2

Pandangan Reyna memandangi setiap sudut kamar. Tidak ada yang berubah. Semuanya masih sama seperti saat ia tinggalkan enam tahun yang lalu. Sang Ibu tidak mengubah sedikitpun letak barang-barang di kamar itu. Bersih, rapi , Ibunya pasti merapikannya setiap hari.

Membuka koper yang sejak kemarin teronggok di sudut kamar. Perlahan mengeluarkan isinya satu persatu, kemudian menatanya dalam lemari.

Ya, setelah enam tahun melarikan diri, Reyna memutuskan kembali ke sini rumah Ibunya. Dengan alasan ingin memulai hidup baru, dulu ia pamit pada Ibunya untuk meninggalkan Ponorogo, kota kelahirannya.

Tempat Bulik Tantri sang Bibi di Jakarta menjadi tujuannya. Berharap jauhnya jarak akan mampu mengikis perasaan yang masih kuat terpatri di dalam lubuk hati.

Namun, kenyataan tidak semudah harapan. Kenangan demi kenangan itu menyambangi tidurnya yang jarang lelap di malam hari dengan teratur.

Untuk bisa melupakannya tidak semudah itu. Hingga suatu hari sang Ibu memohon supaya dia kembali ke Ponorogo. Sebuah kota kecil di Jawa Timur.

"Ibuk kangen, Ndhuk," ujar Bu Lastri terbata seperti menahan tangis.

"Ibumu ini sudah semakin tua. Sudah ndak kuat lagi kalau harus bolak-balik Ponorogo-Jakarta kalau ingin ketemu kamu. Pulang ya, Ndhuk! Ibuk kesepian sendirian di rumah."

Semua anak pasti tersentuh hatinya bila mendengar permintaan sederhana orangtuanya. Tidak terkecuali Reyna. Gadis yang dasarnya emang cengeng itu tidak sanggup lagi menahan air mata mendengar permintaan Ibunda tercinta.

Tanpa pikir panjang lagi, ia mengiyakan permintaannya. Dia sudah pergi meninggalkan rumah terlalu lama. Jika harus kembali sekarang, mungkin dia sudah mampu berdamai dengan kenyataan. Kapan lagi akan berbakti pada Ibunya kalau bukan saat ini. Jangan sampai menyesal di akhir karena tidak mengindahkan permintaan dari wanita yang telah melahirkan dan membesarkannya.

"Sudah selesai, Ndhuk?"

Karena kesibukannya melamun, Reyna sampai tidak menyadari keberadaan Ibunya di depan pintu kamar. Lalu menggeleng.

"Dilanjutin nanti saja. Kita makan dulu. Ibuk sudah lapar ini." Bu Lastri menepuk-nepuk perutnya, dan seketika membuat Reyna tertawa.

"Aku juga lapar, Buk." Gadis itu bangkit menghampiri Ibunya di depan pintu kamar dan menggamit lengannya.

'Ya Allah, lengan yang dulu kuat dan kokoh merangkul dan menuntunku sekarang sudah keriput dimakan usia.'

Seketika rasa bersalah itu hinggap di hatinya. 'Anak macam apa aku ini, yang hanya memikirkan diri sendiri seolah-olah yang paling tersakiti. Padahal aku yakin, Ibu pun merasakan hal yang sama melihat keadaanku saat itu. Hanya dengan alasan patah hati aku pergi meninggalkan Ibu hidup sendiri selama bertahun-tahun. Aku bukan anak yang berbakti.'

Penyesalan itu kini datang. Seharusnya Reyna lebih mengutamakan Ibunya, dan tidak memikirkan dirinya sendiri. Hanya Ibu yang dia punya setelah sang Ayah meninggal dunia. Ibunya dengan penuh kesabaran dan kasih sayang mengurus dan membesarkannya seorang diri sejak hari itu.

"Kamu kenapa?" Terlambat, Bu Lastri keburu menoleh saat tangan Reyna terangkat hendak menghapus air matanya.

Reyna menggeleng pelan. "Selama ini aku banyak salah sama, Ibu. Aku belum bisa berbakti dan nyenengin Ibu. Ibu sudah banyak berkorban sejak Ayah pergi. Seharusnya giliran aku yang berkorban untuk Ibu. Tapi aku malah pergi ninggalin Ibu sendirian. Seharusnya aku tetap di samping Ibu apapun yang terjadi. Reyna minta maaf, Ibu."

Ibu menghembuskan nafas panjang sebelum akhirnya menjawab. "Rey, kamu itu anak ibu satu-satunya. Apapun keputusan kamu, Bapak selalu mendukung."

Tangan sang Ibu mampir di kepala Reyna. "Saat itu keadaab memang sedang tidak baik, Ndhuk. Ibu ngerti kalau kamu butuh waktu untuk sendiri. Kamu perlu waktu untuk menata hati. Ibu tahu kamu tidak akan bisa untuk melakukannya seandainya kamu tetap di sini. Ibu yang seharusnya minta maaf, karena memaksa kamu untuk pulang. Padahal kamu punya kehidupan sendiri yang jauh lebih baik di sana."

"Bagi Reyna tidak ada yang lebih penting dibandingin Ibu," ujarnya sambil menggenggam tangan Ibu yang sangat ia sayangi.

"Bu, aku sudah di sini sama Ibu sekarang. Aku janji, nggak akan ninggalin Ibu lagi." Reyna mengacungkan jari kelingking seperti saat kecil dulu, ketika ia berjanji tidak akan nakal lagi di depan Ibunya.

Sambil tertawa Bu Lastri pun menautkan jarinya. "Rey, Ibu jadi ingat waktu kamu jecil dulu." ucapnya sambil terkekeh.

Reyna tidak dapat menahan lapar saat melihat masakan sang Ibu yang sudah tersaji di meja makan. Sejak masih muda Bu Lastri memang sangat pandai memasak. Masakannya enak, tidak kalah dengan masakan di restoran yang pernah Reyna cobain di Jakarta. Sop ayam adalah masakan andalan Bu Lastri. Bagi Reyna rasanya juara, Reyna berani menjamin hal itu.

Gadis pemilik mata hazel itu mengambil sepiring penuh nasi. Sepertinya ia samakin lapar setelah mencium aroma masakan Ibunda tercinta. Sudah tidak sabar untuk memuaskan rasa laparnya dengan sop ayam buatan beliau.

"Awas kalau nggak habis, ya." Bu Lastri mengeluarkan ancamannya seperti ketika Reyna kecil dulu.

"Nanti ayam tetangga mati," sahut Reyna cepat. Bu Lastri tidak bisa menahan tawanya.

"Apa Ibu lupa, kalau anak Ibu yang cantik ini doyan makan?" ujar Reyna lagi.

Dari dulu kebiasaan makan Ibu dan anak tersebut tidak berubah sama sekali. Meskipun keduanya sudah lama tidak menikmati momen seperti ini. Bu Lastri terus bercerita seperti biasa, sedangkan Reyna lebih banyak mendengarkan.

Bu Lastri tidak pernah bosan mengulang cerita masa kecil Reyna ketika sang Ayah masih ada di antara mereka. Sebagai seorang anak, Reyna tahu betapa besar rindu ibunya pada almarhum sang Ayah. Tampak di netra yang berbinar hangat saat bercerita tentang Pak Rudi sang Ayah tercinta, yang kini telah tenang di Surga.

"Jadi, apa rencanamu selanjutnya, Ndhuk?"

"Dewi menawari untuk mengajar di sekolah TK tempat dia mengajar, Bu." Jawab Reyna sambil membereskan meja.

"Dewi bilang salah satu gurunya mengundurkan diri. Suaminya pindah tugas ke Madura, jadi dia ikut suaminya ke sana. menurut Ibu, bagaimana?"

"Ya, menurut Ibu nggak ada salahnya dicoba, Rey. Kamu kan seorang Sarjana Pendidikan."

"Apa aku bisa, Bu?" Reyna kembali duduk di kursi depan ibunya setelah mencuci peralatan makan. "Aku sama sekali nggak punya pengalaman mengajar. Selama ini aku kerja sebagai seorang Teller bank. Nggak nyambung banget, Bu."

Sang Ibu tertawa. "Jangan bilang tidak bisa kalau belum dicoba."

"Gitu ya, Bu?"

"Ya iya, dong," Bu Lastri meneguk air di gelas hingga tandas.

"Atau kamu mau buka usaha saja. Kios Ibu masih ada. Sekarang memang Ibu sewakan. Tapi, kalau mau kamu gunakan Ibu bisa ngomong sama penyewanya."

"Tidak usah, Bu. Itu buat tabungan Ibu saja. Ibu benar, sih, segala sesuatu itu akan tampak sulit kalau belum kita coba."

"Jadi?"

"Tawaran Dewi sepertinya menarik, Bu. Pasti seru bersama anak-anak yang imut dan lucu-lucu. Pasti nyenengin banget."

Menit kemudian, Bu Lastri menyentuh tangan Reyna di atas meja. "Rey, jujur sama Ibu." Beliau menatapnya dalam.

"Perasaan aku nggak pernah bohong sama Ibu."

"Bukan itu maksud Ibu. Apa kamu baik-baik saja setelah kembali ke sini?. Ibu hanya takut kalau...."

"Nggak apa-apa kok, Bu," Jawab Reyna cepat. "Sudah lama 'kan? Belum tentu juga dia masih ingat dengan Reyna, Bu. Jadi buat apa tetap memikirkan orang yang belum tentu mikirin kita juga. Buang-buang waktu dan tenaga saja, Bu."

"Tapi...."

"Ibu tidak perlu khawatir sama Reyna, aku sudah lupain semuanya, Bu. Seperti kata Ibu, yang lalu biarlah berlalu. Nggak ada gunanya dipikirin lagi. Sebesar apapun kita menyesalinya, waktu akan tetap berjalan sebagaimana mestinya. Tidak akan bisa mengulang kembali apa yang telah terjadi."

Bibir wanita paruh baya itu mengembangkan senyuman, namun netranya tampak berkaca-kaca menatap putri semata wayangnya.

"Ibu senang, Rey. Akhirnya kamu bisa move on. Ibu khawatir, kamu pulang karena terpaksa. Ibu jadi merasa bersalah, karena Ibu yang minta kamu pulang."

"Sama sekali tidak, Bu. Memang sudah waktunya Reyna pulang buat jagain Ibu." Ujar Reyna sambil tersenyum.

Reyna berharap senyuman itu dapat membuat perasaan sang Ibu menjadi lebih baik. "Maafkan Reyna, Bu. Kalau selama ini aku sibuk mikirin diri sendiri, seolah tidak peduli sama Ibu. Tapi bukan berarti aku tidak sayang sama Ibu."

" Ibu tahu, Ndhuk."

******

Reyna sedang berbelanja di supermarket. Keranjang belanjaannya sudah terlihat penuh. Wanita berwajah ayu itu menelitinya sekali lagi barang apa yang mungkin belum masuk dalam list belanjaannya.

Supermarket yang lengkap jaraknya lumayan jauh dari rumahnya. Dan tidak memungkinkan untuk datang lagi jika hanya untuk membeli satu atau dua barang yang lupa tak terbeli.

Tiba-tiba Reyna teringat, ternyata dia belum membeli susu kalsium untuk sang Ibu. Meski terkadang ibunya harus diingatkan untuk meminumnya. Namun, sekarang Reyna sudah ada di rumah bersamanya. Reyna akan selalu memastikan beliau rutin mengkonsumsinya.

Wanita itu sedikit kebingungan untuk menemukan susu kalsium yang dia cari. Maklum sudah bertahun-tahun dia tidak ke sini. Dulu memang sering, namun sekarang keadaannya sudah banyak berubah. Dan letak barang-barang pun sudah banyak berganti.

Tadi sebenarnya Bu Lastri sempat menawarkan untuk menemaninya. Takut kalau Reyna lupa jalan pulang.

Begitulah seorang Ibu, anak perempuannya yang sudah berusia dua puluh tujuh tahun pun masih dianggapnya anak di bawah umur.

Reyna menolak tawaran sang Ibu yang ingin menemaninya. Ia takut Ibunya kecapekan, makanya ia menolak.

