Terkadang dalam hidup, seseorang tidak bisa memaksakan kehendak meskipun sebenarnya ingin. Sebuah rasa ingin memiliki yang begitu besar harus mengalah pada takdir dan kenyataan yang tidak sejalan.
Meskipun ada sebuah keinginan yang begitu besar untuk memiliki, namun jika kenyataan mengatakan lain, apalagi yang harus dilakukan?
Kalau dikatakan jangan menyerah, terus berusaha, usaha Dimas dan Reyna tidaklah kurang. Namun, tetap tidak membuahkan hasil.
Restu orang tuanya tak kunjung didapatkan. Hingga akhirnya berita perjodohan itu sampai di telinga Reyna.
Reyna mengira jika keinginan memiliki itu akan hilang seiring berjalannya waktu.
Tapi ternyata ia harus berhadapan kembali dengan keadaan yang tidak sesuai harapan. Dan getaran itu masih nyata dia rasakan saat ini. Setelah mereka bertemu kembali.
Astaga.
mungkinkah Reyna merasa menjadi manusia terbodoh di muka bumi dalam situasi ini? Entah.
Kalau memang Reyna tidaklah bodoh, dia tidak akan berada di sana. Mengikuti dan duduk menunggu Dimas yan sedang meeting dengan kliennya di lobby hotel.
Menatap dari meja yang berbeda. Dimas memang semakin mempesona di usianya yang semakin matang.
Reyna menggelengkan kepala untuk mengusir rasa aneh yang tiba-tiba menyusup dalam benaknya. Gila, dan itu tidak bisa dibiarkan.
"Hey...."
Karena terlalu sibuk dengan lamunan, ia tidak tahu Dimas sudah duduk di depannya. "Kamu sudah makan? Mau pesan makanan?"
Reyna menggeleng. Dia tidak ingin terlalu lama bersamanya. Tidak baik untuk kesehatan hati dan jantungnya.
"Langsung bicara saja, Mas. Aku nggak punya banyak waktu."
"Sok sibuk," Dimas terkekeh. "Kita pasti bicara tapi nggak di sini."
"Dimanapun sama saja 'kan?"
Dimas menggeleng. "Iya, tapi tidak di sini. Aku tidak mau ada orang yang mengenalku melihat kita di sini."
"Lalu di mana?"
"Aku sudah memesan kamar," Jawab Dimas tanpa beban.
Reyna menganga mendengarnya. Memastikan bahwa tidak salah dengar. Apa lagi itu?
Berdua dengan Laki-laki masa lalunya seperti itu sudah cukup buruk, apalagi harus berbicara di dalam kamar hotel berdua. Yakinkah jika mereka akan benar-benar bicara?
"Aku nggak mau!" ucap Reyna sarkas.
Dimas tersenyum kalem.
"Kamu mau kita ke apartemen? Banyak kenangan kita di sana 'kan? Sekalian kamu mau nostalgia. Nggak masalah." Dimas mengedikkan bahunya.
"Jangan ngaco, Mas. Kita terlihat berdua begini saja sudah tidak benar. Apalagi....."
"Makanya, Rey," Sambar Dimas cepat. "Aku cari tempat yang nggak bakalan ada orang yang melihat kita."
"Tapi..."
"Sudahlah, tak ada tapi-tapian. Ayo!" Dimas menarik tangan Reyna.
Bagai kerbau yang dicocok hidungnya. Reyna tidak melawan sedikitpun. Yang ada dalam benaknya hanya lebih cepat bicara debgannya, maka urusan akan cepat selesai. Tidak ada lagi alasan untuk mereka bertemu lagi.
Wanita itu mengikuti langkah Dimas menyusuri lorong hotel dengan enggan. Bodoh. Reyna merutuki dirinya sendiri berkali-kali. Namun, kakinya tidak berhenti mengikuti.
Tidak bisakah Dimas memilih tempat lain jika hanya menginginkan privasi?
