makan, nanti jangan menyesal ya." Dia lalu membuka pintu mobil sambil membawa dompetnya.
Raihan membuka matanya. Ia melihat sang ayah berjalan menuju pedagang soto. Raihan merasa aneh dengan perjalanan ini. Dia tidak pernah sekalipun diajak ayahnya mengunjungi kota ini.
Kota yang terlalu dingin untuk dirinya yang terbiasa dengan suhu udara panas kota metropolitan. Kota ini tidak memiliki banyak gedung pencakar langit, malahan sepanjang mata memandang yang terlihat hanyalah hamparan hijau perbukitan, sawah, dan juga perkebunan. Tadi pagi, dia mendadak dibangunkan dan hanya diberitahu akan pergi ke luar kota untuk jalan-jalan sekaligus menemui kerabat.
Namun tak dijelaskan secara detail kerabat dari mana, dari ayah atau ibunya. Apalagi semenjak tragedi kecelakaan beruntun di tol dalam kota yang merenggut nyawa ibunya, ayah tidak pernah mau membawa kendaraan lagi dan memilih menggunakan transportasi umum.
Semua itu menjadi tanda tanya bagi Raihan. Kenapa ayahnya tiba-tiba mampu menyetir mobil lagi dengan jarak tempuh berjam-jam seperti ini? Raihan tentu bersyukur jika trauma ayahnya sudah hilang, tapi tetap saja menjadi hal yang aneh. Dia mendadak bisa menyetir keluar kota. Raihan kemudian melihat peta yang ditampilkan di layar ponsel ayahnya, ternyata perjalanan ke kota ini membutuhkan waktu hingga empat jam lamanya.
Raihan bersandar lagi dan memejamkan mata. Dia memeluk tubuhnya sendiri karena udara di luar yang begitu dingin menusuk tubuhnya. Namun tak lama ketika dia memejamkan matanya, terdengar bunyi ketukan di jendela mobil.
Raihan membuka mata dan melirik ke arah kiri. Ternyata ayahnya membawakan semangkuk soto ayam yang kuahnya mengeluarkan asap tipis mengepul ke atas. Kuah soto yang sudah tercampur dengan nasi putih, kuahnya berwarna kuning dengan suwiran daging ayam, telur rebus yang dipotong dua bagian, dan sedikit irisan bawang daun yang dicacah tipis-tipis.
Raihan membuka pintu mobil lalu mengambil soto itu sambil mengeluh, "Kan sudah aku bilang, aku tidak mau makan sekarang, Pah."
"Makanlah. Tadi pagi kan cuma minum susu dan roti, mana makan rotinya hanya sepotong."
"Aku tidak biasa makan berat sepagi ini, Pah."
"Ya sudah, maafkan Papa karena membangunkan kamu terlalu pagi. Sekarang kan sudah hampir jam tujuh pagi, jadi kamu harus segera sarapan. Cepat makan soto itu, tadi Papa baru makan sedikit, rasanya enak!"
"Pah, sebenarnya kita mau berkunjung ke rumah siapa? Kenapa mendadak seperti ini?"
"Kita akan berkunjung ke rumah... ah sudah, makan saja dulu, nanti Papa jelaskan setelah kita sampai di sana."
"Padahal hari ini Raihan ada janji dengan teman-teman. Kenapa Papa tidak pergi sendiri saja sih?"
"Papa tidak bisa meninggalkan kamu sendirian di rumah. Papa tidak mau jauh-jauh dari kamu."
"Papa sudah bisa menyetir mobil lagi ya? Jadi mulai besok kita bisa pergi bareng ya? Aku tidak mau berangkat sekolah memakai ojek online."
"Papa sudah bisa menyetir sejauh ini karena Papa terpaksa melakukannya."
"Terpaksa karena apa?" Raihan mengunyah makanan sambil terus menghujani ayahnya dengan pertanyaan yang bersambung.
"Raihan, maafkan Papa. Belum bisa mengatakannya di sini, tunggu sampai kita sampai di lokasi. Sudah ya, soto Papa di sana keburu dingin. Nanti Papa antar teh hangat punyamu ke sini."
"Tidak usah, Pah. Nanti Raihan saja yang pergi ke sana mengambil minuman tehnya. Papa makan saja. Pasti Papa capek sudah menyetir kendaraan sejauh ini. Sotonya ternyata enak juga ya, Pah. Kuahnya sangat gurih, sangat enak dicampur dengan nasi hangat," ucap Raihan sambil mengunyah makanannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
Minchio
Hai! Makasi udah ninggalin jejak, komentarmu sangat berarti bagi aku. Bikin mie instan yuk. 🙃
2024-08-09
0
Mei Saroha
ngga pake bubuk koya ya thor? 😄😆. Deskripsi sotonya sangat detail, aq bacanya jam 11 malem... masa sih mesti cari soto jugaa... 😭
2024-08-08
1
Ndeso Lambe
salam kenal bang
2024-07-23
1