Saat Raihan menunggu ayahnya, ia hendak menyimpan dompet ayahnya di dalam tas yang ada di kursi belakang mobil. Namun, Raihan merasakan keanehan; tas ayahnya terasa berat dan isinya juga penuh. Dengan penuh rasa curiga, ia membuka tas ayahnya dan betapa kagetnya Raihan melihat isi tas itu terdapat banyak sekali barang berharga seperti perhiasan dan juga semua jam tangan mewah milik ayahnya yang disimpan dalam kotak-kotak sesuai merek. Belum lagi beberapa gepok uang tunai yang terdiri dari berbagai pecahan. Raihan juga menemukan surat-surat berharga seperti sertifikat tanah dan bangunan, serta semua dokumen penting tersusun rapi di dalam tas berwarna hitam itu.
"Kenapa dia membawa semua barang ini? Seharusnya semua ini ada di dalam brankas," gumam Raihan heran.
Raihan lalu memindahkan tas itu ke depan, karena ia pikir keluarga penjual soto itu akan duduk di kursi belakang. Raihan mulai bertanya-tanya maksud dan tujuan ayahnya datang ke kota ini dengan membawa semua barang berharga itu.
Raihan tidak bisa menahan lagi rasa penasarannya. Ia lalu keluar dari mobil dan pergi mencari ayahnya. Raihan kembali masuk ke dalam gedung rumah sakit itu. Ia melihat ayahnya sedang duduk di kursi tunggu pasien, mengobrol dengan pria di sebelahnya.
"Katanya mau main game, tidak jadi menunggu di mobil ya? Mana dompet Papa?" tanya Pras heran.
"Kenapa yang dikhawatirkan hanya dompet, sedangkan di dalam ransel Papa banyak barang berharganya," cibir Raihan.
"Oh ya, itu memang sengaja Papa bawa, semuanya," ucap Pras tergagap.
"Kenapa dibawa kemari? Apa yang Papa sembunyikan dari perjalanan ini? Papa menyembunyikan sesuatu, ya?" tanya Raihan mendesak.
"Papa tidak berniat membohongimu, hanya saja Papa belum bisa mengatakannya sekarang. Nanti ya, kalau kita sudah sampai rumah," sanggah Pras.
"Rumah siapa yang akan kita tuju dan kenapa semua isi brankas Papa harus dibawa dalam tas? Bukankah itu berbahaya?" pertanyaan Raihan akhirnya membuat Pras terdesak.
"Baiklah, Papa akan terus terang. Kita akan ke rumah baru yang sudah Papa beli. Maafkan Papa ya, Nak."
"Rumah baru kita?" Raihan heran.
"Perjalanan ini bukan jalan-jalan biasa, bukan bertamu ke rumah saudara. Kita tidak akan pernah kembali ke Kota Padama," ungkap Pras menatap Raihan dengan ekspresi wajah sedih.
"Maksud Papa kita kabur dari Kota Padama? Papa kenapa? Jangan-jangan Papa tidak memberitahu Kakek dan Nenek, lalu bagaimana dengan sekolahku? Bagaimana pekerjaan Papa?"
"Maafkan Papa," mohon Pras.
"Papa dari tadi cuma bisa minta maaf, Papa tidak peduli dengan hidupku," tuduh Raihan.
"Mas Pras!" kata Bayu yang sedang berjalan bersama kedua orang tuanya.
"Raihan, Papa tidak bermaksud membohongimu. Papa juga akan memberitahumu, tapi nanti, tidak sekarang."
"Sudah cukup, Pah! Setelah mengantar keluarga itu lebih baik kita kembali ke Kota Padama!" tegas Raihan, lalu berlari keluar dari rumah sakit.
Bayu dari kejauhan melihat anak Prasetya dengan tatapan heran. Bayu lalu menatap Pras yang terlihat sedih. Bayu pun menghampiri Pras dan bertanya, "Mas, anakmu kenapa? Dia kesal ya menunggu lama di sini? Maafkan kami ya, Mas."
"Ah, tidak, bukan itu kok penyebabnya. Anakku sudah tahu rencana dibalik perjalanan ke kota ini, dia sudah tahu kalau niat kedatanganku ke kota ini untuk pindah rumah," ucap Pras dengan wajah muram.
"Tenang, Mas Pras. Nanti aku bantu bujuk dia, nanti malam aku ajak dia mengobrol."
"Kalau begitu ayo pulang. Anak Mas Pras mungkin lapar," kata Bu Gian.
Mereka lalu masuk ke dalam kendaraan dan pulang. Sepanjang perjalanan, Raihan terlihat cemberut sembari menutup kedua kupingnya dengan headset dan memutar musik kesukaannya.
Keluarga penjual soto juga hanya terdiam tak banyak bicara. Ibu dan bapak serta Bayu merasa kasihan sekaligus tidak enak hati karena sudah merepotkan Pras. Keheningan pun terasa saat perjalanan pulang. Bayu lalu berusaha mengajak Raihan mengobrol.
"Raihan," ucap Bayu.
"Raihan, lepas headset-nya," Pras mencabut paksa headset itu dan membuat Raihan semakin emosi.
"Apa sih, Pah!" bentak Raihan, sambil menatap ayahnya dengan tatapan kesal.
"Itu lho, Mas Bayu nyapa kamu!"
"Dik, nanti di rumah om kita main game ya. Om punya game konsol Starstation."
"Edisi berapa? Aku punya edisi terbaru. Pasti punyamu edisi keempat atau ketiga ya? Ah, aku sudah bosan."
"Ya, empat sih. Kalau begitu main game online bareng saja!"
"Maaf, saya ingin pulang ke rumah."
"Raihan, jangan begitu," tegur Pras yang tidak suka dengan nada bicara Raihan yang seolah meremehkan Bayu.
"Bayu, sudah diam," bisik Pak Gian.
"Ya, jangan pulang dulu dong. Kan Papamu ingin naik gunung!"
"Naik gunung? Haha, di rumah saja Papa jarang olahraga. Apalagi naik gunung bisa-bisa minta turun lagi dia!" ejek Raihan.
"Enak saja! Papa juga sering olahraga di tempat fitness hotel, bahkan Papa anggota yang memiliki kartu member eksklusif," Pras tak terima dengan ejekan Raihan.
Raihan tidak mau berdebat lagi dengan ayahnya. Ia kembali menempelkan headset ke kuping, lalu merebahkan kepalanya di kursi mobil, membuang muka ke arah kiri sambil menatap jalanan.
Yang ada di pikiran Raihan saat itu adalah sikap ayahnya yang menyebalkan karena tidak memberitahu terlebih dahulu jika akan meninggalkan Kota Padama. Saat musik di kupingnya berganti menjadi lagu balad, mendadak seketika perasaan Raihan berubah. Meskipun ia masih kesal pada ayahnya, namun sekarang Raihan juga merindukan mendiang ibunya.
Pras yang sedang menyetir lalu melirik anak lelakinya. Pras merasa bersalah dan merasa dirinya sudah egois. Seharusnya ia membicarakan hal ini terlebih dahulu, namun lagi-lagi pikiran Pras yang lain seakan menepis. Jika tidak dilakukan dengan cara ini, Raihan tidak akan pernah mau meninggalkan Kota Padama.
Pras lalu bertanya pada Bayu, "Bayu, apakah kamu punya perlengkapan untuk mendaki gunung dan juga berkemah?"
"Ada, Mas. Nanti sisanya aku pinjam ke teman kampus," jawab Bayu.
"Apa tidak bahaya naik gunung?" tanya Ibu Bayu.
"Tidak, Bu. Gunung Raja itu tidak terlalu tinggi dan juga ada jasa naik pakai motor gunung," jawab Bayu.
"Mas Pras, maaf kalau Ibu boleh tahu pekerjaannya apa?" tanya istri Pak Gian memandangi Pras yang tengah menyetir.
"Oh, saya hanya tukang bikin kue, Bu, di hotel," Pras merendah. Ia enggan menyebut jika dirinya adalah seorang Chef yang bahkan sudah termasuk ke dalam Chef yang memiliki nama dan dikenal, karena Pras dulu pernah memenangkan kontes lomba membuat hidangan pastry di acara memasak televisi luar negeri.
"Tukang bikin kue di hotel?" Ibu Gian kebingungan.
"Itu namanya Chef!" tegas Bayu memperjelas ibunya yang kebingungan.
"Oh! Chef yang seperti Chef yang galak itu ya, yang ada di televisi siapa ya namanya? Aduh, Ibu mendadak lupa."
Seketika suasana di dalam kendaraan berubah menjadi hangat. Sepanjang perjalanan, Pras dan keluarga penjual soto pun mengobrol banyak hal, hanya Raihan yang memilih mengasingkan diri dengan lagu yang diputar dari pemutar musik online favoritnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments