Reyna menganga mendapati laki-laki yang tidak asing baginya mencengkeram lengannya. Kenapa Tuhan begitu cepat mempertemukan mereka kembali. Setidaknya beri mereka waktu supaya Reyna merasa lebih siap.
Reyna mencoba melepas cengkeraman tangannya. Namun, cengkeraman laki-laki itu semakin kuat tanpa mempedulikan Reyna yang meringis menahan sakit.
"Sakit," Reyna menyentakkan tangannya supaya terlepas. "Lepasin!"
"Nggak," laki-laki itu menolak.
"Aku sudah pernah lepasin kamu sekali. Setelah akhirnya aku menemukan kamu, aku tidak akan melepasmu lagi."
"Mau kamu itu apa, sih?" Sentak Reyna.
"Kita bicara!"
"Nggak ada yang perlu dibicarakan lagi," Reyna tetap menolak. "Semua tentang kita sudah selesai 'kan? Mau bicara apa lagi? Jangan buang-buang waktu."
Lelaki itu menatap Reyna. Tatapan tajam yang selalu bisa membuat gadis itu merasa terintimidasi.
"Selesai buatmu, tapi tidak buatku. Bagiku semua tidak akan pernah selesai."
Reyna menelan ludah. Situasi ini tentu akan menjadi hal yang sulit baginya. Apa maksudnya dengan tidak akan pernah selesai? Bukankah mereka dulu sudah sepakat? Lalu, apa lagi yang belum selesai diantara mereka?
"Baiklah. Bicaralah, aku akan mendengarkan."
"Tidak di sini." Lelaki tampan berwajah tegas itu menarik tangan Reyna menuju tempat mobilnya terparkir.
Mungkin bagi Reyna, tidak ada gunanya melawan, lebih baik dia ikuti saja apa maunya. Hanya sekedar bicara, setelah itu semuanya selesai. Kalaupun nanti laki-laki itu ingin melampiaskan kemarahan dan kekecewaannya karena Reyna memutuskan untuk meninggalkannya dulu, Reyna akan menerimanya dengan senang hati.
"Masuk!" Laki-laki itu membuka pintu dan mendorong Reyna masuk.
Mereka melewati perjalanan dalam keheningan. Reyna tidak tahu kemana laki-laki yang dulu sangat dia cintai itu akan membawanya. Dimas fokus dengan kemudinya.
Sedangkan Reyna mengamati pemandangan jalanan dari kaca jendela mobil.
'Ya Allah, jantungku berdetak lebih cepat. Ternyata aku masih merasakan debaran itu.' Reyna berkata dalam hatinya.
Dan sial sekali debaran itu masih sama. Dia yang sempat yakin kalau rasa itu telah hilang selama bertahun-tahun, rupanya datang lagi sekarang setelah mereka bertemu kembali.
"Sebenarnya kamu mau membawaku kemana?" Reyna tidak tahan lagi untuk terus membisu. "Aku harus pulang. Aku tadi hanya pamit untuk belanja. Ibu pasti khawatir kalau aku pulang terlambat."
"Telpon saja. Bilang kalau kamu ketemu teman lama lalu diajak mampir ke cafe buat nostalgia. Gitu aja kok repot," Jawab Dimas dengan entengnya tanpa menatap Reyna sedikitpun.
Reyna mendelik, "Kamu menyuruhku berbohong?"
"Ya terserah, kalau mau jujur bilang saja kamu sedang bersamaku sekarang."
Astaga.
Meskipun Reyna berada di depan gantungan sekarang, dia tidak akan pernah memberitahu ibunya tentang ini. "Kamu gila, ya!"
"Kamu yang telah bikin aku gila."
"Terserah."
Reyna tidak menghiraukannya. Sialan memang. Dimas selalu bisa membuat Seorang Reyna merasa bersalah. Memilih mengeluarkan ponsel dari dalam tas, mencari kontak ibunya lalu menekan panggilan.
["Assalamu'alaikum."] Jawab Bu Lastri dari seberang telpon.
["Wa'alaikum sallam, Bu."]
["Lama banget, Rey. Mampir kemana dulu? Kamu nyasar? Atau lupa jalan pulang?"] Tanya sang Ibu setelah Reyna menjawab salamnya. Reyna membayangkan Ibunya saat ini tengah duduk di kursi teras menunggunya pulang.
Reyna tertawa mendengar pertanyaan ibunya.
["Apaan sih, Bu. Kayak anak kecil aja lupa jalan pulang."]
["Jadi kamu mampir kemana dulu?"]
["Tadi Reyna nggak sengaja ketemu teman sekolah, Bu. Dia mengajak ngobrol dulu. Nggak enak kalau nolak, Bu."] Reyna melirik Dimas. Dan sialnya lelaki di belakang kemudi itu juga melakukan hal yang sama. Dan rupanya debaran sialan itu Reyna rasakan lagi.
["Ya sudah. Nanti pulangnya hati-hati. Jangan terlalu malam."]
["Nggih, Bu."]
Reyna memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas. Kemudian menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Sepertinya masalah baru sedang menunggu wanita berparas ayu itu.
Dada Reyna seketika terasa sesak.
'Maafin aku, Bu. Sebenarnya aku nggak mau bohong sama Ibu. Aku hanya nggak mau Ibu kepikiran kalau tahu aku sedang bersama siapa sekarang.'
"Sebenarnya kita mau kemana sih, Mas?"
Lelaki pemilik mata elang itu hanya melirik tanpa menjawab.
"Kita mau kemana?" ulang Reyna dengan nada yang lebih keras.
Dimas tertawa pendek. "Sudah lama nggak ketemu, kamu semakin cerewet, ya? Tapi aku suka."
"Kita mau kemana?" Ulang Reyna lagi
Dimas urung menjawab saat ponsel di sakunya berdering. Lama. Kemudian mati dan berdering lagi. Namun, sepertinya lelaki itu tidak berniat mengangkat telepon itu.
"Kasihan banget yang nelpon kamu. Dicuekin gitu."
Dimas menepi dan menghentikan mobilnya di bahu jalan. Kemudian menoleh ke arah wanita di sampingnya dan mendekatkan wajahnya sambil tersenyum lebar. "Karena aku pedulinya cuma sama kamu, Rey."
Reyna melengos, mengalihkan pandangan ke luar jendela. Entah apa yang menarik di sana. Mungkin pemandangan di luar lebih menarik daripada bertahan dengan debaran jantungnya yang mendadak meningkat ritmenya. Dan Dimas justru tertawa, mungkin dia melihat wajah Reyna yang sudah memerah. Dan wanita itu tidak suka.
Dimas menarik nafas sebelum meletakkan ponselnya di telinga. ["Ah, iya. Maaf, aku lupa ngasih tahu kamu. Aku tiba-tiba ada meeting mendadak."]
["klien penting, Rin. Nggak bisa dibatalin begitu saja."] ujar Dimas sambil melirik Reyna.
["......"]
["Kamu telpon Pak Iwan atau naik taksi saja. Aku benar-benar nggak bisa jemput kamu."
["......"]
["Oh begitu. Baiklah, hati-hati."]
["....."]
["Iya, aku akan langsung pulang begitu selesai meeting. Hati-hati, Rin!"]
'Rin? Nama istrinya, kah?' Reyna bertanya dalam hati.
Karena menurut yang dia ingat, Dimas tidak punya saudara sepupu perempuan yang bernama Rin, Rina, Rini atau Rin-Rin lainnya.
Hal itu menyakinkan Reyna bahwa yang telpon barusan adalah istrinya Dimas. Ada yang berdenyut nyeri di rongga dada wanita itu. Sakit. Menyesal, mengapa rasa di hatinya tidak bisa benar-benar hilang?
Reyna menunduk dan mendesah pelan.
Dimas langsung menjalankan mobilnya kembali setelah sambungan telpon terputus.
"Istrimu ya, Mas?" Reyna bertanya dengan nada biasa seolah-olah dia baik-baik saja.
Dimas tidak menjawab. Hanya melirik sebentar kemudian tatapannya kembali fokus ke depan. Sangat menyebalkan sekali orang ini. Huh!
"Kamu nggak kasihan sudah bohongi dia?"
"Aku nggak bohong, kok. Aku beneran ada meeting," jawab Dimas acuh.
"Dasar." Ujar Reyna sambil melengos.
"Iya. Aku nggak bohong, Rey. Kamu tahu gimana aku 'kan? Aku paling nggak bisa bohong."
Reyna mendengkus. Dia kenal betul bagaimana Dimas. Lelaki itu memang tidak bisa berbohong.
"Tapi kayaknya sebentar lagi aku akan pandai berbohong," Dimas tertawa pendek, terdengar seperti ejekan di telinga Reyna. "Dan kamu pasti tahu itu karena siapa."
Reyna tidak mau memperpanjang pembahasan itu.
"Kita mau kemana?" Reyna mengulang pertanyaan yang sama dengan lebih keras.
Namun, setelah menunggu sekian menit Dimas tetap tak menjawab.
"Kalau kamu nggak mau ngasih tahu, aku akan turun di sini." Reyna berusaha membuka pintu.
Tawa keras dan mengejek Dimas terdengar. "Kamu kira mobilku itu angkutan umum yang bisa dibuka dengan mudah saat melaju? Sudahlah, Rey. Duduk dengan manis dan diamlah. Nggak usah munafik dengan bilang kamu nggak kangen sama aku." Lelaki itu mengulurkan tangannya dan mengusap lembut pipi Reyna.
Tawanya kembali terdengar saat Reyna menepis tangannya.
"Kalau lagi ngambek gitu, kamu malah terlihat semakin cantik, Rey." ujarnya menggoda.
"Jangan bercanda kamu, Mas!"
"Oh tidak. Aku bahkan selalu serius kalau itu menyangkut tentang kita, Rey."
"Terserah." Reyna membuang pandangan melalui kaca jendela.
Laki-laki di sampingnya tidak banyak berubah, masih semenyebalkan saat mereka masih bersama dulu. Masih suka seenaknya sendiri juga.
"Tenang, Reyna. Aku nggak bakalan menculik kamu."
"Kenapa nggak berhenti saja di sini lalu kamu cepat pulang. Tadi istrimu sudah menelpon, 'kan?"
"Nggak ada yang penting," sahutnya dengan enteng.
"Kasihan kalau...."
"Nggak usah sok menasehati," sambarnya cepat. Dimas memotong ucapan Reyna. "Lebih baik kamu diam saja."
"Sebenarnya apa sih mau kamu?" Reyna tak bisa lagi mengontrol nada suaranya supaya tidak meninggi. "Kalau kamu ingin marah-marah, maki-maki aku kenapa nggak sekarang saja? Sekarang atau nanti sama saja 'kan? Nggak perlu cari tempat yang nyaman kalau cuma mau marah."
Dimas menghela nafas. "Sudah sok tahunya?"
Reyna mendelik, "Kamu itu nyebelin banget sih, Mas."
"Tanyakan pada dirimu. Siapa yang membuatku begini. Kamu pasti tahu itu." Jawab Dimas tanpa menoleh.
Reyna diam. Mimik wajah Dimas tiba-tiba berubah serius. Wanita itu menatapnya lama. Laki-laki itu memang terlihat berbeda dari saat terakhir mereka bertemu. Terlihat jauh lebih matang, dan tentu saja tetap tampan. Penampilannya lebih rapi dan maskulin. Reyna tidak menyangkal kalau lelaki yang sangat dia cintai itu terlihat lebih mempesona di usianya sekarang.
Mobil berhenti dan mata wanita itu langsung melotot saat tahu dimana dia sekarang.
'Apa-apaan ini? Kenapa dia membawaku kemari? Apa dia sudah gila?'
"Ini.... Kenapa kamu membawaku ke sini? Kamu jangan macam-macam, Mas!"
"Tadi aku sudah bilang aku ada meeting, Rey," sahutnya kalem. "Kamu kira aku bohong, apa?"
Reyna menatapnya tidak percaya. "Jangan mengada-ada, Mas. Kita...."
"Aku ada janji temu di sini. Sebentar saja, hanya menandatangani berkas."
Reyna tidak bisa percaya begitu saja. Antara dia dan Dimas sudah lama tidak bertemu. Rentang waktu mampu mengubah seseorang menjadi sosok yang berbeda. Tidak terkecuali Dimas, Lelaki yang dulu sangat dia cintai.
"Ayo turun. Atau kamu mau tetap di sini?"
Reyna tidak punya pilihan lain selain mengikutinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments