5

Reyna keluar dari kamar mandi dan melihat Dimas tetap di tempatnya seperti saat ia meninggalkannya tadi.

Lelaki itu tersenyum saat melihat Reyna dan menepuk kasur di sebelahnya sebagai isyarat agar Reyna mendekat dan duduk di sampingnya.

Tangannya terulur meraih jemari Reyna, mengecupnya perlahan dan membawanya dalam genggaman.

"Aku sangat merindukanmu, Rey!" Dimas berkata lirih. "Dan aku tidak akan meminta maaf dengan apa yang baru saja terjadi. Semua kulakukan karena aku mencintaimu. Aku tidak akan melepasmu. Tidak akan lagi!"

Reyna mengalihkan pandangan ke arahnya. "Kamu sudah menikah, Mas. Jangan lupa itu."

"Aku tidak lupa, Rey! Tapi bersamamu adalah harapanku saat ini."

Reyna menghela nafas, dan menghembuskannya dengan perlahan. Sebenarnya dalam benak wanita itu ingin menjawab jika dirinya juga merasakan hal yang sama, tetapi dia berusaha menahan.

"Maksudmu apa, Mas?"

"Kita tetap bersama. Aku harap kamu tidak keberatan untuk sembunyi-sembunyi dulu."

"Rey, kamu bahagia 'kan bisa bersamaku lagi?" Reyna tak menyangka pertanyaan itu terlontar dari Dimas.

Reyna mengangguk jujur. Entah kenapa di depan Dimas dia tidak ingin berbohong lagi.

Dimas tersenyum sumringah. Tampak jelas aura bahagia tengah menyelimutinya. Reyna pun membalas senyuman itu walaupun dalam hatinya menolak.

"Biarlah hubungan kita seperti ini dulu sampai aku menemukan waktu yang tepat untuk memberitahu kepada mereka. Kamu nggak keberatan 'kan, Rey? Aku janji, nggak akan lama."

Perempuan pemilik manik hazel itu hanya bisa mengangguk dalam dekapannya. Dia tahu benar jika ini salah, apalagi menyetujui untuk menjalin hubungan dengannya kembali. Padahal Reyna tahu jika Dimas adalah pria beristri.

Tapi rupanya untuk berpisah kembali Reyna juga tidak sanggup. Peristiwa yang baru saja terjadi mampu menggugah rasa yang coba dia abaikan selama ini.

Lalu, bagaimana nanti jika Dimas benar-benar memutuskan untuk meninggalkan keluarganya?

Apalagi jika mereka sampai tahu jika sebabnya adalah masa lalu suaminya yang hadir kembali. Mampukah Reyna menyandang predikat sebagai pelakor, wanita yang merusak kebahagiaan rumah tangga orang lain?

Tapi Reyna mencintai Dimas...Dari dulu sampai sekarang. Bahkan berpisah dalam kurun waktu yang lama pun tidak mengurangi rasa cinta di hati seorang Reyna. Mungkin itulah yang menjadi alasan Reyna menyetujui usul Dimas.

Sudah cukup lama Reyna merasakan sakit. Dia seorang perempuan yang juga ingin bahagia. Bahagia bersama laki-laki yan dia cintai dan mencintainya. Apakah dia salah?

*****

"Berhenti di sini saja, Mas!" perintah Reyna tiba-tiba.

Dimas menginjak rem, memelankan laju mobilnya dan menepi.

"Rumah kamu masih agak jauh di depan, Rey. Aku turunin kamu di depan rumah saja supaya kamu nggak perlu berjalan terlalu jauh."

Reyna menggeleng. "Di sini saja, Mas! Aku nggak enak sama tetangga. Aku baru saja pulang ke sini dan langsung pulang diantar cowok. Nanti jadi bahan ghibah. Kasihan Ibu."

Reyna beralasan. Sebenarnya ia tidak ingin Ibunya mengetahui di balik alasannya pulang terlambat malam ini. Bisa gawat kalau Bu Lastri tahu Reyna pergi bersama Dimas. Dan tentu Ibunya tidak akan suka.

"Tapi, barang belanjaanmu banyak, Rey. Kasihan kamu nanti kerepotan bawanya. Aku antar sampai depan rumah, ya?" Dimas bersikeras.

"Nggak usah, Mas!" Sekali lagi Reyna menolak.

"Ini juga belum terlalu malam, Rey "

"Makanya, Mas. Ibu pasti belum tidur," Reyna kembali beralasan.

"Terus kenapa?"

"Aku nggak mau Ibu melihat kita bersama. Ibu pasti marah!" Reyna menekan kalimatnya.

"Kan bisa ngasih alasan kalau kita nggak sengaja ketemu di jalan atau yang lainnya..."

"Mas...!" seru Reyna tidak suka dan Dimas akhirnya pasrah lalu mengangguk.

"Ya....sudah. Kalau kamu nggak mau diantar sampai depan rumah. Hati-hati ya! Atau perlu aku panggilkan ojek, biar kamu nggak kerepotan bawanya?"

"Nggak usah berlebihan deh, Mas!"

"Aku nggak mau kamu capek," Dimas menyelipkan rambut wanita pujaannya di balik telinga. Tersenyum hangat dan menatapnya penuh cinta.

"Sudah pinter ngegombal ya sekarang?" Reyna tergelak dan mencubit perutnya pelan.

Dimas balas tertawa, menautkan jarinya pada tangan Reyna dan mengecupnya perlahan.

"Aku bahagia, Rey. Sangat bahagia. Nggak pernah aku merasa sebahagia ini. Separuh jiwaku yang telah lama menghilang kini sudah kembali. Aku mencintaimu!"

Reyna membalas mengusap pipinya lembut, "Aku juga!"

Dimas dan Reyna sama-sama tersenyum bahagia. Getaran-getaran indah memenuhi rongga dada. Sentuhan-sentuhan Dimas membuat otak wanita itu serasa lambat untuk berpikir.

Yang dia tahu, dia menyukai dan menginginkannya.

Cinta memang telah membuat Reyna buta akan segalanya. Padahal dia menyadari kalau pria yang tengah bersamanya kini bukan sepenuhnya miliknya lagi. Ada wanita lain yang lebih berhak akan diri pria tersebut.

Reyna tahu jika dia salah. Tetapi wanita itu juga tak kuasa menolaknya, sedangkan hatinya terlalu menginginkannya.

Dimas memundurkan kepalanya, menatap dengan senyum yang menawan di bibirnya.

"Rasanya aku nggak ingin membiarkanmu pulang malam ini, Rey. Aku masih ingin bersamamu."

"Aku pulang ya, takut Ibu cemas," tangan Reyna menyentuh pipinya dengan lembut. "Nggak enak kalau ada orang lihat kita terlalu lama berhenti di sini. Nanti dikiranya kita lagi ngapain."

Dimas tertawa, menahan tangan Reyna di pipinya. "Oke. Sekarang pulanglah. Hati-hati!"

Reyna melambai dan Dimas kembali melajukan mobilnya menjauh.

Reyna berdiri mematung untuk beberapa saat sampai mobil yang dikendarai Dimas berbelok di tikungan jalan dan tidak terlihat lagi.

Reyna menghembuskan nafas perlahan. Dia tidak menyangka jika secepat ini dirinya dan Dimas bertemu kembali.

Reyna merasa takdir seolah mempermainkan mereka. Susah payah Reyna pergi dan berusaha menyembuhkan lukanya sendiri, ternyata semudah itu ia kembali jatuh dalam pelukan orang yang sama.

Dari awal Reyna tahu kalau ini sebush kesalahan yang tidak boleh terjadi. Tapi hatinya seolah begitu enggan untuk menolaknya. Ternyata rasa cinta dalam hatinya tidak pernah hilang. Mungkin tumbuh semakin kuat tanpa disadarinya.

*****

Bu Lastri berdiri dari kursi dan segera berjalan menghampiri ketika melihat putrinya melangkah memasuki halaman.

"Malam sekali pulangnya, Ndhuk?" sapanya sambil meraih sebagian kantong belanja dari tangan Reyna. "Ibu khawatir kamu kesasar. Kamu 'kan sudah lama nggak tinggal di sini."

"Mboten, Bu. Tadi ketemu teman. Lama banget nggak ketemu, sekali ngobrol sampai lupa waktu deh," Reyna beralasan.

"Oo.... Begitu," Bu Lastri mengangguk. "Teman kamu yang mana?"

"Teman waktu SMA, Bu," Reyna berbohong lagi.

"Ibu sudah makan?" Reyna mengalihkan perhatian Ibunya sambil membawa barang yang baru dia beli dan menatanya di dapur. Reyna tidak ingin Ibunya bertanya lagi dan harus berbohong lagi untuk menjawabnya.

"Sudah, Ndhuk. Ibu tadi lapar banget jadi nggak nunggu kamu pulang dulu."

Bu Lastri duduk memperhatikan Reyna yang sedang mengeluarkan barang-barang dari dalam kantong plastik. Menyusunnya di rak dapur, dan sebagian lagi dimasukkan ke dalam lemari pendingin.

"Sebenarnya kamu tadi mampir kemana dulu habis dari supermarket?" pertanyaan sang Ibu menghentikan kegiatan tangan Reyna yang hendak memasukkan buah ke dalam kulkas. Apakah Bu Lastri curiga pada Reyna?

"Sejak tadi perasaan Ibu kok nggak enak. Apa kamu baik-baik saja, Ndhuk?"

"Bukannya Reyna tadi sudah cerita sama Ibu, Reyna tadi ketemu teman Reyna semasa SMA," Reyna kembali berbohong.

Memasukkan buah terakhir kemudian menghampiri tempat dimana Ibunya duduk.

"Maaf, kalau Reyna sudah membuat Ibu khawatir."

"Bukan Dimas, 'kan?" Bu Lastri kembali memastikan.

Pertanyaan sang Ibu seketika membuat tubuh Reyna menegang. Semoga Bu Lastri tidak menyadari hal itu. Dengan cepat Reyna menggeleng.

"Bukan, Bu!"

"Ibu lega kalau begitu. Ibu hanya memastikan. Ibu tidak ingin jika pertemuan kembali kalian berdua menyebabkan hal-hal yang tidak diinginkan. Ingat, Ndhuk! Dia sudah menikah. Tidak pantas jika kalian masih terlihat jalan bersama. Apa kata orang nanti. Kamu paham, Ndhuk?"

"Inggih, Bu."

"Yo wis, Ibu mau ke kamar dulu. Kamu makan dulu dan cepat pergi tidur. Kamu pasti capek habis perjalanan jauh. Jangan tidur terlalu malam. Nggak baik," Bu Lastri menasehati.

Sekali lagi Reyna hanya bisa mengangguk lemah. Menatap ibunya dengan tubuh tuanya yang berjalan menuju kamarnya. Kata-kata wanita yang telah berjuang sendirian membesarkannya terasa memukul telak hati Reyna.

Rasa bersalah telah membohongi wanita yang melahirkannya semakin terasa menyesakkan. 'Maafkan Reyna, Bu!'

Reyna merebahkan tubuh di atas kasur. Rasa penat tak juga membuat mata wanita itu mengantuk dan terpejam. Pikirannya kembali melayang mengingat peristiwa yang terjadi sore ini antara dia dan Dimas.

Bertemu kembali dengan Dimas telah melemahkan tekadnya untuk memulai hidup baru tanpa bayang-bayang masa lalu. Mengapa sangat sulit bagi Reyna untuk melepaskan diri dari segala pesona yang dimiliki pria itu? Lagi-lagi Reyna kalah dan menyerah.

Reyna teringat kembali begitu mudah dirinya untuk menyerah. Bahkan tanpa berpikir panjang dan memperhitungkan segala resikonya.

Apa yang sebenarnya terjadi pada hati seorang Reyna?

Sebegitu cintanya kah dia pada sosok seorang Dimas?

Hanya dengan sedikit sentuhan darinya saja, dia sudah luluh dan menyerah.

Perasaan yang sempat ia kira telah menghilang, ternyata masih mengendap di dasar hati dan dengan mudah kembali muncul ke permukaan.

Ya....memang benar, Reyna masih mencintainya. Masih sangat mencintainya. Setelah sekian tahun lamanya, rasa itu masih tetap sama seperti sebelumnya. Tidak berkurang sedikitpun.

Wanita pemilik mata hazel itu mengusap wajah dengan kedua tangan.

Apakah dia tega menyakiti ibunya untuk yang kedua kali? Padahal beliau sudah mewanti-wanti agar tidak terlibat hubungan dengan Dimas kembali. Apapun alasannya.

Lalu, apa daya seorang Reyna jika nyatanya rasa cinta dan rindu yang telah lama terpendam membuatnya tidak bisa lagi mengendalikan diri.

Rasa cinta di hati Reyna begitu mendominasi dan mampu memegang segala kendali. Berada dekat dengan Dimas membuatnya tidak bisa berpikir dengan benar.

Ponsel yang diletakkan di atas nakas samping tempat tidur berkedip tanda ada pesan masuk. Menyadarkan pikiran Reyna dari rasa bersalah karena sudah berani tidak jujur pada Ibunya. Nama Dimas muncul di layar notifikasi.

Reyna mengusap layar, membuka pesan dari lelaki pujaan.

["Belum tidur?"]

Wanita itu tersenyum.

Bagaimana bisa membaca pesannya saja sudah membuatnya gembira. Layaknya seorang anak ABG SMA yang baru saja mengenal cinta.

'Ah, ternyata aku senorak itu.' Reyna tertawa geli sambil membalas pesan dari Dimas.

["Belum."]

["Pasti kangen sama aku,"] balasan dari Dimas dengan cepat Reyna terima.

["Kita baru saja ketemu lho, Rey? Masa sudah kangen lagi?"] Dimas sengaja menggoda Reyna.

Reyna tersenyum seraya menulis pesan balasan.

["Aku merindukanmu, Mas. Selalu...."] balas Reyna lagi.

["Aku pasti tidur nyenyak malam ini, Rey. Rinduku yang selama ini tertahan sudah terobati. Melihatmu kembali seakan mampu mengembalikan duniaku yang selama ini hanya tampak hitam dan abu-abu. Tidak ada yang bisa menggantikan tempatmu di hati ini, Rey! Semua tampak berbeda jika kamu ada bersamaku. Kamu jangan pergi lagi, ya? Aku nggak bisa tanpa kamu, Rey. Aku mencintaimu"]

Reyna tersenyum membaca pesan terakhir dari Dimas. Mengembalikan ponsel di tempatnya semula tanpa ada keinginan untuk membalasnya lagi.

Begitulah Dimas, sejak dulu laki-laki itu memang tak pernah memanggilnya dengan sebutan 'sayang' ataupun panggilan-panggilan mesra lainnya. Dia memang tidak seperti orang kebanyakan. Bukan sesosok pria yang romantis. Segala bentuk perhatiannya lah yang mampu membuat Reyna memutuskan melabuhkan hati padanya dulu.

Dimas tidak pernah membuatnya kecewa. Tidak ada masalah yang berarti sejak awal mereka menjalin hubungan. Hanya satu hal yang membuat hubungan Reyna dan Dimas seakan jalan di tempat, Restu dari orangtuanya yang menjadi penghalang.

Reyna paham dan mengerti jika orangtuanya menginginkan yang terbaik, apalagi Dimas bukan berasal dari keluarga yang sembarangan. Satu-satunya penerus dalam keluarganya. Sudah tentu jika orangtuanya tidak sembarangan dalam memilih pendamping untuk sang putra.

Kedua orangtua Dimas memang tidak menolak Reyna sebagai pendamping pilihan putranya secara terang-terangan. Tapi lewat kata-katanya yang dibuat sehalus mungkin yang mereka sampaikan pada Reyna, membuat wanita itu paham dimana seharusnya memposisikan diri.

Mereka tidak setara. Itu yang mereka maksudkan. Mungkin itu menyakitkan untuk Reyna, tapi apa yang bisa dia lakukan?

Reyna menghembuskan nafas perlahan, mengusir sekelebat kenangan menyakitkan dari masa lalu. Ia tidak ingin lagi mengingatnya.

Biarlah seperti ini sampai mungkin dia tak sanggup lagi untuk menanggung beban akibat hubungan terlarangnya dengan Dimas.

'Aku juga pasti tidur nyenyak malam ini, Mas!' Batin Reyna membalas pesan dari Dimas.

Terpopuler

Comments

Widi Widurai

Widi Widurai

ga konsisten.

2024-08-13

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!