"Mama tidak merestui hubungan kita, Rey."
Wanita pemilik mata hazel itu diam. Tidak tahu harus mengatakan apa. Sejak awal hubungan dia sudah tahu bahwa mereka tidak akan mendapat restu dari orang tua lelaki yang dicintainya itu.
"Tapi aku tetap berusaha untuk terus perjuangkan kamu. Kamu yang sabar ya, Rey," lanjut lelaki itu sambil menggenggam tangan gadis yang sangat dia cintai.
"Aku yakin semua pasti baik-baik saja. Kita hanya perlu waktu sedikit saja untuk menyakinkan Mama," imbuhnya.
Gadis itu menghembuskan nafas perlahan. "Sampai kapan? Aku nggak mau menunggu dalam ketidakpastian kayak gini. Kamu tahu aku sudah capek. Nggak ada lagi jalan, Mas. Lebih baik kita jangan terlalu memaksakan diri."
"Beri aku waktu sedikit lagi untuk menyakinkan mereka."
"Kalau mereka tetap nggak merestui? Apa lagi yang akan kamu lakukan? Kenapa nggak berhenti sampai di sini saja?" Gadis itu menatapnya. Mencoba membaca setiap ekspresi di wajahnya.
"Jangan ngomong kayak gitu dong, aku sedang berusah." Sahut lelaki tampan itu cepat.
"Sejak awal kita sudah berusaha, Mas. Tapi nggak ada titik terang sampai sekarang." Reyna memutus pandangannya dan menatap ke arah lain.
"Apapun yang terjadi, aku akan tetap bersamamu, Reyna," ujarnya mantab.
Reyna kembali menatapnya. "Maksudmu kita akan menikah tanpa restu?"
Wanita itu menggeleng. " Nggak, Mas. Aku tidak mau."
Lelaki tampan yang bernama Dimas itu diam. Seketika hening tercipta diantara mereka. Sibuk dengan pikiran masing-masing.
Ya, sebenarnya sejak memutuskan menjalin hubungan dengan Dimas, Reyna sudah menyangka semua ini pasti terjadi. Seharusnya wanita itu sadar sejak awal jika diantara mereka memang ada perbedaan.
Sebagai putra tunggal keluarga Anggara , pemilik perusahaan kontraktor terbesar di kota mereka tinggal tentunya orangtuanya tidak akan sembarangan memilihkan calon pendamping hidup sang putra. Tentunya harus yang sederajat. Jelas bobot, bibit dan bebetnya.
Sedangkan Reyna hanyalah anak seorang Janda, pedagang sembako yang memiliki sebuah kios kecil di pasar kota. Tidak ada apa-apanya dibandingkan keluarga Anggara yang terhormat dan kaya raya.
Seharusnya Reyna sadar akan hal itu sejak awal, sebelum akhirnya melangkah terlalu jauh masuk dalam kehidupan ningrat Dimas.
"Mereka itu bukannya nolak kamu, Rey. Mereka hanya butuh waktu untuk mengenal kamu lebih dekat lagi."
Reyna menghela nafas. Seharusnya kalimat itu menyejukkan, namun kenyataannya tidak mampu mendinginkan hawa panas yang terlanjur berhembus.
"Aku yakin, setelah mereka mengenal kamu dengan baik, mereka akan memberikan restunya. Kamu itu perempuan yang baik, Rey. Perempuan yang tepat buat mendampingi aku," lanjut Dimas dengan yakin.
"Ayo dong, Rey. Aku nggak bisa berjuang sendirian tanpa kamu 'kan?" ujar Dimas lagi.
Reyna menarik tangannya perlahan dari genggaman Dimas. "Kita akhiri saja, Mas. Semakin lama kita menunda perpisahan , rasanya bakal semakin berat untuk kita saling melepaskan. Ini adalah pilihan yang terbaik."
Dimas spontan menatap wajah gadis yang dicintainya itu. Terbersit rasa tidak percaya dalam tatapannya. "Jangan bercanda. Nggak lucu, tahu." Dia tertawa lirih. Tawa yang dipaksakan.
"Aku serius."
Dimas menatapnya kecewa. "Baik untuk siapa? Nggak untuk kita, 'kan?"
"Tidak ada gunanya terus memaksa, Mas. Padahal kita sama-sama tahu nggak ada jalan lagi buat kita." Reyna menarik nafas dan menghembuskannya perlahan. " Aku tahu tanggal pernikahan kalian sudah ditetapkan. Lalu apa lagi?"
"Rey...."
"Kamu tahu, Mas. Pada dasarnya di setiap untaian doa orangtua, mereka berharap punya anak yang berbakti. Dan sekarang saatnya tunjukkan baktimu pada mereka."
"Kamu itu kenapa sih, Rey? Kemarin kamu nggak kayak gini."