Rak susu berada di ujung lorong. Wanita itu harus berjalan agak jauh. Tangannya terulur meraih salah satu kotak saat tangan yang lain juga memegang kotak susu yang Reyna pegang.

"Maaf, maaf. Silahkan Mbak mengambil duluan." Seorang perempuan cantik tersenyum pada Reyna. Iya, perempuan itu sangat cantik dengan make up yang natural. Semua laki-laki pasti akan jatuh cinta padanya pada pandangan pertama. Tidaklah berlebihan, tapi perempuan di depan Reyna memang secantik itu.

"Kebetulan itu lucu, ya." ucap perempuan cantik itu.

Reyna pun ikut tertawa. Pembawaannya yang cukup ramah, membuat Reyna langsung merasa akrab meski baru pertama mereka bertemu.

Namun, Reyna merasa pernah melihatnya di suatu tempat. Tetapi kapan dan dimana, sepertinya dia sama sekali tidak mengingatnya.

"Mari, saya duluan," pamit Reyna setelah mendapat barang yang dia inginkan.

"Silahkan."

Antrian di kasir terlihat cukup panjang. Hal itu biasa terjadi saat weekend di awal bulan. Sambil menunggu giliran, Reyna tampak memindai setiap sudut ruangan. Dulu dia sering belanja di tempat itu ditemani oleh Dimas. Laki-laki itu suka sekali memasukkan barang-barang tidak penting ke dalam keranjang belanja Reyna. Lalu akan berebut untuk membayar di depan kasir. Dan selalu berakhir dengan kemenangan Dimas. Selalu dia yang membayar saat mereka berbelanja.

"Malu dong kalau Dimas Anggara sampai dibayarin cewek."

Wanita pemilik mata hazel itu menghembuskan nafas panjang untuk mengusir sekelumit kenangan yang berhasil menyusup.

Sudah sekian tahun berlalu, namun masih saja sulit dilupakan. Apakah mungkin dengan Reyna kembali ke sini akan mengingatkannya pada hal-hal yang sudah hampir bisa dia lupakan? Dalam benaknya dia bertanya-tanya apakah keputusannya untuk pulang itu salah.

Rasanya tidak ada yang salah. Dia kembali untuk seorang Ibu yang telah melahirkan dan membesarkannya. Bukan untuk siapa pun, termasuk Dimas.

Perasaan itu adalah hal yang biasa saat tiba-tiba dia teringat. Dan itu wajar. Lalu kenapa harus bimbang hanya karena sebagian kecil kenangan masa lalu itu?

Reyna sudah merasakan lebih pahit daripada ini, dan tidak ada alasan baginya untuk ragu. Dia berhasil berdiri setelah jalannya tertatih karena tongkat penyangga yang patah. Tidak ada yang lebih buruk daripada itu.

Antrian tinggal satu lagi di meja kasir. Mungkin kakinya sudah pegal karena mengantri sejak tadi. Untuk mengusir rasa bosan, Reyna kembali memindai sudut-sudut supermarket.

Reyna terpaku saat pandangan matanya mendapati seseorang yang baru saja masuk melalui pintu supermarket.

'Astaga, aku lupa memperhitungkan ini.'

Dengan cepat Reyna memalingkan wajah seraya berdoa supaya orang itu tidak melihat keberadaannya.

Reyna merasakan punggungnya telah basah dengan keringat, meskipun ruangan dalam keadaan dingin karena AC.

Sesekali Reyna melirik ke semua penjuru, mencari keberadaannya. Kemudian menarik nafas lega saat tudak menemukan keberadaannya.

'Sepertinya dia tidak melihat ke tempat aku berdiri. Keberuntungan masih berada di pihakku.' Reyna bermonolog dalam hati.

Setelah membayar sejumlah yang tertera, Reyna bergegas pergi. Baru beberapa langkah dari pintu keluar, tiba-tiba lengannya ditarik seseorang. Reyna yang terkejut tidak sempat melawan.

"kita harus bicara!"

Terpopuler

Comments

Tình nhạt phai

Tình nhạt phai

Cerita ini bikin hati berbunga-bunga, salut buat Author-nya! 🌸

2024-06-22

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!