Alasan tidak ingin terlihat orang yang mengenalnya memang wajar. Laki-laki itu harus menjaga nama baik dirinya, keluarganya, dan perasaan istrinya kalau memang benar dia sudah menikah.
Beda cerita kalau mereka berdua di cafe atau restoran. Tempat terbuka yang memungkinkannya bertemu kenalan, klien atau mungkin malah keluarganya.
Karena berbagai alasan, Reyna mengikuti apa maunya lelaki tampan itu. Setelah itu, Reyna akan membuatnya berjanji tidak akan menemuinya lagi.
Dimas membuka pintu kamar yang sesuai dengan kunci yang diberikan resepsionis. Menoleh pada Reyna dan tersenyum samar.
Sekilas Reyna melihat seperti ada kilatan luka dalam matanya. Wanita itu hanya mendesah pendek dan mengikuti langkahnya masuk.
Reyna mendahuluinya duduk di sofa. Sedangkan Dimas masih berdiri diam di depan pintu. Menatap Reyna tajam dan dalam.
"Bicaralah sekarang, Mas! Katakan apa yang ingin kamu katakan. Hanya ada kita berdua di sini. Aku nggak bisa berlama-lama. Ibu sendirian di rumah. Aku nggak bisa meninggalkan beliau terlalu lama. Ibu pasti khawatir "
Dimas berjalan mendekat. Menekuk lutut di depan Reyna.
'Ya Allah, adegan macam apa ini. Aku tidak yakin pendirianku masih sekuat tadi kalau harus melewati adegan romantis seperti ini. Imanku yang setipis tisu pasti langsung berterbangan entah kemana.'
"Aku sangat merindukanmu, Rey!" katanya lirih, dan menatap Reyna lekat. Tangannya menggenggam tangan Reyna
Reyna membuang pandangan. Bingung, bagaimana harus menjawab. Karena sejujurnya wanita itu juga masih memiliki rasa yang sama dengan Dimas.
Selama lebih dari enam tahun pelariannya, tidak mampu mengikis rasa cintanya untuk seorang Dimas.
'Ya, Allah. Aku harus bagaimana. Aku masih mencintainya.'
"Tolong katakan sesuatu, Rey!" Tangan Dimas meremas pelan. Menghadirkan debaran hangat dalam diri Reyna. "Bilang sama aku kalau kamu juga masih menyimpan cinta itu untukku. Katakan, Rey! Katakan jika kamu nggak bisa sedikitpun melupakan aku."
Reyna memilih diam. Di dalam hati membenarkan semua yang dikatakan Dimas.
"Rey, kamu jangan diam saja. Jawab aku!"
"Ngapain masih ditanyain sih, Mas?" Reyna memberanikan diri menatapnya. "Hubungan Kita sudah lama berakhir. Bahkan bertahun-tahun yang lalu. Kamu lupa?"
"Aku tidak pernah merasa mengakhiri hubungan kita. Kamu yang tiba-tiba pergi begitu saja."
"Jangan mengada-ada, Mas," sahut Reyna. "Kamu tahu, aku pergi karena apa." Reyna menarik tangannya dari genggaman Dimas. Namun, genggamannya semakin erat.
"Nggak usah munafik. Aku tahu kamu juga masih cinta sama aku, 'kan?"
"Mas."
"Ayolah, kamu merasa nggak, sih. Kita sekarang dipertemukan lagi itu tandanya kita memang berjodoh."
"Astaga, pasti kepalamu terbentur sesuatu." Reyna memutar bola mata supaya terlihat tidak peduli.
Dimas menggelengkan kepala. "Aku nggak peduli. Kita sudah bertemu, aku nggak akan lepasin kamu lagi. Kamu harus tahu itu."
Mata mereka saling menatap untuk sesaat. Reyna berusaha menyelam di kedalaman mata Dimas. Dada Reyna berdebar kencang saat ia yakin cinta itu masih tersimpan di sana.
"Kamu sudah menikah, Mas," jawab Reyna akhirnya.
Ada sedikit nyeri dalam hati Reyna saat mengatakan hal itu. "Salah kalau bilang aku masih mencintaimu."
"Nggak ada yang salah. Kita punya perasaan yang sama. Kamu sendiri tahu aku menikah karena kamu yang memaksaku untuk menuruti keinginan Papa dan Mama. Kamu tahu kalau aku terpaksa melakukannya. Dan seandainya kamu nggak melarikan diri, sampai saat ini kita masih bersama. Kamu tahu 'kan, aku bisa melakukan apapun demi kamu. Termasuk menolak rencana pernikahan itu dengan segala resikonya."
"Aku bersedia melakukan apapun demi kamu, Reyna. Tapi apa yang sudah kamu perbuat? Kamu dengan egois memutuskan sendiri dan pergi entah kemana. Itu nggak adil buatku, Rey! Kamu harus tahu itu."
"Jadi aku harus bagaimana?" Reyna menarik nafas. "Tetap keras kepala meski aku tahu orang tua kamu jelas-jelas menolakku?"
"Aku sudah bilang tunggu sebentar lagi 'kan? Kamu nggak sabar...."
"Kamu bilang aku nggak sabar?" Sambar Reyna cepat. "Kurang sabar apa lagi? Harus sabar yang gimana lagi?"
"Rey...."
"Aku sudah ditolak, Mas. Aku bukanlah orang yang nggak tahu malu dengan tetap memaksa." Reyna mendesah.
Pembicaraan itu tidak akan pernah selesai. Akan selalu diulang-ulang.
"Nggak ada yang perlu kita bicarakan lagi, Mas." Reyna menarik tangannya dari genggaman Dimas, kemudian berdiri. "Selama apapun kita bicara percuma saja. Karena nggak ada jalan lagi bagi kita selain saling menerima dengan lapang dada. Nggak akan ada jalan sekeras apapun kita berusaha mencari. Nggak usah maksain diri lagi, percuma. Hargai pernikahanmu. Bayangin gimana perasaan istrimu jika dia tahu kamu belum bisa move on dari masa lalu. Kasihan. Apalagi jika dia tahu kamu masih memikirkan perempuan lain padahal ada dia di sampingmu."
Reyna bergerak menuju pintu. Namun gerakannya tertahan saat Dimas menarik tangannya. Tatapannya tajam, membuat jantung Reyna semakin berdetak tidak karuan. Dia ingin segera pergi, kalau tidak apa yang akan terjadi. Masihkah Reyna bertahan atau justru kembali jatuh dalam pelukan Dimas.
"Aku nggak bisa. Sudah berulang kali aku mencoba, aku tetap nggak bisa," Jawabnya. "Jangan pergi lagi, aku mohon. Jangan tinggalin aku lagi. Aku sanggup melakukan apapun asal kamu tetap di sini sama aku."
"Nggak bisa kayak gini, Mas. Ini salah. Aku...."
"Tidak ada yang salah selama kita masih saling mencintai."
Reyna tertawa, "Percaya diri banget kamu bilang begitu."
"Rey, dengar. Aku tidak peduli sama apa pun. Asalkan aku bisa nemiliki kamu lagi. Persetan dengan mereka, aku nggak peduli."
"Mas...." Reyna menggeleng pelan.
"Apa?" sahut Dimas dengan nada tinggi. "Aku nggak bisa menahan diri lagi. Kalau sudah basah kenapa nggak nyebur sekalian 'kan?"
"Mas...." Kalimat Reyna tertelan ciuman Dimas. Dalam dan menuntut. Bibirnya bergerak pelan di atas bibir Reyna.
Wanita itu sangat menyukai ciuman Dimas, sejak dulu. Namun, haruskah ia goyah untuk kesekian kali?
Apakah pelariannya selama lebih dari enam tahun harus sia-sia dan akhirnya harus kembali pada pelukan Dimas?
Tidak. Itu adalah kesalahan. Seharusnya tidak boleh terjadi. Namun, alih-alih melepaskan diri, Reyna justru terlena oleh ciumannya.
"Aku mencintaimu, Rey.... Hanya kamu. Dari dulu sampai sekarang," katanya setelah ciumannya terlepas.
Reyna diam. Dia bingung. Pelariannya selama bertahun-tahun tak lantas bisa menghapus apa yang tertanam dan telah berakar dengan kuat dalam hati. Reyna masih mencintai laki-laki itu.
"Aku masih mencintaimu, Mas." Akhirnya Reyna menyerah, mengungkapkan apa yang sejak tadi ingin didengar oleh Dimas. Ternyata Reyna merasa tersakiti jika terus menyimpannya sendiri.
"Aku selalu mencintaimu. Tidak ada yang berubah. Tapi aku bisa apa? Aku tahu diri, kalau bukan aku calon menantu yang diharapkan orang tuamu. Bukan aku wanita yang tepat itu. Lalu aku bisa apa? Apa kamu pikir ini juga adil untukku? Bukan kamu saja yang terluka, Mas! Aku juga!"
"Aku pergi untuk menyelamatkan hati. Aku tidak sanggup terus berada di sekitarmu dan melihat kamu menggenggam tangan wanita lain. Seandainya kamu tahu, aku lebih terluka. Aku berusaha seorang diri untuk menyembuhkannya. Aku berusaha keras untuk ikhlas dan terus menyemangati diri sendiri kalau suatu saat nanti akan datang seseorang yang akan memberi cinta yang sama dengan apa yang pernah kamu berikan. Bahkan lebih."
"Jangan bilang kayak gitu. Aku nggak suka!" Dimas menyentak. "Tidak ada orang yang lebih mencintai kamu selain aku. Dengar kamu bilang begitu saja aku sudah cemburu, apalagi melihat kamu sama laki-laki lain. Aku nggak mau."
Sudut bibir Reyna terangkat, ada perasaan hangat mengalir memenuhi rongga dada membawa sedikit rasa bahagia. Namun, di sudut hati Reyna merasa jika semua ini tidaklah benar. Entahlah.
Reyna bingung sendiri dengan perasaan yang ada. Satu sisi dia masih sangat mencintai Dimas, tapi sisi lain hatinya juga melarang. Sudah ada wanita lain yang lebih berhak atas diri Dimas sekarang.
Reyna tidak bisa menyembunyikan air matanya lagi. Dimas mengusapnya perlahan.
Gelenyar aneh yang sudah lama tidak Reyna rasakan, datang kembali. Salahkah jika wanita itu membiarkan dirinya untuk merasakan kembali? Ya, setidaknya untuk saat ini saja.
Tatapan mata penuh kerinduan dari Dimas seakan menguncinya. Rasa hangat dari dalam dadanya mengalir menyebar ke seluruh tubuh, saat ia merasakan tangan lembut Dimad mengusap kulitnya. Wanita itu bahkan tidak sanggup untuk menghentikannya. Atau mungkin tidak ingin menghentikan lebih tepatnya.
Sekian tahun lamanya, Reyna menyimpan kehangatan yang pernah Dimas berikan dalam kenangan. Dan sekarang tubuh wanita itu ternyata tidak sanggup memberikan penolakan saat sang lelaki pujaan menginginkan lebih.
Reyna hanya ingin pasrah mengikuti alur dan biarlah Dimas yang memimpin.
Wanita itu ingin merasakannya sekali lagi. Ya sekali lagi, dan setelah ini ia akan benar-benar meninggalkan Dimas.
Meski sebenarnya Reyna tahu ini adalah salah. Tapi ia juga tidak bisa untuk menolak. Karena masih mencintainya......
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments
kalea rizuky
jangan jd pelakor rey
2024-07-14
0