Setelah mengantar soto untuk anaknya yang terlalu malas keluar dari mobil, Pras kembali duduk di tempat tadi melahap sisa soto yang ada di mangkuknya. Pras melihat beberapa orang yang juga makan di tempat itu; kebanyakan yang makan soto pagi ini adalah orang-orang yang berseragam.
Sepertinya bisnis soto Pak Gi sudah berhasil mengumpulkan banyak pelanggan tetap yang berdatangan dengan sendirinya. Setiap pagi mereka pasti datang untuk mengisi perut sebelum melanjutkan rutinitas. Ada anak sekolah dan juga karyawan dengan kartu identitas yang menggantung di badan mereka.
Tidak ada percakapan di dalam lapak soto itu, semua orang hanya fokus melahap hidangan soto yang nikmat. Jadi, yang terdengar hanyalah suara sendok yang beradu dengan mangkuk bergambar ayam jago. Bagi Pras, itu adalah suasana pagi yang berbeda, yang pertama kali dia alami sepanjang hidupnya.
"Mau coba peyeknya, Mas? Enak lho ini," seorang wanita paruh baya yang merupakan istri dari Pak Gi menawarkan peyek yang ada di dalam keranjang plastik biru, peyek dengan dua varian rasa, ada kacang tanah dengan irisan daun jeruk dan juga peyek ikan teri.
"Kedua peyek ini dijamin renyah dan gurih, mantap pokoknya," ujar wanita paruh baya itu.
Pras mengambil sebungkus peyek kacang tanah sambil bertanya, "Ini buatan sendiri, Bu?"
"Iya, buatan saya sendiri. Cobain, Mas, enak lho. Harganya cuma dua ribuan, murah meriah."
Prasetya membuka plastik bening yang dirapatkan dengan cara manual, yaitu dengan cara membakar ujung plastik dengan api dari lilin lalu plastik yang terbakar dirapatkan hingga kedua sisinya menempel. Dia mengunyah peyek buatan Bu Gi yang terasa gurih dan renyah.
"Ini, Mas, minumnya teh hangat. Mau mendaki ke Gunung Raja ya?"
"Oh, bukan. Saya pindahan dari Kota Padama."
"Oh, warga pendatang ya! Minumnya yang satu lagi saya antarkan ke mobilnya saja ya, Mas?" tanya istri Pak Gi.
"Tidak usah, Bu, biar saya saja yang antar sekalian mau kasih peyek ini," Pras mengambil air teh hangat dan sebungkus peyek untuk Raihan.
"Aduh, seperti ini, Bu, kalau punya anak manja, kalau tidak diantar dia tidak akan mau makan."
"Hehe, anak saya juga dulu begitu. Nanti kalau sudah dewasa pasti sifatnya berubah kok."
Pras tersenyum pada Bu Gi, lalu berjalan keluar dari tenda soto. Tangan kanannya memegang gelas berisi air teh tawar hangat dan tangan kirinya memegang sebungkus peyek kacang tanah.
Namun saat beberapa langkah berjalan menjauh dari tenda soto, tiba-tiba suara gemuruh terdengar memekakkan telinga. Keadaannya begitu cepat dan tak ada yang menyangka peristiwa seperti itu akan terjadi.
Pagi yang damai telah berubah menjadi kepanikan dan jeritan. Pras juga terjatuh ke tanah dan gelas berisi teh itu tumpah. Dalam keadaan terduduk di tanah, dia menyaksikan gerobak soto Pak Gi yang sudah hancur ditabrak mobil truk yang remnya blong.
Semua orang menjerit ketakutan. Mendadak, jalan yang sepi berubah menjadi ramai. Warga sekitar mulai berdatangan. Banyak pengendara yang lewat berhenti untuk menonton. Tenda soto telah hancur, semua benda berserakan. Pras sangat kaget dan badannya gemetaran, dia mematung tidak bisa bergerak melihat kondisi tempat tadi yang ditabrak truk berkecepatan tinggi.
Pras tidak bisa bergerak sedikit pun, dengan mata terbelalak dan jantungnya berdebar sangat cepat ia merasa sangat kaget. Pras kemudian mengoceh, "Ada apa ini? Kenapa aku menyaksikan lagi kejadian seperti ini?"
Pras seketika teringat hari saat dia sedang berada di tol dalam kota bersama istrinya. Pagi itu cuacanya hujan lebat dengan gemuruh saling bersahutan. Awalnya semua berjalan dengan baik-baik saja. Pras menyetir mobil hendak mengantarkan istrinya ke kantor, hingga tiba-tiba salah satu kendaraan di depan tergelincir akibat jalanan tol yang licin. Mobil itu berputar dan berhenti mendadak menghalangi lajur kendaraan lain. Pras yang panik dengan cepat membanting kendaraannya ke pinggir, namun naas mobilnya terhempas dan menabrak pembatas jalan. Saat itu Pras tidak mengalami luka berat namun sang istri yang berada di sampingnya merintih kesakitan dengan cairan merah terlihat membasahi tubuhnya, terutama di bagian kepala.
