NovelToon NovelToon

The Ginger Bread Prince

Semangkuk soto ayam di pagi hari

Hari ini, dia telah memutuskan untuk pergi dari kota yang sudah dia tinggali puluhan tahun, mencoba mengubur semua kenangan yang telah membekas di hati. Tujuannya hanya satu, melupakan tragedi yang terjadi sebulan lalu.

Kecelakaan beruntun di sebuah tol dalam kota yang telah merenggut belahan jiwanya membuatnya tidak bisa lagi tinggal di kota itu. Seluruh penjuru kota selalu mengingatkan dirinya pada sang istri.

Dia tidak mau berakhir menjadi orang gila, apalagi masih ada yang harus diperjuangkan: seorang anak lelaki yang kini berusia enam belas tahun, Raihan Chandra Abimanyu.

Sambil fokus menyetir, dia sesekali memandangi wajah anak semata wayangnya yang tengah tertidur pulas dengan headset kabel berwarna putih menyumbat kedua lubang telinganya. Jika dipikir-pikir, anak lelakinya itu sangat mirip dengannya saat masih muda dulu. Raihan memiliki wajah yang tampan, kulit cerah, hidung mancung, dan alis tebal.

Candra Prasetya adalah seorang chef pastry yang pengalamannya tidak bisa diragukan lagi. Dia telah bekerja lama di sebuah hotel mewah bintang lima dan menciptakan banyak kreasi resep baru. Tidak pernah terbayangkan oleh siapapun jika dia memilih mengasingkan diri ke kota lain dan menanggalkan semua yang sudah dia dapatkan. Dia rela melepaskan kehidupan mewahnya di kota metropolitan yang dia dapat dengan penuh perjuangan.

Kota Kabut Batu menjadi pilihannya untuk memulai kehidupan baru, sebuah kota kecil pegunungan yang suhu udaranya sangat dingin menusuk ke permukaan kulit.

Meskipun kota ini kecil, kota ini telah menjadi destinasi favorit bagi orang-orang yang ingin menyembuhkan diri atau mereka yang menyukai ketenangan. Alam yang ada di kota ini masih sangat terjaga. Kota Kabut Batu juga sering diibaratkan sebagai Eropa kecil yang tersembunyi.

Ada alasan mengapa dia memilih kota ini: karena dia tidak memiliki kenangan apapun yang terikat dengan kota ini. Setelah memulai lembaran baru di sini, dia ingin hari-hari sedih segera berlalu.

Lampu sein sebelah kiri mobilnya berkedip. Dia perlahan membawa mobilnya menepi karena di depan sana dia melihat pedagang soto ayam yang bersiap berjualan. Setelah itu, dia memarkirkan kendaraannya di dekat tenda bertuliskan "Soto Ayam Pak Gi."

Prasetya melepas sabuk pengaman. Dia juga melepas kacamata minusnya, lalu mengucek kedua bola matanya sambil mencoba membangunkan sang anak, "Han, bangun."

Tak ada respon. Dia menepuk pelan pipi Raihan sambil berbisik, "Han, bangun, ayo makan soto."

Raihan membuka matanya, perlahan dia menggeliat dan menguap. Namun kesadarannya belum pulih sepenuhnya. Pras melepaskan headset kabel berwarna putih yang menyumbat kedua kuping Raihan.

"Kamu berjam-jam tidur sambil mendengarkan musik keras seperti itu, bahaya lho."

"Bahaya apa, Pah?" tanya Raihan dengan nada pelan dan badannya masih terasa lemas.

"Kalau tidur itu tidak boleh sambil mendengarkan musik, kasihan otakmu tidak bisa istirahat sepenuhnya."

"Oh begitu. Kita sudah sampai, Pah?"

"Belum, kita sarapan dulu yuk. Tuh di depan ada pedagang soto ayam."

"Papa saja yang sarapan, aku makannya nanti kalau sudah sampai rumah," Raihan memilih rebahan lagi meskipun perutnya juga keroncongan namun rasa kantuk menahan tubuhnya untuk bergerak.