Reyna mengembangkan senyuman. "Karena sekarang aku sadar semua hanya sia-sia, Mas."
"Dengar, Rey. Aku yakin nggak bakalan bisa mencintainya. Karena cintaku cuma buat kamu." Dimas tetap kekeuh menolak.
"Aku tahu dan aku percaya," ucap Reyna tersenyum. "Makasih, Mas. Meskipun takdir nggak membuat kita satu, tapi setidaknya aku tahu kalau kamu tetap mencintaiku. Aku pasti kuat karena cintamu itu, Mas. Jangan khawatirkan aku. Aku pasti baik-baik saja."
"Rey...."
"Mas, semua orang tua pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Begitu juga orang tuamu. Aku ikhlas kalau memang yang terbaik untukmu menurut mereka itu bukan aku."
"Rey...," Suara Dimas tertahan.
Reyna berusaha mempertahankan senyumannya.
"Aku nggak akan kemana-mana, Rey. Kita akan tetap bersama."
Reyna menggeleng. "Nggak ada tempat buatku, Mas. Aku akan mencari tempatku sendiri. Karena ternyata tambatan hatiku bukan kamu."
Dimas menatap Reyna intens. Dan wanita itu bisa membaca gejolak dalam tatapan matanya. Lalu menggeleng pelan. "Aku nggak percaya kamu bakalan bilang kayak gini, Rey. Aku tahu kamu mencintaiku. Aku tahu banget itu."
Reyna memilih segera beranjak daripada membalas kalimat yang terucap dari bibir sang kekasih. Matanya mengembun, tidak bisa lagi menahan lajunya butiran kristal bening itu jika ia berada di depannya lebih lama. Reyna ingin terlihat tegar menghadapi perpisahan itu, meskipun sebenarnya dia tahu ini adalah hal paling menyakitkan dalam hidupnya. Hati Reyna hancur berserakan hingga tak terbentuk lagi.
"Semoga bahagia selalu menyertaimu, Mas. Mungkin kita akan ketemu lagi dalam keadaan yang berbeda." Bibir Reyna bergetar tapi dia berusaha tersenyum.
'Tidak jangan sekarang. Aku tidak boleh menangis di sini.' Reyna bermonolog dalam hati.
Tidak menunggu lebih lama lagi wanita berparas ayu itu berdiri meninggalkan Dimas. Suara Dimas yang terus memanggil tidak dipedulikan. Reyna takut, jika hatinya akan kembali goyah.
Sudah berulang kali Reyna mencoba mengakhiri hubungan mereka, karena dia tahu hubungan ini tidak punya tempat bermuara. Namun, berulang kali pula Dimas berhasil menyakinkannya untuk tetap bertahan.
"Ini tidak adil, Rey." Reyna masih bisa mendengar sayup-sayup suara Dimas.
Reyna memelankan langkah, memejamkan matanya. 'Ini juga tidak adil untukku," gumamnya lirih.
Reyna mendesah pelan, sebelum akhirnya mempercepat langkahnya meninggalkan masa lalunya jauh di belakang. Dia bertekad tidak ingin membawanya di kehidupan mendatang.
Akhirnya air mata Reyna yang semula ia tahan luruh juga. Tersamarkan oleh rintik hujan yang jatuh membasahi bumi. Dalam hati Reyna berharap air mata yang jatuh saat ini adalah tangisnya yang terakhir. Tidak akan ada tangisan lagi setelah ini.
Hati keduanya terasa hancur kini. Apakah mereka memang tidak berjodoh ataukah mungkin ini adalah cobaan yang harus Dimas dan Reyna lewati bersama?
Pepatah mengatakan cinta itu butuh pengorbanan. Jika memang harus berkorban, berkorbanlah sewajarnya jangan sampai berlebihan.
Seperti yang dialami Reyna, sebagai seorang wanita jika memang harus butuh waktu lebih lama untuk memperjuangkannya, berjuanglah. Tapi jika dirasa terlalu lama berhentilah memperjuangkannya. Berkorbanlah untuk menahan emosi, atau mengalah dan menahan sebuah keegoisan tapi jangan berkorban perasaan.
Benarkah cinta tanpa pengorbanan tidak layak disebut cinta? Sangat sulit untuk menyebutnya. Karena biar bagaimanapun rasa cinta itu adalah sebuah kekuatan yang universal. Namun, sangat mungkin tidak ada kesetaraan dalam cinta pada insan yang berbeda-beda.
Pandangan Reyna memandangi setiap sudut kamar. Tidak ada yang berubah. Semuanya masih sama seperti saat ia tinggalkan enam tahun yang lalu. Sang Ibu tidak mengubah sedikitpun letak barang-barang di kamar itu. Bersih, rapi , Ibunya pasti merapikannya setiap hari.
Membuka koper yang sejak kemarin teronggok di sudut kamar. Perlahan mengeluarkan isinya satu persatu, kemudian menatanya dalam lemari.
Ya, setelah enam tahun melarikan diri, Reyna memutuskan kembali ke sini rumah Ibunya. Dengan alasan ingin memulai hidup baru, dulu ia pamit pada Ibunya untuk meninggalkan Ponorogo, kota kelahirannya.
Tempat Bulik Tantri sang Bibi di Jakarta menjadi tujuannya. Berharap jauhnya jarak akan mampu mengikis perasaan yang masih kuat terpatri di dalam lubuk hati.
Namun, kenyataan tidak semudah harapan. Kenangan demi kenangan itu menyambangi tidurnya yang jarang lelap di malam hari dengan teratur.
Untuk bisa melupakannya tidak semudah itu. Hingga suatu hari sang Ibu memohon supaya dia kembali ke Ponorogo. Sebuah kota kecil di Jawa Timur.
"Ibuk kangen, Ndhuk," ujar Bu Lastri terbata seperti menahan tangis.
"Ibumu ini sudah semakin tua. Sudah ndak kuat lagi kalau harus bolak-balik Ponorogo-Jakarta kalau ingin ketemu kamu. Pulang ya, Ndhuk! Ibuk kesepian sendirian di rumah."
Semua anak pasti tersentuh hatinya bila mendengar permintaan sederhana orangtuanya. Tidak terkecuali Reyna. Gadis yang dasarnya emang cengeng itu tidak sanggup lagi menahan air mata mendengar permintaan Ibunda tercinta.
Tanpa pikir panjang lagi, ia mengiyakan permintaannya. Dia sudah pergi meninggalkan rumah terlalu lama. Jika harus kembali sekarang, mungkin dia sudah mampu berdamai dengan kenyataan. Kapan lagi akan berbakti pada Ibunya kalau bukan saat ini. Jangan sampai menyesal di akhir karena tidak mengindahkan permintaan dari wanita yang telah melahirkan dan membesarkannya.
"Sudah selesai, Ndhuk?"
Karena kesibukannya melamun, Reyna sampai tidak menyadari keberadaan Ibunya di depan pintu kamar. Lalu menggeleng.
"Dilanjutin nanti saja. Kita makan dulu. Ibuk sudah lapar ini." Bu Lastri menepuk-nepuk perutnya, dan seketika membuat Reyna tertawa.
"Aku juga lapar, Buk." Gadis itu bangkit menghampiri Ibunya di depan pintu kamar dan menggamit lengannya.
'Ya Allah, lengan yang dulu kuat dan kokoh merangkul dan menuntunku sekarang sudah keriput dimakan usia.'
Seketika rasa bersalah itu hinggap di hatinya. 'Anak macam apa aku ini, yang hanya memikirkan diri sendiri seolah-olah yang paling tersakiti. Padahal aku yakin, Ibu pun merasakan hal yang sama melihat keadaanku saat itu. Hanya dengan alasan patah hati aku pergi meninggalkan Ibu hidup sendiri selama bertahun-tahun. Aku bukan anak yang berbakti.'
Penyesalan itu kini datang. Seharusnya Reyna lebih mengutamakan Ibunya, dan tidak memikirkan dirinya sendiri. Hanya Ibu yang dia punya setelah sang Ayah meninggal dunia. Ibunya dengan penuh kesabaran dan kasih sayang mengurus dan membesarkannya seorang diri sejak hari itu.
"Kamu kenapa?" Terlambat, Bu Lastri keburu menoleh saat tangan Reyna terangkat hendak menghapus air matanya.
Reyna menggeleng pelan. "Selama ini aku banyak salah sama, Ibu. Aku belum bisa berbakti dan nyenengin Ibu. Ibu sudah banyak berkorban sejak Ayah pergi. Seharusnya giliran aku yang berkorban untuk Ibu. Tapi aku malah pergi ninggalin Ibu sendirian. Seharusnya aku tetap di samping Ibu apapun yang terjadi. Reyna minta maaf, Ibu."
Ibu menghembuskan nafas panjang sebelum akhirnya menjawab. "Rey, kamu itu anak ibu satu-satunya. Apapun keputusan kamu, Bapak selalu mendukung."
Tangan sang Ibu mampir di kepala Reyna. "Saat itu keadaab memang sedang tidak baik, Ndhuk. Ibu ngerti kalau kamu butuh waktu untuk sendiri. Kamu perlu waktu untuk menata hati. Ibu tahu kamu tidak akan bisa untuk melakukannya seandainya kamu tetap di sini. Ibu yang seharusnya minta maaf, karena memaksa kamu untuk pulang. Padahal kamu punya kehidupan sendiri yang jauh lebih baik di sana."
"Bagi Reyna tidak ada yang lebih penting dibandingin Ibu," ujarnya sambil menggenggam tangan Ibu yang sangat ia sayangi.
"Bu, aku sudah di sini sama Ibu sekarang. Aku janji, nggak akan ninggalin Ibu lagi." Reyna mengacungkan jari kelingking seperti saat kecil dulu, ketika ia berjanji tidak akan nakal lagi di depan Ibunya.
Sambil tertawa Bu Lastri pun menautkan jarinya. "Rey, Ibu jadi ingat waktu kamu jecil dulu." ucapnya sambil terkekeh.
Reyna tidak dapat menahan lapar saat melihat masakan sang Ibu yang sudah tersaji di meja makan. Sejak masih muda Bu Lastri memang sangat pandai memasak. Masakannya enak, tidak kalah dengan masakan di restoran yang pernah Reyna cobain di Jakarta. Sop ayam adalah masakan andalan Bu Lastri. Bagi Reyna rasanya juara, Reyna berani menjamin hal itu.
Gadis pemilik mata hazel itu mengambil sepiring penuh nasi. Sepertinya ia samakin lapar setelah mencium aroma masakan Ibunda tercinta. Sudah tidak sabar untuk memuaskan rasa laparnya dengan sop ayam buatan beliau.
"Awas kalau nggak habis, ya." Bu Lastri mengeluarkan ancamannya seperti ketika Reyna kecil dulu.
"Nanti ayam tetangga mati," sahut Reyna cepat. Bu Lastri tidak bisa menahan tawanya.
"Apa Ibu lupa, kalau anak Ibu yang cantik ini doyan makan?" ujar Reyna lagi.
Dari dulu kebiasaan makan Ibu dan anak tersebut tidak berubah sama sekali. Meskipun keduanya sudah lama tidak menikmati momen seperti ini. Bu Lastri terus bercerita seperti biasa, sedangkan Reyna lebih banyak mendengarkan.
Bu Lastri tidak pernah bosan mengulang cerita masa kecil Reyna ketika sang Ayah masih ada di antara mereka. Sebagai seorang anak, Reyna tahu betapa besar rindu ibunya pada almarhum sang Ayah. Tampak di netra yang berbinar hangat saat bercerita tentang Pak Rudi sang Ayah tercinta, yang kini telah tenang di Surga.
"Jadi, apa rencanamu selanjutnya, Ndhuk?"
"Dewi menawari untuk mengajar di sekolah TK tempat dia mengajar, Bu." Jawab Reyna sambil membereskan meja.
"Dewi bilang salah satu gurunya mengundurkan diri. Suaminya pindah tugas ke Madura, jadi dia ikut suaminya ke sana. menurut Ibu, bagaimana?"
"Ya, menurut Ibu nggak ada salahnya dicoba, Rey. Kamu kan seorang Sarjana Pendidikan."
"Apa aku bisa, Bu?" Reyna kembali duduk di kursi depan ibunya setelah mencuci peralatan makan. "Aku sama sekali nggak punya pengalaman mengajar. Selama ini aku kerja sebagai seorang Teller bank. Nggak nyambung banget, Bu."
Sang Ibu tertawa. "Jangan bilang tidak bisa kalau belum dicoba."
"Gitu ya, Bu?"
"Ya iya, dong," Bu Lastri meneguk air di gelas hingga tandas.
"Atau kamu mau buka usaha saja. Kios Ibu masih ada. Sekarang memang Ibu sewakan. Tapi, kalau mau kamu gunakan Ibu bisa ngomong sama penyewanya."
"Tidak usah, Bu. Itu buat tabungan Ibu saja. Ibu benar, sih, segala sesuatu itu akan tampak sulit kalau belum kita coba."
"Jadi?"
"Tawaran Dewi sepertinya menarik, Bu. Pasti seru bersama anak-anak yang imut dan lucu-lucu. Pasti nyenengin banget."
Menit kemudian, Bu Lastri menyentuh tangan Reyna di atas meja. "Rey, jujur sama Ibu." Beliau menatapnya dalam.
"Perasaan aku nggak pernah bohong sama Ibu."
"Bukan itu maksud Ibu. Apa kamu baik-baik saja setelah kembali ke sini?. Ibu hanya takut kalau...."
"Nggak apa-apa kok, Bu," Jawab Reyna cepat. "Sudah lama 'kan? Belum tentu juga dia masih ingat dengan Reyna, Bu. Jadi buat apa tetap memikirkan orang yang belum tentu mikirin kita juga. Buang-buang waktu dan tenaga saja, Bu."
"Tapi...."
"Ibu tidak perlu khawatir sama Reyna, aku sudah lupain semuanya, Bu. Seperti kata Ibu, yang lalu biarlah berlalu. Nggak ada gunanya dipikirin lagi. Sebesar apapun kita menyesalinya, waktu akan tetap berjalan sebagaimana mestinya. Tidak akan bisa mengulang kembali apa yang telah terjadi."
Bibir wanita paruh baya itu mengembangkan senyuman, namun netranya tampak berkaca-kaca menatap putri semata wayangnya.
"Ibu senang, Rey. Akhirnya kamu bisa move on. Ibu khawatir, kamu pulang karena terpaksa. Ibu jadi merasa bersalah, karena Ibu yang minta kamu pulang."
"Sama sekali tidak, Bu. Memang sudah waktunya Reyna pulang buat jagain Ibu." Ujar Reyna sambil tersenyum.
Reyna berharap senyuman itu dapat membuat perasaan sang Ibu menjadi lebih baik. "Maafkan Reyna, Bu. Kalau selama ini aku sibuk mikirin diri sendiri, seolah tidak peduli sama Ibu. Tapi bukan berarti aku tidak sayang sama Ibu."
" Ibu tahu, Ndhuk."
******
Reyna sedang berbelanja di supermarket. Keranjang belanjaannya sudah terlihat penuh. Wanita berwajah ayu itu menelitinya sekali lagi barang apa yang mungkin belum masuk dalam list belanjaannya.
Supermarket yang lengkap jaraknya lumayan jauh dari rumahnya. Dan tidak memungkinkan untuk datang lagi jika hanya untuk membeli satu atau dua barang yang lupa tak terbeli.
Tiba-tiba Reyna teringat, ternyata dia belum membeli susu kalsium untuk sang Ibu. Meski terkadang ibunya harus diingatkan untuk meminumnya. Namun, sekarang Reyna sudah ada di rumah bersamanya. Reyna akan selalu memastikan beliau rutin mengkonsumsinya.
Wanita itu sedikit kebingungan untuk menemukan susu kalsium yang dia cari. Maklum sudah bertahun-tahun dia tidak ke sini. Dulu memang sering, namun sekarang keadaannya sudah banyak berubah. Dan letak barang-barang pun sudah banyak berganti.
Tadi sebenarnya Bu Lastri sempat menawarkan untuk menemaninya. Takut kalau Reyna lupa jalan pulang.
Begitulah seorang Ibu, anak perempuannya yang sudah berusia dua puluh tujuh tahun pun masih dianggapnya anak di bawah umur.
Reyna menolak tawaran sang Ibu yang ingin menemaninya. Ia takut Ibunya kecapekan, makanya ia menolak.
Rak susu berada di ujung lorong. Wanita itu harus berjalan agak jauh. Tangannya terulur meraih salah satu kotak saat tangan yang lain juga memegang kotak susu yang Reyna pegang.
"Maaf, maaf. Silahkan Mbak mengambil duluan." Seorang perempuan cantik tersenyum pada Reyna. Iya, perempuan itu sangat cantik dengan make up yang natural. Semua laki-laki pasti akan jatuh cinta padanya pada pandangan pertama. Tidaklah berlebihan, tapi perempuan di depan Reyna memang secantik itu.
"Kebetulan itu lucu, ya." ucap perempuan cantik itu.
Reyna pun ikut tertawa. Pembawaannya yang cukup ramah, membuat Reyna langsung merasa akrab meski baru pertama mereka bertemu.
Namun, Reyna merasa pernah melihatnya di suatu tempat. Tetapi kapan dan dimana, sepertinya dia sama sekali tidak mengingatnya.
"Mari, saya duluan," pamit Reyna setelah mendapat barang yang dia inginkan.
"Silahkan."
Antrian di kasir terlihat cukup panjang. Hal itu biasa terjadi saat weekend di awal bulan. Sambil menunggu giliran, Reyna tampak memindai setiap sudut ruangan. Dulu dia sering belanja di tempat itu ditemani oleh Dimas. Laki-laki itu suka sekali memasukkan barang-barang tidak penting ke dalam keranjang belanja Reyna. Lalu akan berebut untuk membayar di depan kasir. Dan selalu berakhir dengan kemenangan Dimas. Selalu dia yang membayar saat mereka berbelanja.
"Malu dong kalau Dimas Anggara sampai dibayarin cewek."
Wanita pemilik mata hazel itu menghembuskan nafas panjang untuk mengusir sekelumit kenangan yang berhasil menyusup.
Sudah sekian tahun berlalu, namun masih saja sulit dilupakan. Apakah mungkin dengan Reyna kembali ke sini akan mengingatkannya pada hal-hal yang sudah hampir bisa dia lupakan? Dalam benaknya dia bertanya-tanya apakah keputusannya untuk pulang itu salah.
Rasanya tidak ada yang salah. Dia kembali untuk seorang Ibu yang telah melahirkan dan membesarkannya. Bukan untuk siapa pun, termasuk Dimas.
Perasaan itu adalah hal yang biasa saat tiba-tiba dia teringat. Dan itu wajar. Lalu kenapa harus bimbang hanya karena sebagian kecil kenangan masa lalu itu?
Reyna sudah merasakan lebih pahit daripada ini, dan tidak ada alasan baginya untuk ragu. Dia berhasil berdiri setelah jalannya tertatih karena tongkat penyangga yang patah. Tidak ada yang lebih buruk daripada itu.
Antrian tinggal satu lagi di meja kasir. Mungkin kakinya sudah pegal karena mengantri sejak tadi. Untuk mengusir rasa bosan, Reyna kembali memindai sudut-sudut supermarket.
Reyna terpaku saat pandangan matanya mendapati seseorang yang baru saja masuk melalui pintu supermarket.
'Astaga, aku lupa memperhitungkan ini.'
Dengan cepat Reyna memalingkan wajah seraya berdoa supaya orang itu tidak melihat keberadaannya.
Reyna merasakan punggungnya telah basah dengan keringat, meskipun ruangan dalam keadaan dingin karena AC.
Sesekali Reyna melirik ke semua penjuru, mencari keberadaannya. Kemudian menarik nafas lega saat tudak menemukan keberadaannya.
'Sepertinya dia tidak melihat ke tempat aku berdiri. Keberuntungan masih berada di pihakku.' Reyna bermonolog dalam hati.
Setelah membayar sejumlah yang tertera, Reyna bergegas pergi. Baru beberapa langkah dari pintu keluar, tiba-tiba lengannya ditarik seseorang. Reyna yang terkejut tidak sempat melawan.
"kita harus bicara!"
Reyna menganga mendapati laki-laki yang tidak asing baginya mencengkeram lengannya. Kenapa Tuhan begitu cepat mempertemukan mereka kembali. Setidaknya beri mereka waktu supaya Reyna merasa lebih siap.
Reyna mencoba melepas cengkeraman tangannya. Namun, cengkeraman laki-laki itu semakin kuat tanpa mempedulikan Reyna yang meringis menahan sakit.
"Sakit," Reyna menyentakkan tangannya supaya terlepas. "Lepasin!"
"Nggak," laki-laki itu menolak.
"Aku sudah pernah lepasin kamu sekali. Setelah akhirnya aku menemukan kamu, aku tidak akan melepasmu lagi."
"Mau kamu itu apa, sih?" Sentak Reyna.
"Kita bicara!"
"Nggak ada yang perlu dibicarakan lagi," Reyna tetap menolak. "Semua tentang kita sudah selesai 'kan? Mau bicara apa lagi? Jangan buang-buang waktu."
Lelaki itu menatap Reyna. Tatapan tajam yang selalu bisa membuat gadis itu merasa terintimidasi.
"Selesai buatmu, tapi tidak buatku. Bagiku semua tidak akan pernah selesai."
Reyna menelan ludah. Situasi ini tentu akan menjadi hal yang sulit baginya. Apa maksudnya dengan tidak akan pernah selesai? Bukankah mereka dulu sudah sepakat? Lalu, apa lagi yang belum selesai diantara mereka?
"Baiklah. Bicaralah, aku akan mendengarkan."
"Tidak di sini." Lelaki tampan berwajah tegas itu menarik tangan Reyna menuju tempat mobilnya terparkir.
Mungkin bagi Reyna, tidak ada gunanya melawan, lebih baik dia ikuti saja apa maunya. Hanya sekedar bicara, setelah itu semuanya selesai. Kalaupun nanti laki-laki itu ingin melampiaskan kemarahan dan kekecewaannya karena Reyna memutuskan untuk meninggalkannya dulu, Reyna akan menerimanya dengan senang hati.
"Masuk!" Laki-laki itu membuka pintu dan mendorong Reyna masuk.
Mereka melewati perjalanan dalam keheningan. Reyna tidak tahu kemana laki-laki yang dulu sangat dia cintai itu akan membawanya. Dimas fokus dengan kemudinya.
Sedangkan Reyna mengamati pemandangan jalanan dari kaca jendela mobil.
'Ya Allah, jantungku berdetak lebih cepat. Ternyata aku masih merasakan debaran itu.' Reyna berkata dalam hatinya.
Dan sial sekali debaran itu masih sama. Dia yang sempat yakin kalau rasa itu telah hilang selama bertahun-tahun, rupanya datang lagi sekarang setelah mereka bertemu kembali.
"Sebenarnya kamu mau membawaku kemana?" Reyna tidak tahan lagi untuk terus membisu. "Aku harus pulang. Aku tadi hanya pamit untuk belanja. Ibu pasti khawatir kalau aku pulang terlambat."
"Telpon saja. Bilang kalau kamu ketemu teman lama lalu diajak mampir ke cafe buat nostalgia. Gitu aja kok repot," Jawab Dimas dengan entengnya tanpa menatap Reyna sedikitpun.
Reyna mendelik, "Kamu menyuruhku berbohong?"
"Ya terserah, kalau mau jujur bilang saja kamu sedang bersamaku sekarang."
Astaga.
Meskipun Reyna berada di depan gantungan sekarang, dia tidak akan pernah memberitahu ibunya tentang ini. "Kamu gila, ya!"
"Kamu yang telah bikin aku gila."
"Terserah."
Reyna tidak menghiraukannya. Sialan memang. Dimas selalu bisa membuat Seorang Reyna merasa bersalah. Memilih mengeluarkan ponsel dari dalam tas, mencari kontak ibunya lalu menekan panggilan.
["Assalamu'alaikum."] Jawab Bu Lastri dari seberang telpon.
["Wa'alaikum sallam, Bu."]
["Lama banget, Rey. Mampir kemana dulu? Kamu nyasar? Atau lupa jalan pulang?"] Tanya sang Ibu setelah Reyna menjawab salamnya. Reyna membayangkan Ibunya saat ini tengah duduk di kursi teras menunggunya pulang.
Reyna tertawa mendengar pertanyaan ibunya.
["Apaan sih, Bu. Kayak anak kecil aja lupa jalan pulang."]
["Jadi kamu mampir kemana dulu?"]
["Tadi Reyna nggak sengaja ketemu teman sekolah, Bu. Dia mengajak ngobrol dulu. Nggak enak kalau nolak, Bu."] Reyna melirik Dimas. Dan sialnya lelaki di belakang kemudi itu juga melakukan hal yang sama. Dan rupanya debaran sialan itu Reyna rasakan lagi.
["Ya sudah. Nanti pulangnya hati-hati. Jangan terlalu malam."]
["Nggih, Bu."]
Reyna memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas. Kemudian menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Sepertinya masalah baru sedang menunggu wanita berparas ayu itu.
Dada Reyna seketika terasa sesak.
'Maafin aku, Bu. Sebenarnya aku nggak mau bohong sama Ibu. Aku hanya nggak mau Ibu kepikiran kalau tahu aku sedang bersama siapa sekarang.'
"Sebenarnya kita mau kemana sih, Mas?"
Lelaki pemilik mata elang itu hanya melirik tanpa menjawab.
"Kita mau kemana?" ulang Reyna dengan nada yang lebih keras.
Dimas tertawa pendek. "Sudah lama nggak ketemu, kamu semakin cerewet, ya? Tapi aku suka."
"Kita mau kemana?" Ulang Reyna lagi
Dimas urung menjawab saat ponsel di sakunya berdering. Lama. Kemudian mati dan berdering lagi. Namun, sepertinya lelaki itu tidak berniat mengangkat telepon itu.
"Kasihan banget yang nelpon kamu. Dicuekin gitu."
Dimas menepi dan menghentikan mobilnya di bahu jalan. Kemudian menoleh ke arah wanita di sampingnya dan mendekatkan wajahnya sambil tersenyum lebar. "Karena aku pedulinya cuma sama kamu, Rey."
Reyna melengos, mengalihkan pandangan ke luar jendela. Entah apa yang menarik di sana. Mungkin pemandangan di luar lebih menarik daripada bertahan dengan debaran jantungnya yang mendadak meningkat ritmenya. Dan Dimas justru tertawa, mungkin dia melihat wajah Reyna yang sudah memerah. Dan wanita itu tidak suka.
Dimas menarik nafas sebelum meletakkan ponselnya di telinga. ["Ah, iya. Maaf, aku lupa ngasih tahu kamu. Aku tiba-tiba ada meeting mendadak."]
["klien penting, Rin. Nggak bisa dibatalin begitu saja."] ujar Dimas sambil melirik Reyna.
["......"]
["Kamu telpon Pak Iwan atau naik taksi saja. Aku benar-benar nggak bisa jemput kamu."
["......"]
["Oh begitu. Baiklah, hati-hati."]
["....."]
["Iya, aku akan langsung pulang begitu selesai meeting. Hati-hati, Rin!"]
'Rin? Nama istrinya, kah?' Reyna bertanya dalam hati.
Karena menurut yang dia ingat, Dimas tidak punya saudara sepupu perempuan yang bernama Rin, Rina, Rini atau Rin-Rin lainnya.
Hal itu menyakinkan Reyna bahwa yang telpon barusan adalah istrinya Dimas. Ada yang berdenyut nyeri di rongga dada wanita itu. Sakit. Menyesal, mengapa rasa di hatinya tidak bisa benar-benar hilang?
Reyna menunduk dan mendesah pelan.
Dimas langsung menjalankan mobilnya kembali setelah sambungan telpon terputus.