"Papa, sadarlah!" Raihan menghampiri ayahnya yang masih tergeletak di atas tanah dengan kondisi sedang melamun. Pras pun sadar dari lamunannya dan memeluk sang anak sambil menangis.
"Raihan, maafkan Papa, maafkan Papa!" Pras menangis kencang dan berteriak histeris.
"Papa, kenapa, Pah?" Raihan bingung dengan kondisi ayahnya yang mendadak tidak stabil.
"Nak, tadi Papa hendak memberimu teh dan peyek. Andai saja Papa menurutimu tidak membeli soto itu, pasti Papa tidak akan mengalami hal seperti ini. Maafkan Papa, Han!"
"Kalian tidak apa-apa?" tanya seorang warga yang menghampiri keduanya.
"Kami tidak apa-apa, tapi Papaku sepertinya linglung!" ungkap Raihan. Tak lama berselang, ayahnya pun pingsan dan beberapa warga menolongnya dengan menggotong tubuhnya ke dalam rumah warga yang ada di sekitar lokasi.
Raihan tampak cemas melihat ayahnya yang terbaring di atas tikar lantai rumah warga. Ia berharap ayahnya segera pulih. Di luar, suara ambulans terdengar riuh bersahutan. Mobil polisi juga berdatangan ke lokasi. Raihan enggan untuk mengintip ke arah luar, dia hanya fokus pada ayahnya dan ingin ayahnya segera sadar.
"Ada berapa korban jiwa?" tanya ibu pemilik rumah.
"Yang meninggal sih satu!" jawab seorang warga.
"Pak Gian sama istrinya selamat? Saya tidak berani ke sana, ah, saya tidak kuat," kata ibu pemilik rumah yang duduk di sebelah Raihan.
"Pak Gian dan istrinya selamat, hanya menderita luka-luka."
"Pah, bangun, Pah!" Raihan mencoba membangunkan ayahnya yang masih pingsan.
"Tenang ya, Dik, Papamu pasti sadar lagi. Andi, ambil minyak kayu putih di kamar," pinta ibu itu kepada anak lelakinya.
"Iya!" anak lelaki pemilik rumah berlari ke dalam kamar untuk mengambil minyak kayu putih.
"Adik ini tadi makan di mobil terus bapaknya tadi mau antar minuman ya? Jadi dia keluar dari tenda, aduh nyaris saja!" seorang warga menjelaskan kronologi Raihan dan ayahnya sesaat sebelum truk itu menabrak lapak soto.
Raihan merasa bersyukur dan menghela napas panjang, namun pikirannya kemana-mana. Dia membayangkan jika saja ayahnya tidak keluar dari dalam tenda soto. Dia akan kehilangan kedua orang tuanya dan berakhir menjadi anak yatim piatu. Raihan yang sudah kehilangan sosok ibu semakin hanyut dalam kesedihan, terpaku menatap sang ayah sambil berurai air mata.
Ibu pemilik rumah membuka tutup botol minyak kayu putih yang isinya masih sisa setengah, lalu mendekatkannya ke hidung Pras.
"Mas, bangun, Mas. Mas, ini anakmu lho nangis, kasihan, Mas," bisik ibu itu.
"Dek, sini coba panggil Ayahnya," ujar seseorang yang juga ada di dalam rumah itu.
"Papa, bangun, Pah," Raihan berbisik di telinga ayahnya beberapa kali.
Selang beberapa menit kemudian, Pras pun tersadar dan langsung memeluk Raihan.
"Raihan, maafkan Papa!"
"Alhamdulillah," teriak orang-orang yang ada di rumah itu.
"Bapak penjual soto dan istrinya, bagaimana keadaan mereka?" tanya Pras panik menatap ibu pemilik rumah yang duduk di depannya. Pras masih belum stabil dengan ekspresi wajah tak tenang.
"Mereka selamat. Mereka dibawa ke rumah sakit, luka-luka, Mas. Tidak usah khawatir ya. Ini, minum dulu teh hangatnya, Mas," ibu itu kemudian memberikan minuman pada Prasetya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
Mei Saroha
sukses Thor ngagetinnya 👍
2024-08-08
1
Ropin Mudian
Bab ini bikin kaget. 😅
2024-07-06
1
NHS CH
Thor, please jangan berhenti nulis cerita kayak gini
2024-06-23
3