Om Kaba & Istri Cegil

Om Kaba & Istri Cegil

Noda Satu Malam

Mutia terbangun dengan rasa aneh. Ia berada di bawah selimut, tubuhnya dipeluk oleh tangan seseorang. Dengan panik, ia menoleh ke sisi kanan kasur dan melihat Kaba tertidur di sampingnya.

Mutia dalam hati, sambil menahan napas, "Apa yang terjadi? Kenapa aku ada di sini? Dan kenapa Om Kaba…?"

Kaba tiba-tiba bergerak, membuka matanya perlahan. Ia tersenyum kecil, wajahnya masih terlihat mengantuk.

"Selamat pagi, Mutia," suara berat itu memenuhi kamar dan hati Mutia.

"Om Kaba?!" gumam Mutia ngeri.

Mutia membelalakkan matanya, panik. Ia langsung mencoba melepaskan diri dan menarik selimut untuk menutupi tubuhnya.

"Om, lepaskan! Ini salah."

Kaba terdiam sejenak, lalu menarik napas panjang. Ia menatap Mutia dengan serius.

"Semalam… kita terlalu dekat. Aku nggak tahu harus bilang apa, tapi aku cuma mau kamu tahu, aku nggak berniat menyakiti kamu."

Mutia membeku, perlahan menyadari apa yang terjadi. Tubuhnya gemetar, dan pikirannya penuh dengan rasa takut dan marah. Bersama Kaba, Mutia telah melewati batas.

"Jadi… kita benar-benar…?" Mutia berbisik, dengan suara bergetar.

Kaba mengangguk pelan, "Iya. Tapi aku bertanggung jawab, Mutia. Aku nggak akan lari dari ini."

Mutia masih di tempat tidur, memeluk selimut erat-erat. Sementara itu, Kaba dengan santai berdiri di dekat kursi, mengenakan bajunya tanpa tergesa-gesa. Ia tampak tenang, seolah tidak ada hal besar yang baru saja terjadi.

Kaba sambil mengancingkan bajunya.

"Mutia, tenang aja. Aku udah bilang, aku akan bertanggung jawab."

Mutia menatap Kaba dengan ekspresi kesal dan cemas.

"Om, kamu nggak ngerti! Kalau Papa aku tahu soal ini, dia nggak akan kasih Kita ampun. Kamu tahu gimana Papa kan?"

Kaba menoleh santai, tersenyum tipis.

"Aku tahu, Mutia. Tapi aku nggak takut. Aku serius, aku bakal nikahin kamu."

Mutia mengerutkan kening, tidak percaya.

"Nikahin aku? Kamu pikir ini lelucon, ya? Om, ini bukan cuma soal tanggung jawab. Kamu nggak bisa main-main!"

"Aku nggak main-main, Mutia. Aku serius. Aku nggak akan ninggalin kamu setelah apa yang terjadi." Kaba dengan nada tenang, tapi tegas.

Mutia terdiam, merasa bingung dengan sikap santai Kaba. Ia tidak tahu apakah harus percaya atau justru semakin marah. Sementara itu, Kaba selesai memakai bajunya, mengambil handuk, dan berjalan menuju kamar mandi.

"Om lupakan saja apa yang kita lewati semalam. Kamu tidak harus menikahiku."

"Tidak. Aku sudah menodaimu. Kamu berhak dapat masa depan yang baik meski kita harus menikah. Aku akan menemui Pak Galang setalah ini."

Mutia mengingat momen di klub. Setelah minum ia merasa tubuhnya tidak terkendali. Entah dari mana Kaba datang dan membawanya pergi. Kaba seolah menyelamatkan malam itu.

"Kamu berhak menikahi gadis pilihanmu. Aku bukan jodohmu."

"Mutia, kamu sadar apa yang kita lakukan bisa membuatmu hamil? Apa yang akan dikatakan ayahmu?" tegas Kaba.

Kaba berhenti di depan pintu kamar mandi, menoleh dengan senyum kecil.

"Mutia aku akan selesaikan ini. Kamu tenang aja."

Tanpa menunggu jawaban Mutia, Kaba masuk ke kamar mandi dan menutup pintunya. Mutia berdiri di tempat, masih terguncang dengan apa yang terjadi. Ia merasa seperti terjebak dalam mimpi buruk, sementara Kaba tampak terlalu santai menghadapi semua ini.

"Apa Om Kaba benar-benar serius? Atau ini cuma caranya kabur dari masalah?" Mutia berbisik pelan, untuk dirinya sendiri.

Suara air dari kamar mandi terdengar samar-samar. Mutia hanya bisa berdiri diam, mencoba memahami situasi yang terasa semakin tidak masuk akal baginya.

"Kamu nggak mau mandi? Atau masih mau tidur di sini?" ucap Kaba keluar dari kamar mandi.

"Mau. Amit-amit aku harus sama Om Kaba," Mutia menarik selimut itu bersamanya ke kamar mandi.

Mutia keluar dari kamar mandi dengan rambut yang masih basah, mengenakan baju yang sama seperti semalam. Ia melihat Kaba sudah menunggunya di sofa, tampak santai sambil menggulir layar ponselnya. Kaba menoleh begitu melihat Mutia keluar.)

Kaba tersenyum.

"Akhirnya selesai juga. Sekarang kita cari makan, ya. Aku udah lapar."

Mutia menghela napas, masih kesal. Laki-laki itu seolah lupa apa yang sudah terjadi.

"Om, kamu kayak nggak ada beban sama sekali. Kamu ngerti nggak apa yang kita hadapi?"

Kaba bangkit dari sofa, memasukkan ponsel ke sakunya. Kaba mendekati Mutia.

"Aku ngerti, Mutia. Justru karena itu aku harus tetap tenang. Kalau aku panik, kamu bakal makin stres. Ayo, makan dulu. Kita butuh energi buat mikirin langkah selanjutnya."

Mutia, meski masih merasa marah dan bingung, akhirnya mengangguk. Mereka turun ke restoran hotel, suasana makan pagi terlihat ramai tapi tenang. Kaba memesan makanan untuk mereka berdua, sementara Mutia hanya duduk diam.

"Mutia, aku butuh bantuan kamu soal ini," ucap Kaba sambil menyendok makanannya.

Mutia memandangnya curiga. Dulu laki-laki itu bertemu di rumah dan banyak bicara dengan ayahnya. Sekarang Kaba bicara banyak pada Mutia.

"Apa lagi, Om? Aku udah cukup terlibat dalam semua ini, Om."

"Tenang, nggak susah kok. Aku cuma mau kamu kasih pesan ke Papa kamu. Bilang aja kalau semalam kamu tidur di rumah teman."

"Serius? Kamu mau aku bohong ke Papa?" Mutia meletakkan garpunya, menatap Kaba dengan tajam.

"Mutia, ini cuma sementara. Aku nggak mau kamu kena masalah sebelum aku punya kesempatan buat ngomong langsung sama Papa kamu. Aku janji, aku akan bicara jujur sama beliau."

"Om, ini semua makin rumit. Kamu tahu Papa aku nggak gampang dibohongi, kan?" Mutia menggeleng, frustrasi.

"Aku tahu. Tapi aku cuma butuh waktu sampai semuanya siap. Aku nggak mau situasi ini makin runyam kalau beliau tahu sebelum aku siap menjelaskan. Percayalah, aku bakal selesaikan ini."

Kaba tersenyum kecil, mencoba menenangkan.

Mutia terdiam, merasa terjebak. Ia tidak suka harus berbohong pada ayahnya, tapi ia juga tidak ingin membuat masalah ini lebih besar. Apalagi kalau tahu ia dan sahabat ayahnya itu menghabiskan waktu bersama. Akhirnya, dengan berat hati, ia mengangguk.

"Kenapa nggak kita lupakan saja cerita semala, Om? Anggap saja kita tidak bertemu tadi malam di Klub. Kamu nggak menyelamatkanku dari teman-temanku. Atau..."

"Atau kamu mau aku merasa bersalah seumur hidup?"

"Aku juga salah. Aku tidak seharusnya minum." Mutia menghela nafas mengatakan semua itu.

"Apa yang sudah kita langgar akan membekas seumur hidup kita. Sudahlah. Kita masih memperbaiki ini."

"Semoga aku tidak hamil sesuai prediksimu, Om."

Mereka melanjutkan makan dalam diam. Meski Kaba terlihat santai, Mutia merasa situasi ini seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja. Dalam hatinya, ia masih ragu apakah Kaba benar-benar bisa menghadapi ayahnya nanti.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!