"Istrimu ya, Mas?" Reyna bertanya dengan nada biasa seolah-olah dia baik-baik saja.
Dimas tidak menjawab. Hanya melirik sebentar kemudian tatapannya kembali fokus ke depan. Sangat menyebalkan sekali orang ini. Huh!
"Kamu nggak kasihan sudah bohongi dia?"
"Aku nggak bohong, kok. Aku beneran ada meeting," jawab Dimas acuh.
"Dasar." Ujar Reyna sambil melengos.
"Iya. Aku nggak bohong, Rey. Kamu tahu gimana aku 'kan? Aku paling nggak bisa bohong."
Reyna mendengkus. Dia kenal betul bagaimana Dimas. Lelaki itu memang tidak bisa berbohong.
"Tapi kayaknya sebentar lagi aku akan pandai berbohong," Dimas tertawa pendek, terdengar seperti ejekan di telinga Reyna. "Dan kamu pasti tahu itu karena siapa."
Reyna tidak mau memperpanjang pembahasan itu.
"Kita mau kemana?" Reyna mengulang pertanyaan yang sama dengan lebih keras.
Namun, setelah menunggu sekian menit Dimas tetap tak menjawab.
"Kalau kamu nggak mau ngasih tahu, aku akan turun di sini." Reyna berusaha membuka pintu.
Tawa keras dan mengejek Dimas terdengar. "Kamu kira mobilku itu angkutan umum yang bisa dibuka dengan mudah saat melaju? Sudahlah, Rey. Duduk dengan manis dan diamlah. Nggak usah munafik dengan bilang kamu nggak kangen sama aku." Lelaki itu mengulurkan tangannya dan mengusap lembut pipi Reyna.
Tawanya kembali terdengar saat Reyna menepis tangannya.
"Kalau lagi ngambek gitu, kamu malah terlihat semakin cantik, Rey." ujarnya menggoda.
"Jangan bercanda kamu, Mas!"
"Oh tidak. Aku bahkan selalu serius kalau itu menyangkut tentang kita, Rey."
"Terserah." Reyna membuang pandangan melalui kaca jendela.
Laki-laki di sampingnya tidak banyak berubah, masih semenyebalkan saat mereka masih bersama dulu. Masih suka seenaknya sendiri juga.
"Tenang, Reyna. Aku nggak bakalan menculik kamu."
"Kenapa nggak berhenti saja di sini lalu kamu cepat pulang. Tadi istrimu sudah menelpon, 'kan?"
"Nggak ada yang penting," sahutnya dengan enteng.
"Kasihan kalau...."
"Nggak usah sok menasehati," sambarnya cepat. Dimas memotong ucapan Reyna. "Lebih baik kamu diam saja."
"Sebenarnya apa sih mau kamu?" Reyna tak bisa lagi mengontrol nada suaranya supaya tidak meninggi. "Kalau kamu ingin marah-marah, maki-maki aku kenapa nggak sekarang saja? Sekarang atau nanti sama saja 'kan? Nggak perlu cari tempat yang nyaman kalau cuma mau marah."
Dimas menghela nafas. "Sudah sok tahunya?"
Reyna mendelik, "Kamu itu nyebelin banget sih, Mas."
"Tanyakan pada dirimu. Siapa yang membuatku begini. Kamu pasti tahu itu." Jawab Dimas tanpa menoleh.
Reyna diam. Mimik wajah Dimas tiba-tiba berubah serius. Wanita itu menatapnya lama. Laki-laki itu memang terlihat berbeda dari saat terakhir mereka bertemu. Terlihat jauh lebih matang, dan tentu saja tetap tampan. Penampilannya lebih rapi dan maskulin. Reyna tidak menyangkal kalau lelaki yang sangat dia cintai itu terlihat lebih mempesona di usianya sekarang.
Mobil berhenti dan mata wanita itu langsung melotot saat tahu dimana dia sekarang.
'Apa-apaan ini? Kenapa dia membawaku kemari? Apa dia sudah gila?'
"Ini.... Kenapa kamu membawaku ke sini? Kamu jangan macam-macam, Mas!"
"Tadi aku sudah bilang aku ada meeting, Rey," sahutnya kalem. "Kamu kira aku bohong, apa?"
Reyna menatapnya tidak percaya. "Jangan mengada-ada, Mas. Kita...."
"Aku ada janji temu di sini. Sebentar saja, hanya menandatangani berkas."
Reyna tidak bisa percaya begitu saja. Antara dia dan Dimas sudah lama tidak bertemu. Rentang waktu mampu mengubah seseorang menjadi sosok yang berbeda. Tidak terkecuali Dimas, Lelaki yang dulu sangat dia cintai.
"Ayo turun. Atau kamu mau tetap di sini?"
Reyna tidak punya pilihan lain selain mengikutinya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!