Prasetya tidak menyangka musibah pagi tadi, yang membangkitkan trauma lamanya, justru membuka jalan baginya untuk mengenal keluarga penjual soto. Meskipun mereka baru saja mengalami musibah, tidak ada dendam yang terlihat dari Pak Gian dan istrinya. Bahkan anak lelakinya berniat mengajak Prasetya mendaki Gunung Raja untuk melihat kawah indah yang terbentuk akibat letusan Gunung Raja.
Prasetya sendiri jarang melakukan olahraga di luar ruangan karena menjadi member VIP di tempat kebugaran hotel bintang lima tempat dia bekerja.
Bayu, anak penjual soto, berkata, "Mendaki gunung itu capek, Mas, tapi sensasinya tidak bisa ditemukan di tempat lain. Pokoknya, Mas Prasetya bisa melepaskan semua beban yang ada di hatinya."
"Iya, Bayu. Aku ingin mencoba mendaki gunung. Pindah ke kota ini adalah untuk membuka lembaran baru dalam hidupku. Jujur, aku belum pernah mendaki gunung. Tapi sejak kapan Bayu suka mendaki?" tanya Prasetya, memandang Pak Gian dan istrinya yang memberi isyarat agar Bayu menceritakan lebih lanjut.
"Dulu, hubungan Ibu dan Bapak tidak harmonis. Aku sering mendengar mereka bertengkar setiap kali pulang kuliah. Bisnis soto kami dulu lebih maju, Bapak punya ruko sendiri. Tapi suatu hari, ruko itu kebakaran. Semuanya hilang dalam sekejap," ucap Bayu dengan sedih, mengenang masa lalunya.
Pak Gian menambahkan, "Ada hikmah di setiap musibah yang kita alami. Kebakaran itu membuat saya sadar betapa banyak kesalahan yang saya lakukan, terutama terhadap Istri dan Anak. Itu menjadi titik balik bagi saya untuk berubah dan memulai lagi. Saya menjual kendaraan untuk kembali berjualan soto, dan kebakaran itu seolah membakar kesombongan dan keegoisan saya."
"Ketika motor saya dijual, saya sangat kesal pada Bapak. Namun, kemudian saya mencoba mendaki gunung bersama teman-teman kampus. Meskipun melelahkan, emosi saya terasa seperti terbebas. Apalagi sampai ke puncak gunung, rasanya sangat bangga bisa melihat pemandangan yang indah," tambah Bayu sambil tersenyum.
"Pokoknya, kunci hidup adalah sabar, Mas. Semua permasalahan pasti bisa diselesaikan," kata Pak Gian.
"Bayu, kapan kita bisa mendaki bersama?" tanya Prasetya.
"Kapan saja bisa, saya kan freelance," jawab Bayu sambil tersenyum.
"Malam ini, Mas Pras, menginap saja di rumah kami. Sebagai bentuk rasa terima kasih. Nanti Ibu akan masak masakan khas kota ini," sahut Istri Pak Gian.
"Aduh, saya tidak mau merepotkan. Saya sebaiknya pulang ke rumah saja," kata Prasetya, tetapi ia senang bisa mengenal lebih jauh keluarga kecil ini.
"Mas Pras, menginap saja di rumah kami. Saya senang bisa mengenal Mas Pras. Saya anak tunggal, kadang iri melihat teman-teman yang punya saudara kandung. Saya ingin merasakan punya kakak walau hanya sehari," pinta Bayu.
"Iya, Mas Pras, menginap saja di rumah kami," tambah Pak Gian.
Prasetya terdiam sejenak, teringat pada Raihan, anaknya. Sejak awal, Pras sudah berbohong pada Raihan bahwa perjalanannya bukan sekadar liburan, melainkan juga pindah rumah.
Pras berpikir, mungkin ini sudah takdir. Bertemu dan mengenal mereka, terutama dengan ajakan Bayu untuk mendaki gunung, sesuatu yang belum pernah ia lakukan sebelumnya, dan itu adalah bagian dari niatnya saat memulai hidup baru di kota ini. Namun, ia ingin meminta izin Raihan terlebih dahulu, meskipun Raihan takut capek dan tidak tertarik mendaki. Pras akan menyarankan Raihan untuk menyewa motor trail seperti yang diceritakan Bayu.
"Bapak, Ibu sudah boleh pulang?" tanya Pras.
"Boleh, Mas. Kami sedang menunggu perwakilan dari perusahaan yang mobilnya menabrak lapak kami. Mereka akan datang sebentar lagi," jawab Bayu.
Saat Bayu mengatakan itu, beberapa orang datang didampingi perawat, semua mengenakan pakaian kantor. Mereka adalah perwakilan dari perusahaan yang mobilnya menabrak lapak soto Pak Gian.
Pras merasa tidak enak berada di situasi itu. Ia menepuk pundak Bayu dan memutuskan untuk menunggu di luar. Pras lalu keluar dari ruangan, berjalan cepat mencari Raihan yang menunggunya di luar.
Di lorong rumah sakit, Pras melirik ke kiri dan kanan, mencari Raihan. Saat keluar dari gedung, ia melihat Raihan berdiri menatap jalanan. Pras berlari dan mendekap anaknya.
"Reihan, kenapa kamu diam di sini? Papa hampir panik!" bisik Pras, melepaskan pelukan karena merasa malu di depan satpam rumah sakit melihat ke arah dirinya.
Raihan menjawab dengan wajah cemberut, "Aku kesal, Papa terlalu lama di dalam sana. Kedua, Papa memanggilku 'Reihan'. Ingat ya, Pah, namaku 'Rai', bukan 'Rei'."
"Iya, maaf ya!"
"Ayo, kita lanjutkan perjalanan," ajak Raihan menuju parkiran.
"Tunggu dulu, Nak. Kita pulang bersama mereka," kata Pras.
"Oh, di mana kunci mobilnya? Aku mau main game online di dalam mobil," ucap Raihan.
"Ini kuncinya, dan ini dompet Papa."
"Hm, kok Papa kasih dompet?"
"Beli camilan dulu, main game sambil ngemil. Papa menunggu di dalam ya, hati-hati."
"Iya, Pah," jawab Raihan sambil berjalan ke parkiran dengan kunci mobil.
Pras tersenyum melihat anaknya yang kadang masih lucu seperti saat kecil. "Aku menyesal menceritakan tentang 'Reihan'. Sekarang dia tidak mau dipanggil seperti itu. Lucu juga melihat dia marah seperti itu. Apakah aku sebaiknya memanggilnya 'Reihan' saja?"
Pras menatap langit dan berkata, "Sayang, hari pertamaku di kota ini. Tidak kusangka akan ada kejutan seperti ini. Ku pikir hidupku di sini akan biasa saja. Aku tidak berniat melupakanmu, aku hanya ingin berdamai dengan diriku dan menyembuhkan luka di hati serta menjauh dari keluargamu. Semoga kota ini membantuku seperti dulu lagi."
Pras kembali memasuki gedung rumah sakit, menunggu keluarga penjual soto menyelesaikan urusan mereka dengan pihak yang bertanggung jawab atas kecelakaan tersebut. Perusahaan pemilik truk yang terlibat berjanji untuk mengganti biaya pengobatan di rumah sakit serta memberikan kompensasi atas kerugian yang diderita oleh keluarga.
Pak Gian dan istrinya merasa lega karena salah seorang pembeli soto mereka datang untuk membayar soto yang belum dihabiskan. Uang yang mereka terima dari Prasetya akan disimpan untuk keperluan darurat di masa mendatang.
Prasetya duduk di ruang tunggu pasien yang terletak di depan rumah sakit, menempati kursi stainless steel yang berjejer menghadap televisi yang terpasang di dinding. Meskipun demikian, perasaannya tidak enak, seolah ada yang mengganjal. Pras mencoba mengusir perasaan tersebut dan terpaku menatap layar televisi. Tiba-tiba, seseorang di sebelahnya menyapa,
"Menunggu keluarga, Pak?"
"Oh, bukan. Mereka adalah keluarga penjual soto yang tadi pagi mengalami musibah. Saya kebetulan berada di lokasi saat kejadian, jadi saya datang ke sini untuk memastikan mereka baik-baik saja. Sepertinya rumah sakit ini tidak terlalu ramai, ya?"
"Iya, betul sekali. Anda sungguh mulia," kata orang itu, "Anda berasal dari mana?"
"Saya berasal dari Kota Padama."
"Oh, dari ibu kota. Pantas saja Anda merasa heran melihat rumah sakit yang sepi seperti ini."
Prasetya mengangguk sambil tersenyum.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
Ropin Mudian
menarik bang chio.
2024-07-06
2