Prasetya menggelengkan kepala dan berkata, "Ya sudah kalau kamu tidak mau makan, nanti jangan menyesal ya." Dia lalu membuka pintu mobil sambil membawa dompetnya.

Raihan membuka matanya. Ia melihat sang ayah berjalan menuju pedagang soto. Raihan merasa aneh dengan perjalanan ini. Dia tidak pernah sekalipun diajak ayahnya mengunjungi kota ini.

Kota yang terlalu dingin untuk dirinya yang terbiasa dengan suhu udara panas kota metropolitan. Kota ini tidak memiliki banyak gedung pencakar langit, malahan sepanjang mata memandang yang terlihat hanyalah hamparan hijau perbukitan, sawah, dan juga perkebunan. Tadi pagi, dia mendadak dibangunkan dan hanya diberitahu akan pergi ke luar kota untuk jalan-jalan sekaligus menemui kerabat.

Namun tak dijelaskan secara detail kerabat dari mana, dari ayah atau ibunya. Apalagi semenjak tragedi kecelakaan beruntun di tol dalam kota yang merenggut nyawa ibunya, ayah tidak pernah mau membawa kendaraan lagi dan memilih menggunakan transportasi umum.

Semua itu menjadi tanda tanya bagi Raihan. Kenapa ayahnya tiba-tiba mampu menyetir mobil lagi dengan jarak tempuh berjam-jam seperti ini? Raihan tentu bersyukur jika trauma ayahnya sudah hilang, tapi tetap saja menjadi hal yang aneh. Dia mendadak bisa menyetir keluar kota. Raihan kemudian melihat peta yang ditampilkan di layar ponsel ayahnya, ternyata perjalanan ke kota ini membutuhkan waktu hingga empat jam lamanya.

Raihan bersandar lagi dan memejamkan mata. Dia memeluk tubuhnya sendiri karena udara di luar yang begitu dingin menusuk tubuhnya. Namun tak lama ketika dia memejamkan matanya, terdengar bunyi ketukan di jendela mobil.

Raihan membuka mata dan melirik ke arah kiri. Ternyata ayahnya membawakan semangkuk soto ayam yang kuahnya mengeluarkan asap tipis mengepul ke atas. Kuah soto yang sudah tercampur dengan nasi putih, kuahnya berwarna kuning dengan suwiran daging ayam, telur rebus yang dipotong dua bagian, dan sedikit irisan bawang daun yang dicacah tipis-tipis.

Raihan membuka pintu mobil lalu mengambil soto itu sambil mengeluh, "Kan sudah aku bilang, aku tidak mau makan sekarang, Pah."

"Makanlah. Tadi pagi kan cuma minum susu dan roti, mana makan rotinya hanya sepotong."

"Aku tidak biasa makan berat sepagi ini, Pah."

"Ya sudah, maafkan Papa karena membangunkan kamu terlalu pagi. Sekarang kan sudah hampir jam tujuh pagi, jadi kamu harus segera sarapan. Cepat makan soto itu, tadi Papa baru makan sedikit, rasanya enak!"

"Pah, sebenarnya kita mau berkunjung ke rumah siapa? Kenapa mendadak seperti ini?"

"Kita akan berkunjung ke rumah... ah sudah, makan saja dulu, nanti Papa jelaskan setelah kita sampai di sana."

"Padahal hari ini Raihan ada janji dengan teman-teman. Kenapa Papa tidak pergi sendiri saja sih?"

"Papa tidak bisa meninggalkan kamu sendirian di rumah. Papa tidak mau jauh-jauh dari kamu."

"Papa sudah bisa menyetir mobil lagi ya? Jadi mulai besok kita bisa pergi bareng ya? Aku tidak mau berangkat sekolah memakai ojek online."

"Papa sudah bisa menyetir sejauh ini karena Papa terpaksa melakukannya."

"Terpaksa karena apa?" Raihan mengunyah makanan sambil terus menghujani ayahnya dengan pertanyaan yang bersambung.

"Raihan, maafkan Papa. Belum bisa mengatakannya di sini, tunggu sampai kita sampai di lokasi. Sudah ya, soto Papa di sana keburu dingin. Nanti Papa antar teh hangat punyamu ke sini."

"Tidak usah, Pah. Nanti Raihan saja yang pergi ke sana mengambil minuman tehnya. Papa makan saja. Pasti Papa capek sudah menyetir kendaraan sejauh ini. Sotonya ternyata enak juga ya, Pah. Kuahnya sangat gurih, sangat enak dicampur dengan nasi hangat," ucap Raihan sambil mengunyah makanannya.

Trauma yang muncul kembali

Setelah mengantar soto untuk anaknya yang terlalu malas keluar dari mobil, Pras kembali duduk di tempat tadi melahap sisa soto yang ada di mangkuknya. Pras melihat beberapa orang yang juga makan di tempat itu; kebanyakan yang makan soto pagi ini adalah orang-orang yang berseragam.

Sepertinya bisnis soto Pak Gi sudah berhasil mengumpulkan banyak pelanggan tetap yang berdatangan dengan sendirinya. Setiap pagi mereka pasti datang untuk mengisi perut sebelum melanjutkan rutinitas. Ada anak sekolah dan juga karyawan dengan kartu identitas yang menggantung di badan mereka.

Tidak ada percakapan di dalam lapak soto itu, semua orang hanya fokus melahap hidangan soto yang nikmat. Jadi, yang terdengar hanyalah suara sendok yang beradu dengan mangkuk bergambar ayam jago. Bagi Pras, itu adalah suasana pagi yang berbeda, yang pertama kali dia alami sepanjang hidupnya.

"Mau coba peyeknya, Mas? Enak lho ini," seorang wanita paruh baya yang merupakan istri dari Pak Gi menawarkan peyek yang ada di dalam keranjang plastik biru, peyek dengan dua varian rasa, ada kacang tanah dengan irisan daun jeruk dan juga peyek ikan teri.

"Kedua peyek ini dijamin renyah dan gurih, mantap pokoknya," ujar wanita paruh baya itu.

Pras mengambil sebungkus peyek kacang tanah sambil bertanya, "Ini buatan sendiri, Bu?"

"Iya, buatan saya sendiri. Cobain, Mas, enak lho. Harganya cuma dua ribuan, murah meriah."

Prasetya membuka plastik bening yang dirapatkan dengan cara manual, yaitu dengan cara membakar ujung plastik dengan api dari lilin lalu plastik yang terbakar dirapatkan hingga kedua sisinya menempel. Dia mengunyah peyek buatan Bu Gi yang terasa gurih dan renyah.

"Ini, Mas, minumnya teh hangat. Mau mendaki ke Gunung Raja ya?"

"Oh, bukan. Saya pindahan dari Kota Padama."

"Oh, warga pendatang ya! Minumnya yang satu lagi saya antarkan ke mobilnya saja ya, Mas?" tanya istri Pak Gi.

"Tidak usah, Bu, biar saya saja yang antar sekalian mau kasih peyek ini," Pras mengambil air teh hangat dan sebungkus peyek untuk Raihan.

"Aduh, seperti ini, Bu, kalau punya anak manja, kalau tidak diantar dia tidak akan mau makan."

"Hehe, anak saya juga dulu begitu. Nanti kalau sudah dewasa pasti sifatnya berubah kok."

Pras tersenyum pada Bu Gi, lalu berjalan keluar dari tenda soto. Tangan kanannya memegang gelas berisi air teh tawar hangat dan tangan kirinya memegang sebungkus peyek kacang tanah.

Namun saat beberapa langkah berjalan menjauh dari tenda soto, tiba-tiba suara gemuruh terdengar memekakkan telinga. Keadaannya begitu cepat dan tak ada yang menyangka peristiwa seperti itu akan terjadi.

Pagi yang damai telah berubah menjadi kepanikan dan jeritan. Pras juga terjatuh ke tanah dan gelas berisi teh itu tumpah. Dalam keadaan terduduk di tanah, dia menyaksikan gerobak soto Pak Gi yang sudah hancur ditabrak mobil truk yang remnya blong.

Semua orang menjerit ketakutan. Mendadak, jalan yang sepi berubah menjadi ramai. Warga sekitar mulai berdatangan. Banyak pengendara yang lewat berhenti untuk menonton. Tenda soto telah hancur, semua benda berserakan. Pras sangat kaget dan badannya gemetaran, dia mematung tidak bisa bergerak melihat kondisi tempat tadi yang ditabrak truk berkecepatan tinggi.

Pras tidak bisa bergerak sedikit pun, dengan mata terbelalak dan jantungnya berdebar sangat cepat ia merasa sangat kaget. Pras kemudian mengoceh, "Ada apa ini? Kenapa aku menyaksikan lagi kejadian seperti ini?"

Pras seketika teringat hari saat dia sedang berada di tol dalam kota bersama istrinya. Pagi itu cuacanya hujan lebat dengan gemuruh saling bersahutan. Awalnya semua berjalan dengan baik-baik saja. Pras menyetir mobil hendak mengantarkan istrinya ke kantor, hingga tiba-tiba salah satu kendaraan di depan tergelincir akibat jalanan tol yang licin. Mobil itu berputar dan berhenti mendadak menghalangi lajur kendaraan lain. Pras yang panik dengan cepat membanting kendaraannya ke pinggir, namun naas mobilnya terhempas dan menabrak pembatas jalan. Saat itu Pras tidak mengalami luka berat namun sang istri yang berada di sampingnya merintih kesakitan dengan cairan merah terlihat membasahi tubuhnya, terutama di bagian kepala.

"Papa, sadarlah!" Raihan menghampiri ayahnya yang masih tergeletak di atas tanah dengan kondisi sedang melamun. Pras pun sadar dari lamunannya dan memeluk sang anak sambil menangis.

"Raihan, maafkan Papa, maafkan Papa!" Pras menangis kencang dan berteriak histeris.

"Papa, kenapa, Pah?" Raihan bingung dengan kondisi ayahnya yang mendadak tidak stabil.

"Nak, tadi Papa hendak memberimu teh dan peyek. Andai saja Papa menurutimu tidak membeli soto itu, pasti Papa tidak akan mengalami hal seperti ini. Maafkan Papa, Han!"

"Kalian tidak apa-apa?" tanya seorang warga yang menghampiri keduanya.

"Kami tidak apa-apa, tapi Papaku sepertinya linglung!" ungkap Raihan. Tak lama berselang, ayahnya pun pingsan dan beberapa warga menolongnya dengan menggotong tubuhnya ke dalam rumah warga yang ada di sekitar lokasi.

Raihan tampak cemas melihat ayahnya yang terbaring di atas tikar lantai rumah warga. Ia berharap ayahnya segera pulih. Di luar, suara ambulans terdengar riuh bersahutan. Mobil polisi juga berdatangan ke lokasi. Raihan enggan untuk mengintip ke arah luar, dia hanya fokus pada ayahnya dan ingin ayahnya segera sadar.

"Ada berapa korban jiwa?" tanya ibu pemilik rumah.

"Yang meninggal sih satu!" jawab seorang warga.

"Pak Gian sama istrinya selamat? Saya tidak berani ke sana, ah, saya tidak kuat," kata ibu pemilik rumah yang duduk di sebelah Raihan.

"Pak Gian dan istrinya selamat, hanya menderita luka-luka."

"Pah, bangun, Pah!" Raihan mencoba membangunkan ayahnya yang masih pingsan.

"Tenang ya, Dik, Papamu pasti sadar lagi. Andi, ambil minyak kayu putih di kamar," pinta ibu itu kepada anak lelakinya.

"Iya!" anak lelaki pemilik rumah berlari ke dalam kamar untuk mengambil minyak kayu putih.

"Adik ini tadi makan di mobil terus bapaknya tadi mau antar minuman ya? Jadi dia keluar dari tenda, aduh nyaris saja!" seorang warga menjelaskan kronologi Raihan dan ayahnya sesaat sebelum truk itu menabrak lapak soto.

Raihan merasa bersyukur dan menghela napas panjang, namun pikirannya kemana-mana. Dia membayangkan jika saja ayahnya tidak keluar dari dalam tenda soto. Dia akan kehilangan kedua orang tuanya dan berakhir menjadi anak yatim piatu. Raihan yang sudah kehilangan sosok ibu semakin hanyut dalam kesedihan, terpaku menatap sang ayah sambil berurai air mata.

Ibu pemilik rumah membuka tutup botol minyak kayu putih yang isinya masih sisa setengah, lalu mendekatkannya ke hidung Pras.

"Mas, bangun, Mas. Mas, ini anakmu lho nangis, kasihan, Mas," bisik ibu itu.

"Dek, sini coba panggil Ayahnya," ujar seseorang yang juga ada di dalam rumah itu.

"Papa, bangun, Pah," Raihan berbisik di telinga ayahnya beberapa kali.

Selang beberapa menit kemudian, Pras pun tersadar dan langsung memeluk Raihan.

"Raihan, maafkan Papa!"

"Alhamdulillah," teriak orang-orang yang ada di rumah itu.

"Bapak penjual soto dan istrinya, bagaimana keadaan mereka?" tanya Pras panik menatap ibu pemilik rumah yang duduk di depannya. Pras masih belum stabil dengan ekspresi wajah tak tenang.

"Mereka selamat. Mereka dibawa ke rumah sakit, luka-luka, Mas. Tidak usah khawatir ya. Ini, minum dulu teh hangatnya, Mas," ibu itu kemudian memberikan minuman pada Prasetya.

Pesan dari penjual soto

Raihan dan ayahnya sudah masuk ke dalam kendaraan. Keluarga yang menolong mereka mengantar sampai pinggir jalan. Ibu pemilik rumah mengingatkan agar mereka berhati-hati.

Sebelum pamit pergi, Pras sempat bertanya alamat rumah sakit tempat ibu dan bapak penjual soto dirawat. Nama rumah sakit itu adalah Rumah Sakit Kasih Alam, yang jaraknya tak jauh dari lokasi tersebut.

Mobil Pras akhirnya melaju ke tengah jalan, bergerak melewati puing-puing lapak soto Pak Gi yang sedang dibersihkan oleh warga sekitar.

Raihan melirik cemas ke arah ayahnya yang tengah fokus menyetir. Raihan takut trauma ayahnya kembali lagi dan membuatnya tak nyaman berada di balik kemudi kendaraan.

"Apakah Papa bisa melanjutkan perjalanan ini? Kita bisa sewa hotel dan istirahat dulu," ucap Raihan khawatir.

"Papa baik-baik saja, Raihan. Jangan khawatir. Kita mampir dulu ke Rumah Sakit Kasih Alam untuk menemui Pak Gian dan istrinya. Papa kan belum bayar sotonya, tapi ini bukan sekadar membayar utang. Papa ingin melihat kondisi mereka dan pamit. Tidak apa-apa ya? Perjalanan kita ditunda dulu. Lagipula, rumah yang mau kita kunjungi sudah dekat."

"Iya, Pah. Raihan paham, kita ke rumah sakit dulu."

"Raihan."

"Apa, Pah?"

"Dulu waktu kamu lahir, Papa dan Mama sempat bertengkar."

"Lho, bertengkar kenapa?"

"Waktu itu, Papa ingin memberi nama kamu Reihan, tapi Mama kamu menolak. Dia ingin Rai, bukan Rei."

"Oh, terus Papa mengalah ya?"

"Tidak. Papa memaksa tetap ingin diberi nama Reihan, tapi Mama kamu malah ngambek. Katanya, yang mengandung dan capek melahirkan Mama. Waktu itu, Papa balas saja omongan Mama. Tapi yang membayar keperluan anak kita dari lahir sampai besar kan aku."

"Hm, Papa ada-ada saja. Anak baru lahir malah bertengkar, bukannya bersyukur," cibir Raihan.

Setelah membahas soal istrinya, Pras kembali merasa sedih. Matanya berkaca-kaca mengingat kejadian saat istrinya baru saja melahirkan Raihan. Dia tak mau larut dalam kenangan di masa lalu, karena pikirannya selalu seperti itu. Jika sudah mengingat suatu kejadian, maka secara beruntun puing-puing kenangan akan terus berjatuhan sampai air mata menetes dan mengering.

Keputusannya pergi meninggalkan kota yang sudah membesarkan namanya semata-mata bukan hanya karena dia ingin melupakan kenangan indah tersebut. Karena, bagaimanapun, sosok istrinya tidak akan pernah tergantikan dan akan selalu mengisi hatinya.

Namun, rasa bersalah terus menghantuinya. Apalagi dulu, setelah tragedi kecelakaan beruntun itu, dia tidak pernah mau lewat tol dalam kota lagi. Dia memilih menggunakan jalur biasa meskipun harus macet-macetan.

Raihan belum tahu tujuan dari perjalanan ini, yang merupakan halaman pertama dari lembaran baru hidupnya. Karena mereka tidak akan pernah kembali lagi ke Kota Padama. Raihan tidak tahu konflik yang timbul setelah tragedi kecelakaan itu. Pras dijauhi oleh keluarga istrinya. Semua orang menyalahkan dirinya.

Satu alasan yang memicu kemarahan itu adalah karena istri Pras saat kecelakaan tengah hamil muda. Cacian yang datang padanya lambat laun menjadi seperti racun yang menggerogoti hati dan pikirannya.

Pras sedih. Disaat dia terpuruk dan kehilangan istrinya, keluarga istrinya tidak menganggap itu sebagai musibah dan menyebut itu karena kelalaiannya. Padahal, saat kejadian itu, beritanya viral ke mana-mana dan hasil penyelidikan polisi menjelaskan penyebab kecelakaan adalah kendaraan orang lain, bukan mobilnya yang bermasalah.

Stigma negatif yang diterima dari keluarga istrinya lambat laun membuat Pras merasa depresi, sedih, muak, dan dia ikut merasa bersalah, menyalahkan dirinya sendiri. Berhari-hari setelah pemakaman istrinya, mentalnya hancur. Dia harus memakai topeng di depan anaknya seolah dirinya kuat. Namun, saat sedang tidak bersama Raihan, topeng itu ia lepas dan Pras kembali merasa rapuh.

Kemana dia harus berlari dari rasa sedih itu, sedangkan setiap sudut rumah bahkan kota telah terikat pada kenangan bersama sang istri. Akhirnya, di tengah malam, Pras memilih membuat surat pengunduran diri. Dia memutuskan berhenti bekerja di hotel bintang lima, di mana dia sering dipuja-puja oleh karyawan dan pengunjung hotel.

Setelah membuat surat pengunduran diri, Pras melihat saldo tabungannya. Dia rasa dengan nominal itu dia bisa membeli rumah baru di kota lain dan pergi dari hari-hari yang telah membuatnya sedih.

"Papa mikir apa sih?" tanya Raihan yang bingung karena ayahnya terdiam membisu setelah menceritakan tentang kejadian saat dia baru saja lahir.

"Papa memikirkan Mama. Eh, sepertinya itu rumah sakitnya ya?" Pras dan Raihan melihat sebuah rumah sakit besar yang pintu masuknya dihalangi portal otomatis. Saat mobil berada di depan portal tersebut, Pras harus menekan tombol hijau, lalu sebuah kertas parkir pun keluar dari dalam mesinnya.

Setelah memarkir kendaraan, Pras dan Raihan bertanya ke bagian resepsionis. Mereka lalu diarahkan ke sebuah ruangan tempat pasangan suami istri penjual soto itu dirawat. Kedatangan Pras ke sana membuat Pak Gian dan istrinya terharu. Di sana juga ada anak lelaki mereka bernama Bayu.

"Ini Mas yang tadi makan soto kan? Ya ampun, gusti," kata Bu Gian kaget.

"Mas, kenapa repot-repot datang kemari?" tambah Pak Gian.

"Bapak, Ibu," Pras lalu mengeluarkan dompetnya.

"Saya datang kemari untuk memberikan uang ini. Kan tadi saya belum bayar sotonya. Tapi kedatangan saya kemari bukan hanya ingin membayar sotonya. Saya ada sedikit rejeki buat Bapak sekeluarga."

"Eh, tidak usah Mas. Simpan saja uangnya!" celetuk istri Pak Gian.

"Iya Mas, tidak perlu memberikan uang. Lagipula soto tadi kan belum dimakan sampai habis," ujar Pak Gian.

Pras mendekati Pak Gian lalu menempelkan uang pecahan seratus ribu sebanyak lima lembar ke tangan Pak Gian. Sontak saja Pak Gian menangis disusul istrinya yang ikut terharu sambil meneteskan air mata.

"Han, kamu bisa keluar sebentar. Papa ingin bicara serius dengan Pak Gian," pesan Pras. Raihan lalu mengangguk setuju dan keluar dari ruangan itu.

"Bapak, jadi saya itu sengaja datang ke kota ini untuk menghilangkan rasa bersalah karena saya dulu terlibat kecelakaan dan istri saya meninggal. Tapi tadi pagi, malah kejadian serupa terjadi di depan mata saya. Jadi hati saya malah semakin terluka. Ambil uangnya, Pak, supaya saya lega. Jujur, bahkan anak saya saja tidak tahu tentang hal ini. Saya takut dia marah jika dia tahu niat pergi ke kota ini untuk melarikan diri dari rasa bersalah itu."

"Mas, nama kamu siapa? Masa saya menerima uang dari orang yang bahkan saya tidak kenal namanya," ucap Pak Gian.

"Nama saya Chandra Prasetya. Bapak bisa panggil saya Chandra atau Pras."

"Mas Pras, di kota ini ada sebuah gunung yang tidak terlalu tinggi dan mudah didaki oleh pemula. Di puncak gunung itu ada kawah namanya Kawah Raja. Dahulu di kota ini ada sebuah kerajaan yang makmur, namun istri Raja itu meninggal karena sakit. Sang Raja merasa bersalah karena tidak bisa menyembuhkan istrinya. Saat istrinya sakit, dia sudah memanggil banyak tabib hingga dukun, namun penyakit istrinya tidak kunjung sembuh. Setelah istri Raja itu meninggal, batin sang Raja terluka dan membuat seluruh rakyat ikut sedih. Sampai suatu hari, anak dari Raja itu mengajak sang Raja pergi mendaki gunung dan mereka sampai di batas gunung yang terlarang. Gunung itu tidak pernah didaki karena mitos turun-temurun yang sebenarnya dibuat untuk melestarikan alam yang ada di gunung itu. Setelah mereka sampai di atas puncak gunung, keduanya menemukan kawah berkabut yang indah. Sejak Raja dan anaknya naik ke atas sana, banyak orang yang juga mendaki gunung itu. Mereka kemudian memerintahkan prajurit istana membangun tempat bersantai di sana. Setelah itu, rasa bersalah Raja perlahan menghilang dan dia kembali melanjutkan hidupnya dengan tenang."

Pras pun termenung mendengarkan cerita dari Pak Gian. Dia tidak menyangka sejarah kota ini pada masa lalu hampir mirip dengan kondisi dirinya sekarang, tentang seorang pria yang merasa bersalah atas kematian istrinya.

Pak Gian lalu berpesan, "Coba Mas Pras naik ke sana dan hilangkan semua rasa sakit yang mengikat hatimu di sana. Siapa tahu alam dan energi masa lalu memberikan kekuatan padamu, Mas."

Tiba-tiba anak Pak Gian berucap, "Mas, aku sering mendaki gunung. Kalau mau naik ke Kawah Raja, ayo aku siap. Gunung itu memang tidak terlalu tinggi dan cocok untuk pendaki pemula."

Pras lalu menghirup napas panjang dan memikirkan Raihan. Mendadak, dia ingin mengajak Raihan naik ke gunung itu dan memberitahu Raihan tentang apa yang selama ini ia rasakan serta tentang rencana mereka pergi dari Kota Padama saat sudah sampai di puncak.

"Anak saya kira-kira kuat tidak ya naik ke sana?"

"Hm, begini saja Mas. Di sana ada jasa sewa motor trail. Jadi bisa naik ke puncak tanpa harus capek mendaki," ungkap Bayu.

Pras termenung dan memikirkan sesuatu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!